Share

Memori Rasa Takut

Keramaian mewarnai keadaan desa kala itu dikarenakan ada acara spesial di tengah masyarakat. Peken Akbar, acara di mana semua saudagar akan berusaha menjajakan barang dagangannya, menurunkan harga sampai membuat konsumen terpikat. Seakan-akan mereka tak lagi memedulikan keuntungan melainkan bagaimana caranya menarik sebanyak mungkin orang supaya mendekat.

Termasuk anak di bawah umur kira-kira berada di usia dua belas, mencoba suatu peruntungan di tengah padatnya hiruk pikuk keramaian yang panas. Dia tak sendirian membawa keranjang rotan berisikan buah-buahan berwarna merah, akan tetapi ditemani oleh laki-laki sepantaran berambut kecokelatan; sama-sama kesusahan.

Dengan tubuh kecil serta rapuh itu, mereka sudah dipastikan tak akan mampu terus melangkah tanpa rehat sementara waktu. Alhasil bocah-bocah berbusana biasa bahkan dipandang rendah di sebagian insan yang lewat, tak banyak pilihan selain berhenti di depan rumah tua tak terawat. Latarnya kotor berserakan sampah, mustahil dijadikan tempat berniaga.

“Bau sekali tempat ini,” celetuk anak berambut cokelat menutup lubang hidungnya dengan jari. “Pantas tak ada yang menempatinya.”

“Mau bagaimana lagi, Danu,” respons Radin yang terengah-engah. “Kita di sini hanya sebentar.”

“Ya ... kau benar.” Anak bernama Danu menunduk, memperhatikan buah-buahan. “Kuharap keberuntungan bersama kita.”

Radin tersenyum samar-samar lalu berkata, “Aku yakin kita pasti akan berhasil di antara kompetisi ini!”

Danu tiba-tiba tertawa. “Baiklah, apakah sudah terisi kembali?”

Radin yang mendengar itu sontak menoleh. “Apa? Sesingkat ini?”

“Ya, kita tak bisa bersantai lebih lama tatkala waktu terus berputar,” seru Danu secara instan berdiri yang semula duduk di kotak kayu. “Lebih cepat lebih baik, bukan?”

Radin mengangguk sepakat, bersiap-siap kembali mengangkut wadah rotan yang terasa berat bersama Danu. “Ayo berusaha semaksimal mungkin!”

Dimabuk ambisi dan semangat membara, mereka kembali berkeliaran mencoba menemukan persinggahan sembari sesekali menawari orang berlalu lalang. Belum ada yang berminat sampai sejauh ini, meninggalkan Radin dan Danu dengan tangan kosong.

Namun, hal itu tak sekali pun menurunkan kegigihan mereka yang teramat kokoh tak terbendung. Sampai ada suara teriakan di sebelah terdengar, diarahkan kepada nenek-nenek memamerkan ramuan dagangnya yang tampak senggang.

“Kemarilah, Nak!” seru wanita tua yang postur tubuhnya membungkuk walau terduduk.

Semringah lantas tercurahkan kepada dua anak tersebut, menghampiri dengan langkah gembira. Danu bercuap tatkala berada tepat di hadapannya, “Nenek mau menukar buah ini untuk sekeping koin?”

Dia mengangguk, tersenyum tulus terhias di wajah penuh keriputnya. “Kebetulan aku butuh buah apel ini untuk obat-obatanku, berikan aku lima biji.”

Radin dan Danu tak lekas memberikan dagangannya, malahan mereka saling bertatap muka dengan senyuman lebar; memperlihatkan gigi-giginya. “Baik Nek, segera aku ambilkan!” ucap Radin semangat.

Satu buah apel mereka hargai dengan satu koin perak, harga standar pasar pada umumnya. Walaupun menurut nenek itu terlalu murah, mungkin saja harga yang dibandingkan adalah saat acara Peken Akbar. Tentu saja saudagar akan menaikkan nilai jualnya secara tidak masuk akal. Mereka berbondong-bondong meraup keuntungan di acara yang hanya berlangsung tiga hari, mempersiapkan yang terbaik untuk dibawa kembali.

“Terima kasih banyak, Nek!” tutur Radin sambil menunduk, diikuti oleh Danu. “Semoga usaha Nenek diberi keberkahan dan kelancaran.”

Setelah ditanggapi dengan anggukan, bocah-bocah itu berlalu, masih belum puas bila tidak menjual seluruh apelnya. Lambat laun orang-orang mulai menyadari kehadiran mereka, sekadar mencoba dan membeli, terlingkup oleh beberapa orang dewasa yang menjulang tinggi.

Meski sesak, Radin dan Danu sungguh senang tak terlukiskan, koin merembes deras ke dalam kantong mereka yang sudah robek di sana sini. Sampai akhirnya, dikala sore telah tiba, isi keranjang tersebut sudah berkurang drastis bahkan sanggup dibawa oleh Radin seorang.

“Ini melelahkan,” keluh Danu sambil menyeka keringat yang mengucur di pelipis kepala. “Namun terbayar dengan setimpal.”

Radin mendongak ke atas, mengatur deru napas seraya mengibas-ngibaskan pakaian putihnya yang kusam. Dia sempat mengecek ke bawah, ke dalam wadah rotan tersebut dan mulai mengambil satu buah. "Bukankah ini suatu kemujuran? Siapa sangka kita hampir menjual semuanya."

"Kalau bukan karena Peken Akbar, ini tak akan terwujud," kelakar Danu di sela-sela dada yang kembang kempis, terkekeh kemudian. "Usulanmu sungguh menguntungkan, kawanku."

Radin menggigit apel lalu merespons, “Padahal sebelumnya hanya berniat menikmati buah ini di atas bukit.”

Anak muda berambut cokelat lantas mengeluarkan kantong kain yang berisi, seperti tak muat menampung semua koin yang mereka dapatkan. “Mari lihat berapa banyak hasil jerih payah kita.”

Di tempat yang sama sebelum mereka bertemu pelanggan pertama, Radin dan Danu antusias menghitung benda logam berwarna perak itu. Danu membagikan sebagian kepada Radin, mereka mulai memilah satu-satu dengan cermat, tak mau kelewatan maupun kelebihan.

“Enam belas,” seru Radin mencoba memastikan kembali. “Berapakah engkau, Danu?”

“Dua puluh sembilan!” sahut Danu setelah selesai menghitung, mengerahkan jari-jemarinya seperti menjumlah lalu kembali memasukkan semuanya ke dalam kantong. “Berarti empat puluh lima keseluruhannya!”

Keduanya menatap satu sama lain, membuka mulut lebar-lebar seraya tersenyum penuh kebahagiaan, kegirangan tak terlukiskan. Danu sampai melompat saking senangnya, berteriak mengungkapkan rasa suka.

Sementara Radin hanya tersenyum sesekali tertawa melihat tingkah temannya, melanjutkan makan buah-buahan. Belum hilang euforia yang melingkup mereka, suara entah dari siapa menyapa, mendekat dengan ekspresi tidak menyenangkan.

“Lihat siapa ini,” kata lelaki berambut hitam panjang terikat, iris kebiruan dengan bekas luka sayatan di mata kanan itu tak asing bagi Radin. “Tak disangka kau berada di sini.”

“Amar ...,” ucap Radin lirih menautkan kedua dahi, waspada. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Pemuda yang lebih tua tersebut tak sendirian, ditemani dua orang yang tampak seumuran dengan tatapan merendahkan. Seringaian tercetak di wajah berantakan Amar sambil berujar, “Kenapa kau ingin tahu?”

“Kau bahkan membawa anak bodoh ini bersamamu,” imbuh Amar memantik emosi Danu.

“Cakap apa kau?” Laki-laki berambut cokelat tersebut hampir melancarkan amarah ke Amar sebelum ditahan oleh Radin.

“Sebenarnya apa yang kau mau?” Lirikan Radin berubah serius.

“Oh, tadinya aku berniat membeli buah-buahan,” tutur Amar semakin melangkah yang kini tepat berada di hadapan mereka. “Tapi sepertinya kau mendapatkan hasil yang lumayan banyak!”

Secepat kilat dia menyahut wadah semua koin terkumpul dari tangan Danu, sontak bocah-bocah itu memberontak. Danu dicekal oleh kawan Amar begitu pula Radin yang berhasil dibekukan. Karena terlalu nekat, Danu berusaha keras untuk lepas dan akhirnya menerima hantaman tangan kanan dari Amar, mendarat tepat di perutnya.

Lirikan lelaki biadab tersebut beralih kepada Radin yang terbelalak melihat Danu dihajar.

“Apa yang akan kau lakukan, anak pungut?” cecar Amar dengan kasar menendang keranjang rotan itu, menghamburkan buah-buahan yang tersisa di atas tanah berlumpur bersama kotoran.

“Jahanam kau!” teriak Radin secara tiba-tiba, menggeliat mencoba terlepas dari dekapan orang bertubuh tambun. “Kupastikan kau akan mende—“

Belum sempat anak berambut hitam ikal itu menuntaskan kalimat, Amar melancarkan sepakan keras sekali, sampai-sampai Radin hampir memuntahkan seluruh makanan yang telah ditelan. Belum sampai di sana, bocah malang itu dihempaskan begitu saja, terjerembab di antara sampah-sampah.

Radin tak berdaya kali ini, memperhatikan insan berlalu lalang sekadar hanya melihat dan mengabaikan. Amar dan bawahannya melanjutkan aksinya berupa menginjak-nginjak Radin yang meringkuk berusaha mempertahankan area kepalanya.

Kesadaran anak tersebut kian menipis dan pupus, telinga berdengung keras sampai akhirnya semua berubah gelap nan senyap. Saat itulah kelopak mata terbuka, memamerkan iris kehitamannya yang kembali terbangun dari meditasi.

Hari sudah malam ditemani suara-suara serangga menggema, Radin masih membeku di tempat mencoba mencerna semua memori yang baru saja terputar kembali. Deru napasnya berat, kejadian itu mencetak trauma baginya, memilih mendongak ke atas menyaksikan antariksa yang ditaburi bintang-bintang.

Rasa takut itu belum lenyap maupun sirna, membekas tak mau menghilang dari luka yang masih melekat di dalam sukma.

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status