"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya.
"Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara.
"Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi.
"Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya...."
"Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.
Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi.
"Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
PADUKUHAN Kartasentana terletak di ujung wanua Sangguran. Berbatasan langsung dengan hutan belantara lebat di lereng timur Gunung Kawi. Sehampar luas sawah nan hijau memisahkan pemukiman terpencil itu dari kampung-kampung lain. Menjelang sore itu, suasana hening dipecah oleh suara ringkik kuda bercampur derap puluhan ladam. Tak kurang dari 13 lelaki berkuda melintas cepat di atas jalan tanah yang membelah hamparan sawah menuju kawasan pemukiman. Debu tebal membumbung tinggi di udara, mengiringi laju kaki-kaki kuda. Beberapa warga padukuhan yang sedang berada di sawah sontak menghentikan pekerjaan. Mereka sama memandang ke jurusan rombongan berkuda dengan penuh rasa penasaran. "Siapa mereka? Mau ke mana?" tanya salah satu pemuda pada teman di sebelahnya. "Aku tidak tahu," sahut temannya cepat, lalu balik bertanya, "Memangnya kenapa?" "Sebaiknya kita ikuti saja mereka. Aku punya firasat tidak enak. Mereka tampaknya bukan orang baik-baik," jawab pemuda pertama. Dengan setengah berla
MENDAPAT serangan begitu rupa, selusin lelaki penyerang yang memang sudah bersiaga langsung mencabut senjata masing-masing. Diiringi bentakan-bentakan keras, mereka ayunkan parang lebar di tangan untuk menangkis sabetan para penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana. Trang! Trang! Suara berdentrangan keras terdengar, memecah keheningan senja manakala 20 mata senjata saling beradu. Serangan para pengawal Ki Dukuh Kartasentana gagal menemui sasaran. Sambil menggerendeng marah, delapan pengawal tersebut kembali sabetkan golok di tangan ke arah musuh. Kali ini serangan dilakukan dari jarak lebih dekat. Tak mungkin rasanya kalau sampai luput. Sring! Sring! Selusin lelaki penyerang mendengus kasar, lalu dengan serentak pelintangkan parang besar ke depan dada masing-masing. Traaaaaang! Sekali lagi suara berdentrangan terdengar keras membelah udara. Tak mau terus-terusan ditekan, selusin lelaki penyerang coba mengambil alih kendali pertarungan. Usai melakukan tangkisan tadi, parang besarm
"B-BAIK, Kang, aku mengerti," jawab istri Sarwa Kusuma, meski dengan perasaan semakin tidak enak.Andai saja bisa, ingin rasanya perempuan itu mencegah tindakan Sarwa Kusuma. Namun ia paham sekali bagaimana watak suaminya. Sekali berkata akan maju, pantang bagi sang kepala kampung untuk mundur.Sementara Sarwa Kusuma meraih sebilah pedang panjang dalam warangka yang tergantung di dinding ruangan. Itulah senjata andalannya sebagai kepala padukuhan Kartasentana.Sambil menenteng pedang di tangan kanan, lelaki berwajah cakap itu melangkah keluar dengan gagah. Terdengar dengusan kesal dari mulutnya yang lantas menggerutu."Huh, Bramanta keparat itu benar-benar minta dikuliti sampai modar!" desis Sarwa Kusuma dengan geram.Kepala padukuhan itu yakin betul tamunya tersebut membawa niat keji kali ini. Bukan sekadar melakukan pembalasan atas pertikaian yang terjadi di antara mereka beberapa pekan lalu.Lebih dari itu, Sarwa Kusuma sangat paham jika Bramanta masih memendam rasa penasaran denga
SUNGAI yang menjadi tujuan Sugatra sebetulnya tidaklah terlalu jauh. Namun karena benak pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu diselubungi kecemasan, langkah kakinya menjadi kacau balau.Berkali-kali kaki Sugatra tersangkut akar pepohonan yang menjalar di permukaan tanah. Sesekali juga tersandung tonjolan batu sehingga membuatnya nyaris jatuh. Akibatnya, jarak yang sebenarnya dekat jadi lebih lama dicapai.Belum lagi setiap beberapa langkah Sugatra berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ia merasa perlu mengamati rumah besar milik junjungannya yang tengah disatroni segerombolan penyerang entah dari mana."Gusti Sang Hyang Tunggal, mohon lindungi Ki Dukuh dan Nyi Dukuh," desis Sugatra setiap kali melihat ke belakang. Setelah menarik napas berat, barulah ia kembali melanjutkan langkah.Sambil berlari Sugatra sambil menebak-nebak. Siapakah kiranya para penyerang yang tengah menyatroni kediaman Ki Dukuh Kartasentana? Sekelebat dugaan melintas di kepalanya."Jangan-jangan ... " Sugat
APA yang terjadi pada Sarwa Kusuma dan seisi rumah sang kepala kampung? Mengapa kediaman besarnya tahu-tahu saja sudah terbakar hebat sekembali Sugatra mencari Wijaya Kusuma di sungai?Mari kita kembali sejenak ke peristiwa sebelumnya. Tepatnya ketika Sugatra pergi ke sungai untuk mencari Wijaya Kusuma, seperti diperintahkan oleh istri Sarwa Kusuma.Sementara pengawal setianya berlari secepat kilat ke arah sungai di belakang, istri Sarwa Kusuma kembali ke bagian depan rumah. Perempuan itu merasa cemas dengan keadaan suaminya yang memilih mendatangi gerombolan penyerang.Oh, Gusti Sang Hyang Agung, semoga saja Kakang Sarwa tidak kenapa-kenapa, batin istri Sarwa Kusuma dengan penuh harap. Namun entah kenapa perasaanku tidak enak begini. Entah firasat apa ini sebenarnya.Tiba di ruang depan, dari mana ia dapat melihat langsung ke gapura penjagaan tempat terjadinya perkelahian, istri Sarwa Kusuma sontak tertegun. Sepasang matanya membesar, dengan sepasang tangan menutupi mulut yang mengan