Share

Pendekar Krisan Putih
Pendekar Krisan Putih
Author: Alsavir

Masa Lalu dan Masa Depan

Rumah kayu itu luluh lantak dilalap api, isak tangis dan teriakan besahut-sahutan di segala sisi. Dalam kemelut asap yang membumbung tinggi, orang-orang berlarian menyelamatkan diri; tak memedulikan apapun kecuali dirinya sendiri.

Sembari berlari dengan kekhawatiran, buah hati yang tengah tertidur tersebut terlihat nyaman berada di dekapan kedua tangan ibunya. Napas terengah-engah wanita itu kian memberat, mencoba lepas dari buruan berandalan yang terus membuntutinya.

Sampai dia berhenti di suatu celah di sebelah rumah tua, memulihkan tenaganya yang terkuras hampir tak tersisa. Kedua kakinya sudah terasa kesemutan, tak mampu berlari lebih lama. Sedangkan saat dia menoleh ke sebelah, ada sungai dangkal yang mengalir tak terlalu deras dengan sebuah sampan yang tersedia.

Tanpa berpikir lebih lanjut dia buru-buru melangkah di tepian sungai, memeriksa keadaan anak kesayangannya. Kedua mata indah kebiruan itu merembes air mata, menetes tepat di muka rupawan bayi yang bereaksi manis sekali, lucu dan menggemaskan. Sempat tercetak senyuman haru dari ibu yang mungkin akan merelakan kepergiannya.

"Radin ... kamu harus kuat," kata wanita tersebut dengan suara halus serta bibir yang bergetar. "Ayah telah berusaha keras melawan mereka, melindungi kamu."

Perlahan dia mendekatkan kepalanya, dengan lemah lembut dahi anak itu dicium. "Kini ibu harus melakukan hal yang sama demi keselamatanmu."

Buah hati tersebut secara hati-hati diletakkan di atas sampan kayu, dibalut kain kecokelatan yang membungkus seluruh tubuhnya. "Ibu sangat mencintaimu dan akan terus memperhatikanmu."

Dengan sekali dorongan kendaraan sungai tersebut melesat cepat. Meski dengan tenaganya yang kritis, wanita itu ternyata memiliki kekuatan tak terkira. Sampai akhirnya sekelompok berandalan kini menemukannya, berdiri di arah masuk dengan tatapan bengis tanpa ampunan.

Salah satu dari mereka yang berada di depan dengan waspada mendekat, diikuti oleh anak buahnya. "Apa yang akan kau lakukan saat ini, wahai Arini?"

Wanita bernama Arini menyeka air mata yang masih menetes, mengalihkan konsentrasi ke arah ancaman di hadapannya. Dia tak mengeluarkan apa-apa kali ini sebagai alat membela diri, malah hanya berdiri dengan tangan kanan yang diulurkan ke depan; membuat suatu kuda-kuda.

"Kau tak bisa lari kemana-mana," tutur laki-laki dengan rambut terikat berwarna keperakan menghunus belatinya, mempersiapkan diri.

"Sektemu tak akan bisa menghancurkan kami, Cakra," seru Arini dengan suara tegas serta tatapan serius. "Ambisimu itu tak akan membuahkan keberhasilan."

"Tengok siapa yang akan mati setelah ini." Pria bernama Cakra memamerkan belati hitam yang tampak kebiruan memantulkan sinar rembulan. "Sudahkah kau berkaca bahwa sektemu itu membabat tanah kami?"

Arini mendadak diam, tak merespons, membiarkan Cakra kembali mencerocos, "Kemanakah mulutmu yang banyak bicara itu, adinda? Apa baru kali ini kau mengakuinya?"

"Perlukah kau membela suamimu yang tamak itu?" Suara Cakra tiba-tiba naik beberapa oktaf, amarah mencuat dengan menekankan empat kata terakhir tersebut. "Katakan bahwa kau menyesal!"

Arini tak bersuara beberapa detik sampai kalimat seperti berbisik terdengar. "Untuk apa aku menyesal bila tahu kau akan seperti ini?"

Atas kata-kata itu, kedua alis Cakra tertaut, air mukanya dipenuhi amarah yang sudah naik ke ubun-ubun. "Sialan kau sundal!"

Dia berlari sembari melompat ke arah Arini yang tak terlihat ketakutan, menghadapi laki-laki tersebut di depan mata. Arini menghindar tatkala Cakara mengayunkan belati, menebas anak rambut yang kini bertebaran di udara. Membuka banyak sekali kelemahan, Arini menempatkan telapak tangan di dada Cakra yang secepat kilat mementalkan berandal itu secara instan, menabrak anak buahnya.

Energi besar yang dihasilkan itu sampai membuat rumah kayu di sebelah ringsek oleh angin hantaman Arini, tak lekas memberi keresahan kepada mereka yang kembali berdiri. Cakra berada di kemelut api emosi, memerintahkan kelompoknya untuk beraksi.

Gempuran serangan sama sekali tak dapat menyentuh Arini. Gerakan lihai meliuk-liuk menghindari mata belati bergerak seirama dengan tempo yang mereka kerahkan, menuruti arus sampai Arini melihat kesempatan untuk membalas. Mereka lemah melihat akrobatik wanita di hadapannya, dimanfaatkan Arini dengan melancarkan serangkaian teknik bela diri yang memukau.

Jegalan kaki lalu diteruskan dengan menarik musuh ke atas kemudian dibanting ke tanah, serta sepakan memutar diluncurkan oleh Arini. Kroco-kroco itu tak berdaya, semua ambruk ketika menerima hantaman spektakuler miliknya, ada yang terpental tak tentu arah dan mendarat ke dalam sungai.

Cakra semakin mengamuk, berteriak keras-keras, "Tak berguna!"

Lantas dia sendiri yang harus melawan Arini. Kecepatan laki-laki tersebut kian bertambah, bahkan serangan belati itu lama kelamaan hanya seperti sorotan sinar kebiruan yang bergerak. Di sisi lain, Arini berusaha terus menghindar akan tetapi lama kelamaan tak dapat mengimbangi gerakan Cakra.

Pakaian putih dengan corak tekstil yang ciamik itu robek di sana sini, darah merembes menodai keindahan busana Arini. Rasa sakit telah meracuni wanita yang mulai lesu, tak dapat menghindari serangkaian serangan yang diarahkan kepadanya. Alhasil, Cakra tanpa belas kasih menebas punggung Arini sampai membelah kain tersebut, mencetak sayatan yang dilumuri cairan kemerahan.

Wanita yang menerima kebrutalan tersebut memekik kesakitan, ambruk terlungkup berusaha untuk bertahan. Laki-laki berambut keperakan lalu melangkah mendekat dengan ekspresi yang rumit. Seperti terpaksa melakukan hal tersebut. "Inikah alur yang kau inginkan, adinda?"

Arini hanya terdiam, mencoba menumpu badan dengan kedua siku; memperlihatkan area belakangnya yang bersimbah darah. Cakra kembali berseru, "Bila engkau tak menerima cincin itu, semua ini tak akan terjadi."

Tanpa disadari, secepat kilat Arini memberikan tendangan jungkir balik yang tepat mengenai tangan kanan Cakra, menghempaskan belati tersebut di udara. Terperangah dan tak fokus di depan, Cakra terlambat menyadari bahwa sepakan melesat di bahu kirinya, terpental di tepian sungai. Sementara senjata laki-laki itu tenggelam terbawa arus.

Cakra memposisikan tubuhnya yang berantakan, berjongkok dengan senyuman impresif. "Harus kuakui semangatmu tak dapat diragukan."

"Kau masih mempertanyakan hal itu kepadaku?" Arini tiba-tiba sudah berada di hadapan Cakra, mempersiapkan kuda-kuda yang sama seperti sebelumnya. "Bukankah kau sudah mengetahui alasan aku memilih semua ini?"

"Alasan bodoh yang membawamu ke dalam kematian, begitu?" sahut Cakra sontak bangkit. "Kau bisa melarikan diri dan terbebas dari kekacauan ini!"

"Tidak," balas Arini dengan napas terengah-engah serta keringat yang bercucuran menahan rasa sakit sayatan di beberapa bagian tubuhnya. "Inilah keinginanku. Kau tak bisa merubahnya."

"Suatu darma yang harus kulekatkan di dalam hati," imbuh wanita itu tak sedikit pun mundur. "Tak akan kucabut walau maut menghampiri."

Cakra terbelalak, terukir mimik kekecewaan yang mendalam sebelum dia menunduk lama. "Jika itu yang kau mau, aku akan memberikan kematianmu!"

Sebuah keris terhunus dari balik badan Cakra, dia berlari melesat ke arah Arini yang berdiam diri. Serangan demi serangan dilancarkan, tak satu pun mengenai wanita tersebut, malahan, di selah-selah keagresifan Cakra, Arini mampu menahan tebasan benda meliuk-liuk itu dengan telapak tangan.

"Bukankah ini ...," kata wanita tersebut dengan lirih, tak mempercayai kedua matanya yang tengah melihat keris milik Cakra dari dekat. "Jadi kau adalah kaki tangannya?"

"Ini semata-mata untuk membuatku kuat," cepat-cepat Cakra menarik keris itu dan menusuk tepat di perut Arini. "Dengan begini, aku bisa membuktikan kepadamu bahwa aku lebih mampu daripada dia."

Arini tak merespons apa-apa kecuali tersedak-sedak, darah keluar dari mulutnya yang merekah, tubuhnya bergetar hebat dan mulai lemah. Dagu Arini sempat bertumpu di bahu kiri Cakra sampai akhirnya tergeletak tak berdaya, menatap angkasa yang diwarnai oleh kilauan kartika.

Cakra tak lekas beranjak, dia malah menemani wanita itu menantikan maut. Rambut yang awalnya diikat berubah terurai tak karuan di atas tanah, air mata lantas kembali keluar dari iris indah Arini, disertai bibir yang sebelumnya ranum seketika membiru; bergerak hendak mengucapkan sesuatu. "Sebenci itukah dirimu kepadaku, kakanda?"

Kelopak mata laki-laki itu terbuka, memperlihatkan iris hitamnya. "Rasa itu adalah bentuk kepedulianku yang telah kau khianati, adinda."

"P-Pilihan seperti apa yang tersisa untukku?" Arini terbata-bata dan secara perlahan suaranya mulai sirna. "Aku tak mungkin melawan orang tuaku."

"Dan sekarang ... yang tersisa dariku hanyalah anakku." Kesadaran Arini kian menipis tapi kedua sorotan mata masih memperhatikan ke langit.

Bayi yang terombang-ambing di atas sampan terlihat tak menangis, masih tertidur dengan ketenangan.

"Aku ingin dia hidup tanpa ada beban," imbuh Arini meneruskan. "Menjalani kehidupan dengan damai."

Entah kenapa sampan tersebut tersangkut di tepi sungai, membangunkan anak itu dan mulai menangis.

"Tumbuh dewasa tanpa harus memikirkan kekacauan ini." Arini tak dapat menahan sesak di dada dan terisak kemudian. "Menemukan cinta dan membangun keluarga."

Karavan yang kebetulan lewat seperti mendengar teriakan bayi, salah satu kusir itu turun seketika memeriksa keadaan. Dia sampai terpenjat lalu melambaikan tangan, memberikan kode untuk mendekat. Ibu yang sudah berumur terbelalak, meraih bayi tersebut dan mencoba menenangkan.

"Hanya dengan berandai-andai sudah membuatku bahagia," seru Arini yang sudah sangat lemah, dia bahkan memejamkan mata. "Dia tak harus hebat dan membuktikan apa-apa."

Mereka menoleh bersamaan, menyadari bahwa buah hati itu membawa suatu benda seperti keris. Hanya dengan melihat corak wadahnya, mereka tahu dari mana ini berasal, lebih tepatnya, identitas bayi tersebut. Dengan sembunyi-sembunyi mereka kembali masuk ke karavan dan melanjutkan perjalanan.

"Karena dia sudah sangat spesial terlahir di dunia ini." Kalimat itu barangkali adalah kali terakhir yang terucapkan dari Arini, dia tewas dengan senyuman merekah.

Sementara Cakra ambruk seketika, bersimpuh di hadapan kunarpa. Tubuhnya bergetar dan tangisan mulai terdengar di sana. Berusaha keras untuk tidak terisak, Cakra menunduk dalam-dalam. Di bawah sinar rembulan sendirian, dia meratapi kesedihan tak terlukiskan. Aura kemerahan masih tercetak di cakrawala sebelah utara, dengan kemelut asap yang tak berhenti berkobar. Malahan, semakin bertambah banyak.

Peristiwa itu adalah awal dari semuanya.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status