Share

Wangsa Pemberontak

Bagi Rajaputra Aruna, persekutuannya dengan Balin selama ini tak lepas dari sebuah siasat licik belaka. Rajaputra memerlukan Balin sebagai sekutu hanya untuk meruntuhkan ayahnya semata. Tak lebih. Jika ayahnya berhasil diruntuhkan, maka sesegera mungkin ia juga akan menumpas Balin. Ia harus jadi penguasa tunggal di Kedatuan Sriwijaya.

Pengaruh arak enau malam ini membuat Rajaputra Aruna cukup liar. Ia tak lagi peduli posisinya sebagai seorang anak Datu Sriwijaya.

Sarpa mampu dengan cepat menangkap kegembiraan hati Rajaputra Aruna itu. Ia juga harus memanfaatkan situasi dan mendapatkan keuntungan besar untuk dirinya sendiri. Maka, saat Rajaputra Aruna menanyakan persiapan prajurit dan persenjataan yang diperlukan untuk memberontak nanti, Sarpa harus membuat hati Rajaputra Aruna semakin gembira dengan semua ucapannya.

"Sarpa. Bagaimana persiapan dan latihan pasukan kita?" kali ini Rajaputra Aruna bertanya pada Sarpa dengan mimik serius.

"Amba Tuanku. Semua berjalan sesuai rencana."

"Bagus. Lalu, berapa jumlah senjata yang sudah ada Sarpa?"

"Amba Rajaputra. Pedang dan tombak sudah siap dua ribu delapan ratus buah. Sisanya sedang ditempa siang malam oleh pandai besi kita. Kalau semua itu dirasa oleh Tuanku masih kurang, Amba akan tambah sesuai dengan titah Tuanku."

"Bagus. Kerjakan semua dengan cepat. Waktu kita tak banyak. Dalam dua Minggu ke depan, kita harus sudah merebut Minanga Tamwan."

"Amba Rajaputra. Amba rasa, memang pantas Tuanku jadi Datu Sriwijaya," hasut Sarpa sambil tersenyum culas. Rajaputra Aruna senang bukan main mendengar pujian Sarpa.

"Hahaha...dasar ular kau Sarpa. Oh ya, sebentar lagi aku harus kembali. Sebelum Fajar, aku dan Tandrun Luah harus sudah sampai di Minanga Tamwan. Tak boleh ada seorangpun tahu gerakan kita ini. Paham kau Sarpa!"

"Amba Rajaputra," sahut Sarpa.

Malam makin larut. Suara anjing hutan terdengar bersahut-sahutan. Ditingkahi oleh suara burung hantu yang sesekali terdengar. Malam ini, purnama penuh. Tak sedikitpun awan terlihat di langit.

Setelah merasa semuanya beres, Rajaputra Aruna dan Tandrun Luah langsung kembali ke Minanga Tamwan. Menjelang fajar keduanya telah sampai di pinggiran Kutaraja Minanga Tamwan.

***

Di malam yang sama, ketika hari mulai beranjak malam. Tanah perkemahan yang ditempati rombongan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa di Mukha Upang tampak sepi. Sebagian besar prajurit memilih masuk ke dalam tenda dan beristirahat setelah hampir sehari penuh bertempur dengan pasukan Mukha Upang. Yang tampak hanya regu-regu prajurit yang bertugas jaga. Mereka sebagian tampak menghangatkan tubuh di sekitar api unggun. Sementara lainnya hilir mudik mengontrol tiap sudut perkemahan.

Di dalam tenda Senapati Buntala, tampak Sadnya dan Senapati Utama Buntala bercakap-cakap. Keduanya terlihat santai. Sesekali terdengar tawa renyah. Untuk merayakan kemenangan atas Balin dan pasukan Mukha Upang, Senapati Utama Buntala sengaja mengundang Sadnya untuk minum di tendanya.

"Ayo habiskan anggurmu Sadnya!" kata Senapati Utama Buntala sambil meminum sisa anggur di cangkirnya. Setelah itu ia kembali menuangkan anggur ke dalam cangkir Sadnya. "Tubuhmu akan hangat olehnya."

"Amba Senapati," jawab Sadnya tanpa gairah. Ia cukup mengantuk dan lelah. Pertarungan panjang dengan Balin, benar-benar menguras tenaganya. Melihat Sadnya terdiam dan kelelahan, Buntala segera bertanya pada Sadnya.

"Sadnya. Apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Senapati Utama Buntala seperti bisa membaca alur pikiran Sadnya. Mendapat pertanyaan dari Buntala, Sadnya tergagap.

"Amba Senapati. Ampuni Amba. Amba hanya memikirkan pertarungan Amba dengan Balin tadi. Amba juga belum mengerti ucapan Sang Hyang Dapunta tentang Golok Melasa Kepappang."

"Ahhhh...Kau memang polos Anak Harimau. Kini, kau dengarkan ceritaku. Semoga ceritaku ini bisa menjelaskan padamu tentang Balin dan Golok Melasa Kepappang," ujar Buntala.

Saat Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa merintis Kedatuan Sriwijaya di Minanga Tamwan, Buntala dan Balin masih kanak-kanak. Keduanya berasal dari dusun di tepi Danau Ranau dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Keluarga Buntala adalah keluarga petani, sedangkan Balin berasal dari keluarga bangsawan di Kedatuan Sekala Bghak.

Kandra Kayet, Ayah Balin, merupakan Senapati kepercayaan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ia merupakan garis keturunan dari sepupu Datu La Laula, Birsha. Mereka berdua bukan asli keturunan Suku Tumi. Mereka datang dari negeri Kamboja. Sebuah negeri jauh yang berada di sekitar Asia Tengah. Mereka berdua berhasil merebut kekuasaan Sekala Bghak dari Suku Tumi. Sayangnya, setelah berhasil mengalahkan Suku Tumi, mereka sendiri bertikai untuk menentukan siapa yang lebih pantas jadi Datu Sekala Bghak. La Laula bisa mengalahkan Birsha dan berhasil mengasingkannya pada sebuah alam lain di luar alam manusia. Kandra Kayet merupakan salah satu anak dari keturunan Birsha yang berhasil selamat dan menetap di tepian Danau Ranau.

Nasib Kandra Kayet sama dengan Balin. Kandra Kayet yang merasa ditipu oleh Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa memberontak dan berhasil membunuh seorang senapati utama Sriwijaya dengan Seribu Wajah Setan. Sampai akhirnya Sang Dapunta Hyang sendiri yang harus menghabisi Kandra Kayet. Ilmu Seribu Wajah Setan sama sekali tak mampu menghadapi Ilmu Nawasena Sang Dapunta Hyang. Kandra Kayet hancur tanpa bekas. Untungnya, Sang Dapunta Hyang masih mengampuni keluarga Kandra Kayet. Termasuk Balin.

Sadnya terbengong mendengar cerita Buntala. Jika cerita Buntala itu benar, maka Balin sesungguhnya adalah keturunan klan yang haus kekuasaan. Namun klan itu selalu kalah dan terbuang. Tapi setidaknya mereka lebih beruntung dari dirinya. Ia bahkan tak tahu dari siapa ia terlahir.

"Begitulah silsilah Balin dan klannya Sadnya. Klan yang dikutuk dewa-dewa karena sifat jahat mereka. Sampai kapanpun, Birsha dan keturunannya akan selalu membuat onar. Kecuali klan mereka tumpas hingga ke akarnya."

Senapati Utama yang sudah ia anggap ayahnya sendiri itu menghela nafas dan kembali meminum sisa anggur di cangkir Tiongkoknya. Mendengarkan cerita Buntala, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan dalam hati Sadnya tentang Golok Melasa Kepappang dan Rajaputra Aruna. Ia segera menanyakan pada Buntala.

"Ampuni Amba Senapati. Jika boleh, Amba ingin bertanya pada Senapati."

"Apa itu Sadnya?"

"Tentang Golok Melasa Kepappang dan Rajaputra Aruna Senapati."

"Boleh saja Sadnya."

"Amba Senapati. Saat pedang Amba berbenturan dengan Golok Melasa Kepappang, sebuah kekuatan besar menarik ruh Amba ke dalam sebuah lorong gelap. Tapi pada benturan selanjutnya, Amba malah merasakan hal berbeda Senapati. Amba merasa setiap pedang Amba berbenturan dengan golok pusaka itu,seperti ada kekuatan kasat mata yang memberi tenaga pada Amba. Sehingga tenaga Amba terus bertambah semakin kuat."

"Ketahuilah Sadnya, benar apa yang telah diceritakan oleh Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Akupun merasa ruhku ditarik masuk ke dalam lorong yang kau katakan tadi. Semakin aku melawan, maka semakin kuat ia menarikku. Tenagaku habis. Kalau kau tak menolongku, aku pasti sudah mati. Sadnya, Golok Melasa Kepappang dihuni oleh dua ruh bujang gadis yang jadi tumbal pertama golok pusaka itu. Mereka adalah Arutala dan Leena. Darah mereka dipakai untuk membasuh golok itu. Setelahnya, Golok Melasa Kepappang jadi pusaka haus darah. Selain itu, masih ada beberapa misteri Golok Melasa Kepappang. Saat ini tak seorangpun yang tahu tentang misteri-misteri itu," ada kengerian tergambar di wajah Buntala ketika menceritakan Golok Melasa Kepappang. Lagi-lagi ia minum kembali arak dicangkirnya. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya.

"Aku setuju dengan kata-kata Sang Dapunta Hyang. Kau berjodoh dengan Golok Melasa Kepappang. Hanya kau yang selamat dan bisa memilikinya sekarang. Lalu, soal Rajaputra Aruna, apa yang ingin kau tanyakan Anak Harimau?"

"Ampuni Amba yang bodoh ini Senapati. Jika dewa-dewa telah mengutuk klan Birsha, lalu bagaimana dengan Rajaputra Aruna Senapati? Bukankah ia adalah keturunan klan Birsha?"

Buntala tersenyum karena pertanyaan Sadnya. Ia sudah menduga Sadnya akan menanyakan soal Rajaputra Aruna.

"Sadnya. Kita belum tahu apa yang akan terjadi. Tapi dengan perangai pemarah, pemabuk, dan main perempuan, kukira ia tak akan jauh beda dengan moyangnya. Kudengar juga desas-desus Rajaputra Aruna sedang menyusun kekuatan untuk memberontak pada Sriwijaya."

Sadnya terperangah mendengar kalimat terakhir Senapati Utama Buntala. Memberontak? Bila Rajaputra Aruna memberontak, maka sejarah klan Birsha yang selalu menebar keonaran di muka bumi memang benar adanya. Tak heran jika dewa-dewa mengutuk mereka dengan takdir sebagai wangsa pemberontak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status