Share

Janji Lixuan

Akan tetapi semenjak beberapa hari yang lalu entah mengapa cincin giok yang didapatkannya secara tiba tiba itu tak bisa berfungsi lagi. Seolah olah cincin itu telah menjadi cincin biasa.

Lixaun sempat mencoba beberapa kali untuk merubah cicin itu kebentuk pisau, namun tidak ada yang terjadi sama sekali. Sangking banyaknya kegagalan, dia sudah menyerah untuk mengubah cincin giok itu.

Padahal sebelumnya dia begitu berharap dengan benda itu, dengan adanya benda itu dia yakin bisa menambal kemampuan bela dirinya dan energi Quantum yang tak bisa dia miliki sepanjang hidupnya.

Namun walaupun begitu Lixuan tidak putus asa begitu saja. Ketika mengetahui bahwa cincin giok itu tak bisa diandalkan, dia menanamkam janji dihatinya.

Janji itu berisikan dia akan berlatih lebih keras 5 kali lipat dari orang normal. Dia telah membuktikan janjinya selama satu Minggu terakhir, orang orang rumah sampai dibuat tidak percaya dengan tekad milik Lixuan untuk menjadi kuat. Pagi, malam, siang dia terus menerus berlatih.

"Saatnya aku berlatih lagi."

Dia keluar dari ruangan itu, pertama yang ingin dilatihnya adala stamina. Untuk mendapatkan setamina dia menemukan latihan yang sangat cocok.

Lixuan melangkah kakinya dengan cepat, udara segar dipagi hari masuk kedalam hidungnya. Sembari berlari dia melihat sekelilingnya.

Para warga desa Uruk tak memperdulikan dia sama sekali menyapa saja tidak.  Padahal nyawa mereka terselamatkan karena berkat dia yang menghabisi sebagian monster harimau.

Lixuan sebenarnya tak peduli ketika mendapatkan perlakuan seperti itu. Dia sudah terbiasa. Akan  tetapi bukankah seharusnya warga desa memperlakukan Lixuan lebih baik dari sebelumnya?

Beberpa menit kemudian dia sampai ditempat latihan yang dia temukan berapa bulan yang lalu, dihadapanya itu terdapat batu yang hampir menyerupai gunung, langit langit hampir ditembus oleh menara yang disediakan oleh alam.

Tidak ada tangga ataupun tanaman rambat yang dapat memudahkan manusia memanjatnya. Tapi walaupun tak bisa dipanjat Lixuan tetap ingin menebus langit dan melihat pemandangan alam desa Uruk.

Lixuan sudah beberapa kali memanjat tebing itu, dia melakukan itu sejak beberapa bulan yang lalu. Hari ini dia ingin melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, namun dia ingin mencoba sesuatu yang tidak akan pernah dipikirkan oleh orang lain.

Dia mencengkram bebatuan menonjol didepannya lalu menekan kakinya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya melayang beberpa inci lalu tangan itu digunakan untuk mencengkram bebatuan lainnya. Namun sialnya itu tak berhasil, tubuh Lixuan yang kecil itu terguling guling ditanah.

"Ternyata menggunakan satu tangan untuk memanjat tebing sangat sulit sekali," gumanya.

Percoban pertama yang membuat bajunya kotor tak berhasil menghentikannya. Anak itu sungguh keras kepala sekali, dia tak mau menyerah walaupun banyak luka yang dideritanya. Sudah beberapa kali dia melakukan itu, tapi tetap saja dia tak membuahkan hasil sama sekali.

Sangking kerasnya dengan dirinya sendiri yang lemah, tangan kecil itu kini penuh dengan warna merah, air merah kental itu membasahi tanah coklat. Rasa sakit terus menyayat tiada henti. Namun dia tak berhenti.  Luka luka itu bukanlah sesuatu yang harus diperhatikan, begitulah apa yang dia pikirkan.

Sungguh bodoh bukan? Ya dia memang idiot tapi dia bukanlah anak yang tak bisa menyelesaikan apa yang dia mulai. Selama 5 jam memanjat dengan satu tangan, dia sekarang sudah mengalami kemajuan.

Tubuhnya kini bisa merasakan angin yang berhembus masuk kedalam tubuh penuh keringatnya. Hanya tinggal beberapa lompatan lagi sampai pada akhirnya dia berhasil mencapai ketinggian yang ingin dia capai. Satu lompatan, tubuhnya nyaris terjatuh namun dengan keyakinannya dia berhasil menggapai batu itu.

"Satu langkah lagi aku akan berhasil." Namun ketika dia akan melakukan lompatan lagi, sialnya batu yang dipijaknya mulai keropos.

Wuruss... Batu itu pecah berkeping-keping.

Dia tak ingin mati, dengan perasaan berat hati dia menggunakan satu tangannya. Akhirnya dia berhasil mencapai ujung dari tebing itu.

Lautan hijau terbentang dari timur kebarat. Burung burung satu persatu melewati tubuhnya, makanan yang dicari oleh burung itu berada tepat diarah timur. Lixuan melihat langit, tubuhnya nyaris tak bisa digerakkan, dia sekarang hanya bisa menatap langit sambil melihat burung burung itu melewatinya.

Cahaya mentari senja menebus tubuhnya, saat ini warna oranye menghiasi desa Uruk. Tidak ada pemandangan indah satupun yang dapat menandinginya.

Dahulu ketika dia berusia 8 tahun saat senja menapakan wujudnyalah yang sangat dinantikan oleh Lixuan.

Namun sekarang dia benar benar muak dengan senja, semua itu karena inside satu Minggu yang lalu.

Seandainya saja dia bisa mengajak Sasa maka pemandangan itu tak akan membosankan dimatanya. Sialnya itu tak akan bisa dilakukan dengan mudah.

"Tidak ada waktu untuk berleha-leha Lixuan," ucapnya pada dirinya sendiri.

Lixuan pun berdiri untuk melanjutkan latihannya, rambutnya bergoyang goyang diterpa oleh angin yang berhembus. Baru saja berdiri dia merasakan hawa kehadiran seseorang yang tak asing.

"Kau keluarlah Sasa, tidak ada gunanya bersembunyi dibawah sana."

Tebakannya tepat sekali, saat ini Sasa sedang berdiri dibebantuan yang bisa dipijak. Bentuknya pipih sehingga dia tak akan jatuh apabila ada angin besar meniup tubuhnya.

Karena keberadaannya sudah diketahui oleh Lixuan, tidak ada gunanya lagi dia tetap berada disitu. Sebenarnya dia ingin mengejutkan Lixuan namun semua itu gagal. Sasa melompat, tubuhnya melayang lalu mendarat tepat didepan Lixuan.

"Untung saja aku membawa perban dari pedepokan." Sasa melemparkan perban putih keaaraah Lixuan.

Selama satu Minggu terakhir dia melihat Lixuan selalu terluka ditangan dan sekujur tubuhnya, dia selalu memarahi Lixuan. Namun omelannya itu hanya diabaikan oleh Lixuan.

"Kau kenapa membawa perban?" Pertanyaan konyol itu membuat dahi Sasa mengkerut.

"Kau masih bertanya seperti itu setelah mendapatkan luka serius selama satu Minggu terakhir." Suara Sasa lebih kasar dari sebelumnya, namun Lixuan tidak menyadari perbedaan itu. Sebab Sasa menekan suaranya agar Lixuan tidak tahu bahwa dia sedang marah.

Lixuan mendekati Sasa, dia menyentuh bahu Sasa. "Sasa asal kau tahu luka ini adalah tanda bahwa aku seorang peria sejati, aku tidak perlu menutup luka ini, simpanlah perban ini untuk mu saja." Dia melemparkan perban itu keaaraah Sasa lagi. Setelah melakukan itu dia melihat keaaraah hutan lebat.

Amarah Sasa mulai memuncak, dia hampir tidak bisa menahannya. Namun ilmu yang diajarkan oleh gurunya dia gunakan saat ini.

Dia mendapatkan pengetahuan tadi, pendekar tangguh tidak akan termakan emosi dari lawannya. Sebab emosi akan menghancurkan teknik yang ada didalam kepala. Ketika hal itu terjadi pendekar memiliki dua cara untuk menekan emosi.

Pertama mengosongkan pikiran lalu mengalihkan pikiran keaaraah lain. Sedangkan kedua membuat tubuh rileks dengan cara mengatur nafas dan mencengkram tangan dengan erat. Dengan kata lain melampiaskan amarah tanpa diketahui oleh lawan.

Tentunya Sasa memilih cara yang kedua. Namun apa yang dikatakan oleh gurunya tidak benar, Sasa sekarang masih marah.

'Dasar guru pembohong.' bantinnya.

Namun sesaat kemudian dia menarik kata katanya, ketika menyadari amarah yang memuncak mulai terkikis. Bukan bukan amarah itu beralih kegurunya.

"Sasa lihat lah," Lixuan menujuk kearaah depan. Akan tetapi sesaat kemudian dia berhenti mengucapkan kalimat selanjutnya.

Saat ini dia melihat seseorang yang sedang terpojok oleh kawanan babi yang telah terkontaminasi energi kegelapan.

Lixuan tanpa ragu melompat dari tebing itu.

"Lixuan apa yang kau lakukan dasar bodoh," teriak Sasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status