Ponorogo, September 1888
Cericau burung dan pekik kera menggema dari dalam hutan yang mengepung sepanjang aliran sungai. Kepala bocah laki-laki berambut hitam pekat tiba-tiba menyembul ke permukaan sungai hingga mengejutkan seekor kerbau jantan yang tengah berendam. Dia menarik tanduk sang kerbau lalu naik ke tengkuknya sambil tertawa riang. Telapak kecil bocah itu mengusap-usap kepala kerbau dengan penuh kasih sayang.
“Emak berkata bapak meninggalkanmu sebagai ganti dirinya, tidakkah itu lucu?” bisik sang bocah pada kerbaunya.
Di atas tebing seorang pria berbeskap dan bersarung batik putih berdiri di atas batu sambil mengawasi ke arah sungai. Satu tangannya berkacak pinggang, sedang yang lain menjepit cerutu.
Sececah kepergian pria itu tertangkap oleh sudut mata seorang perempuan berkemban yang tengah menggilas cucian di bibir sungai. Perempuan itu segera meraih ebor, menjejalkan pakaian basah ke dalamnya, dan berlari-lari menerjang aliran sungai ke arah sang bocah.
“Endaru, kita harus segera pulang ke rumah!”
Bocah laki-laki itu kehilangan tawanya. Dia seperti tercucuk melihat ketakutan pada mata sang ibu. Perempuan itu menarik-narik tanduk sang kerbau dengan Endaru yang masih duduk di punggungnya agar mereka segera mengentas dari sungai.
Di kejauhan mereka bisa mendengar suara tapak kaki kuda yang berjalan menjauhi tebing. Mereka berjalan beriringan dalam kelegaan melintasi jalan setapak yang sedikit gelap karena daun dan ranting pepohonan saling bersengkelit membentuk kanopi lebat hingga menyerupai lorong panjang di dalam gua.
“Mak, kapan bapak pulang?” Suara Endaru mengusik seekor anakan rusa yang tengah berdiri di sisi jalan.
“Anggap bapakmu wes mati, Gus. Karena itu dia memberimu si Buto, ‘kan?” Sang ibu melirik ke arah kerbau yang tengah digiring oleh anaknya. “Tak bersyukur kau hidup berdua saja dengan emak, Gus?”
Bocah itu menunduk. “Aku hanya tidak mau terus-menerus dipanggil ‘Enes’ oleh orang-orang, Mak, hanya karena aku tak berbapak.”
Sang ibu berhenti dan menatap mata putranya yang bening. “Kau berbapak, semua orang pun tahu kau berbapak—bukan anak jadah! Hanya saja bapakmu sudah mati lebih dulu. Bukankah nama Enes juga bagus? Bermakna sendirian. Kau akan bertahan hidup meski harus seorang diri menjalani kehidupan ini.”
Ah, Emak ... kau selalu mampu membungahkan hatiku! Bahkan, di balik olok-olokan nama itu, kau mampu menunjukkan sisi bagusnya untukku.
Sang ibu berjalan lebih cepat meninggalkan Endaru yang masih sibuk meratapi julukannya beberapa langkah di belakang. Terlihat perempuan berusia awal tiga puluhan itu menyeka wajah dengan lengan yang telanjang. Air masih menetes-netes dari jariknya yang basah. Ebor berisi pakaian basah kini dia sunggih di kepala.
Seorang penunggang kuda—pria bercerutu yang sebelumnya mengawasi dari tebing—mengadang langkah mereka. Ibu Endaru menurunkan ebor, berlutut, dan memberikan sembah. Kepalanya menunduk dengan kedua telapak tangan saling bertangkup. Ibu jari perempuan itu berada di bawah hidung sedang ke empat pasang jemari lainnya tegak ke depan menghadap sang penunggang kuda.
Dari atas kuda, pria itu menilai Endaru yang menolak berlutut dan memberikan sembah. “Anakmu bakal jadi bandit, jika tidak kau didik dengan benar!”
Ibu Endaru menyembah sekali lagi dan memerintahkan anaknya untuk melakukan hal yang sama. Tak ingin menyusahkan sang ibu, akhirnya Endaru turut berlutut di belakangnya.
“Gandari, sudah waktunya anak ini ikut denganku.” Kuda pria itu berputar ke kiri dan ke kanan dengan gelisah.
“Sahaya, Ndoro ....”
“Iya, Kamu. Aku tak akan meminta dua kali. Antarkan anakmu ke rumahku siang ini juga dan berangkatlah kau ke rumah Meneer Cornellis setelahnya!”
Kepala Endaru terangkat. Ada keterkejutan dan kemarahan di sepasang manik hitam bocah dua belas tahun itu. Lengan Gandari terentang saat Endaru ingin melawan.
“Aku sudah memberimu pilihan yang mudah dengan menjadi gundik Meneer Cornellis dan serahkan anakmu padaku untuk kudidik menjadi warok sejati. Anak itu memiliki rupa seelok bapaknya, bukan?”
“Ampuni sahaya, Demang Sastro! Pundutan[1] akan sahaya bayarkan setelah panen tiba dua minggu lagi, biarkan kami hidup seperti ini.” Gandari semakin menunduk tanpa melepas sembahnya.
“Ini bukan tentang pajak, tetapi sumpah dan janji seorang warok. Apa yang sudah terucap pantang untuk kembali dicabut! Aku sudah bersumpah akan menjadikan putra Dimas seorang warok yang akan mewarisi ilmu dan padepokanku,” ucap sang demang sebelum memacu kuda meninggalkan mereka.
Sepasang mata Endaru memancarkan kemarahan dan dendam. Dia bangkit sambil menarik lengan sang ibu agar berdiri tegak. “Kita bisa pergi ke hutan, Mak. Tinggal di sana dan mencari bapak sampai ke Lampong!”
Tak berselang lama terdengar suara tapak-tapak kaki kuda mendekat menggantikan kepergian sang demang. Sejumlah pria bertubuh kekar yang wajahnya tertutup topeng merah dan berpakaian serba hitam muncul dari dalam hutan. Keenam orang itu masing-masing duduk di atas kuda tunggangan berukuran besar. Mereka mengepung ibu dan anak yang menggigil ketakutan itu.
Endaru mendesis, “Bandit Merah!”
Para warok bertopeng merah dari alas Jenangan itu ditakuti dan disegani oleh seluruh warga Panaragan. Mereka juga dikenal dengan sebutan Warok Wengker karena datang dari hutan yang angker. Kegagahan dan kehebatan ilmu kanuragan mereka tak dapat disangkalkan—membuat siapa saja yang melihat bisa hilang keberanian. Meski beberapa rumor menggambarkan kelompok Bandit Merah sebagai warok yang murah hati, tetapi tak sedikit juga yang menceritakan kebengisan dan kekejaman mereka. Para Bandit Merah terkenal tak segan membunuh lawan yang dianggap tak sejalan.
Keenam orang itu turun dari kuda tunggangannya masing-masing sambil melepas topeng. Endaru terkesima. Kesan jahat dan kasar yang dipancarkan oleh topeng bujang ganong berwarna merah yang sebelumnya mereka kenakan seketika sirna begitu terlihat wajah-wajah teduh dengan senyum ramah di baliknya.
Gandari menarik tubuh putranya ke balik punggung. Dada perempuan itu membusung siap menghadapi segala derita demi keselamatan sang putra. Bocah bermata oval yang meruncing di pangkal itu mengintip dari celah-celah lengan ibunya yang menegang.
Endaru mengamati salah seorang warok yang berwajah lebih tua dengan cambang bauk dan kumis lebat berjalan mendekat ke arah mereka. Pria itu menunduk dan memberi tabik dengan suaranya yang berat dan tenang.
“Kami dari Wengker diutus pimpinan untuk menyampaikan pesan kepada Yayu. Keelokan paras putra Yayu sudah tersiar sampai ke tempat kami. Bukankah lebih aman jika dia berada dalam perlindungan kami? Pendidikan dan kebutuhan akan disediakan, indukan kerbau dan anakannya juga akan kami berikan setiap tahun untuk Yayu.”
Tanpa sepengetahuan Endaru, ibunya memasang wajah marah dan muak di hadapan para Bandit Merah sambil mencengkeram lengannya dengan kuat. Akan tetapi, tak disangka-sangka Gandari malah jatuh berlutut dengan kedua tangan mengapurancang.
“Ampun, Ndoro! Kami hanya orang biasa yang senantiasa hidup melarat, tolong biarkanlah kami hidup seperti ini untuk selamanya!”
Salah satu warok menarik bahu Gandari agar kembali berdiri. Ada kebingungan yang melutuki Endaru. Sang ibu berlagak seakan tak mengenal mereka, tetapi para warok itu bersikap sebaliknya—berhati-hati di hadapan Gandari.
“Kami tidak membeli putra Yayu. Kerbau dan anakan itu bukan untuk mahar pinangan. Tidakkah anak ini perlu tahu kebenarannya?”
Air mata dan isakan mewarnai permohonan dan sembah perempuan bertubuh sintal itu.
“Kami bisa menjamin keselamatan kalian dari ancaman dan kesewenang-wenangan warok lain termasuk Demang Sastro,” bujuk sang Warok.
“Ampun, Ndoro ... Ampuni kami!” Gandari memeluk kepala Endaru dengan lelehan ingus dan air mata yang berderai-derai. Dia tak dapat menahan diri hingga tanpa sadar mencengkeram terlalu kuat lengan Endaru.
Bocah lelaki itu tak tahu menahu tentang apa yang sedang terjadi. Dia hanya memiliki satu pemahaman bulat, jika seorang warok sudah jatuh hati dan mendatangimu, maka kau tak akan pernah bisa lari kecuali nyawa terlepas dari raga.
Warok tua itu meraih tubuh Endaru dan memeriksa sekujur tubuhnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Kau memiliki paras dan raga yang indah, Nak. Dari matamu terpancar jiwa warok sejati. Orang-orang akan dengan sendirinya mendekat dan tunduk padamu. Akan tetapi, jika salah ditangani kemalangan bisa menimpamu di kemudian hari.”
Endaru membisu merasakan cengkeraman Gandari yang semakin menghunjam di lengannya.
“Gandari, kau harus segera membuat keputusan! Jika tidak, nasib anak ini mungkin bisa tergelincir seperti bapaknya,” kata sang Warok.
Endaru meronta berusaha melepaskan diri dari mereka. “Aku bukan bapakku! Bapak sudah mati! Mati!” teriak Endaru sambil berlari menerabas semak-semak, menuruni bukit, dan menghilang di balik susuran lindap hutan.
[1] Pajak pertanian
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan