Share

006 - Dendam Asmara

TERDENGAR jeritan melengking ketika kedua tangan Sarwa Kusuma dibuat putus oleh sambaran parang besar lawan. Namun bukan sang kepala kampung yang menjerit, melainkan istrinya yang tengah bersimpuh setengah gemetar di ambang pintu rumah.

Pada saat bersamaan perempuan itu baru menyadari jika Bramanta dan dua lelaki lain tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika parasnya berubah. Napasnya juga jadi tersengal-sengal, dengan jantung bertalu-talu kencang.

Belum sempat perempuan itu berbuat apa-apa, tahu-tahu saja Bramanta sudah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut mengembangkan seringai lebar, sembari berkacak pinggang.

"B-Bramanta! M-mau apa kau?" desis istri Sarwa Kusuma.

Dengan susah payah Nyi Dukuh coba berdiri. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai pintu. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bramanta.

Sedangkan Bramanta melangkah perlahan ke hadapan perempuan tersebut. Seringainya masih terkembang, tetapi kini tipis saja. Sebelah tangannya lantas terangkat, lalu dengan kurang ajar mengelus-elus pipi istri Sarwa Kusuma yang pucat ketakutan.

"Ah, kau masih secantik dulu, Sita. Sekalipun parasmu sepucat ini dan dibanjiri air mata, pesonamu sungguh tidak berubah sedikit pun," ujar Bramanta lirih, lebih mirip bisikan.

Sita, istri Sarwa Kusuma itu, kian bergeletar sekujur tubuhnya mendengar ucapan Bramanta. Semakin yakinlah perempuan ayu tersebut jika kedatangan Bramanta membekal dendam asmara dari masa lampau.

Getaran tubuh Sita kian menjadi-jadi ketika sudut matanya menangkap kejadian di dekat gapura. Di mana suaminya yang telah buntung tangan kiri-kanan, roboh ke tanah setelah sebelumnya terkena hunjaman parang di dada. Darah membanjiri sekeliling tubuh sang kepala kampung.

"H-hentikan, Bramanta! Kau tidak boleh menyentuhku!" sentak Sita, seraya menepis tangan yang mengelus-elus pipinya.

Bramanta tertawa pendek, lalu berbalik badan untuk melihat pertarungan di depan gapura. Begitu mengetahui Sarwa Kusuma sudah tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat, ia kembali tertawa. Kali ini lebih panjang.

"Suamimu akan segera modar, Sita. Sebentar lagi kau adalah randa, bukan istri siapa-siapa lagi. Jadi, lelaki manapun berhak mendekati dan memilikimu, terutama aku!" ujar Bramanta.

Sita tak mampu berkata-kata untuk menanggapi. Ia hanya berdiri diam, berusaha mengatur napas yang mendadak jadi tak karuan. Sepasang matanya yang sejak tadi berkaca-kaca, tak kuat lagi menahan jatuhnya linangan air mata.

"Oh ..." Bramanta mendesah panjang, lalu mengusap air mata yang membasahi pipi Sita dengan jempol tangan kanan. "Aku datang kemari tidak untuk melihatmu bersedih, Sita. Aku justru berniat menyenangkanmu, aku ingin mengajakmu mereguk kenikmatan bersama...."

"Dengan cara membunuh suamiku?" tukas Sita dengan suara bergetar. Sepasang netranya yang berair menatap tajam tepat pada manik-manik mata Bramanta.

Kembali Bramanta mendesah panjang, pertanda kecewa dengan ucapan Sita barusan.

"Kau lihat sendiri, Sita, bukan aku yang membunuh suamimu. Berhenti menuduhku yang tidak-tidak seperti yang selalu kau dan Sarwa sialan itu lakukan padaku dulu...."

"K-kau bajingan rendah, Bramanta!" maki Sita dengan marah, tetapi kemudian tangisnya pecah. Kali ini air mata perempuan itu lebih deras. "Lebih baik kau bunuh saja aku sekalian!"

"Oh, itu tidak mungkin aku lakukan, Sita." Bramanta menggeleng-gelengkan kepala cepat. "Kau tahu betul, aku sudah sejak lama sangat menginginkanmu. Aku begitu merindukanmu, Sita...."

Bramanta tutup ucapannya dengan satu gerakan tiba-tiba yang sungguh tidak disangka Sita. Sekali gerak saja tubuh mungil perempuan itu sudah berada di atas bahunya.

Sita tentu saja kaget dan ingin memberontak. Akan tetapi tenaganya bahkan terlalu lemah untuk sekadar menggerakkan anggota badan, apatah lagi melakukan perlawanan.

Pikiran Sita yang kacau juga tak mampu membuatnya berpikir jernih. Pada akhirnya, perempuan tersebut hanya bisa menggigit bibir dengan perasaan tak karuan.

Sebelum pergi membawa Sita di bahunya, Bramanta memberi perintah pada tiga anggota gerombolannya yang sedari tadi berdiri di teras rumah.

"Bakar rumah dan seluruh tempat ini sampai rata dengan tanah!"

Tiga lelaki berparang besar serempak mengangguk, lalu sama menyarungkan senjata masing-masing ke dalam warangka di pinggang. Setelah itu mereka menyebar ke beberapa titik bangunan rumah.

Sementara empat lelaki lainnya yang tadi mengeroyok Sarwa Kusuma menyambut Bramanta di ambang gerbang. Mereka berdiri berkacak pinggang, sambil menyeringai begitu mengetahui siapa yang tengah dipanggul lelaki muda itu.

"Akhirnya apa yang kau idam-idamkan bakal kesampaian juga, Bramanta," ujar salah satu dari mereka, sembari memuntir ujung kumisnya yang lebat.

Bramanta hanya menyeringai tipis, lalu memberi perintah tanpa tedeng aling-aling, "Kalian periksa sekeliling tembok, terutama bagian belakang sana. Kalau kalian melihat bocah lelaki, tangkap dia. Basmi siapa saja yang coba-coba melindungi anak kecil itu!"

Keempat lelaki yang diberi perintah saling berpandangan dengan kening berkerut. Mereka tidak mengerti siapa gerangan anak kecil yang dimaksud Bramanta.

"Anak kecil?" ulang lelaki yang berkumis lebat.

Sebetulnya lelaki tersebut dapat langsung menyimpulkan jika anak kecil yang dimaksud Bramanta pastilah putera Ki Dukuh Kartasentana. Namun demikian ia merasa perlu memastikan agar tidak kesalahan bertindak.

"Ya, anak kecil. Usianya kira-kira sembilan atau sepuluh tahun," jawab Bramanta datar. "Sudah, cepat kalian pergi cari dia! Jangan sampai anak itu keburu dibawa jauh dari tempat ini."

Empat lelaki tersebut tidak bertanya lagi. Mereka sama mengangguk, lalu bersicepat menuju kuda masing-masing dan segera menggebah hewan-hewan itu.

"Aku tunggu kalian di tempat biasa!" seru Bramanta sebelum keempat lelaki tadi pergi jauh. Yang diseru hanya mengangguk tanpa menoleh.

Dari arah bangunan rumah, api sudah berkobar-kobar di sudut-sudut yang mudah terbakar. Tak hanya bangunan utama, pendopo hingga lumbung pun tak luput dari upaya pembakaran.

Suara gemeretak kayu dan bambu kering dimakan api terdengar jelas. Sementara tiga lelaki berparang besar menyaksikan semua itu dengan seringai lebar terkembang di wajah.

***

Kembali ke tembok belakang kediaman Ki Dukuh Kartasentana....

Sugatra sudah hendak berlari mengejar Wijaya Kusuma. Namun pengawal setia sang kepala kampung langsung teringat pada Indudewi yang masih bersamanya.

Tidak mungkin Sugtara meninggalkan Indudewi begitu saja. Setidak-tidaknya ia harus mengatakan sesuatu pada bocah perempuan puteri sahabat junjungannya itu. 

"Dewi, dengar ..." Sugatra membungkukkan tubuhnya di hadapan Indudewi. "Kau pulanglah ke rumahmu. Katakan pada ayahmu jika rumah Ki Dukuh, rumah Wijaya, diserang orang jahat dan butuh pertolongan. Kau mengerti?"

"Mengerti, Paman." Indudewi langsung mengangguk, sembari melepaskan diri dari cekalan tangan Sugatra.

"Cepat, Dewi!" kata Sugatra lagi.

Begitu Indudewi berlari menjauh ke arah lain menuju rumahnya, Sugatra segera melesat cepat mengejar Wijaya Kusuma. Rahangnya mengeras saat mengetahui bocah lelaki itu sudah hampir tiba di pintu masuk tembok belakang.

"Gusti, jangan!" seru Sugatra, lalu menangkap tubuh Wijaya Kusuma yang sudah mendorong daun pintu tembok belakang. "Gusti tidak boleh masuk ke dalam, berbahaya!"

"Biarkan aku masuk, Paman!" Wijaya Kusuma meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari dekapan erat Sugatra. "Aku mau menolong Ibu, menolong Ayah. Aku tidak mau mereka berdua kepanasan di dalam sana."

"Jangan, Gusti! Sebaiknya kita pergi saja dari sini," sergah Sugatra, lalu bersiap membawa Wijaya Kusuma menjauh.

"Tidak mau! Aku tidak mau pergi! Aku mau menolong Ibu dan Ayah!"

Wijaya Kusuma terus berteriak-teriak, sambil menendang-nendangkan kaki secara serampangan. Secara tak sengaja salah satu tendangannya menghantam kemaluan Sugatra. Membuat si pengawal setia mengerang menahan sakit.

"G-Gusti, tolong dengarkan aku. Gusti tidak boleh masuk ke dalam. Gusti harus segera pergi jauh dari sini," ujar Sugatra lagi, kini dengan nada putus asa.

Sugatra sudah menghitung keadaan. Jika rumah besar ini telah terbakar hebat begini rupa, maka besar kemungkinan para penyerang tadi berhasil mengalahkan seluruh pengawal kediaman Ki Dukuh Kartasentana.

Bahkan bisa jadi Ki Dukuh juga sudah terkalahkan oleh mereka. Itu sebabnya para pengacau dapat dengan leluasa membakar seisi rumah, sehingga apinya sebesar sekarang.

Sayangnya, Sugatra tak dapat memastikan siapa para penyerang itu. Ia tak sempat bertanya pada istri Sarwa Kusuma tadi, sebab harus segera pergi mencari Wijaya Kusuma ke sungai.

Kini, dengan keadaan yang sudah berubah gawat begini, Sugatra tahu ia harus membawa pergi Wijaya Kusuma sejauh mungkin. Jangan sampai keberadaan putera sang kepala kampung diketahui apalagi sampai ditangkap oleh para pengacau.

"Ayo, Gusti, kita harus segera pergi dari sin ... awww!"

Ucapan Sugatra tak tuntas, berganti jerit kesakitan karena tangannya digigit Wijaya Kusuma. Rasanya perih bukan main, membuat paras pengawal itu memerah kelam.

Akan tetapi Sugatra tak menghiraukan rasa sakit itu. Cepat diangkatnya tubuh mungil Wijaya Kusuma. Ia panggul bocah tersebut di bahu, lalu secepat mungkin berlari ke arah jalan setapak menuju sungai tadi.

Malang tak dapat ditolak. Belum jauh Sugatra membawa lari Wijaya Kusuma, terdengar suara derap kaki-kaki kuda mendekati mereka. Kemudian diikuti teriakan-teriakan keras membahana.

"Lihat, itu ada anak kecil! Mungkin dia yang dimaksud Bramanta tadi."

"Jangan biarkan lari! Cepat tangkap anak kecil itu!"

_)|(_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status