Share

Latihan Bela Diri

Suara tumbukan terdengar di tengah hutan belantara, erangan rasa sakit dan teriakan mewarnai suasana yang hampa. Di halaman luas yang ditumbuhi rerumputan kecil, terlihat ada dua manusia melancarkan serangan satu sama lain. Di sisi satu ada anak muda yang kesusahan menahan semua hantaman dari kakek-kakek di depan. Meski sudah renta, kemampuannya masih luar biasa.

Hentakan telapak tangan di dada membuat laki-laki berambut hitam meringis, mencoba menyeimbangkan kedua kaki ketika dia ambruk akibat dorongan kuat kakek tersebut. Dia mencoba kembali tegak berdiri, menghela napas untuk memusatkan semua konsentrasi. Memperhatikan secara seksama kedua tangan kakek di hadapannya.

"Mara bahaya bisa muncul dari segala arah," tutur sesepuh tersebut mengulurkan tangan ke depan sambil membuka telapak, melangkah mendekat. "Ingatlah untuk selalu berwaspada."

"Baik, Guru Janardana!" Pemuda itu kembali fokus dan mulai berjalan memutar berlawanan arah dari Janardana.

Tatapan murid tersebut awas akan sebuah serangan tiba-tiba dan benar apa yang dia kira sebelumnya, Janardana sontak melancarkan sapuan mendadak. Hal itu dapat diantisipasi oleh anak muda tersebut dengan menghindar akan tetapi saat dia menunduk, sepakan terarahkan kepadanya. Menghempaskan bocah yang dilanda kesialan beberapa tombak.

"Seperti kataku sebelumnya, kau hanya terpusat kepada satu masalah," seru Janardana berdiri, kembali membuat kuda-kuda. "Sementara masalah lain kau hiraukan dan tak kau hadapi dengan kesiapan."

"Kau bisa melarikan diri dari masalah, muridku," imbuh kakek Janardana. "Tapi kau tak mendapatkan apa-apa dari itu."

"Radin, masalah tidak hadir untuk membuatmu lemah, melainkan menempamu supaya menjadi kokoh dan kuat." Kalimat itu adalah bahan bakar semangat untuk anak yang bernama Radin.

Dia lantas berdiri seketika, ekspresinya berubah membara. Suara anak muda yang baru berumur empat belas tahun itu merespons dengan intonasi penuh determinasi, "Aku tak akan menyerah, Guru!"

"Bagus, mari kita lanjutkan." Janardana melangkah ke depan, diikuti oleh Radin dengan kontur awalan yang sama.

Guru Janardana melesat kali ini, disambut dengan tolakan tangan Radin. Sapuan kakek tersebut dapat dihindari dengan menunduk dan kali ini, Radin dapat menepi memberikan sela. Senyuman terukir di muka keriputan Janardana lalu melakukan aksi memutar tubuh, melaksanakan tendangan dua kali kepada Radin yang terbelalak.

Anak itu dapat menepis semua hantaman cuma dia tak kuasa bertahan dari energi dorongan yang ditimbulkan. Alhasil, kedua tangan menyilang di depan kepala tersebut terpental dan membuka kelemahan Radin. Kesempatan dimanfaatkan oleh Janardana memberikan tumbukan telapak tangan, namun, dengan lembut nan tidak menimbulkan bahaya untuk anak itu sendiri.

Radin tersungkur kehilangan keseimbangan sebab serangan tersebut, terduduk di atas tanah bersama napas yang terengah-engah. Melihat itu kakek Janardana berucap, "Masih belum, intuisimu masih belum sempurna."

"Tapi reflekmu meningkat drastis dari sebelumnya." Kedua tangan Janardana disembunyikan di belakang tubuhnya, menorehkan senyuman tipis. "Jangan sampai kau biarkan surut dan teruslah diasah."

"Baik Guru!" Radin membungkukkan badan, memberikan rasa hormat serta terima kasih yang teramat dalam.

"Bila kau sudah mapan dengan intuisi dan reflekmu," kata Janardana berbalik, beranjak dari sana. "Aku akan mewariskanmu teknik Tiruan Air Mengalir."

Sontak Radin terperangah dan tegak berdiri secara instan, benar-benar tertarik dengan tawaran Guru Janardana. "Benarkah itu, Guru?"

"Ya, tentu, asalkan kau dapat meningkatkan dua hal yang kusebutkan." Tanpa menoleh sesekali, kakek tersebut menuju ke arah rumah tua yang tampak terbuat dari kayu cemara. "Maka kau takkan ada kesulitan menguasai teknik itu."

"Punten, ini minumannya," seru gadis yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah, membawa nampan kayu yang di atasnya terdapat teko dan dua cangkir seragam. "Maaf kalau terlalu lama."

"Tidak, Kinanti, kau tepat waktu," balas Janardana menoleh ke arah Radin yang membeku di tempat. "Radin, kenapa kau tidak kemari dan menikmati suguhan ini?"

Bukan bermaksud tidak menghargai, Radin hanya tak bisa memalingkan sorotan matanya kepada Kinanti. Perempuan berparas cantik serta tubuh sintal yang dibalut kemben hitam serta rok selutut memamerkan kaki mulus itu menambah daya tariknya. Entah kenapa tak ada yang terlihat menaruh rasa kepada Kinanti, malahan, dia ditelantarkan. Oleh sebab itu Janardana membawanya ketika dia sendiri memiliki ketertarikan dalam bela diri dan obat-obatan herbal.

"B-Baik Guru, aku akan segera ke sana!" Radin buru-buru menghampiri mereka yang tengah sibuk sendiri-sendiri.

"Kau beristirahatlah sebentar, kakek melanjutkan anyaman ini dahulu," tutur Janardana masuk ke dalam rumah, membiarkan mereka berdua di sana sendirian.

"Jadi bagaimana latihanmu, Radin?" tanya Kinanti dengan suara lembut sembari menuangkan isi dari teko tersebut ke sebuah cangkir keramik bermotif lotus.

"Kata Guru Janardana reflekku meningkat, Mbak," kelakar Radin duduk di kursi kayu yang berdecit tatkala dia mendudukinya. Alasan Radin memanggilnya seperti itu tidak hanya untuk sopan santun melainkan karena Kinanti lebih tua darinya. Terpaut empat tahun.

"Bukankah itu tanda baik?" Kinanti memberikan cangkir itu kepada Radin seraya tersenyum lebar. "Kau lama-lama mendekati kemampuanku!"

"Ya ...," sahut laki-laki berambut hitam ikal tersebut mencoba menggodanya. "Mbak seharusnya lebih fokus ke minuman herbal ini sampai aku dapat berkultivasi."

"Berlagak kau, Radin!" Dengan sekali tamparan di bahu kanan, Radin hampir tersungkur. Kekuatan wanita itu tak bisa diremehkan walaupun bercanda. "Mau adu?"

"Bukan aku menolak karena takut atau apa," ujar Radin lalu menyeruput minuman yang berwarna kebiruan. "Tapi aku ingin menghargai usahamu ini, Mbak."

"Bisa saja kau membual seperti itu." Entah kenapa Kinanti melingkarkan lengannya di leher Radin seketika membuat laki-laki tersebut kalang kabut. "Katakan kalau kau ketakutan!"

"Apa-apaan ini," teriak Radin berusaha memberontak dan hampir terjungkal dari kursi. "Lihat, minumanku tumpah semua!"

"Ada apa dengan kalian?" Suara serak nan berat berasal dari Kakek Janardana muncul dari dalam rumah, menyudahi tindakan Kinanti dengan melepaskan dekapannya seketika.

"Ah, tidak ada apa-apa, Guru!" Sekilas dia melirik ke arah Radin yang berbenah diri. "Bukankah begitu, Radin?"

Pemuda itu berdehem lalu tersenyum kooperatif. "Betul, Guru, kami hanya bermain-main."

Janardana terkekeh lalu duduk di sebelah Kinanti, meneguk herbal tersebut sampai habis. "Rasanya tidak berubah seperti yang aku buat, kau hebat, Kinanti."

Gadis itu lantas secepat kilat membungkuk bersama muka yang merona bahagia. "Terima kasih banyak, Guru!"

"Apa kau sudah berlatih teknik Pukulan Tapak Naga?" tanya kakek tersebut membuat Kinanti terperangah.

"Ya, Guru," balas Kinanti mendadak sendu. "Tapi aku belum mahir sama sekali."

"Tak apa, kau butuh waktu." Kini sorotan mata yang berkeriput mengarah kepada Radin. "Nanti malam ikutlah denganku, Radin."

Anak muda itu tercetak mimik kebingungan. "Ke manakah itu, Guru?"

"Di sekitar sini ada danau yang ditengahnya terdapat daratan," tutur Janardana kemudian mengembuskan napas. "Sudah saatnya kau membuka sukmamu untuk dapat merasakan Prana."

Kinanti mendadak terkesima, bahkan Radin melongo tak berkutik sama sekali. Penantian Radin terbayarkan sudah, sebab, menerima Prana adalah tahap awal manusia memanifestasikan kekuatan alam tersebut ke bentuk yang teramat kuat. Dengan bersatunya sukma dengan Prana, maka insan itu akan menerima serangkaian manfaat yang luar biasa. Mereka baru bisa dikatakan pendekar bila mereka sudah mampu mengendalikan Prana.

"Baik, Guru, aku akan berusaha semampuku!" respons Radin dengan keyakinan tiada tara, ambisi membara laksana bara api yang melumat kayu bakar.

"Makanlah untuk bekalmu beberapa hari di sana," kata Janardana berdiri, hendak ke suatu tempat. "Kau harus bertirakat selama bermeditasi."

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status