Share

Penantian Sang Istri Teraniaya
Penantian Sang Istri Teraniaya
Penulis: Windersone

Gudang Belakang Rumah

Qian pantas mendapatkan wanita yang lebih baik darimu. Kamu tidak pantas berada di rumah Wirananda, kamu akan tinggal di sini sampai Qian menikah dengan wanita yang sempurna, bukannya wanita miskin sepertimu.

Wanita paruh baya itu, ibu mertuanya, Sarina megaswara, membuatnya berpikir kalau dirinya bagaikan seekor ternak yang terkena wabah penyakit. Inara Mustika, wanita yang masih berusia 25 tahun itu dikurung dalam kondisi normal di gudang belakang rumah keluarga Wirananda, keluarga mertuanya. Sejak dirinya dibeli, sejak ia dinikahi oleh salah satu anak dikeluraga itu, Inara dikurung di gudang yang memiliki luas 4 m × 4 m itu seperti seorang tahan. Kadang ia berpikir. Apa salahku? Apa menjadi miskin adalah kesalahan? Benar. Bagi mereka, miskin itu ialah penyakit yang harus dijauhi, itulah pendapat Sarina.

Inara duduk menekuk lutut di atas kasur batangan yang dibaringinya selama ini. Tubuhnya menghadap ke arah jendela kayu yang di luarnya terlihat halaman belakang rumah. Dari sanalah ia mendapatkan cahaya matahari ataupun cahaya bulan untuk menerangi ruangan itu karena tidak ada lampunya. Cahaya penerang dari langit itu akan masuk dari celah jendela kayu yang masih terlihat kuno itu.

Suara gembol pintu terdengar dibuka. Inara bergegas membaringkan tubuh di atas kasur dan memejamkan mata, berpura-pura tidur siang. Narsih masuk mengantarkan makan siang untuknya, si pembantu rumah, orang yang selalu dijumpainya di gudang itu. Tiga kali sehari Narsih datang untuk mengantarkan makanan. Pagi, siang, dan malam.

"Non Inara, ini makananmu. Sekalian untuk nanti malam. Nanti malam Tuan dan Nyonya tidak ada di rumah. Semua orang akan meninggalkan rumah dan kembali besok. Bibi juga ikut bersama mereka."

Wanita paruh baya dalam setelan daster itu meletakkan mangkuk, gelas, dan piring yang ada di atas nampan ke atas meja.

"Mereka ke mana?" tanya Inara setelah melihat Narsih akan keluar dari pintu.

Narsih berhenti melangkah, ia menoleh ke belakang dan dengan memperlihatkan raut wajah kaget mendengar Inara mengeluarkan suara. Selama ini Inara hanya diam setiap kali ia datang dan berbicara. Mengapa? Karena Inara digelagarkan sebagai wanita bisu dan gila oleh Sarina.

"Non bisa bicara?" Narsih berjalan mendekati Inara sambil tersenyum senang.

"Bibi sudah menduganya." Narsih bergegas duduk di tepi kasur sambil membantu Inara duduk dari baringan.

"Harus bagaimana lagi? Orang miskin bisa dibeli oleh orang kaya. Kehormatan mereka, harga diri mereka, dan tubuh mereka. Aku disebut sebagai wanita bisu, wanita gila, sampai aku diasingkan di tempat ini. Sudah dua tahun lebih aku dikurung di tempat ini." Inara menoleh ke dinding, menatap garis kecil yang digoreskan menggunakan kapur putih di dinding untuk menghitung berapa lamanya ia di sana.

"1001 malam aku habiskan di sini. Entah sampai kapan aku akan dikurung. Apakah orang miskin tidak memiliki kesempatan untuk menikmati hidup mereka?" Air mata Inara menetes, hingga ia merasa telah mengalir ke dadanya karena saking kencangnya tetesan air mata itu.

"Tidak. Setiap orang memiliki hak untuk menikmati hidup mereka. Begini saja, Bibi akan membantu Non keluar dari gudang ini. Malam ini semua orang ke gedung Embelas, mereka menyaksikan pernikahan Den Qian. Saat itu, Non Inara bisa keluar dari gudang ini." Narsih memberikan solusi padanya.

Solusi itu sudah dipikirkan Inara sejak masuk ke gudang itu. Tapi, ia tidak mau siapapun menjadi korban karena dirinya. Sarina tidak akan mengampuni orang yang membebaskannya, sedangkan Narsih menjadi orang yang bertanggung jawab atas dirinya di gudang itu.

"Tidak. Bibi akan disalahkan. Aku yakin Mama Sarina akan berbuat buruk kepada Bibi jika dia mengetahuinya," ucap Inara sambil menggelengkan kepala.

"Narsih! Narsih!" teriakan Sarina terdengar keras dari pintu belakang rumah.

Tangan Inara mendorong kecil tubuh Narsih agar segera keluar dari gudang. Wanita paruh baya itu tampak berat meninggalkannya, tapi ia tahu kalau dirinya juga harus diselamatkan dari kemarahan Sarina.

Di keluarga itu, semua orang takut pada Sarina.

Narsih menutup pintu. Lalu, berdiri diam di depan pintu sambil mengingat perkataan Inara yang membuatnya merasa iba. Narsih sengaja tidak menggembok gudang itu, berharap Inara sadar dan bisa kabur malam ini.

***

Suara binatang malam hadir dalam kesunyian malam. Inara berjalan menuju pintu dan meraba pintu itu dengan harapan dirinya akan dikeluarkan oleh Sarina. Pintu terdorong saat tangannya masih meraba, ia sadar pintu tidak dikunci. Inara diam mengingat perkataan Narsih tadi siang, ia sadar wanita paruh baya itu sengaja tidak menguncinya agar dirinya bisa keluar.

"Apa yang harus aku lakukan? Ini kesempatanku. Jika tidak hari ini, aku tidak akan bisa keluar. Jika aku keluar, Bi Narsih berada dalam masalah." Inara berdiri sambil menggigit jari dan memikirkan konsekuensi dari pilihannya.

Inara memantapkan diri untuk meninggalkan gudang itu. Ia menarik kedua genggaman pintu untuk membukanya. Jantungnya berdetak kencang dalam ketakutan dengan aksi kabur yang akan dilakukan. Inara menggembok pintu itu dan berangsur menyelinap keluar dari taman samping rumah dalam balutan dress putih polos hingga lutut tanpa memakai alas kaki. Kakinya menapak langsung di atas rumput dan tanah.

Perkataan Narsih benar, semua orang meninggalkan rumah, termasuk penjaga rumah.

"Penantian ku selama 1001 malam di gudang itu akhirnya berakhir juga." Inara menangis haru.

Inara berlari mendekati gerbang rumah yang digembok. Matanya memperhatikan sekeliling rumah yang dikelilingi oleh pagar besi setinggi dua meter.

"Bagaimana caranya aku bisa melewati pagar ini?" Mata Inara memperhatikan gerbang rumah dan terpikir untuk memanjatnya.

Inara mendengar suara orang bicara. Ia menoleh ke belakang dan melihat seorang pria bertubuh jangkung dalam setelah pakaian jas hitam menutup pintu rumah sambil memegang gawai di tangan kirinya. Pria itu sedang berbicara melalui sambungan telepon bersama seseorang.

Inara sadar belum semua orang keluar dari rumah itu. Inara berlari ke arah mobil yang terparkir di halaman rumah, ia bersembunyi di bagian depan mobil dan merangkak sampai ke bagian belakang mobil seperti pencuri ketika melihat pria itu berjalan ke arah mobil dan memasukinya. Tangannya perlahan membuka bagasi mobil dan bersembunyi di sana, agar ia juga bisa keluar dari rumah itu tanpa diketahui oleh siapapun.

"Oke. Sekarang aku OTW ke sana. Aku ketinggalan, Bro. Semua orang sudah ke acara, tinggal aku saja," kata pria itu berbicara melalui sambungan telepon.

Pria itu keluar dari mobil setelah mengemudi beberapa meter. Ia membuka gembok gerbang rumah dan kembali menguncinya setelah membawa mobil itu keluar dari gerbang.

Ditya Wirananda. Pemuda itu anak bungsu keluarga Wirananda.

Pemuda yang baru berusia 21 tahun itu tertinggal oleh semua orang karena tertidur sejak sore, setelah pulang dari kampus.

"Ditya. Ternyata dia," kata Inara, berbicara dalam hati.

Sesuatu terasa menjalar di kakinya. Inara tidak tahu binatang apakah itu, tapi firasatnya mengatakan kalau itu laba-laba. Ia sangat takut dengan serangga berkaki banyak itu. Kedua tangannya menutup mulut agar tidak berteriak, ia menahan ketakutan itu sambil memejam mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status