TERDENGAR jeritan melengking ketika kedua tangan Sarwa Kusuma dibuat putus oleh sambaran parang besar lawan. Namun bukan sang kepala kampung yang menjerit, melainkan istrinya yang tengah bersimpuh setengah gemetar di ambang pintu rumah.
Pada saat bersamaan perempuan itu baru menyadari jika Bramanta dan dua lelaki lain tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika parasnya berubah. Napasnya juga jadi tersengal-sengal, dengan jantung bertalu-talu kencang.
Belum sempat perempuan itu berbuat apa-apa, tahu-tahu saja Bramanta sudah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut mengembangkan seringai lebar, sembari berkacak pinggang.
"B-Bramanta! M-mau apa kau?" desis istri Sarwa Kusuma.
Dengan susah payah Nyi Dukuh coba berdiri. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai pintu. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bramanta.
Sedangkan Bramanta melangkah perlahan ke hadapan perempuan tersebut. Seringainya masih terkembang, tetapi kini tipis saja. Sebelah tangannya lantas terangkat, lalu dengan kurang ajar mengelus-elus pipi istri Sarwa Kusuma yang pucat ketakutan.
"Ah, kau masih secantik dulu, Sita. Sekalipun parasmu sepucat ini dan dibanjiri air mata, pesonamu sungguh tidak berubah sedikit pun," ujar Bramanta lirih, lebih mirip bisikan.
Sita, istri Sarwa Kusuma itu, kian bergeletar sekujur tubuhnya mendengar ucapan Bramanta. Semakin yakinlah perempuan ayu tersebut jika kedatangan Bramanta membekal dendam asmara dari masa lampau.
Getaran tubuh Sita kian menjadi-jadi ketika sudut matanya menangkap kejadian di dekat gapura. Di mana suaminya yang telah buntung tangan kiri-kanan, roboh ke tanah setelah sebelumnya terkena hunjaman parang di dada. Darah membanjiri sekeliling tubuh sang kepala kampung.
"H-hentikan, Bramanta! Kau tidak boleh menyentuhku!" sentak Sita, seraya menepis tangan yang mengelus-elus pipinya.
Bramanta tertawa pendek, lalu berbalik badan untuk melihat pertarungan di depan gapura. Begitu mengetahui Sarwa Kusuma sudah tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat, ia kembali tertawa. Kali ini lebih panjang.
"Suamimu akan segera modar, Sita. Sebentar lagi kau adalah randa, bukan istri siapa-siapa lagi. Jadi, lelaki manapun berhak mendekati dan memilikimu, terutama aku!" ujar Bramanta.
Sita tak mampu berkata-kata untuk menanggapi. Ia hanya berdiri diam, berusaha mengatur napas yang mendadak jadi tak karuan. Sepasang matanya yang sejak tadi berkaca-kaca, tak kuat lagi menahan jatuhnya linangan air mata.
"Oh ..." Bramanta mendesah panjang, lalu mengusap air mata yang membasahi pipi Sita dengan jempol tangan kanan. "Aku datang kemari tidak untuk melihatmu bersedih, Sita. Aku justru berniat menyenangkanmu, aku ingin mengajakmu mereguk kenikmatan bersama...."
"Dengan cara membunuh suamiku?" tukas Sita dengan suara bergetar. Sepasang netranya yang berair menatap tajam tepat pada manik-manik mata Bramanta.
Kembali Bramanta mendesah panjang, pertanda kecewa dengan ucapan Sita barusan.
"Kau lihat sendiri, Sita, bukan aku yang membunuh suamimu. Berhenti menuduhku yang tidak-tidak seperti yang selalu kau dan Sarwa sialan itu lakukan padaku dulu...."
"K-kau bajingan rendah, Bramanta!" maki Sita dengan marah, tetapi kemudian tangisnya pecah. Kali ini air mata perempuan itu lebih deras. "Lebih baik kau bunuh saja aku sekalian!"
"Oh, itu tidak mungkin aku lakukan, Sita." Bramanta menggeleng-gelengkan kepala cepat. "Kau tahu betul, aku sudah sejak lama sangat menginginkanmu. Aku begitu merindukanmu, Sita...."
Bramanta tutup ucapannya dengan satu gerakan tiba-tiba yang sungguh tidak disangka Sita. Sekali gerak saja tubuh mungil perempuan itu sudah berada di atas bahunya.
Sita tentu saja kaget dan ingin memberontak. Akan tetapi tenaganya bahkan terlalu lemah untuk sekadar menggerakkan anggota badan, apatah lagi melakukan perlawanan.
Pikiran Sita yang kacau juga tak mampu membuatnya berpikir jernih. Pada akhirnya, perempuan tersebut hanya bisa menggigit bibir dengan perasaan tak karuan.
Sebelum pergi membawa Sita di bahunya, Bramanta memberi perintah pada tiga anggota gerombolannya yang sedari tadi berdiri di teras rumah.
"Bakar rumah dan seluruh tempat ini sampai rata dengan tanah!"
Tiga lelaki berparang besar serempak mengangguk, lalu sama menyarungkan senjata masing-masing ke dalam warangka di pinggang. Setelah itu mereka menyebar ke beberapa titik bangunan rumah.
Sementara empat lelaki lainnya yang tadi mengeroyok Sarwa Kusuma menyambut Bramanta di ambang gerbang. Mereka berdiri berkacak pinggang, sambil menyeringai begitu mengetahui siapa yang tengah dipanggul lelaki muda itu.
"Akhirnya apa yang kau idam-idamkan bakal kesampaian juga, Bramanta," ujar salah satu dari mereka, sembari memuntir ujung kumisnya yang lebat.
Bramanta hanya menyeringai tipis, lalu memberi perintah tanpa tedeng aling-aling, "Kalian periksa sekeliling tembok, terutama bagian belakang sana. Kalau kalian melihat bocah lelaki, tangkap dia. Basmi siapa saja yang coba-coba melindungi anak kecil itu!"
Keempat lelaki yang diberi perintah saling berpandangan dengan kening berkerut. Mereka tidak mengerti siapa gerangan anak kecil yang dimaksud Bramanta.
"Anak kecil?" ulang lelaki yang berkumis lebat.
Sebetulnya lelaki tersebut dapat langsung menyimpulkan jika anak kecil yang dimaksud Bramanta pastilah putera Ki Dukuh Kartasentana. Namun demikian ia merasa perlu memastikan agar tidak kesalahan bertindak.
"Ya, anak kecil. Usianya kira-kira sembilan atau sepuluh tahun," jawab Bramanta datar. "Sudah, cepat kalian pergi cari dia! Jangan sampai anak itu keburu dibawa jauh dari tempat ini."
Empat lelaki tersebut tidak bertanya lagi. Mereka sama mengangguk, lalu bersicepat menuju kuda masing-masing dan segera menggebah hewan-hewan itu.
"Aku tunggu kalian di tempat biasa!" seru Bramanta sebelum keempat lelaki tadi pergi jauh. Yang diseru hanya mengangguk tanpa menoleh.
Dari arah bangunan rumah, api sudah berkobar-kobar di sudut-sudut yang mudah terbakar. Tak hanya bangunan utama, pendopo hingga lumbung pun tak luput dari upaya pembakaran.
Suara gemeretak kayu dan bambu kering dimakan api terdengar jelas. Sementara tiga lelaki berparang besar menyaksikan semua itu dengan seringai lebar terkembang di wajah.
***
Kembali ke tembok belakang kediaman Ki Dukuh Kartasentana....
Sugatra sudah hendak berlari mengejar Wijaya Kusuma. Namun pengawal setia sang kepala kampung langsung teringat pada Indudewi yang masih bersamanya.
Tidak mungkin Sugtara meninggalkan Indudewi begitu saja. Setidak-tidaknya ia harus mengatakan sesuatu pada bocah perempuan puteri sahabat junjungannya itu.
"Dewi, dengar ..." Sugatra membungkukkan tubuhnya di hadapan Indudewi. "Kau pulanglah ke rumahmu. Katakan pada ayahmu jika rumah Ki Dukuh, rumah Wijaya, diserang orang jahat dan butuh pertolongan. Kau mengerti?"
"Mengerti, Paman." Indudewi langsung mengangguk, sembari melepaskan diri dari cekalan tangan Sugatra.
"Cepat, Dewi!" kata Sugatra lagi.
Begitu Indudewi berlari menjauh ke arah lain menuju rumahnya, Sugatra segera melesat cepat mengejar Wijaya Kusuma. Rahangnya mengeras saat mengetahui bocah lelaki itu sudah hampir tiba di pintu masuk tembok belakang.
"Gusti, jangan!" seru Sugatra, lalu menangkap tubuh Wijaya Kusuma yang sudah mendorong daun pintu tembok belakang. "Gusti tidak boleh masuk ke dalam, berbahaya!"
"Biarkan aku masuk, Paman!" Wijaya Kusuma meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari dekapan erat Sugatra. "Aku mau menolong Ibu, menolong Ayah. Aku tidak mau mereka berdua kepanasan di dalam sana."
"Jangan, Gusti! Sebaiknya kita pergi saja dari sini," sergah Sugatra, lalu bersiap membawa Wijaya Kusuma menjauh.
"Tidak mau! Aku tidak mau pergi! Aku mau menolong Ibu dan Ayah!"
Wijaya Kusuma terus berteriak-teriak, sambil menendang-nendangkan kaki secara serampangan. Secara tak sengaja salah satu tendangannya menghantam kemaluan Sugatra. Membuat si pengawal setia mengerang menahan sakit.
"G-Gusti, tolong dengarkan aku. Gusti tidak boleh masuk ke dalam. Gusti harus segera pergi jauh dari sini," ujar Sugatra lagi, kini dengan nada putus asa.
Sugatra sudah menghitung keadaan. Jika rumah besar ini telah terbakar hebat begini rupa, maka besar kemungkinan para penyerang tadi berhasil mengalahkan seluruh pengawal kediaman Ki Dukuh Kartasentana.
Bahkan bisa jadi Ki Dukuh juga sudah terkalahkan oleh mereka. Itu sebabnya para pengacau dapat dengan leluasa membakar seisi rumah, sehingga apinya sebesar sekarang.
Sayangnya, Sugatra tak dapat memastikan siapa para penyerang itu. Ia tak sempat bertanya pada istri Sarwa Kusuma tadi, sebab harus segera pergi mencari Wijaya Kusuma ke sungai.
Kini, dengan keadaan yang sudah berubah gawat begini, Sugatra tahu ia harus membawa pergi Wijaya Kusuma sejauh mungkin. Jangan sampai keberadaan putera sang kepala kampung diketahui apalagi sampai ditangkap oleh para pengacau.
"Ayo, Gusti, kita harus segera pergi dari sin ... awww!"
Ucapan Sugatra tak tuntas, berganti jerit kesakitan karena tangannya digigit Wijaya Kusuma. Rasanya perih bukan main, membuat paras pengawal itu memerah kelam.
Akan tetapi Sugatra tak menghiraukan rasa sakit itu. Cepat diangkatnya tubuh mungil Wijaya Kusuma. Ia panggul bocah tersebut di bahu, lalu secepat mungkin berlari ke arah jalan setapak menuju sungai tadi.
Malang tak dapat ditolak. Belum jauh Sugatra membawa lari Wijaya Kusuma, terdengar suara derap kaki-kaki kuda mendekati mereka. Kemudian diikuti teriakan-teriakan keras membahana.
"Lihat, itu ada anak kecil! Mungkin dia yang dimaksud Bramanta tadi."
"Jangan biarkan lari! Cepat tangkap anak kecil itu!"
_)|(_
MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..