Share

Rajaputra Aruna

Author: Ken Matahari
last update Last Updated: 2022-06-11 16:01:24

Abad ke-7 Masehi. Minanga Tamwan merupakan sebuah kota yang sibuk, tertib, dan bersih. Letak di pinggir Sungai Komering, menyebabkan Minanga Tamwan dilayari kapal-kapal berukuran sedang dan kecil. Selain menjadi transportasi manusia, kapal-kapal tersebut juga mengangkut hasil hutan, rempah-rempah, dan hasil tambang. Di antara sekian banyak kapal itu terlihat satu dua kapal-kapal dagang asing yang berasal dari India dan Tiongkok.

Hampir semua kapal asing itu mengangkut pinang. Pinang memang menjadi salah satu komoditi perdagangan penting dunia saat itu. Beberapa kapal dan perahu juga mengangkut damar, gaharu, gading gajah, emas, dan lainnya.

Pinang yang diperjualbelikan kebanyakan berasal dari daerah sepanjang sungai Komering dan anak-anak sungainya. Banyak juga yang didatangkan dari daerah Danau Ranau yang diangkut melalui Sungai Selabung.

Waktu memasuki seperempat malam. Saat itu, di pinggir Minanga Tamwan, dua sosok tubuh manusia berjalan di antara rumah-rumah panggung. Keduanya tampak terburu-buru.

Keduanya terus berjalan ke arah hulu sungai. Di sebuah tempat tersembunyi, salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah perahu kecil dari gerumbul semak di tepi sungai. Kemudian ia mendekatkan ujung perahu bagian depan kepada seorang yang lain.

"Silahkan naik Rajaputra," ujarnya. Orang yang dipanggil rajaputra itu lalu naik ke perahu dan duduk di bagian depan. Ia adalah Rajaputra Aruna.

Perawakan tegap dengan otot-otot kencang bertonjolan cukup menopang paras tampan Rajaputra Aruna. Gadis manapun bisa jatuh hati padanya. Sayangnya, parut bekas luka akibat sayatan atau bacokan benda tajam lumayan banyak menghiasi kulit sawo matangnya. Menandakan Rajaputra Aruna adalah pemuda yang banyak melewati perkelahian jalanan.

Rajaputra Aruna adalah anak kandung Sang Dapunta Hyang dari selirnya, Laksita. Seperti yang diceritakan Sang Hyang Dapunta pada Buntala, Selir Laksita merupakan adik kandung dari Tumenggung Mukha Upang, Balin. Sehingga orang mengenal Rajaputra Aruna sebagai keponakan Balin.

Sedangkan lelaki paruh baya yang naik di bagian belakang perahu adalah seorang prajurit Sriwijaya berpangkat senapati pratama bernama Tandrun Luah.

Dengan hubungan sedarah, tak heran jika Sang Dapunta Hyang tak menyertakan Rajaputra Aruna ke Mukha Upang.

Selain itu, Sang Dapunta Hyang juga ragu pada sifat dan perilaku Rajaputra Aruna. Ia dikenal sebagai seorang anak muda temperamental, ceroboh, dan mata keranjang.

Tandrun Luah langsung mengayuh perahu ke arah hulu Sungai Komering.

Perjalanan yang ditempuh Rajaputra Aruna dan Tandrun Luah lumayan jauh. Tandrun Luah baru menepikan perahu di sebuah semak lebat ketika mendekati tengah malam. Dua orang berpakaian prajurit sudah menunggu mereka.

Setelah menyembunyikan perahu, Rajaputra Aruna, Tandrun Luah, dan kedua prajurit yang menjemput mereka kemudian berjalan kaki menembus pekat malam. Tujuan mereka ada sebuah perkampungan prajurit yang terletak di sebuah daratan di tengah hutan rawa-rawa Gunung Batu.

Tiba di perkampungan Gunung Batu, Rajaputra Aruna disambut oleh satu regu prajurit yang mengenakan gelang rotan berwarna kuning. Serupa dengan gelang yang dikenakan prajurit Mukha Upang.

"Selamat datang Rajaputra Aruna sesembahan hamba," ujar seorang senapati madya yang tampaknya jadi pemimpin pasukan di Gunung Batu.

Orang itu memiliki wajah membosankan. Wajah lebar berpipi tembam miliknya dilengkapi sebuah hidung pesek dengan dua lubang besar. Belum lagi bibir tebal hitam menambah tak sedap orang yang melihatnya.

Selesai menyapa Rajaputra Aruna, senapati itu lalu bersujud mencium tanah diikuti oleh seluruh prajurit yang ada.

"Sembahmu kuterima Sarpa. Bangun kau senapati ular haha...!" jawab Rajaputra Aruna kasar. Senapati madya yang dipanggil Sarpa segera bangun dan duduk di hadapan Rajaputra Aruna. Rajaputra Aruna melanjutkan kalimatnya. "Ayo kita ke rumah komando!"

Rajaputra Aruna berjalan ke tengah kampung diikuti oleh Tandrun Luah dan Sarpa. Tak lama mereka telah tiba di sebuah rumah panggung besar yang terbuat dari kayu Merbau. Inilah yang disebut Rajaputra Aruna rumah komando.

Rajaputra Aruna langsung menaiki tangga rumah dan duduk di ruang tengah. Diikuti Tandrun Luah dan Sarpa.

Di ruang tengah rumah yang diterangi lampu damar, Sarpa telah menyiapkan arak enau dan babi panggang diatas tikar pandan yang dibentangkan di lantai kayu rumah.

Ketiganya kemudian duduk mengitari hidangan dan segera disusul basa-basi Sarpa mempersilahkan tuannya dan Tandrun Luah untuk menyantapnya.

"Silahkan dinikmati arak enau dan daging babinya Tuanku," ujar Sarpa.

"Hahaha...dasar ular. Selalu pandai kau mengambil hatiku!"

"Hamba Rajaputra. Hanya hidangan sederhana dari hutan Tuanku," jawab Sarpa sambil tersenyum.

Panggilan 'senapati ular' dari Rajaputra Aruna pada Sarpa sepertinya memang sesuai. Wajah membosankan dan tabiat culas Sarpa adalah perpaduan lengkap bagi seorang yang selalu mengutamakan kepentingan dirinya sendiri.

Tanpa basa-basi, Rajaputra Aruna langsung meminum arak dan makan daging babi panggang yang disiapkan Sarpa.

"Tandrun Luah dan kau Sarpa, ayo temani aku makan. Jangan cuma nonton saja kalian."

"Hamba Rajaputra," keduanya segera mengikuti Rajaputra Aruna minum arak dan makan daging babi panggang. Ketiganya dengan cepat menghabiskan hidangan. Tak lama, perut mereka kenyang dan hangat oleh daging babi serta arak.

Selesai makan, ketiganya langsung terlibat perbincangan serius.

"Sarpa. Kau sudah tahu pamanku, Balin, tewas oleh Sadnya?" Rajaputra mengabarkan kematian Balin pada Sarpa. Sama sekali tak terlihat rona duka diwajahnya.

"Demi Sang Hyang Adi Buddha! Benarkah yang hamba dengar ini Rajaputra?"

"Hei...sejak kapan kau berubah jadi bhiksu Sarpa?" giliran Rajaputra Aruna terkejut mendengar Sarpa menyebut nama Sang Buddha. Mimik mukanya kembali datar, tanpa rasa duka ketika menyindir Sarpa, "Kau kira aku tukang bohong seperti dirimu Sarpa?"

Sarpa tersipu atas sindiran tuannya. Warna merah merebak di wajah membosankan Sarpa. Namun ia tetap bisa menjawab Rajaputra Aruna dengan percaya diri.

"Hamba hanya tak percaya itu terjadi"

"Haha...kabar itu benar Sarpa!"

"Lalu kenapa Tuanku seperti tak sedih sama sekali?"

"Haha...kenapa aku harus sedih Sarpa? Justru dengan tewasnya Balin tua itu tujuanku makin dekat jadi kenyataan!"

"Maksud Tuanku?"

"Malam ini kau benar-benar bodoh Sarpa. Tak seperti biasanya," ujar Rajaputra Aruna sambil menuangkan arak enau ke gelas bambu. Ia menenggak arak enau lagi. Seolah perutnya bisa menampung ratusan gelas arak enau. Sarpa menyeringai mendengar ucapan Aruna.

Rajaputra Aruna melanjutkan ceritanya.

"Kalau Balin menang melawan ayahku, ia pasti langsung memburuku. Manusia rakus itu tak akan mau kekuasaannya terganggu. Ia otomatis menganggapku ancaman baginya!" seru Rajaputra Aruna sambil bersendawa kekenyangan. Ia terus bicara, "Kondisinya berbeda sekarang. Dengan kemenangan ayahku, si tua bangka Sri Jayanasa, kita masih punya waktu untuk menyusun pemberontakan! Paham kau bodoh?" desis Aruna pada Sarpa.

"Haha...hamba tak sangka, malam ini Tuanku begitu pintar dan ..."

"Dan apa Sarpa?"

"Malam ini Tuanku juga culas!"

"Bangsat kau Sarpa! Hahaha..."

Keduanya terbahak bersama. Tandrun Luah yang menyaksikan hanya tersenyum tipis.

Malam makin larut, Rajaputra Aruna terus meracau tak bisa menutupi kegembiraannya. Kematian Balin adalah kabar baik untuknya. Ia tak lagi perlu bersusah payah menyingkirkan pamannya itu. Persekutuan dengan Balin selama ini tak lepas dari sebuah siasat licik saja. Rajaputra Aruna memerlukan Balin sebagai sekutu sebatas untuk meruntuhkan ayahnya semata.

Jika Sang Dapunta berhasil diruntuhkan, sesegera mungkin ia juga akan menumpas Balin. Ia harus jadi penguasa tunggal di Kedatuan Sriwijaya.

Pengaruh arak enau malam ini membuat Rajaputra Aruna jadi liar. Ia tak lagi peduli status sebagai anak Datu Sriwijaya.

Sarpa mampu dengan cepat menangkap kegembiraan hati Rajaputra Aruna. Ia terus menuangkan arak enau ke gelas bambu Rajaputra Aruna. Makin mabuk tuannya, maka ia akan lebih banyak dapat keuntungan.

Saat Rajaputra Aruna menanyakan persiapan prajurit dan persenjataan yang diperlukan bagi perebutan kekuasaan, Sarpa harus membuat hati Rajaputra Aruna makin gembira dengan semua laporannya.

"Sarpa. Bagaimana persiapan dan latihan pasukan kita?" kali ini Rajaputra Aruna bertanya dengan mimik serius.

"Semua berjalan sesuai rencana Tuanku."

"Berapa jumlah senjata yang sudah kita miliki Sarpa?" tanya Rajaputra Aruna tak langsung percaya dengan kalimat Sarpa.

"Pedang dan tombak sudah siap dua ribu delapan ratus buah. Sisanya sedang ditempa siang malam oleh semua pandai besi kita. Kalau semua dirasa oleh Tuanku masih kurang, hamba akan tambah sesuai dengan titah Tuanku!"

"Bagus! Kerjakan semua dengan cepat. Waktu kita tak banyak. Dalam dua minggu ke depan, kita harus sudah merebut Minanga Tamwan!"

"Hamba rasa, memang pantas Tuanku jadi Datu Sriwijaya!" hasut Sarpa sambil tersenyum licik. Rajaputra Aruna senang bukan main mendengar pujian Sarpa.

"Hahaha...dasar ular kau! Oh ya, sebentar lagi aku harus kembali. Sebelum fajar, aku dan Tandrun Luah harus sudah sampai di Minanga Tamwan. Lalu, tak boleh ada seorangpun tahu tentang gerakan kita! Nyawamu jadi jaminannya Sarpa!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Momentum

    "Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Siapa Penyusup Itu?

    Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Pertemuan Lubuk Ruso dan Melayu

    Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Tugas Awang

    Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Rencana Menjebak Tara

    "Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Hasutan Ishra

    Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status