“Kita jangan masuk ke dalam perkampungan ini, terlalu berbahaya”, bisik Ki Wicaksono
“Memangnya ada apa di dalam perkampungan ini kek..Kok kakek misterius sekali”, kata Candaka sambil bergerak menimbulkan suara gemerisik “Kamu jangan terlalu banyak bergerak. Makhluk-makhluk di dalam perkampungan ini membaca gerakan tubuh, tapi mereka tidak bisa melihat”, kata-kata Ki Wicaksono makin misterius membuat Candaka penasaranAda apa sebenarnya di dalam perkampungan ini. Kenapa pendekar sakti sehebat Ki Wicaksono juga merasa khawatir dengan penghuni perkampungan ini? Kenapa juga mereka tidak memberanikan diri untuk masuk ke dalam perkampungan ini? Berbagai pertanyaan dalam benak Candaka. Tapi dia tidak bisa berlama-lama karena KI Wicaksono mulai bergerak perlahan memutari perkampungan ini dari arah luar.“Kita bergerak perlahan saja. Ada jalan di samping tembok bambu perkampungan ini yang menuju ke Gurun Terkutuk. Kita bisaGerakan-gerakan silat Ki Wicaksono sangat indah dilihat, bagaikan menari meliuk-liuk Naga Putih ini menerkam setiap tengkorak hidup yang ada hingga hancur berantakan. “Hebatnya jurus Naga Menari ini. Semoga nanti aku mendapatkan jurus yang cocok denganku dan lebih hebat dari jurus kakek”. Candaka terus melihat kakeknya menyingkirkan ratusan bahkan ribuan tengkorak hidup yang terus muncul tanpa tersisa lagi. “Kakek cuman bisa antar kamu sampai di sini saja cu. Selebihnya kamu harus urus sendiri masalah Kitab Naga ini”, kata Ki Wicaksono setelah membereskan seluruh penjaga kuil ini. “Kenapa kakek tidak ikut dengan aku mencari kitab naga ini?”, tanya Candaka polos “Kitab Naga harus dicari dengan upaya Anak Naga sendiri. Sebenarnya kakek membantumu ini sudah suatu kesalahan yang harus kakek tanggung nantinya”, jelas Ki Wicaksono “Kakek yakin kamu akan menemukan jalan untuk menemukan Kitab Naga Putih ini dan memepelajarinya lebih baik dari kakek”,
Candaka masih merasakan badannya yang lemas tidak bertenaga saat berusaha bangkit dari tempat tidurnya. “Kenapa aku berada di tempat tidur? Tempat apa ini? Bukannya tadi aku pingsan di kuil naga? Kok bisa ada di sini ya?”. Pertanyaan-pertanyaan muncul dalam benaknya.Kepalanya masih merasa pusing saat berusaha bangkit. Matanya mulai melihat sekeliling ruangan tempatnya berada. Makanan dan minuman tersedia di meja dekat tempat tidurnya, tapi Candaka belum berani menyentuhnya karena tempat ini masih sangat asing baginya.Setelah beberapa lama kesadarannya mulai pulih kembali. Pakaiannya sudah tidak dekil lagi dan diganti pakaian warna biru yang sangat rapi membungkus tubuhnya. Perlahan-lahan dia memberanikan diri membuka pintu kamar.Apa yang dilihatnya membuat dirinya takjub dan tidak habis pikir dengan keindahan yang terpampang di depan matanya. “Apa aku sudah berada di surga ya?”, pikirnyaDia berada di sebuah kota atau desa yang indah de
Desa 9 Naga adalah desa kuno yang merupakan awal peradaban naga-naga yang kemudian berekspansi meluaskan kekuasaannya ke dunia manusia. Desa ini awalnya dipimpin oleh leluhur naga yang disebut Draken. Naga yang sangat sakti tanpa tanding pada masa itu, Saat Draken menemukan jalur masuk ke alam manusia yang berbeda dengan alam naga nya dia tertarik untuk hidup berdampingan dengan manusia. Draken lah yang menciptakan 9 Naga yang hidup di Kota 9 Naga saat itu serta salah satu naga terkuat yang gagal diciptakan dan merasa terbuang yaitu Naga Hitam.Draken sendiri memilih hidup di desa kuno ini. Kesembilan naga inilah yang diutus untuk mendamaikan wilayah Kamndaria saat itu yang masih merupakan alam liar tidak terurus. Draken memilih manusia sebagai kasta tertinggi yang hidupnya berdampingan dengan naga untuk memimpin keseluruhan makhluk yang ada di wilayah Kamandaria. Sayangnya rencananya tidak berjalan mulus dengan banyaknya pemberontakan yang dilakukan makhluk-makhluk lainnya yang
“Aku sedang ada di mana ini?”, Candaka bertanya-tanya karena tahu-tahu dia tergeletak begitu saja di padang gurun yang panas. Perasaannya tadi dia sedang mandi di pondokannya di desa naga yang tenang. “Apa aku ada di Gurun Terkutuk ya?”, pikirnya lagi setelah melihat keadaan sekeliling. “Kok aku bisa berada di sini? Apa aku ini sedang bermimpi ya?”Rasa panas yang menyengat membuat badannya merasa gerah. Keringat mulai bercucuran membasahi bajunya membuat Candaka terpaksa melepas bajunya untuk mengelap keringat di wajah dan badannya. “Ternyata siang hari di gurun ini sangat panas sekali. Tapi kok kemarin saat bersama kakek, gurun ini tidak sepanas sekarang”, pikir Candaka lagiPemuda ini terus berjalan berharap menemukan lagi kuil naga agar dia bisa beristirahat dari panasnya matahari yang serasa membakar seluruh tubuhnya. Tapi tidak terlihat apapaun sejauh mata memandang, hanya padang pasir yang benar-benar gersang yang tida
Candaka dihinggapi rasa galau yang luar biasa. Dalam hati dia ingin menjadi pendekar sakti agar bisa melindungi teman-temannya terutama Gayatri dari serangan Iblis Naga Hitam kelak. Tapi di sisi lain dia tidak yakin dengan kemampuannya untuk mengalahkan naga raksasa ini. Jika dia kalah dan t**as maka semua jerih payahnya selama ini akan sia-sia saja.“Jangan takut cu..Kamu pasti bisa mengalahkan Naga Putih ini..Ikuti saja kemauan naga ini niscaya kamu akan bisa mengalahkannya”, terdengar suara seperti suara Ki Wicaksono terngiang-ngiang di telinganya dari belakang badannya.“Kakek..Sejak kapan kakek ada di sini?”, teriak Candaka penuh kegirangan sambil membalikkan badannya. Tapi tidak terlihat siapapun. “Suara siapa ya tadi? Kok kedengarannya jelas sekali? Mungkin halusinasiku saja karena kan sebenarnya aku masih di padang gurun kalau di dunia manusia”, pikirnya lagiCandaka menghabiskan waktunya dengan berlatih memantapkan jurus-ju
Candaka yang berusaha mencari Kitab Naga pertamanya menemui ujian yang sangat berat dalam hidupnya. Keberaniannya untuk berhadapan dengan Naga Putih Raksasa membuatnya bertemu dengan naga yang sangat ditakutinya. Alih-alih dia merasa terba**r oleh semburan api naga ini, dia melihat sosok yang mirip kakeknya Ki Wicaksono. Perlu waktu agak lama baginya untuk menyesuaikan matanya. Setelah jelas dia melihat sosok yang tadi dilihatnya. Ternyata sosok yang dilihatnya sudah sangat tua dengan janggut putihnya yang memanjang hampir sama panjangnya dengan rambut putihnya. Tapi wajah kakek ini tampak tidak berkeriput sama sekali layaknya kakek-kakek pada umumnya. Kakek ini agak kurus dibandingkan Ki Wicaksono, tapi kakek ini tersenyum padanya sambil menyodorkan tangan untuk menariknya bangun dari panasnya padang pasir.Candaka menyambut tangan kakek ini yang menariknya berdiri di hadapannya. “Sepertinya memang aku sudah m**i, dan kakek ini adalah dewa yang akan membawaku per
Candaka terbangun saat terik matahari mulai menyinari tubuhnya. “Sudah siang rupanya. Apa aku ketiduran sampai selama ini?”, dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Terlihat olehnya Kitab yang diberikan kakek naga saat dia berada di padang gurun, berarti dia tidak bermimpi dan semua kejadian yang dialaminya benar adanya.“Ada baiknya aku di sini dahulu beberapa hari mempelajari kitab ini, karena perjalanan pulang sangat penuh mara bahaya jika ilmu silatku pas-pasan”, katanya dalam hati.Gua tempat Candaka bernaung berada jauh di atas hutan yang sebelumnya dia lewati. Pandangannya ke arah perkampungan misterius yang ditakuti Ki Wicaksono terhalang oleh tebing karang sehingga dia tidak bisa melihat apapun ke sana, demikian juga dari arah perkampungan tidak bisa melihat posisi Candaka karena terhalang tebing yang terjal juga. Jadi untuk sementara pemuda ini aman tinggal di dalam gua. Selain perbekalannya yang masih cukup banyak, di dekat gua juga ada mata air yang
Tak terasa oleh Candaka kalau dia sudah sebulan lamanya berada di dalam gua dan melatih ilmu silatnya. Selama itu tidak ada gangguan berarti yang dialaminya. Kekhawatiran diserang makhluk penghuni Kampung Misterius juga tidak terjadi. Rasa rindu kepada teman-temannya membuatnya siap untuk meninggalkan gua yang sudah dianggapnya sebagai rumah sendiri. Dia mulai mempersiapkan bekal yang akan dibawanya beserta minuman dari mata air agar cukup untuk perjalanannya.“Nanti aku mampir lagi ya guaku tersayang, saat aku menjenguk nenek nanti”, katanya sebelum turun dari gua menuju perjalanan pulang. Candaka sudah merasa gua ini yang selalu menemaninya selama ini, sehingga dia agak berat meninggalkannya.Pagi yang sangat cerah membuat langkah kaki Candaka terasa ringan. Tidak terlihat lagi pemuda dekil dan serampangan seperti sebelumnya, hanya terlihat pemuda tegap dengan penampilan yang bersih dan rapi menuruni lereng gua menuju ke arah hutan. Dengan lincah pemuda ini m