APA yang terjadi pada Sarwa Kusuma dan seisi rumah sang kepala kampung? Mengapa kediaman besarnya tahu-tahu saja sudah terbakar hebat sekembali Sugatra mencari Wijaya Kusuma di sungai?
Mari kita kembali sejenak ke peristiwa sebelumnya. Tepatnya ketika Sugatra pergi ke sungai untuk mencari Wijaya Kusuma, seperti diperintahkan oleh istri Sarwa Kusuma.
Sementara pengawal setianya berlari secepat kilat ke arah sungai di belakang, istri Sarwa Kusuma kembali ke bagian depan rumah. Perempuan itu merasa cemas dengan keadaan suaminya yang memilih mendatangi gerombolan penyerang.
Oh, Gusti Sang Hyang Agung, semoga saja Kakang Sarwa tidak kenapa-kenapa, batin istri Sarwa Kusuma dengan penuh harap. Namun entah kenapa perasaanku tidak enak begini. Entah firasat apa ini sebenarnya.
Tiba di ruang depan, dari mana ia dapat melihat langsung ke gapura penjagaan tempat terjadinya perkelahian, istri Sarwa Kusuma sontak tertegun. Sepasang matanya membesar, dengan sepasang tangan menutupi mulut yang menganga lebar.
"Oh, Sang Hyang Agung!" desah istri Sarwa Kusuma. Ia merasa sekujur tubuhnya seketika menjadi lemas bukan main. Seolah-olah seluruh tulang-belulangnya lepas dari badan.
Di depan sana, dalam gelanggang pertempuran, tampak Sarwa Kusuma tengah dikurung oleh tak kurang dari delapan orang bersenjata. Salah satunya Bramanta.
Yang membuat istri Sarwa Kusuma menjadi lemas bukan main, sekujur tubuh suaminya sudah penuh oleh lelehan darah. Menjadikan sang kepala kampung seolah menggunakan jubah merah. Luka akibat sabetan parang tampak di mana-mana.
"Ke mana perginya para pengawal? Mengapa mereka membiarkan Kakang Sarwa dikeroyok seperti itu?" desah istri Sarwa Kusuma lagi, sembari melosoh tanpa daya ke lantai.
Yang tidak diketahui perempuan itu, para pengawal tidak pernah pergi ke mana-mana. Mereka sempat melakukan perlawanan, tetapi hanya mampu bertahan sebentar. Pada akhirnya, mereka berjatuhan ke tanah satu demi satu dengan tubuh bersimbah darah.
Ketika Sarwa Kusuma tiba di sana tadi, pengawalnya tinggal tersisa tiga orang. Namun kemampuan yang kurang sebanding membuat pertarungan di antara kedua kelompok berlangsung singkat.
Tiga pengawal yang masih bertahan hidup lantas tumpas semua dalam waktu cepat. Sedangkan dari pihak gerombolan penyerang masih tersisa tujuh orang. Mereka lantas beralih mengepung Sarwa Kusuma yang baru datang.
"Gusti Sang Hyang Agung, hamba mohon selamatkan suamiku," ratap istri Sarwa Kusuma. Perasaan tak enak di hatinya semakin menjadi-jadi.
Suara bentakan-bentakan diseling dentrang senjata beradu seperti tadi tak lagi terdengar. Kini yang sampai di liang telinga perempuan itu hanyalah sebuah kekehan penuh nada mengejek dari mulut Bramanta.
"Hahaha. Sekarang kau baru tahu siapa yang lebih unggul di antara kita berdua, Sarwa," desis Bramanta. Seringai sinisnya terkembang lebar, sembari menatap tajam pada lawan bicara.
Sarwa Kusuma juga keluarkan suara mendesis. Separuh karena gelegak amarah kepada Bramanta. Separuhnya lagi karena menahan rasa sakit akibat sederet luka yang tertoreh di tubuhnya.
"Sekali pecundang, selamanya tetaplah kau hanya seorang pecundang!" balas Sarwa Kusuma dengan sengit, lantas meludah ke tanah. Air liurnya berwarna kemerahan karena bercampur darah.
"Para pengawalku boleh saja kau tumpas habis, tetapi jangan harap aku biarkan kau pergi dari tempat ini tanpa membawa luka," tambah Sarwa Kusuma. Genggaman tangannya pada gagang pedang kian dieratkan.
Bramanta kembali tertawa mengejek.
"Kau terlalu besar mulut, Sarwa. Kau memang bisa menghajarku ketika yang kubawa prajurit-prajurit Puri Waharu yang bodoh itu. Namun sekarang tidak lagi!" balasnya.
"Buka matamu, Sarwa. Lihat siapa yang tengah kau hadapi sekarang," tambah Bramanta, membuat Sarwa Kusuma mengamat-amati para pengeroyok di sekelilingnya. "Aku pastikan kau sudah terkapar di tanah menyusul para pengawalmu itu bahkan sebelum kau bisa menyentuh kulitku!"
"Buktikan saja!" tantang Sarwa Kusuma.
Kepala padukuhan Kartasentana itu ingin segera menyelesaikan pertarungan demi mempertahankan harga diri dan kehormatan. Entah bagaimana hasilnya nanti, entah siapa yang bakal keluar sebagai pemenang, Sarwa Kusuma sudah tak mau ambil peduli.
Di dalam hati, Sarwa Kusuma berharap semoga anak dan istrinya sudah menyingkir sejauh mungkin demi menyelamatkan diri. Namun harapannya ternyata meleset. Ketika mengalihkan pandangan ke arah rumah, sang kepala kampung mendesah resah.
Bramanta ikuti arah pandangan Sarwa Kusuma. Secara kebetulan ia melihat seorang perempuan ayu di ambang pintu, tengah memandang sayu ke arah mereka.
"Oh, istrimu sedang menonton kita rupanya. Apakah kau sudah berpamitan padanya? Jika belum, aku bersedia memberi kesempatan terakhir padamu untuk berbincang dengannya," ucap Bramanta lagi, lebih merupakan sebuah ejekan ketimbang penawaran tulus.
Sarwa Kusuma hanya diam, sama sekali tak berminat menanggapi ocehan Bramanta. Di dalam hati, diam-diam ia menjadi cemas karena ternyata istrinya masih berada di rumah.
Lalu di manakah Wijaya? Mengapa Sita tidak mencarinya? Sarwa Kusuma membatin dengan perasaan sangat risau.
"Ah, sayang sekali ..." Bramanta berkata lagi. "Istrimu yang cantik jelita itu akan segera menjadi randa...."
"Jangan kau coba-coba menyentuhnya sekalipun aku sudah tiada!" tukas Sarwa Kusuma membentak garang.
Bramanta menanggapi gertakan itu dengan bergelak lebih keras. Bahunya sampai-sampai terguncang-guncang akibat kerasnya tawa tersebut.
"Itu larangan yang sangat sulit untuk aku tepati, Sarwa. Jadi ..." Bramanta sengaja hentikan ucapannya untuk menghela napas sejenak, baru kemudian melanjutkan "... aku tidak bisa berjanji padamu soal itu."
"Keparat kau, Bramanta! Seharusnya aku bunuh saja dirimu kala itu!" geram Sarwa Kusuma, lalu melesat ke depan sambil sabetkan pedang di tangannya.
Yang jadi serangan adalah Bramanta. Namun lelaki muda itu sudah punya rencana lain. Alih-alih terus meladeni Sarwa Kusuma, ia malah berkelit dan meninggalkan kalangan pertempuran. Sambil berlalu ia sambil memberi isyarat pada gerombolannya untuk menghadapi sang kepala kampung.
Dua lelaki bersenjata parang besar sontak maju menyambut sabetan pedang Sarwa Kusuma. Dua bilah parang besar berkesiur dengan suara berdesing menggidikkan.
Traaaang!
Bunga api berpendar di udara ketika tiga senjata tajam saling beradu. Sarwa Kusuma yang sudah sangat kepayahan tampak mengernyit kesakitan. Tangannya yang memegang pedang bergetar hebat.
Melihat itu Bramanta kembali tertawa mengejek. Dengan isyarat tangan dan kepala ia membagi lima anggota gerombolannya yang tersisa menjadi dua bagian. Dua orang lagi ia minta turut mengeroyok Sarwa Kusuma, sedangkan yang tiga lainnya ia ajak masuk ke halaman rumah.
Sarwa Kusuma yang kini dikeroyok empat lawan mengerutkan kening melihat Bramanta malah pergi. Lebih-lebih lelaki muda tersebut menyeberangi ambang gapura menuju ke arah rumah. Pikiran sang kepala kampung segera tertuju pada anak dan istrinya.
"Mau ke mana kau, Keparat?!" sentak Sarwa Kusuma, seraya melompat keluar kurungan lawan untuk mengejar Bramanta. "Jangan lari, Pengecut! Hadapi aku!"
Namun empat lelaki pengeroyok langsung menutup gerakan Sarwa Kusuma. Empat parang besar yang menjadi senjata, mereka tebaskan ke arah sang kepala kampung.
Sarwa Kusuma memaki panjang pendek. Mau tak mau ia musti melawan kalau tak ingin kena cincang keempat parang besar yang tengah menderu ke arahnya.
Sementara Bramanta masih saja tertawa. Sebelum menghilang di balik gapura paduraksa, ia berseru keras pada Sarwa Kusuma.
"Aku tidak mau mengotori kedua tanganku ini dengan mencabut nyawa busukmu, Sarwa. Lebih baik aku mencari kesenangan dengan istrimu di dalam sana. Oh, sudah bertahun-tahun aku mengidam-idamkan kesempatan ini. Hahaha...."
"Keparat!" Sarwa Kusuma memaki dan kembali hendak mengejar Bramanta. Akan tetapi empat lawannya terus saja menghalangi. Amarah sang kepala kampung semakin menggelegak dibuatnya.
Pertarungan empat lawan satu itu tak berlangsung lama. Keadaan Sarwa Kusuma yang penuh luka sudah benar-benar parah. Ia kehilangan banyak darah, sehingga tenaganya sudah jauh berkurang.
Sang kepala kampung hanya sanggup menangkis tiga serangan lagi. Pada serangan keempat, pandangannya mengabur dan kepalanya berkunang-kunang. Dadanya serasa mau jebol dengan napas yang seolah hendak putus.
Akibatnya, Sarwa Kusuma tak kuasa mengelak manakala dua lawan mengarahkan parang besar ke sisi tubuhnya kanan-kiri. Sang kepala kampung hanya bisa membeliakkan mata lebar-lebar ketika pangkal lengannya terasa disambar sesuatu yang terasa dingin.
Craaass! Craaasss!
_)|(_
MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..