LOGINLangit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.
Tatapan matanya melembut.
“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.
“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”
Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.
“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian lihat.”
Li Feng menggeliat sambil mengucek matanya. “Tempat apa, Qin Shan? Kita baru saja istirahat semalam, kan?”
Qin Shan tidak menjawab, hanya menatapnya dengan senyum samar.
“Tempat rahasiaku. Tapi jangan sekali-kali kalian bocorkan pada siapa pun, mengerti?”Li Mei yang masih setengah sadar langsung menggenggam tangan kakaknya erat. “Tempat rahasia? Kenapa terdengar menakutkan?”
“Karena memang menakutkan,” jawab Qin Shan datar, tapi nada suaranya tenang. “Tapi kalau kalian ingin hidup lebih lama, kalian harus tahu tempat ini.”
Li Feng dan Li Mei saling pandang, lalu mengangguk kecil. “Baiklah. Kami ikut.”
Perjalanan mereka memakan waktu hampir dua jam. Mereka melewati semak berduri, akar pohon yang menjalar, dan jalan setapak yang nyaris tak terlihat. Hanya Qin Shan yang tahu ke mana langkah kakinya mengarah.
Li Mei sesekali mengeluh. “Jauh sekali… aku lapar…”
“Sedikit lagi,” jawab Qin Shan tanpa menoleh.
Li Feng memandang punggung Qin Shan dengan kagum sekaligus heran. “Kau selalu tahu jalan yang bahkan tidak terlihat. Kau mengingat semuanya, ya?”
“Kalau kau sering berburu dan berlatih di hutan, semua jalur akan menempel di kepalamu,” ujar Qin Shan sambil tersenyum tipis. “Kau akan terbiasa nanti.”
Setelah menembus semak lebat di sisi tebing, Qin Shan berhenti. Ia mendorong batu besar di sisi dinding batu—dan suara gesekan berat terdengar. Batu itu perlahan bergeser, membuka celah gelap di belakangnya.
Li Feng menelan ludah. “Ini… gua biasa?”
“Tidak sepenuhnya,” kata Qin Shan, melangkah masuk lebih dulu. “Kalian akan segera tahu.”
Begitu mereka masuk, hawa dingin segera menyergap. Dinding batu penuh ukiran samar yang berpendar redup, membentuk pola formasi yang berputar pelan. Tekanan spiritual menekan dada, membuat Li Mei gemetar.
“A-apa ini… rasanya seperti… dadaku ditekan batu besar,” katanya sambil menggenggam dada.
“Tenang,” kata Qin Shan pelan. “Formasi ini sudah kugunakan berkali-kali. Selama kalian ikut aku, tak akan ada bahaya.”
Ia menempelkan telapak tangannya ke dinding. Cahaya biru menyala lembut, mengalir seperti urat hidup. Formasi terbuka, dan jalan menuju ruang dalam terbentang. Dari sana, pancaran energi spiritual langsung terasa—tebal, hidup, dan hangat.
Li Feng tertegun. “Apa ini tempat latihanmu?”
Qin Shan mengangguk. “Ya. Dan mulai hari ini, tempat ini juga akan jadi milik kalian.”
Ruangan itu luas, diterangi oleh sinar biru dari kolam di tengahnya. Cairan dalam kolam berkilauan seperti cahaya bintang, memantulkan warna perak dan biru di dinding batu. Di sekelilingnya, ada beberapa peti batu tua yang terbuka, berisi gulungan, pil, dan senjata usang yang masih memancarkan aura dingin.
Li Mei menutup mulutnya dengan tangan. “A-apa ini sungguhan? Seperti di cerita legenda…”
“Ini bukan legenda,” jawab Qin Shan datar. “Semua yang ada di sini peninggalan pendekar kuno. Aku menemukannya dua tahun lalu, dan sejak saat itu, aku mulai berjalan di jalanku sendiri.”
Li Feng melangkah mendekati kolam. Ia menatap cairan di dalamnya dengan mata berbinar. “Cairan ini… terasa aneh, tapi juga menenangkan.”
“Itu kolam latihan fisik,” kata Qin Shan. “Cairannya bisa memperkuat tubuh, membersihkan kotoran, bahkan membangunkan energi tubuh. Tapi rasanya seperti mati hidup kembali.”
Li Mei menatap ragu. “Maksudmu… sakit?”
“Sangat sakit,” jawab Qin Shan singkat. “Kau akan merasa seperti tubuhmu dibakar dan ditusuk seribu jarum sekaligus. Tapi kalau kalian tahan, tubuh kalian akan berubah.”
Li Feng menatap adiknya, lalu kembali ke Qin Shan. “Kau yakin ini tidak akan membunuh kami?”
Qin Shan terdiam sejenak. “Aku tidak bisa menjamin. Tapi aku tidak akan membiarkan kalian mati. Aku di sini.”
Li Feng menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Aku siap.”
Li Mei menatap kakaknya dengan mata berkaca. “Kak, aku takut…”
Li Feng berlutut di depan adiknya. “Aku juga takut, Mei. Tapi kalau kita terus takut, kita akan mati seperti orang-orang di desa. Kita tidak punya siapa-siapa lagi… kecuali dia.” Ia menatap Qin Shan. “Jadi, kita harus percaya padanya.”
Qin Shan hanya menatap mereka berdua dalam diam. Lalu, perlahan, ia mengulurkan tangannya.
“Kalau kalian siap, masuklah ke dalam.”
Begitu tubuh mereka menyentuh air kolam, jeritan melengking langsung pecah.
“AAARGHHH!!!”
Li Mei menggeliat, tubuhnya gemetar hebat. “Sakit! Kak… aku tak bisa tahan!”Li Feng menahan napas, urat-urat di lehernya menegang. “T-tahan, Mei! Jangan keluar dulu!”
Tubuh mereka bergetar keras. Kulit mereka memerah, lalu berubah menjadi ungu samar karena tekanan energi yang menembus setiap pori. Qin Shan berlutut di tepi kolam, suaranya keras namun tegas.
“Tahan! Jangan biarkan rasa sakit menguasai kalian! Rasakan… tapi jangan menyerah!”
Li Mei menjerit lagi, air mata menetes di pipinya. “Sakit… aku ingin keluar!”
Qin Shan menatapnya tajam, tapi suaranya pelan. “Kalau kau keluar sekarang, tubuhmu tak akan sanggup lagi menahan energi kolam. Kau akan mati dalam hitungan detik. Tapi kalau kau bertahan, bahkan hanya sepuluh detik lagi… tubuhmu akan berubah.”
Li Feng menatap Qin Shan dengan mata penuh tekad. “Berapa lama dulu kau bisa bertahan?”
“Dua menit,” jawab Qin Shan. “Lalu aku pingsan selama dua hari. Tapi itu sudah cukup untuk membuatku sekuat sekarang.”
Li Feng mengangguk, menggertakkan gigi. “Baik. Aku… tidak akan kalah darimu!”
Waktu berjalan lambat. Satu menit terasa seperti satu jam. Tubuh mereka terus menggeliat, wajah mereka pucat pasi, tapi Qin Shan tak beranjak sedikit pun. Ia menatap mereka seperti batu karang, namun dalam hatinya bergetar.
(Jangan mati… bertahanlah. Aku butuh kalian hidup.)Setelah tiga puluh menit penuh penderitaan, tubuh keduanya akhirnya terkulai lemas. Qin Shan segera menarik mereka keluar dari kolam, menutup tubuh mereka dengan kain kering, dan menuangkan ramuan herbal ke mulut mereka satu per satu.
Napas mereka terengah-engah, tapi masih ada. Perlahan, warna wajah mereka kembali. Qin Shan menarik napas lega.
“Kau gila…” gumam Li Feng lemah, tersenyum samar. “Tapi… aku… merasa berbeda.”
Qin Shan tertawa kecil. “Selamat datang di dunia kultivasi. Rasa sakit itu baru permulaan.”
Hari-hari berikutnya menjadi ujian ketahanan.
Setiap malam mereka masuk ke kolam lagi, setiap kali sedikit lebih lama. Rasa sakitnya tak berkurang, tapi tubuh mereka mulai terbiasa. Kulit mereka mengeras, urat-urat menjadi lentur, dan napas mereka semakin stabil. Li Feng bahkan mulai bisa merasakan aliran energi di tubuhnya.
“Ini… seperti arus air yang mengalir di dalam tubuhku,” katanya sambil memejamkan mata. “Hangat… tapi kuat.”
“Itu energi spiritual,” jelas Qin Shan. “Jaga agar tetap mengalir. Jangan biarkan berhenti.”
Li Mei menatap kedua anak lelaki itu. “Aku juga merasakannya… tapi kecil sekali.”
“Itu bagus,” kata Qin Shan lembut. “Setiap orang punya jalannya sendiri. Tidak perlu terburu-buru.”
Kadang Li Mei menangis di tengah latihan, dan Li Feng hampir menyerah karena tubuhnya terasa remuk, tapi setiap kali itu terjadi, Qin Shan selalu berkata hal yang sama:
“Kalau kalian berhenti sekarang, semua rasa sakit ini akan sia-sia. Tapi kalau kalian terus melangkah, bahkan rasa sakit akan jadi kekuatan.”
Ucapan itu menjadi mantra bagi mereka bertiga.
Beberapa pekan berlalu.
Di tengah gua, kolam berkilau lembut. Qin Shan duduk bersila, sementara Li Feng dan Li Mei berada di sisinya. Aura spiritual samar mengalir dari tubuh mereka bertiga, menandakan perubahan besar yang terjadi.
Li Feng membuka mata lebih dulu, napasnya mantap. “Aku… bisa merasakan energi itu bergerak di dalam tubuhku! Jadi ini… kultivasi?”
“Benar,” jawab Qin Shan. “Mulai hari ini, kalian resmi melangkah di jalanku.”
Ia berdiri perlahan, lalu mengulurkan tangan. Tatapan matanya tajam tapi hangat.
“Mulai hari ini, kita bertiga bukan hanya teman. Kita adalah saudara seperjalanan. Kita akan melangkah bersama sampai puncak, atau jatuh bersama di jalan.”Li Feng menggenggam tangan Qin Shan, matanya berkilat penuh tekad. “Aku tidak akan mundur, apa pun yang terjadi.”
Li Mei menyusul, menaruh tangannya di atas mereka. “Aku juga! Aku tidak mau tertinggal!”
Cahaya biru dari kolam memantulkan bayangan tiga anak kecil yang saling menggenggam tangan—bayangan yang kelak mengguncang sembilan galaksi.
Qin Shan menatap mereka berdua dan tersenyum kecil. “Baiklah… mulai hari ini, kita saudara. Dan dunia ini akan jadi saksi langkah kita.”
Di luar gua, angin sore berembus lembut membawa aroma tanah dan air. Langit memerah di ufuk barat. Qin Shan melangkah keluar lebih dulu, diikuti Li Feng dan Li Mei. Ketiganya berdiri di bibir tebing, menatap matahari tenggelam.
Li Feng menatap langit. “Kau pikir… suatu hari nanti kita bisa sekuat pendekar kuno itu?”
“Tidak,” jawab Qin Shan sambil menatap langit. “Kita akan melampaui mereka.”
Li Mei tertawa kecil. “Kau sombong sekali…”
Qin Shan menatapnya dengan senyum ringan. “Kalau aku tidak sombong, siapa lagi yang akan percaya kita bisa?”
Li Feng terkekeh. “Kau benar.”
Angin bertiup, membawa tawa mereka bertiga.
Dan di bawah langit senja yang tenang, lahirlah persaudaraan yang akan menggetarkan dunia.Ledakan cahaya itu datang begitu cepat hingga Qin Shan tak sempat menarik napas. Dalam sekejap, seluruh lembah tertelan cahaya biru menyilaukan. Angin berputar liar, mengangkat debu dan batu seperti badai.Ia melompat mundur, berusaha mengaktifkan formasi pelindung di tubuhnya. Tapi sebelum segelnya terbentuk, cahaya itu menelannya bulat-bulat.Suara petir meledak di telinganya—panjang, berat, dan terasa seperti menggetarkan tulang. Lalu semuanya hening.Ketika kesadarannya kembali, ia berdiri di tempat yang tidak lagi sama.Langit di atasnya bergulung seperti kabut berlapis petir. Tanah di bawah kakinya adalah dataran gelap berwarna keperakan, memantulkan bayangan dirinya sendiri. Tak ada angin, tak ada suara. Hanya dengung halus dari udara yang bergetar oleh energi.“Dimensi buatan…” gumamnya pelan. Ia menunduk, menyentuh tanah. “Stabilisasi energi petir tingkat tinggi. Mirip teknik segel ruang yang digunakan oleh Bai Chen.”Jantungnya berdetak lebih cepat. Semua ini terasa terlalu
Pagi itu udara di kota perbatasan terasa lebih berat dari biasanya. Awan kelabu menggantung rendah, menyelimuti atap-atap rumah yang berdebu. Qin Shan berjalan di sisi kiri jalan bersama Yue Ling, langkahnya tenang tapi matanya tajam mengamati setiap sudut.Kertas kecil di tangannya kini telah menjadi beban pikiran yang terus berputar sejak semalam.“Jika kau ingin bertemu Bai Chen, datanglah ke reruntuhan Lembah Angin Tersembunyi. Tapi jangan membawa siapa pun selain dirimu.”Tulisan itu terlalu rapi untuk sekadar jebakan murahan. Dan simbol formasi petir biru di ujungnya—terlalu spesifik untuk diabaikan. Simbol itu hanya digunakan oleh kelompok yang menguasai formasi tingkat tinggi dari wilayah selatan.“Masih yakin mau datang?” tanya Yue Ling pelan. “Kalau ini jebakan, kita bisa kehilangan nyawa.”Qin Shan menatap lurus ke depan, suaranya datar. “Justru karena itu aku harus datang. Jika benar Bai Chen masih hidup, maka seseorang sedang berusaha mempermainkan kita.”Mereka berbelok
Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas pasar kota perbatasan. Qin Shan menatap gulungan kertas di tangannya—pesan dengan simbol petir biru yang belum sempat ia buang sejak kemarin.“Lembah Angin Tersembunyi,” gumamnya pelan. Yue Ling menatapnya tajam. “Kau yakin mau pergi sendirian?” “Aku harus memastikan sendiri. Kalau Bai Chen benar-benar hidup, dia mungkin menunggu di sana.” “Dan kalau ini jebakan?” Qin Shan tersenyum tipis. “Maka orang yang memasangnya akan menyesal.”Ia menyimpan kertas itu ke dalam lengan jubahnya, kemudian melangkah pergi tanpa menoleh. Yue Ling hanya bisa menatap punggungnya hingga menghilang di antara kabut.Perjalanan menuju lembah memakan waktu setengah hari. Daerah itu sunyi, hanya angin lembut yang berhembus membawa bau lembab tanah tua. Di kejauhan, lembah itu tampak seperti luka di antara dua tebing, dikelilingi pohon berdaun merah tua yang tidak seharusnya tumbuh di tempat sekering ini.Begitu Qin Shan menjejakkan kaki di dalam, hawa spirit
Udara di luar lembah terasa berat. Sisa-sisa petir hitam dari pertarungan sebelumnya masih menggantung di langit barat, menandakan Mo Yuan belum sepenuhnya musnah.Qin Shan dan Yue Ling berdiri di puncak tebing kecil. Angin membawa aroma logam dan abu. Dari kejauhan, mereka bisa melihat kilatan cahaya merah di antara awan hitam—tanda bahwa sesuatu masih bergerak di dalam tubuh Mo Yuan.“Dia tidak akan menyerah,” ucap Qin Shan datar. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan kekhawatiran.“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Yue Ling pelan. “Kalau dia benar-benar bangkit, kita tidak mungkin melawannya dalam kondisi sekarang.”Qin Shan menatap cakrawala sejenak, lalu menarik napas panjang. “Kita mundur dulu. Aku perlu waktu untuk menstabilkan dantian dan menguatkan fisik dewa perangnya. Dunia Batu Semesta akan mempercepat pemulihanku.”Tanpa banyak bicara lagi, ia menutup matanya, memusatkan kesadaran jiwa, dan dalam sekejap tubuhnya lenyap dari tempat itu. Yue Ling mengikuti, me
Asap tebal memenuhi lembah. Batu-batu besar yang sebelumnya kokoh kini hancur berserakan. Bau ozon memenuhi udara akibat petir hitam yang baru saja menghantam tanah.Yue Ling berlari dengan wajah panik, tubuhnya berlumuran debu dan darah. “Qin Shan! Di mana kau?!”Tidak ada jawaban. Hanya suara batu yang runtuh dan desis petir yang belum sepenuhnya padam.Ketika debu mulai mengendap, matanya menangkap sebuah sosok di tengah kawah besar. Qin Shan berdiri setengah berlutut, tubuhnya penuh luka. Sebagian baju terbakar, darah menetes dari pelipis dan dada kirinya. Namun matanya masih terbuka, tajam seperti biasa.“Qin Shan!” Yue Ling berlari mendekat.“Jangan,” katanya lirih sambil menahan napas. “Jangan terlalu dekat.”Yue Ling terhenti. Dari jarak beberapa langkah, ia merasakan tekanan aneh yang menyelimuti Qin Shan—campuran antara aura petir dan energi hitam milik Mo Yuan yang belum sepenuhnya menghilang.“Kau terluka parah,” ucap Yue Ling, nada suaranya bergetar. “Kita harus segera ke
Debu reruntuhan belum sepenuhnya mereda saat Qin Shan berdiri tegak di tengah sisa paviliun. Udara masih bergetar akibat ledakan energi yang baru saja terjadi. Batu-batu besar di sekelilingnya hancur menjadi serpihan, dan tanah di bawahnya tampak seperti terbakar oleh petir.Ia menarik napas dalam-dalam. Setiap tarikan udara membawa rasa logam dan listrik.“Bagian dari Hati Langit, huh…” gumamnya pelan.Tubuhnya memang terasa berbeda. Energi spiritual di dalam dantiannya berputar jauh lebih cepat, tapi setiap aliran energi itu juga menimbulkan tekanan yang luar biasa. Seolah tubuhnya sedang berjuang menyeimbangkan sesuatu yang terlalu besar untuk ditampung manusia biasa.Ia menunduk dan melihat tangannya yang bergetar halus. Urat-urat biru keemasan tampak samar di bawah kulitnya — tanda bahwa energi Hati Langit belum stabil.“Kalau aku ceroboh sedikit saja, seluruh tubuh ini bisa meledak,” pikirnya.Langkah kaki terdengar dari belakang. Pria bertopeng yang tadi bertarung dengannya ber







