Home / Pendekar / Pendekar Kembara Semesta Seri 2 / Gagal Menumpas Pengacau

Share

Gagal Menumpas Pengacau

last update Last Updated: 2022-04-28 12:12:06

Secara cepat Tunggulsaka bersalto melompati tubuh Olengpati. Kedua kaki Tunggulsaka menapak tepat di belakang Olengpati. Dengan gerak cepat pula, pedang Tunggulsaka tersebut menempel di leher Olengpati. Pedang menyilang di depan leher Olengpati. Tubuh Tunggulsaka berada di belakang pimpinan perampok itu. Gerakan kecil saja dari pedang di tangan Tunggulsaka bisa berakibat sangat buruk  bagi Olengpati!

”Suruh anak buahmu mundur dan meninggalkan hutan ini!” perintah Tunggulsaka dengan nada lirih dan dingin. ”Kalau tidak mau menyuruh mereka mundur, kepalamu akan berada di telapak kakimu! Setelah itu, seluruh anggota gerombolan perampok itu akan kutumpas dengan pedangku, sendirian!”

Kali ini Tunggulsaka benar-benar berada di atas angin. Bukan sekadar terlihat seperti berada di atas angin. Namun benar-benar memegang kendali pertarungan. Tunggulsaka, senapati andalan Kerajaan Karangtirta mempunyai dua kemenangan. Kemenangan pertama, dia menang untuk memenggal kepala Olengpati kalau pimpinan perampok itu tidak mau memundurkan anak buahnya. Kemenangan kedua, kalau dia telah membunuh Olengpati, maka dengan pedangnya, seluruh gerombolan perampok bisa dia tumpas habis.

“Aku tidak membual atau omong kosong, Olengpati,” kata Tunggulsaka lirih dekat telinga sang pimpinan gerombolan perampok yang meresahkan rakyat. “Tadi aku tidak bisa membantai ana buahmu karena aku harus sibuk bertarung melawanmu. Kalau kamu sudah mati, seberapa pun banyak nak buahmu, bisa kubinasakan. Dengan dibantu sisa-sisa para prajuritku, pemusnahan anak buahmu akan lebih cepat.”

Olengpati terdiam selama beberapa saat. Sebagai seorang kesatria, tentu dia tidak mudah menyerah terhadap tekanan musuh. Mestinya dirinya lebih memilih mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu.

Dalam konteks kekesatriaan, harga diri adalah nyawa. Nyawa adalah harga diri. Seseorang sudah tidak layak disebut kesatria ketika dirinya tidak berani menempuh resiko terberat dalam peperangan, yakni kehilangan nyawa.

Petarung, prajurit, atau pun pendekar yang telah kehilangan jiwa kesatria maka sudah tidak ada harga diri lagi. Diri tidak harga. Pribadi tidak punya harga diri lagi. Manakala tidak ada harga diri sama saja harganya dengan orang yang tak berjiwa, orang yang tak bernyawa.

”Hei, rupanya kamu licik juga, Senapati Tunggulsaka!” ejek Olengpati dengan perasaan kesal. Kesal karena dirinya terpojokkan dalam situasi sulit. Situasi yang memaksa dirinya untuk memilih dua hal yang sama-sama beresiko. Pilihan pertama, menyerah, maka dirinya akan tetap hidup. Namun kalau dirinya menyerah, maka wibawanya sebagai pimpinan perampok, akan hilang. Bisa saja nanti anak buahnya sudah menaruh kepercayaan lagi padanya. Atau setidaknya kurang percaya lagi pada Olengpati. Pilihan kedua, dirinya melawan, akibatnya bisa fatal. Dirinya bisa mati karena terkeana goresan pedang lawan pada lehernya.

“Liciknya di mana?” tanya Tunggulsaka. “Bukankah caramu menjebak kami di hutan ini lebih licik dari yang sedang kulakukan sekarang?”

“Hemmm…, apa kamu kira aku takut dengan ancaman ini?” lanjut Olengpati dalam bentuk pertanyaan. “Kamu menyangka aku takut lalu menyerah begitu saja?”

Rupanya Olengpati masih melakukan gertak sambal dalam situasi seperti ini. Batin Tunggulsaka. Dalam keadaan hampir mati saja masih berani-beraninya menggertak. Kalau aku tega, sudah kupenggal leher pembuat onar di Kerajaan Karangtirta ini!

”Kuhitung sampai tiga,” pada akhirnya Tunggulsaka mengambil sikap tegas. “Kalau anak buahmu belum meninggakan tempat ini, kamu akan mampus sekarang juga!”

Olengpati mengamati anak buahnya yang masih siaga dengan senjata masing-masing. Dia menunggu perintah dari Olengpati. Apa saja yang diperintahkan Olengpati, akan dilakukan secara bersama-sama.

Selama beberapa saat suasana senyap. Semua diam. Semua saling menunggu. Olengpati menunggu Tunggulsaka menghitung sampai tiga hitungan, Tunggulsaka menunggu keputusan Olengpati. Tunggulsaka menginginkan Olengpati mengikuti keinginannya dari pada mati secara nista.

Tiba-tiba Olengpati mengangguk kepada anak buahnya. Itu merupakan perintah melalui isyarat. Anak buah Olengpati menangkap maksud Olengpati. Dalam sekejapan mata, seluruh gerombolan Olengpati berkelebat cepat meninggalkan arel pertempuran. Mereka lenyap masuk ke hutan Rukem. Lenyap tanpa jejak sedikit pun.

“Bagus karena kamu mengikuti keinginanku,” kata Tunggulsaka sambil melepaskan ancamannya. Dia berjalan memutari Olengpati dari sisi kanan lalu berhenti di depan Olengpati. Mereka berdiri berhadapan.

”Para prajurit Karangtirta, cepat tinggalkan tempat ini!” perintah Tunggulsaka. ”Kita kembali ke istana! Ini tempat kita.”

Serentak pasukan yang tersisa kembali ke Kerajaan Karangtirta. Mereka bergegas meninggalkan belantara setelah terlepas dari bahaya.

Setelah semua prajurit meninggalkan areal, tinggal Tunggulsaka dan Olengpati yang berdiri berhadap-hadapan.

“Olengpati…, sebaiknya kamu urungan niatmu bersama para pemberontak itu untuk merebut tahta dari Raja Tiyasa!” bujuk Tunggulsaka dengan nada penuh wibawa. “Sehebat apa pun kalian, kami sebagai abdi Kerajaan Karangtirta tidak akan tinggal diam. Kami akan sekuat tenaga bahu-membahu menghadapi kalian, para pemberontak.”

“Niat kami ingin menurunkan Raja Tiyasa bukan sekedar ingin mendapatkankekuasaan semata,” Olengpati memberikan alasan. “Tapi ada alasan lain yang lebih utama.”

“Alasan apa?”

“Raja Tiyasa tidak becus menjadi pemimpin.”

“O…, begitu alasanmu. Apa yang mendasari pendapatmu bahwa Paduka Raja Tiyasa tidak mampu menjadi peminpin di Kerajaan Karangtirta?”

“Banyak sekali alasannya. Aku tidak bisa mengungkapkan semua alaannya.”

“Kalau tidak bisa mengungkapkan semua alasan, coba sebutkan satu saja alasanmu!”

“Alasan yang tidak bisa dibantah, sejak Raja Tiyasa menjadi raja, banyak rakyat Kerajaan Karangtirta yang menderita. Banyak rakyat yang sengsara di bawah kekuasaan Raja Tiyasa.”

“O…, alasannya itu. Alasanmu itu berdasarkan kenyataan ataukah hanya karena pendapatmu sendiri?”

Olengpati terdiam. Sulit untuk menjawab pertanyaan Tunggulsaka.

“Kalau Tiyasa tidak becus menjadi raja, maka yang akan memberontak pertama kali adalah rakyat Karangtirta. Aku yang akan memimpin pemberontakan kalau Raja Tiyasa tidak bisa menyejahterakan rakyat Karangtirta.”

“Olengpati, jangan sok membela rakyat Karangtirta!” tegas dan jelas kata Tunggulsaka. “Yang tahu keadaan Karangtirta itu aku. Kamu dan para perampok itu orang mana? Apa kalian pernah tinggal di Karangtirta dalam waktu lama? Aku tahu kok, kalian hanya haus harta dan kekuasaan. Bukan ingin membela rakyat. Gaya kalian sok membela rakyat, tapi sebenarnya hanya membela kepentingan kalian sendiri, yaitu kepentingan untuk meraih kekuasaan sebagai sarana menumpuk harta dan kekayaan.”

Tanpa berkata sepatah kata pun, Olengpati meninggalkan Tunggulsaka.

Tunggulsaka pun segera menuju istana Kerajaan Karangtirta.

Sampai di istana Karangtirta, hari sudah malam. Tunggulsaka dan beberapa prajurit yang masih tersisa menghadap ke istana. Namun saat itu Raja Tiyasa belum pulang dari Perguruan Ngondang. Minta nasehat pada Ki Panutas. Guru sang raja saat masih muda.

Baru pada pagi harinya Tiyasa pulang. Langsung mengadakan pertemuan penting dengan para punggawanya. Tampak dalam pertemuan itu antara lain: Pangeran Banaswarih ~ putra mahkota kerajaan, Patih Ganggayuda, Senapati Tunggulsaka, Lunjak, Bandem, dan beberapa punggawa yang lain.

”Senapati Tunggulsaka, bagaimana hasil penyelidikanmu ke perbatasan?” tanya Raja Tiyasa.

”Mohon ampun, Paduka Raja,” kata Tunggulsaka, ”hamba gagal melakukan tugas ini.”

Lalu Tunggulsaka menceritakan apa yang telah dia alami kemarin.

Tiyasa menghela napas. Ada beban berat tersimpan di dada. Sulit baginya untuk mulai berkata kepada Tunggulsaka. Senapati Karangtirta muda usia yang sangat setia pada raja. Dalam melaksanakan tugas selalu berhasil. Hanya kali ini mengalami kegagalan.

”Maaf, Paduka, hamba ingin mengemukakan pendapat,” kata Patih Ganggayuda.

”Silakan, Ganggayuda!”

”Kegagalan pasukan kita menumpas gerombolan perampok itu semata-mata karena kesalahan Senapati Tunggulsaka,” kata Ganggayuda bernada tajam.

”Maksudnya bagaimana?”

”Begini, paduka raja, sebelum berangkat ke perbatasan, hamba sebenarnya sudah melarang sang senapati. Tetapi dia nekat. Nekat yang tidak menggunakan perhitungan matang. Dia belum tahu persis bagaimana kekuatan lawan. Sebenarnya hamba sudah melarang sang senapati. Tetapi dia nekat, tidak menggunakan perhitungan matang. Dia belum tahu persis bagaimana kekuatan lawan. Seberapa besar kekuatan para perampok yang berada di perbatasan. Dalam keadaan belum tahu keadaan lawan, dia tetap bertindak. Akhirnya..., begitulah, banyak prajurit kita mati sia-sia dihabisi gerombolan perampok...!”

Merah telinga Tunggulsaka demi mendengar cercaan yang begitu keras dari Ganggayuda. Umpama tidak dibatasi sopan-santun, pasti sudah dia tantang patih Kerajaan Karangtirta. Patih yang dia curigai telah menjalin hubungan saling menguntungkan dengan gerombolan perampok yang dipimpin Olengpati.

”Maafkan atas kesalahan hamba ini, Paduka Raja,” kata Tunggulsaka. Tanpa menghiraukan perkataan Ganggayuda. ”Hanya Paduka Raja yang berhak memberi maaf atau tidak kepada hamba. Hanya Paduka Raja yang berhak memberi hukuman bila hamba bersalah. Orang lain selain Paduka Raja, tidak termasuk dalam pemikiran hamba.”

”Benar kata Senapati, Ayahanda,” kata Banaswarih. ”Sekarang semua tergantung pada Ayahanda untuk menentukan kebijakan.”

Tiyasa masih diam. Berpikir keras. Menimbang-nimbang secara matang sebelum mengambil sebuah keputusan.

*

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Kembara Semesta Seri 2   Aksi Sanggaliwung

    Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar

  • Pendekar Kembara Semesta Seri 2   Jurus Terakhir

    ”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo

  • Pendekar Kembara Semesta Seri 2   Bertemu Musuh Lama

    “Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.

  • Pendekar Kembara Semesta Seri 2   Membalikkan Ajian Lawan

    Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran

  • Pendekar Kembara Semesta Seri 2   Aksi Miguna yang Tak Terduga

    Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya

  • Pendekar Kembara Semesta Seri 2   Serangan dari Pulungpitu

    ”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status