Gemuruh air terjun menggema di udara, menciptakan kabut tipis yang menari di atas permukaan sungai. Di tengah derasnya aliran air, Yuè Tiānyin berdiri tegak, membiarkan percikan air membasahi jubah putihnya yang menjuntai. Matanya menatap langit biru yang bersih, tetapi pandangannya kosong. Sejak fajar tadi, dia tetap di sana, bergeming.
Seakan-akan hanya raganya yang tertinggal di tempat ini, sementara jiwanya mengembara entah ke mana. "Heibing Hùfú," gumamnya lirih. Semenjak kembali dari Tiānyá Shān, pikirannya dipenuhi oleh artefak legendaris itu. Tak terhitung berapa malam yang ia habiskan dalam keheningan perpustakaan Zǐténg Jū, menelusuri naskah-naskah kuno yang dipenuhi debu dan tinta yang mulai pudar. Semua demi mencari jawaban tentang Heibing Hùfú, yang berada di dalam tubuh Jian Huànyǐng. Namun, pencariannya tak membuahkan hasil yang memuaskan. "Belum ada metode pemurnian yang benar-benar menjamin keberhasilannya," bisiknya pelaMo Chén menggenggam cangkir teh, memutarnya pelan di tangan. Ekspresinya tetap santai, seolah tidak terlalu tertarik dengan tawaran Jìng Jué Wángyé."Aku, Mowang, tidak memiliki ambisi berlebih," ucapnya dengan nada ringan yang justru penuh makna. "Aku tidak ingin menjadi yang terhebat atau terkuat. Aku hanya ingin mencapai keabadian di jalan kultivasiku."Suaranya mengalir seperti air yang tenang, tetapi di baliknya terkandung pengingat halus tentang siapa dirinya sebenarnya.Pria yang bersama Jìng Jué Wángyé tersenyum, lalu berkata dengan nada yang seolah menguji."Aku mempercayai dirimu, Mowang. Tetapi sebagai putra Mo Ménzhǔ, calon ketua Sekte Pedang Iblis, benarkah kau tidak memiliki keinginan apa pun?"Mo Chén tertawa kecil, lalu menoleh dan menatap pria itu lebih lama, menganalisis wajahnya dengan serius."Sepertinya kau tidak asing. Tetapi entah di mana kita
Di Xiaoyun, ibu kota Bìxiāo, suasana istana Lán Tiān Gōng tetap tenang, tetapi di balik keheningan itu, intrik politik terus berputar seperti pusaran yang mengancam menelan siapa saja yang lengah.Mo Chén duduk dengan santai di sudut taman terpencil Lán Tiān Gōng. Di Yúnyǐn Tíng, Paviliun Kabut Tersembunyi, tempat yang sementara menjadi kediamannya di bawah pengawasan kekaisaran. Meskipun statusnya sebagai sandera, ia diperlakukan bak tamu istimewa—disediakan teh terbaik dan buah-buahan lezat, tetapi tetap terkurung di dalam istana, tanpa diizinkan meninggalkan Lán Tiān Gōng atau bertemu dengan siapa pun.Saat Mo Chén tengah menikmati tehnya dengan tenang, suara seseorang tiba-tiba memecah kesunyian."Sepertinya Mowang sedang merasa bosan hari ini?"Mo Chén, yang juga dijuluki Mowang, menoleh dengan gerakan malas. Di depannya berdiri dua pria. Salah satunya adalah Jìng Jué Wángyé, putra ketiga Kaisar Yǔhàn yang dikenalnya
Huànyǐng segera melepaskan kakinya dari pinggang Léi dan turun dari gendongan kakaknya, lalu tanpa pikir panjang menghambur ke dalam pelukan Baihe Cheng."Niang!" serunya dengan suara penuh emosi.Dan dalam sekejap, air mata kembali mengalir deras di pipinya."Niang! Tiānyīn pergi yang lalu tanpa berpamitan! Huuee!"Jian Xia dan Jian Wei saling berpandangan, lalu menatap Qing Yǔjiā dengan pandangan meminta penjelasan. Qing Yǔjiā menghela napas panjang, ekspresinya penuh kepasrahan."Dia sudah merajuk selama tiga hari," katanya sambil menggelengkan kepala.Jian Xia mendekati ibu dan adiknya, lalu dengan lembut membelai rambut Huànyǐng yang berantakan."Sudah jangan menangis! Lihatlah dirimu! Hilang sudah Huànyǐng yang imut dan manis!"Léi menambahkan sambil menahan tawa, "Huànyǐng, lihat! Ingusmu menjijikan!"Dan reaksi yang diharapkan pun terjadi."Huuee, Niang! Lihat mereka menggodaku!" H
Di Hēiyǐng Shān, Huànyǐng masih bergulung di tempat tidur membelakangi Qing Yǔjiā. Selimut ditarik hingga menutupi separuh kepalanya, hanya menyisakan rambut hitam yang berantakan."Sampai kapan kau akan merajuk seperti itu, Huànyǐng?" tanya Qing Yǔjiā jengkel.Gadis cantik itu, meski kini berpakaian jauh lebih sederhana tanpa aksesoris mewah yang biasa dipakainya, berkacak pinggang di depan tempat tidur. Wajahnya menunjukkan ketidaksabaran menghadapi drama pagi ini.Qing Héng Zhì, yang menyaksikan dari sudut ruangan sambil mengayun-ayunkan kakinya di kursi, akhirnya berusaha menengahi."Jiě, jangan begitu," tegurnya pelan, merasa tidak enak hati melihat Huànyǐng yang terus-menerus diam sejak bangun tidur.Namun, Qing Yǔjiā tidak terpengaruh."Biarkan saja!" sahutnya galak, lalu menoleh pada adiknya. "Héng Zhì, kau pergi saja ke pasar. Beli beberapa bahan makanan dan bibit tanaman yang sudah habis."Qing Héng Zhì, meski
Fajar menyingsing dengan cahaya yang redup di atas Hēiyǐng Shān. Tiānyīn berdiri di teras dengan guqinnya tergantung di punggung, bersiap untuk pergi. Huànyǐng masih tidur di dalam rumah bersama kedua bocah kecil yang memeluknya erat seperti anak kucing yang takut kehilangan induknya.Qing Yǔjiā berjalan mendekati Tiānyīn, tatapannya tertuju pada pemuda bermata biru itu dengan kekhawatiran."Yuè Èr Gōngzǐ, apakah tidak menunggu Huànyǐng bangun dan berpamitan padanya?"Tiānyīn menggelengkan kepalanya pelan.Qing Yǔjiā terdiam sejenak, lalu bertanya lagi dengan hati-hati, "Apakah Yuè Èr Gōngzǐ tidak ingin membawa Huànyǐng kembali ke Kediaman Aroma Wisteria?""Tidak sekarang," jawab Tiānyīn singkat dan tenang seperti biasanya..Tanpa banyak kata, ia melangkah meninggalkan Hēiyǐng Shān menuju Bi Hai Wan. Meninggalkan Qing Yǔjiā yang mengantarkannya hingga ke pintu gerba
Tiānyīn dan Huànyǐng duduk berhadapan di teras sebuah bangunan sederhana di puncak Hēiyǐng Shān. Di atas meja terhidang tumis sayuran hijau dengan daging, acar lobak, nasi hangat, ikan kukus, serta arak dan teh yang mengepulkan uap hangat ke udara malam.Suasana makan malam yang tenang ini berbeda dengan keributan di siang hari. Kedua bocah kecil telah tertidur lelap di dalam rumah, diurus oleh Nenek Qing dan beberapa perempuan lain dari klan Qing.Huànyǐng, tanpa diminta, mulai menjelaskan sambil mengambil sepotong daging dengan sumpitnya."Mereka adalah orang-orang dari klan Qing, klan Wu, dan sekte kecil lainnya yang melarikan diri saat diserang Bìxiāo Tiěwēi setahun lalu."Tiānyīn mengangguk, tatapannya beralih pada orang-orang yang tengah berkerumun di bangunan terbesar di bukit, menikmati makan bersama sambil bercanda dan berbincang. Meski hidup dalam kesederhanaan, wajah mereka tampak damai dan p