Home / Pendekar / Pendekar Naga Petir / Li Feng Dan Li Mei Mulai Berlatih

Share

Li Feng Dan Li Mei Mulai Berlatih

Author: sophelia
last update Last Updated: 2025-09-29 22:26:56

Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.

Tatapan matanya melembut.

“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.

Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.

“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”

Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.

“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian lihat.”

Li Feng menggeliat sambil mengucek matanya. “Tempat apa, Qin Shan? Kita baru saja istirahat semalam, kan?”

Qin Shan tidak menjawab, hanya menatapnya dengan senyum samar.

“Tempat rahasiaku. Tapi jangan sekali-kali kalian bocorkan pada siapa pun, mengerti?”

Li Mei yang masih setengah sadar langsung menggenggam tangan kakaknya erat. “Tempat rahasia? Kenapa terdengar menakutkan?”

“Karena memang menakutkan,” jawab Qin Shan datar, tapi nada suaranya tenang. “Tapi kalau kalian ingin hidup lebih lama, kalian harus tahu tempat ini.”

Li Feng dan Li Mei saling pandang, lalu mengangguk kecil. “Baiklah. Kami ikut.”

Perjalanan mereka memakan waktu hampir dua jam. Mereka melewati semak berduri, akar pohon yang menjalar, dan jalan setapak yang nyaris tak terlihat. Hanya Qin Shan yang tahu ke mana langkah kakinya mengarah.

Li Mei sesekali mengeluh. “Jauh sekali… aku lapar…”

“Sedikit lagi,” jawab Qin Shan tanpa menoleh.

Li Feng memandang punggung Qin Shan dengan kagum sekaligus heran. “Kau selalu tahu jalan yang bahkan tidak terlihat. Kau mengingat semuanya, ya?”

“Kalau kau sering berburu dan berlatih di hutan, semua jalur akan menempel di kepalamu,” ujar Qin Shan sambil tersenyum tipis. “Kau akan terbiasa nanti.”

Setelah menembus semak lebat di sisi tebing, Qin Shan berhenti. Ia mendorong batu besar di sisi dinding batu—dan suara gesekan berat terdengar. Batu itu perlahan bergeser, membuka celah gelap di belakangnya.

Li Feng menelan ludah. “Ini… gua biasa?”

“Tidak sepenuhnya,” kata Qin Shan, melangkah masuk lebih dulu. “Kalian akan segera tahu.”

Begitu mereka masuk, hawa dingin segera menyergap. Dinding batu penuh ukiran samar yang berpendar redup, membentuk pola formasi yang berputar pelan. Tekanan spiritual menekan dada, membuat Li Mei gemetar.

“A-apa ini… rasanya seperti… dadaku ditekan batu besar,” katanya sambil menggenggam dada.

“Tenang,” kata Qin Shan pelan. “Formasi ini sudah kugunakan berkali-kali. Selama kalian ikut aku, tak akan ada bahaya.”

Ia menempelkan telapak tangannya ke dinding. Cahaya biru menyala lembut, mengalir seperti urat hidup. Formasi terbuka, dan jalan menuju ruang dalam terbentang. Dari sana, pancaran energi spiritual langsung terasa—tebal, hidup, dan hangat.

Li Feng tertegun. “Apa ini tempat latihanmu?”

Qin Shan mengangguk. “Ya. Dan mulai hari ini, tempat ini juga akan jadi milik kalian.”

Ruangan itu luas, diterangi oleh sinar biru dari kolam di tengahnya. Cairan dalam kolam berkilauan seperti cahaya bintang, memantulkan warna perak dan biru di dinding batu. Di sekelilingnya, ada beberapa peti batu tua yang terbuka, berisi gulungan, pil, dan senjata usang yang masih memancarkan aura dingin.

Li Mei menutup mulutnya dengan tangan. “A-apa ini sungguhan? Seperti di cerita legenda…”

“Ini bukan legenda,” jawab Qin Shan datar. “Semua yang ada di sini peninggalan pendekar kuno. Aku menemukannya dua tahun lalu, dan sejak saat itu, aku mulai berjalan di jalanku sendiri.”

Li Feng melangkah mendekati kolam. Ia menatap cairan di dalamnya dengan mata berbinar. “Cairan ini… terasa aneh, tapi juga menenangkan.”

“Itu kolam latihan fisik,” kata Qin Shan. “Cairannya bisa memperkuat tubuh, membersihkan kotoran, bahkan membangunkan energi tubuh. Tapi rasanya seperti mati hidup kembali.”

Li Mei menatap ragu. “Maksudmu… sakit?”

“Sangat sakit,” jawab Qin Shan singkat. “Kau akan merasa seperti tubuhmu dibakar dan ditusuk seribu jarum sekaligus. Tapi kalau kalian tahan, tubuh kalian akan berubah.”

Li Feng menatap adiknya, lalu kembali ke Qin Shan. “Kau yakin ini tidak akan membunuh kami?”

Qin Shan terdiam sejenak. “Aku tidak bisa menjamin. Tapi aku tidak akan membiarkan kalian mati. Aku di sini.”

Li Feng menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Aku siap.”

Li Mei menatap kakaknya dengan mata berkaca. “Kak, aku takut…”

Li Feng berlutut di depan adiknya. “Aku juga takut, Mei. Tapi kalau kita terus takut, kita akan mati seperti orang-orang di desa. Kita tidak punya siapa-siapa lagi… kecuali dia.” Ia menatap Qin Shan. “Jadi, kita harus percaya padanya.”

Qin Shan hanya menatap mereka berdua dalam diam. Lalu, perlahan, ia mengulurkan tangannya.

“Kalau kalian siap, masuklah ke dalam.”

Begitu tubuh mereka menyentuh air kolam, jeritan melengking langsung pecah.

“AAARGHHH!!!”

Li Mei menggeliat, tubuhnya gemetar hebat. “Sakit! Kak… aku tak bisa tahan!”

Li Feng menahan napas, urat-urat di lehernya menegang. “T-tahan, Mei! Jangan keluar dulu!”

Tubuh mereka bergetar keras. Kulit mereka memerah, lalu berubah menjadi ungu samar karena tekanan energi yang menembus setiap pori. Qin Shan berlutut di tepi kolam, suaranya keras namun tegas.

“Tahan! Jangan biarkan rasa sakit menguasai kalian! Rasakan… tapi jangan menyerah!”

Li Mei menjerit lagi, air mata menetes di pipinya. “Sakit… aku ingin keluar!”

Qin Shan menatapnya tajam, tapi suaranya pelan. “Kalau kau keluar sekarang, tubuhmu tak akan sanggup lagi menahan energi kolam. Kau akan mati dalam hitungan detik. Tapi kalau kau bertahan, bahkan hanya sepuluh detik lagi… tubuhmu akan berubah.”

Li Feng menatap Qin Shan dengan mata penuh tekad. “Berapa lama dulu kau bisa bertahan?”

“Dua menit,” jawab Qin Shan. “Lalu aku pingsan selama dua hari. Tapi itu sudah cukup untuk membuatku sekuat sekarang.”

Li Feng mengangguk, menggertakkan gigi. “Baik. Aku… tidak akan kalah darimu!”

Waktu berjalan lambat. Satu menit terasa seperti satu jam. Tubuh mereka terus menggeliat, wajah mereka pucat pasi, tapi Qin Shan tak beranjak sedikit pun. Ia menatap mereka seperti batu karang, namun dalam hatinya bergetar.

(Jangan mati… bertahanlah. Aku butuh kalian hidup.)

Setelah tiga puluh menit penuh penderitaan, tubuh keduanya akhirnya terkulai lemas. Qin Shan segera menarik mereka keluar dari kolam, menutup tubuh mereka dengan kain kering, dan menuangkan ramuan herbal ke mulut mereka satu per satu.

Napas mereka terengah-engah, tapi masih ada. Perlahan, warna wajah mereka kembali. Qin Shan menarik napas lega.

“Kau gila…” gumam Li Feng lemah, tersenyum samar. “Tapi… aku… merasa berbeda.”

Qin Shan tertawa kecil. “Selamat datang di dunia kultivasi. Rasa sakit itu baru permulaan.”

Hari-hari berikutnya menjadi ujian ketahanan.

Setiap malam mereka masuk ke kolam lagi, setiap kali sedikit lebih lama. Rasa sakitnya tak berkurang, tapi tubuh mereka mulai terbiasa. Kulit mereka mengeras, urat-urat menjadi lentur, dan napas mereka semakin stabil. Li Feng bahkan mulai bisa merasakan aliran energi di tubuhnya.

“Ini… seperti arus air yang mengalir di dalam tubuhku,” katanya sambil memejamkan mata. “Hangat… tapi kuat.”

“Itu energi spiritual,” jelas Qin Shan. “Jaga agar tetap mengalir. Jangan biarkan berhenti.”

Li Mei menatap kedua anak lelaki itu. “Aku juga merasakannya… tapi kecil sekali.”

“Itu bagus,” kata Qin Shan lembut. “Setiap orang punya jalannya sendiri. Tidak perlu terburu-buru.”

Kadang Li Mei menangis di tengah latihan, dan Li Feng hampir menyerah karena tubuhnya terasa remuk, tapi setiap kali itu terjadi, Qin Shan selalu berkata hal yang sama:

“Kalau kalian berhenti sekarang, semua rasa sakit ini akan sia-sia. Tapi kalau kalian terus melangkah, bahkan rasa sakit akan jadi kekuatan.”

Ucapan itu menjadi mantra bagi mereka bertiga.

Beberapa pekan berlalu.

Di tengah gua, kolam berkilau lembut. Qin Shan duduk bersila, sementara Li Feng dan Li Mei berada di sisinya. Aura spiritual samar mengalir dari tubuh mereka bertiga, menandakan perubahan besar yang terjadi.

Li Feng membuka mata lebih dulu, napasnya mantap. “Aku… bisa merasakan energi itu bergerak di dalam tubuhku! Jadi ini… kultivasi?”

“Benar,” jawab Qin Shan. “Mulai hari ini, kalian resmi melangkah di jalanku.”

Ia berdiri perlahan, lalu mengulurkan tangan. Tatapan matanya tajam tapi hangat.

“Mulai hari ini, kita bertiga bukan hanya teman. Kita adalah saudara seperjalanan. Kita akan melangkah bersama sampai puncak, atau jatuh bersama di jalan.”

Li Feng menggenggam tangan Qin Shan, matanya berkilat penuh tekad. “Aku tidak akan mundur, apa pun yang terjadi.”

Li Mei menyusul, menaruh tangannya di atas mereka. “Aku juga! Aku tidak mau tertinggal!”

Cahaya biru dari kolam memantulkan bayangan tiga anak kecil yang saling menggenggam tangan—bayangan yang kelak mengguncang sembilan galaksi.

Qin Shan menatap mereka berdua dan tersenyum kecil. “Baiklah… mulai hari ini, kita saudara. Dan dunia ini akan jadi saksi langkah kita.”

Di luar gua, angin sore berembus lembut membawa aroma tanah dan air. Langit memerah di ufuk barat. Qin Shan melangkah keluar lebih dulu, diikuti Li Feng dan Li Mei. Ketiganya berdiri di bibir tebing, menatap matahari tenggelam.

Li Feng menatap langit. “Kau pikir… suatu hari nanti kita bisa sekuat pendekar kuno itu?”

“Tidak,” jawab Qin Shan sambil menatap langit. “Kita akan melampaui mereka.”

Li Mei tertawa kecil. “Kau sombong sekali…”

Qin Shan menatapnya dengan senyum ringan. “Kalau aku tidak sombong, siapa lagi yang akan percaya kita bisa?”

Li Feng terkekeh. “Kau benar.”

Angin bertiup, membawa tawa mereka bertiga.

Dan di bawah langit senja yang tenang, lahirlah persaudaraan yang akan menggetarkan dunia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Naga Petir   Batu Teratai dan Dunia Kecil

    Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant

  • Pendekar Naga Petir   Rahasia di Dalam Tubuh Ular

    Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j

  • Pendekar Naga Petir   Ular Bermata Emas

    Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send

  • Pendekar Naga Petir   Ujian Pertama di Hutan

    Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b

  • Pendekar Naga Petir   Li Feng Dan Li Mei Mulai Berlatih

    Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l

  • Pendekar Naga Petir   Teman Pertama di Tengah Bahaya

    jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status