SUNGAI yang menjadi tujuan Sugatra sebetulnya tidaklah terlalu jauh. Namun karena benak pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu diselubungi kecemasan, langkah kakinya menjadi kacau balau.
Berkali-kali kaki Sugatra tersangkut akar pepohonan yang menjalar di permukaan tanah. Sesekali juga tersandung tonjolan batu sehingga membuatnya nyaris jatuh. Akibatnya, jarak yang sebenarnya dekat jadi lebih lama dicapai.
Belum lagi setiap beberapa langkah Sugatra berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ia merasa perlu mengamati rumah besar milik junjungannya yang tengah disatroni segerombolan penyerang entah dari mana.
"Gusti Sang Hyang Tunggal, mohon lindungi Ki Dukuh dan Nyi Dukuh," desis Sugatra setiap kali melihat ke belakang. Setelah menarik napas berat, barulah ia kembali melanjutkan langkah.
Sambil berlari Sugatra sambil menebak-nebak. Siapakah kiranya para penyerang yang tengah menyatroni kediaman Ki Dukuh Kartasentana? Sekelebat dugaan melintas di kepalanya.
"Jangan-jangan ... " Sugatra teringat kejadian beberapa pekan lalu. Sebuah kejadian berdarah yang membuat Sarwa Kusuma sangat murka.
"Apakah mereka datang bersama kaki tangan Gusti Raka i Waharu bernama Bramanta itu? Kuat dugaanku memang dia, sebab orang itu pasti memendam dendam kesumat atas apa yang telah dilakukan Ki Dukuh padanya ketika itu," imbuh Sugatra lagi.
Sugatra menjadi saksi mata kejadian berdarah tersebut. Di mana Bramanta datang membawa empat orang bersenjata. Entah bagaimana asal mulanya, terjadi keributan di antara Sarwa Kusuma dan para tamunya.
Pecah perkelahian. Sarwa Kusuma menghajar Bramanta. Sedangkan Sugatra bersama beberapa pengawal lain menghadapi empat orang yang dibawa Bramanta.
Lima tamu itu akhirnya pergi setelah dibuat babak belur oleh tuan rumah. Sebelum meninggalkan kediaman sang kepala kampung, Bramanta sempat meneriakkan ancaman terhadap Sarwa Kusuma.
"Ya, aku yakin sekali Bramanta yang punya ulah. Dia pasti hendak membalas perbuatan Ki Dukuh waktu itu," gumam Sugatra lagi, dengan wajah berubah tegang. "Ini gawat! Benar-benar gawat!"
Dugaan itu membuat Sugatra mempercepat langkah. Suara gemericik aliran air sungai sudah terdengar oleh pendengarannya. Lamat-lamat ada pula suara anak kecil bercakap-cakap diselingi tawa riang.
Setibanya di sungai, Sugatra lega menyaksikan sepasang bocah lelaki-perempuan tengah asyik bermain. Bukan mencari capung seperti yang dijadikan alasan padanya tadi, tetapi mereka tengah berbasah-basahan di tepi sungai.
Kedua bocah itu, masing-masing berusia 9 dan 8 tahun, tampak tertawa cekikikan sambil menciprat-cipratkan air sungai pada yang lain. Sekujur tubuh mereka, termasuk pakaian yang melekat di badan, sudah basah sekuyup-kuyupnya.
"Gusti!" seru Sugatra begitu kakinya menginjak undak-undakan tanah di tubir sungai. Tubuh lelaki itu seolah melayang ke arah kedua bocah tadi.
Dua bocah di tepi sungai sontak hentikan gerakan masing-masing. Keduanya lantas menoleh ke arah Sugatra yang sudah berdiri di dekat mereka.
"Gusti ..." Sugatra berusaha keras menata napasnya yang terengah-engah. "Gusti harus pulang sekarang juga!"
Yang dipanggil Gusti adalah si bocah lelaki berusia 9 tahun. Dialah Wijaya Kusuma, putera tunggal Sarwa Kusuma sang kepala kampung Kartasentana. Anak itu seketika pasang wajah cemberut begitu mendengar ucapan Sugatra tadi.
"Tapi aku dan Dewi belum mencari capung, Paman," sahut Wijaya Kusuma kemudian, terang-terangan menolak ajakan pulang Sugatara.
"Iya, Paman Sugatra, kami baru bermain-main air sebentar di sini," imbuh Indudewi, bocah perempuan berusia 8 tahun teman sepermainan Wijaya Kusuma.
Sugatra jadi garuk-garuk kepala mendengar tanggapan kedua bocah tersebut. Ia mengempaskan napas yang seolah mengganjal dada, sembari berpikir alasan apa yang harus ia sampaikan pada kedua bocah ini agar mau segera pulang.
Tidak mungkin Sugatra dengan jujur mengatakan apa yang sedang terjadi di rumah junjungannya. Ia tak mau membuat Wijaya Kusuma mencemaskan kedua orang tuanya atau bahkan malah jadi ketakutan.
"Gusti, sebentar lagi malam tiba. Apakah Gusti, juga kau Dewi, tidak melihat sang baskara sudah bersiap-siap tenggelam di kaki langit sana?" ujar Sugatra, seraya menunjuk ke arah barat.
Wijaya Kusuma dan Indudewi serempak menengadahkan kepala. Keduanya menatap kaki langit sebelah barat yang memang telah dipenuhi semburat-semburat jingga, pertanda matahari sebentar lagi terbenam.
"Ayo, sebaiknya kita pulang sekarang," ujar Sugatra lagi, sambil mengulurkan tangan pada kedua bocah di hadapannya.
Wijaya Kusuma seketika memasang tampang cemberut. "Tapi, Paman...."
"Gusti, ini perintah ayah dan ibumu," tukas Sugatra. Kali ini ia tidak berbohong, meski tidak pula menyampaikan apa yang sebenarnya. "Ki Dukuh dan Nyi Dukuh ingin Gusti berada di rumah sebelum gelap. Ayo, kita harus pulang sekarang!"
Kali ini Indudewi ikut memasang muka cemberut. Meski demikian bersama-sama Wijaya Kusuma gadis kecil itu tetap diam pada tempatnya.
Tahulah Sugatra sepasang bocah ini sama sekali tidak ada niat untuk beranjak dan menuruti ajakannya tadi. Ajakan yang sebetulnya adalah sebuah perintah dalam keadaan gawat darurat.
"Gusti ..." Sugatra kembali mengingatkan dengan halus.
"Huh!" Wijaya Kusuma mendengus tak senang, sembari menatap Sugatra dengan sorot mata sengit. Setelah mengentakkan sebelah kakinya ke batu sungai, bocah lelaki itu melangkah malas-malasan mendekati Sugatra.
"Paman Sugatra tidak asyik!" timpal Indudewi, meski kemudian mengikuti langkah Wijaya Kusuma. Wajahnya masih cemberut.
Sugatra tak mau ambil peduli dengan kekesalan dua bocah tersebut. Cepat ia gandeng tangan-tangan mungil mereka, lalu mengajak naik ke undak-undakan tanah menuju jalan setapak di bagian atas tubir sungai.
Sambil mengikuti langkah buru-buru Sugatra menuju rumah, baik Wijaya Kusuma maupun Indudewi sama-sama diam. Keduanya terus memasang wajah cemberut, sembari sesekali melirik kesal pada Sugatra.
Yang jadi pusat kekesalan kedua bocah juga hanya diam. Namun wajahnya tegang, pertanda tengah terjadi kecamuk di dalam benaknya. Sugatra memang diam-diam sedang mengkhawatirkan keadaan junjungannya.
Jika memang yang datang mengacau kali ini adalah Bramanta, semoga saja Ki Dukuh bisa mengatasi mereka seperti beberapa waktu lalu, batin Sugatra dalam kecemasan. Akan tetapi jumlah mereka sepertinya jauh lebih banyak dibandingkan waktu itu. Aku jadi khawatir....
Tadi, memandang sekilas saja Sugatra langsung tahu jika gerombolan penyerang berjumlah lebih banyak. Sebagai salah satu pengawal kawakan, ia juga tahu persis seberapa besar kekuatan pengawalan di rumah Ki Dukuh Kartasentana.
Karena itu, Sugatra dapat mengukur setinggi apa kemampuan rekan-rekannya sesama pengawal. Jika dihadapkan dengan penyerang yang berjumlah banyak, ditambah lagi jika kemampuan para penyerang sedikit lebih tinggi, bisa habislah mereka semua.
Inilah yang menjadi pangkal kekhawatiran Sugatra. Membuatnya terus mengunci mulut sepanjang perjalanan, sedangkan parasnya terlihat benar-benar tegang.
"Paman, asap apa itu? Sepertinya ada kebakaran di sana," ujar Wijaya Kusuma tiba-tiba.
Sugatra yang pikirannya tengah menerawang ke mana-mana mencemaskan segala sesuatu, sontak tergeragap. Perhatiannya seketika teralih ke depan.
Benar kata Wijaya Kusuma, di depan sana terlihat segulung asap tebal nan hitam yang membumbung tinggi ke angkasa. Ketika kemudian pandangannya menelusuri arah asal munculnya asap tersebut, napas Sugatra seolah putus.
"Jagat dewa bhatara!" desis Sugatra dengan wajah berubah pias. Langkahnya langsung terhenti seketika. Pikirannya bertambah tidak enak saja.
Wijaya Kusuma dan Indudewi ikut berhenti pula. Dua bocah itu saling pandang dengan raut muka keheranan, tetapi juga tampak sekali merasa penasaran.
"Wijaya, sepertinya rumahmu yang kebakaran," timpal Indudewi, seraya menunjuk ke arah asal kepulan asap. "Lihatlah, Wijaya, itu memang rumahmu!"
Tubuh Sugatra bergetar mendengar ocehan bocah perempuan itu. Sepasang matanya nanar menyaksikan sebuah rumah besar yang dari tempatnya berdiri tampak tengah diselubungi api berkobar-kobar.
Itu rumah yang sangat Sugatra kenali. Rumah kediaman Ki Dukuh Kartasentana!
"Wijaya, kau mau kemana?"
Teriakan nyaring Indudewi menyentak lamunan Sugatra. Lebih-lebih ketika ia merasakan tangan Wijaya Kusuma lepas dari genggamannya. Bocah lelaki itu langsung berlari kencang menuju rumah yang terbakar.
"Gusti, berhenti! Jangan ke sana!"
_)|(_
APA yang terjadi pada Sarwa Kusuma dan seisi rumah sang kepala kampung? Mengapa kediaman besarnya tahu-tahu saja sudah terbakar hebat sekembali Sugatra mencari Wijaya Kusuma di sungai?Mari kita kembali sejenak ke peristiwa sebelumnya. Tepatnya ketika Sugatra pergi ke sungai untuk mencari Wijaya Kusuma, seperti diperintahkan oleh istri Sarwa Kusuma.Sementara pengawal setianya berlari secepat kilat ke arah sungai di belakang, istri Sarwa Kusuma kembali ke bagian depan rumah. Perempuan itu merasa cemas dengan keadaan suaminya yang memilih mendatangi gerombolan penyerang.Oh, Gusti Sang Hyang Agung, semoga saja Kakang Sarwa tidak kenapa-kenapa, batin istri Sarwa Kusuma dengan penuh harap. Namun entah kenapa perasaanku tidak enak begini. Entah firasat apa ini sebenarnya.Tiba di ruang depan, dari mana ia dapat melihat langsung ke gapura penjagaan tempat terjadinya perkelahian, istri Sarwa Kusuma sontak tertegun. Sepasang matanya membesar, dengan sepasang tangan menutupi mulut yang mengan
TERDENGAR jeritan melengking ketika kedua tangan Sarwa Kusuma dibuat putus oleh sambaran parang besar lawan. Namun bukan sang kepala kampung yang menjerit, melainkan istrinya yang tengah bersimpuh setengah gemetar di ambang pintu rumah.Pada saat bersamaan perempuan itu baru menyadari jika Bramanta dan dua lelaki lain tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika parasnya berubah. Napasnya juga jadi tersengal-sengal, dengan jantung bertalu-talu kencang.Belum sempat perempuan itu berbuat apa-apa, tahu-tahu saja Bramanta sudah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut mengembangkan seringai lebar, sembari berkacak pinggang."B-Bramanta! M-mau apa kau?" desis istri Sarwa Kusuma.Dengan susah payah Nyi Dukuh coba berdiri. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai pintu. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bramanta.Sedangkan Bramanta melangkah perlahan ke hadapan perempuan tersebut. Seringainya masih terkembang, tetapi kini tipis saja. Sebelah tangannya lantas terangkat, lalu dengan kuran
"HEI, berhenti kalian!"Sugatra tentu saja tak mau menuruti seruan tersebut. Alih-alih, ia menggenjot larinya lebih kencang lagi agar lepas dari tempelan empat lelaki berkuda yang melihat keberadaannya bersama Wijaya Kusuma."Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.Sayang, niat Sugatra tak diimbangi oleh Wijaya Kusuma. Anak kecil itu terus meronta-ronta minta diturunkan karena ingin melihat ayah dan ibunya di dalam rumah. Polah yang membuat Sugatra tak dapat lari sekencang yang ia inginkan.Sementara suara derap kaki-kaki kuda semakin keras terdengar dari arah belakang keduanya. Pertanda empat anggota gerombolan yang mengejar mereka bertambah dekat jaraknya."Turunkan aku, Paman! Aku mau masuk rumah! Aku ingin tahu keadaan Ayah dan Ibu!" jerit Wijaya Kusuma tanpa henti. Bocah itu terus meronta-ronta tak karuan."Jangan, Gusti. Saya mohon ..." Sugatra terdengar panik sendiri. "Kita harus segera pergi jauh dari sini. Keadaannya sangat berbahaya...."Wi
WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya."Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirann
"GUSTI, harap ampuni saya!" seru Sugatra begitu tubuhnya membentur tanah keras. Ia segera menyadari jika kelalaiannya dapat mencelakakan Wijaya Kusuma.Sementara Wijaya Kusuma yang terlempar dari panggulan Sugatra menjerit kaget dan mengaduh. Untung saja tubuh bocah itu jatuh di atas rerumputan nan empuk.Mengabaikan rasa sakitnya sendiri, Sugatra buru-buru bangkit dan menghampiri Wijaya Kusuma. Namun belum sempat ia menanyakan keadaan putera junjungannya itu, di sekeliling mereka telah berdiri empat lelaki."Ah, akhirnya dapat juga kami mengejar kalian," ujar salah satu lelaki, lalu tertawa mengekeh."Jangan harap kalian bisa lari lagi dari kamu," timpal lelaki yang berkumis lebat pula.Berubah paras Sugatra mengetahui keadaan. Secara naluriah ia segera memeluk Wijaya Kusuma, bermaksud melindungi bocah tersebut dari ancaman.Tanpa Sugatra sadari, sikapnya itu justru memancing ketertarikan keempat lelaki pengejar. Kecurigaan mereka bertambah besar terhadap siapa yang tengah dilindungi
"PAMAN Sugatra, awas serangan! Cepat menghindar!" seru Wijaya Kusuma melihat pengawalnya terdesak hebat.Namun Sugatra tak dapat lagi menghindar. Tendangan lawan mendarat telak di pangkal lehernya, membuat pengawal setia Ki Dukuh Kartasentan itu mengeluh tinggi.Tubuh Sugatra mencelat beberapa langkah ke belakang, menandakan jika tendangan lawan tadi dikerahkan dengan banyak tenaga. Susah payah ia menyeimbangkan diri agak tidak terjatuh duduk saat mendarat.Namun belum sempat Sugatra mengambil napas, satu serangan lagi sudah menghantamnya. Kali ini lawan kedua menggedor dadanya dengan satu sikutan keras.Kembali terdengar keluhan tertahan dari mulut Sugatra. Sekarang ia sudah tak dapat lagi menahan keseimbangan. Setelah terjajar dan terhuyung-huyung beberapa saat, tubuhnya rebah ke tanah."K-keparat!" geram Sugatra dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya sesak bukan main. Seakan-akan tengah ditindih sebongkah batu sebesar gajah.Ketika ia hendak menarik napas panjang untuk melong
"SIAL dangkalan! Ke mana perginya bocah itu?"Palguna menggeram kesal, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan mata membelalak lebar. Tiga temannya yang tak kalah kaget juga melakukan hal sama.Sorot maya empat lelaki tersebut sama tajam mencorong, berusaha menyibak kegelapan yang mulai pekat. Namun ada pula bias kebingungan bercampur sedikit ketakutan yang coba mereka sembunyikan kuat-kuat.Wajar saja mereka berempat merasa takut. Pasalnya, siapapun yang bergerak menyambar Palguna tadi pastilah seorang berkemampuan sangat tinggi.Buktinya, dalam satu kelebatan yang rasa-rasanya hanya sekedipan mata, orang itu bisa merebut Wijaya Kusuma dari panggulan Palguna. Bahkan tanpa lelaki tersebut merasakan apa-apa saat terjadi!"A-apa kalian melihat orang itu?" tanya Palguna kemudian, setelah memandang berkeliling tetapi tak menemukan manusia lain kecuali mereka berempat."Orang atau sebangsa dedemit hutan?" Salah satu teman Palguna malah balik bertanya. Wajahnya terlihat tegang den
"JEBOL dadamu!" geram Palguna dengan sangat percaya diri. Namun lelaki berkumis lebat itu kecele. Tusukan parangnya hanya mengenai angin hampa. Dalam satu gerakan yang nyaris tak terlihat mata, si lelaki tua kerempeng ternyata sudah terlebih dulu bergeser satu jengkal ke samping. Cukup satu jengkal saja dan serangan Palguna gagal dibuatnya. Belum habis kekagetan Palguna, lelaki tua kerempeng melakukan gerakan susulan. Tangan kirinya yang menekuk diangkat, lalu dipakai untuk mengempit parang besar yang masih mengacung di udara. Kelihatannya hanya sebuah kempitan biasa saja. Akan tetapi dari ketiak itu kemudian terdengar suara besi patah nan nyaring. Triiiiing! Ketika si lelaki tua kerempeng membuka kempitan, sebentuk potongan besi meluncur jatuh ke bawah. Benda itu baru berhenti ketika menancap di tanah dalam keadaan berdiri. Tiga teman Palguna mengikuti arah jatuhnya potongan besi. Mereka terkesiap saat mengetahui benda tersebut tak lain adalah separuh bagian parang besar milik