Share

5. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

Di luar padepokan, Jurig Lolong masih mengejar para murid. Makhluk hitam itu terus-menerus memukul palu godam, membuat pohon tumbang dan menghasilkan serbuan angin ganas. Meski lambat dan buta, tetapi serangannya terbilang mematikan. Berbekal penciuman tajam, ia mengendus bau setiap murid.

“Mundur, mundur!” perintah Wira yang tengah melompati satu dahan ke dahan lain. Gerakannya terhambat karena harus membawa dua orang temannya yang terluka, sedang rekan-rekannya yang lain masih membuntuti dari belakang.

Jurig Lolong tersenyum hingga air liur menggenangi jalan yang dilaluinya. Sosok itu melempar palu godam ke arah depan, membuat jalan Wira dan para murid terhalang.

“Kita harus melawan makhluk itu, Wira,” ucap salah satu murid.

“Bisa saja ini ujian akhir dari Ki Petot untuk kita,” sahut yang lain, “beliau sengaja mengirim makhluk ini untuk menguji senjata sekaligus kemampuan kita.”

“Benar,” sambung yang lain.

“Kita harus ingat kalau hari ini adalah hari kelulusan kita.”

“Tapi ....” Wira menimbang, turun ke tanah, lantas menyandarkan dua kawannya yang terluka di batang pohon. “Baiklah, kita serang dia bersama-sama.”

Para murid langsung mengepung Jurig Lolong. Dua orang murid langsung menaiki dahan pohon, lantas melempar anak panah secara beruntun tepat ke lubang hidung makhluk itu. Dua orang murid yang lain langsung melayangkan tombak ke arah yang sama.

Jurig Lolong seketika memekik. Makhluk itu mengentak-entak tanah dengan kuat. Saat Jurig Lolong akan melepaskan anak panah dan tombak dari hidung, empat murid yang lain langsung menahan kedua tangannya dengan pecut.

Kesempatan itu digunakan oleh sembilan murid dengan menerjang ke arah kaki Jurig Lolong, menghantam dengan kapak, golok, trisula, belati hingga sosok hitam legam itu jatuh dengan lutut kanan yang menjadi tumpuan. Wira menjadi pihak yang menutup serangan. Pemuda berumur 17 tahun itu melompat tinggi, dan dengan gerakan cepat menusuk jantung Jurig Lolong.

Jurig Lolong sontak meraung, dan tak lama kemudian tersungkur. Tubuhnya yang ambruk menghasilkan getaran kuat hingga tanah berguncang.

“Kita menang, Wira,” teriak salah satu murid kegirangan.

“Kita menang,” sahut yang lain.

“Hei.” Wira terkejut ketika tubuhnya tiba-tiba diangkat oleh teman-temannya. Pandangannya sekilas tertuju pada arah padepokan. “Sebaiknya kita obati dulu yang terluka. Setelah itu—”

Belum sempat Wira menyelesaikan perkataan, tib-tiba terdengar suara tawa yang menggema. Kegembiraan para murid padepokan mendadak lenyap ketika tanah berguncang beberapa kali. Pandangan mereka kontan tertuju pada palu godam yang melayang di atas mereka.

“Makhluk itu bangkit lagi,” ujar salah satu murid berperawakan kurus tinggi.

“Gawat,” ucap Wira, “sepertinya makhluk itu bukan dimunculkan untuk menguji kita, tapi membunuh kita.”

Wajah para murid tiba-tiba pucat pasi. Langkah mereka mendadak mundur, meneguk saliva beberapa kali. Jurig Lolong nyatanya kembali bangkit. Tampak asap mengepul dari bekas lukanya.  

“Kalian larilah,” pinta Wira, “aku ... akan menghambatnya selagi kalian menyelamatkan diri. Sepertinya musuh yang dihadapi Ki Petot bukan orang sembarangan.”

“Tapi Wira,” kata salah satu murid sembari menepuk bahu Wira.

“Aku ... pastikan akan menyusul kalian secepatnya.” Wira mengembus napas panjang.

Sayangnya, ucapan Wira hanyalah harapan kosong. Tanpa diduga, Jurig Lolong melompat ke tengah-tengah para murid dengan palu godam yang mendarat lebih dahulu. Serangan itu berhasil membuat mereka terpelanting ke berbagai arah, menabrak pohon, menghantam batu, dan beberapa di antaranya jatuh ke jurang.

Sementara itu, Lingga tengah duduk di sebuah batu di pinggiran sungai. Matanya berkilat bening saat tertimpa cahaya bulan. Anak itu nyatanya masih berada di hutan Ledok Beurit, yang lokasinya cukup jauh dari padepokan. Ia bisa merasakan getaran dan suara aneh tadi menjadi lebih jelas sekarang. Beberapa kali dirinya juga mendengar suara dentuman. Hanya saja, ia tidak terlalu tertarik untuk mengecek keadaan.

Pandangan Lingga sering kali tertuju pada arah padepokan. Setelah diusir, anak itu memang sengaja berlari ke sungai ini. Tempat ini merupakan lokasi latihan silatnya selama bertahun-tahun dengan berbekal gulungan yang ia gambar. Tentu saja, ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Lingga menenggelamkan wajah di kedua lutut yang disatukan. Kedua tangannya memeluk kaki dengan erat. Tampak barisan semut berjalan di atas batu yang tengah ia duduki. Suara raungan dan getaran itu untuk sesaat tidak lagi ia dengar. “Aki tega sekali mengusirku. Aku memang salah karena masuk ke kamar tanpa seizinnya, tapi kenapa aku harus diusir segala? Siapa nanti yang mengurus keperluan Aki kalau aku tidak ada? Aki memang hebat, tapi dia pemalas.”

Lingga kembali mengarahkan wajah ke padepokan. Pandangannya mendadak teralih pada seberang sungai saat sesuatu menggelinding dari atas. Anak itu sontak berdiri, mengamati dengan saksama. Beruntung cahaya bulan membantunya untuk menyingkap siapa sosok tadi. “Kakang Wira,” ucapnya terkejut.

Lingga segera berlari menyebrangi sungai dengan cara melompati batu. Gerakannya terbilang cepat hingga hanya dalam hitungan detik tubuhnya sudah berada di samping Wira. “Apa yang terjadi, Kang?” tanyanya sembari membawa kepala pemuda itu ke atas pangkuan.

“Ling-lingga,” gumam Wira dengan susah payah. Tangan, kaki dan wajahnya dipenuhi luka. “Pa-padepokan ... diserang.”

“Diserang?” Lingga kontan terkejut.

“Lingga, cepat kau lari,” ujar Wira, “ka-kau ... bisa mati kalau sampai bertemu dengan makhluk besar itu. Murid-murid yang lain juga nasibnya tak jauh dariku.”

“Bagaimana) keadaan Aki, Kang?”

“Ki Petot ....” Wira terbatuk dan tak lama kemudian tak sadarkan diri.

“Kang.” Lingga memukul-mukul pelan pipi Wira. Ia mengecek denyut nadi dan bisa bernapas  lega ketika menyadari bila pemuda itu hanya pingsan. “Kalau kakang Wira saja dibuat babak belur begini, pasti musuhnya sangat kuat.”

Lingga menoleh ke arah padepokan, lalu beralih pada tempat di mana Wira terjatuh tadi. “Siapa yang menyerang padepokan? Apa ... jangan-jangan suara dan getaran yang aku rasakan sejak tadi berasal dari para penyerang itu?”

Lingga mengembus napas panjang. “Aku sebaiknya membawa kakang Wira ke tempat yang aman lebih dulu. Setelah itu, aku akan mengecek keadaan Aki. Aku sebenarnya masih kesal, tapi ... tetap saja aku khawatir.”

Lingga membawa Wira ke dalam gendongannya, melompati bebatuan untuk sampai ke seberang, berlari di pinggiran sungai, kian menjauh dari arah padepokan. Gerakannya cepat meski tengah membawa beban cukup berat. Kebiasan membawa kayu bakar di punggung dan mencari bahan makanan di hutan memudahkannya bergerak di pekatnya tempat ini. Bisa dibilang ia sudah menjadikan area ini sebagai lokasi bermain.

Lingga membawa Wira ke dalam sebuah gua, meletakkan pemuda itu dengan perlahan. Ia  lalu mencari beberapa tanaman obat, meramunya, kemudian membubuhkannya pada luka-luka Wira. “Maaf kakang Wira, aku harus melihat keadaan Aki dulu. Tapi, aku pastikan tempat ini aman.”

Lingga segera keluar dari gua, menaiki pohon dan bergerak menuju puncak. Dari jaraknya saat ini, anak itu bisa melihat keadaan padepokan yang berupa setitik cahaya. Ia kembali merasakan getaran ditambah hawa keberadaan seseorang yang begitu memuakkan. “Aki,” gumamnya dengan raut khawatir.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yani Zainum
lingga,sabar ya,emak nemenin rojali dulu di ciboeh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status