Mag-log inLangit pagi itu tampak muram.
Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat. Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang. Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.
Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.
“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bilang luka di perutku sudah hampir sembuh, tapi tubuhku masih terasa berat. Mungkin aku butuh akar Seribu Urat atau rumput Jiwa Batu.”
Ia tersenyum kecil, lalu menatap ke arah lembah tempat kabut lebih tebal menggantung.
Namun, semakin dalam ia melangkah, suasana hutan terasa aneh.
Biasanya, kicauan burung dan dengung serangga menjadi musik alami yang menenangkan. Tapi hari ini—tidak ada apa pun. Hanya desiran angin dan suara dedaunan bergesekan.Qin Shan berhenti, menatap sekeliling dengan tajam.
“Sunyi sekali…” bisiknya. “Biasanya hutan ini ramai. Apa ada binatang buas besar di sekitar sini?”Ia memejamkan mata sejenak, mengandalkan pendengaran dan insting.
Lalu—di antara kabut—ia mendengar sesuatu. Suara lirih, seperti seseorang sedang merintih pelan.“Uh… tolong…”
Qin Shan membuka mata. “Seseorang?”
Ia menunduk dan bergerak cepat mendekati sumber suara, tubuhnya merendah di antara semak-semak. Ia memastikan langkahnya tidak menimbulkan bunyi.
Beberapa meter kemudian, matanya membulat.
Di sana, di balik semak basah, tergeletak seorang bocah laki-laki kira-kira seumur dengannya. Bajunya compang-camping, dipenuhi lumpur dan darah. Wajahnya pucat seperti kertas, bibirnya kering pecah-pecah. Ada luka panjang di lengannya—bekas cakaran binatang buas.
Qin Shan berlutut, menepuk pipinya pelan.
“Hey… bangun. Kau masih hidup?”Kelopak mata bocah itu bergetar. Perlahan ia membuka mata.
Tatapannya kabur, tapi masih ada cahaya di sana. “Tolong… saudaraku… dia masih di dalam hutan…”“Saudaramu?” Qin Shan menatap sekeliling. “Di mana dia?”
Bocah itu mengangkat tangan gemetar dan menunjuk ke arah utara.
“Adikku… Li Mei… dia masih di sana…” suaranya semakin lemah, hampir tak terdengar.Qin Shan menggigit bibir. Ia tahu risiko masuk lebih dalam ke arah utara—daerah itu sering dipenuhi binatang buas tingkat dua atau tiga. Tapi ia tidak bisa meninggalkan anak ini begitu saja.
“Baik,” katanya tegas. “Aku akan mencari adikmu.”
Ia memapah bocah itu dan membaringkannya di balik batang pohon besar, menutupinya dengan dedaunan agar tidak terlihat dari jauh.
“Jangan bergerak. Aku akan kembali. Kau dengar?”Bocah itu menatapnya samar dan mengangguk pelan. “Hati-hati…”
Qin Shan menepuk bahunya, lalu berdiri. “Aku selalu hati-hati.”
Ia berlari menembus kabut.
Setiap langkahnya senyap, cepat, dan pasti.Tak lama, terdengar lolongan panjang menggema di antara pepohonan. Suaranya dalam, seram, dan membuat udara di sekitar bergetar.
Qin Shan mempercepat langkahnya.
“Binatang buas…” gumamnya. “Kalau aku terlambat, gadis itu bisa mati.”Dan benar saja.
Di tengah celah terbuka di antara pepohonan, ia melihat seorang gadis kecil meringkuk di tanah, tubuhnya bergetar ketakutan. Rambutnya panjang kusut, wajahnya kotor oleh tanah dan air mata. Di depannya, seekor Serigala Merah berputar mengelilinginya dengan geraman pelan.Serigala itu ramping, otot-ototnya tegang, matanya menyala merah, dan liur menetes dari taring tajamnya.
Itu bukan hewan biasa — binatang buas peringkat dua, terkenal karena kecepatannya yang sulit diikuti mata manusia.Qin Shan menghela napas pelan. “Kalau aku tak cepat, anak itu takkan selamat.”
Ia melangkah maju.
“Hey, anjing merah!” teriaknya lantang. “Lawanku aku, bukan dia!”Serigala itu langsung berhenti, menatapnya tajam. Geramannya berubah menjadi lolongan pendek sebelum ia menerjang dengan kecepatan luar biasa.
Qin Shan menurunkan tubuhnya, memblokir dengan lengan kanannya.
CLANG!
Cakar serigala menghantam keras, meninggalkan tiga goresan dalam di kulitnya. Darah mengalir, tapi Qin Shan tetap tegak.
“Lumayan cepat,” katanya sambil menahan nyeri. “Tapi kekuatanmu tidak cukup.”
Serigala itu menggeram lebih keras, lalu berputar cepat, mencoba menyerang dari belakang. Qin Shan menunduk, mengelak, lalu membalas dengan pukulan.
“Tinju Harimau Guntur!”
BOOOM!
Tubuh serigala itu terpental, menghantam batang pohon hingga retak. Daun-daun berguguran.
Namun hewan itu masih belum mati.
Bulu di tubuhnya berdiri, mata makin merah, dan langkahnya jadi lebih cepat. Serigala itu berputar, melompat rendah ke arah kaki Qin Shan.“Cepat juga!” Qin Shan melompat mundur, tapi ujung taring sempat menggores betisnya.
“Aaah!” serunya pelan. Ia meringis, tapi matanya tetap fokus. “Kau membuatku marah…”
Ia menarik napas panjang, memusatkan tenaganya.
Tubuhnya mulai bersinar samar—cahaya biru petir muncul di sekitar tangannya.“Fisik Dewa Perang, tingkat dua…” gumamnya pelan. “Kali ini tak akan lama.”
Serigala itu menerkam lagi. Tapi sebelum taringnya menyentuh, Qin Shan sudah bergerak.
Tubuhnya berputar cepat, tinjunya melesat dari bawah, menghantam dagu serigala itu dengan keras.CRACK!
Suara tulang patah terdengar. Serigala itu terhempas ke udara, jatuh terguling beberapa kali, lalu terdiam.Qin Shan berdiri dengan napas terengah, tangannya berdarah, tapi matanya bersinar tajam.
“Sudah berakhir,” gumamnya. “Kau binatang buas yang tangguh, tapi aku lebih keras kepala.”
Ia menatap tubuh hewan itu sebentar, memastikan sudah mati, lalu menoleh ke arah gadis kecil yang meringkuk di tanah.
“Hey…” katanya dengan nada lembut. “Jangan takut. Serigala itu sudah mati.”
Gadis itu menatapnya dengan mata membulat, air mata masih mengalir di pipinya.
“Kau… kau yang menolongku?” suaranya bergetar.Qin Shan tersenyum kecil. “Kau kira siapa lagi? Berdiri, ayo. Kakakmu menunggumu.”
Begitu mendengar kata “kakak”, gadis itu langsung berdiri tergesa.
“Benarkah dia masih hidup?!” tanyanya panik.“Iya. Aku tinggalkan dia di balik pohon besar agar aman. Ayo, aku antar.”
Gadis itu mengangguk cepat dan mulai berlari, sementara Qin Shan mengikutinya dari belakang, memastikan tidak ada ancaman lain. Beberapa menit kemudian, mereka menemukan bocah laki-laki tadi masih terbaring di tempat semula.
“Kakak!” gadis itu berteriak, lalu berlari memeluknya. “Aku kira kau sudah mati!”
Li Feng membuka mata, menatap adiknya lemah tapi tersenyum. “Mei’er… kau selamat…”
Qin Shan berjalan mendekat, menatap keduanya. “Kau beruntung aku datang lebih cepat,” katanya tenang.
Li Feng menatap Qin Shan, bibirnya bergerak pelan. “Terima kasih… kalau tidak ada kau… aku dan Mei pasti…”
“Sudah, jangan bicara banyak. Tenagamu habis,” potong Qin Shan. Ia menunduk, mengeluarkan botol kecil berisi air dari tas kulitnya. “Minum ini. Pelan-pelan.”
Li Feng menerimanya dengan tangan gemetar, meminum sedikit lalu menghela napas.
Air itu segar, mengandung sedikit energi spiritual dari sumber di kolam rahasia tempat Qin Shan sering berlatih.“Lebih baik?” tanya Qin Shan.
Li Feng mengangguk pelan. “Sedikit.”
“Bagus.” Qin Shan berdiri, menatap sekeliling. “Tempat ini tidak aman. Kita harus keluar dari hutan.”
Ia membantu Li Feng berdiri, sementara Li Mei memegangi tangan kakaknya erat-erat.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di tepi sungai kecil yang jernih.
Qin Shan duduk di batu besar, membasuh luka di tangannya. Li Feng dan Li Mei duduk di seberang, saling bersandar kelelahan.Li Mei yang paling dulu membuka mulut.
“Namaku Li Mei,” katanya dengan suara pelan. “Dan ini kakakku, Li Feng. Kami dari Desa Heishan.”“Desa Heishan?” Qin Shan menatap mereka. “Jaraknya lumayan jauh dari sini. Apa yang kalian lakukan di hutan belakang gunungku?”
Li Feng menjawab pelan, “Kami… tidak punya rumah lagi. Wabah menyerang desa kami sebulan lalu. Orang tua kami meninggal. Kami melarikan diri ke sini karena mendengar ada desa kecil di balik gunung.”
Qin Shan terdiam. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah basah.
Setelah lama, ia berkata, “Jadi kalian berdua sendirian?”Li Feng mengangguk. “Iya. Aku cuma ingin mencari tempat aman untuk Mei. Tapi di tengah jalan kami diserang serigala. Aku mencoba melindunginya, tapi…”
“Dan kau hampir mati,” sela Qin Shan sambil menatap luka di lengan Li Feng. “Kau cukup berani.”
Li Feng menunduk. “Aku… cuma kakak yang takut kehilangan adik.”
Li Mei menggenggam tangan kakaknya erat. “Kakak tidak salah. Kalau bukan karena Kakak, aku pasti sudah—”
“Sudah, jangan menangis,” potong Qin Shan lembut. “Kalian berdua masih hidup, itu sudah cukup.”
Li Mei menyeka air matanya. “Kau… siapa namamu?”
“Qin Shan.”
Li Feng memandangnya lama, lalu menunduk hormat. “Qin Shan… terima kasih sudah menyelamatkan kami. Aku tidak tahu bagaimana membalasnya.”
Qin Shan menatap keduanya lama, lalu berkata datar tapi tegas,
“Kalau begitu, mulai hari ini ikutlah denganku.”Keduanya terkejut.
“Ikut… bersamamu?” tanya Li Feng ragu.“Ya,” jawab Qin Shan. “Aku tidak suka banyak bicara. Tapi aku butuh teman. Aku sering berlatih sendirian, dan kadang butuh bantuan. Kalian lemah sekarang, tapi kalau mau hidup… belajar bersamaku.”
Li Mei menatapnya dengan mata berbinar. “Kau mau kami ikut?”
“Tentu. Tapi ada syaratnya.”
Qin Shan menatap keduanya dalam. “Kalau kalian memilih jalan ini, kalian tidak boleh menyerah. Sekali melangkah, kalian harus terus maju. Dan satu hal lagi—jangan pernah khianati aku.”Keduanya terdiam beberapa saat. Lalu Li Feng menatap adiknya, dan mereka saling mengangguk.
“Baik!” jawab Li Feng mantap. “Kami akan ikut denganmu. Kami janji tidak akan mengecewakanmu.”
Li Mei mengangguk dengan mata berkilat. “Aku juga! Aku ingin jadi kuat seperti Kakak Qin!”
Qin Shan tersenyum samar. “Kalau begitu, mulai sekarang, kita bukan orang asing lagi.”
Sore itu, tiga anak kecil berjalan bersama menyusuri tepi sungai, dengan langkah yang pelan tapi pasti. Matahari mulai turun, sinarnya menembus sela-sela pepohonan, memantulkan warna emas di air sungai yang jernih.
Li Mei berjalan di tengah, menggandeng tangan kakaknya dan sesekali menoleh ke arah Qin Shan.
“Kau tahu?” katanya polos. “Kau kelihatan keren waktu melawan serigala itu.”Qin Shan mengangkat alis. “Keren? Aku cuma memukulnya sampai mati.”
“Tetap keren,” jawab Li Mei keras kepala. “Aku mau belajar seperti itu!”
Li Feng terkekeh lemah. “Kau bahkan takut lihat darah, Mei.”
Li Mei memonyongkan bibir. “Kalau ada Kakak Qin, aku tidak takut.”
Qin Shan tertawa kecil, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Nanti aku ajari. Tapi sekarang kita pulang dulu. Ibu pasti cemas kalau aku belum kembali.”
Li Feng menatapnya bingung. “Kau tinggal dengan ibumu saja?”
“Iya,” jawab Qin Shan. “Dia tabib desa. Orang-orang sering datang minta obat padanya.”
Li Feng menunduk. “Pantas kau tahu banyak tentang herbal.”
“Sedikit,” kata Qin Shan. “Tapi aku lebih banyak belajar dari pengalaman.”
Mereka terus berjalan hingga kabut menipis dan jalanan hutan mulai terlihat jelas.
Di bawah langit senja, Qin Shan menatap kedua bocah itu dan bergumam dalam hati:“Orang-orang yang kutolong hari ini… mungkin suatu saat akan berdiri di sisiku. Tidak sebagai beban, tapi sebagai kekuatan.”
Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah dan daun kering.
Langit di atas mereka berwarna merah keemasan. Tiga bocah kecil itu berjalan berdampingan — tanpa sadar, mereka baru saja menapaki langkah pertama dari sebuah takdir besar.Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Qin Shan tidak berjalan sendirian lagi.
Ledakan cahaya itu datang begitu cepat hingga Qin Shan tak sempat menarik napas. Dalam sekejap, seluruh lembah tertelan cahaya biru menyilaukan. Angin berputar liar, mengangkat debu dan batu seperti badai.Ia melompat mundur, berusaha mengaktifkan formasi pelindung di tubuhnya. Tapi sebelum segelnya terbentuk, cahaya itu menelannya bulat-bulat.Suara petir meledak di telinganya—panjang, berat, dan terasa seperti menggetarkan tulang. Lalu semuanya hening.Ketika kesadarannya kembali, ia berdiri di tempat yang tidak lagi sama.Langit di atasnya bergulung seperti kabut berlapis petir. Tanah di bawah kakinya adalah dataran gelap berwarna keperakan, memantulkan bayangan dirinya sendiri. Tak ada angin, tak ada suara. Hanya dengung halus dari udara yang bergetar oleh energi.“Dimensi buatan…” gumamnya pelan. Ia menunduk, menyentuh tanah. “Stabilisasi energi petir tingkat tinggi. Mirip teknik segel ruang yang digunakan oleh Bai Chen.”Jantungnya berdetak lebih cepat. Semua ini terasa terlalu
Pagi itu udara di kota perbatasan terasa lebih berat dari biasanya. Awan kelabu menggantung rendah, menyelimuti atap-atap rumah yang berdebu. Qin Shan berjalan di sisi kiri jalan bersama Yue Ling, langkahnya tenang tapi matanya tajam mengamati setiap sudut.Kertas kecil di tangannya kini telah menjadi beban pikiran yang terus berputar sejak semalam.“Jika kau ingin bertemu Bai Chen, datanglah ke reruntuhan Lembah Angin Tersembunyi. Tapi jangan membawa siapa pun selain dirimu.”Tulisan itu terlalu rapi untuk sekadar jebakan murahan. Dan simbol formasi petir biru di ujungnya—terlalu spesifik untuk diabaikan. Simbol itu hanya digunakan oleh kelompok yang menguasai formasi tingkat tinggi dari wilayah selatan.“Masih yakin mau datang?” tanya Yue Ling pelan. “Kalau ini jebakan, kita bisa kehilangan nyawa.”Qin Shan menatap lurus ke depan, suaranya datar. “Justru karena itu aku harus datang. Jika benar Bai Chen masih hidup, maka seseorang sedang berusaha mempermainkan kita.”Mereka berbelok
Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas pasar kota perbatasan. Qin Shan menatap gulungan kertas di tangannya—pesan dengan simbol petir biru yang belum sempat ia buang sejak kemarin.“Lembah Angin Tersembunyi,” gumamnya pelan. Yue Ling menatapnya tajam. “Kau yakin mau pergi sendirian?” “Aku harus memastikan sendiri. Kalau Bai Chen benar-benar hidup, dia mungkin menunggu di sana.” “Dan kalau ini jebakan?” Qin Shan tersenyum tipis. “Maka orang yang memasangnya akan menyesal.”Ia menyimpan kertas itu ke dalam lengan jubahnya, kemudian melangkah pergi tanpa menoleh. Yue Ling hanya bisa menatap punggungnya hingga menghilang di antara kabut.Perjalanan menuju lembah memakan waktu setengah hari. Daerah itu sunyi, hanya angin lembut yang berhembus membawa bau lembab tanah tua. Di kejauhan, lembah itu tampak seperti luka di antara dua tebing, dikelilingi pohon berdaun merah tua yang tidak seharusnya tumbuh di tempat sekering ini.Begitu Qin Shan menjejakkan kaki di dalam, hawa spirit
Udara di luar lembah terasa berat. Sisa-sisa petir hitam dari pertarungan sebelumnya masih menggantung di langit barat, menandakan Mo Yuan belum sepenuhnya musnah.Qin Shan dan Yue Ling berdiri di puncak tebing kecil. Angin membawa aroma logam dan abu. Dari kejauhan, mereka bisa melihat kilatan cahaya merah di antara awan hitam—tanda bahwa sesuatu masih bergerak di dalam tubuh Mo Yuan.“Dia tidak akan menyerah,” ucap Qin Shan datar. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan kekhawatiran.“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Yue Ling pelan. “Kalau dia benar-benar bangkit, kita tidak mungkin melawannya dalam kondisi sekarang.”Qin Shan menatap cakrawala sejenak, lalu menarik napas panjang. “Kita mundur dulu. Aku perlu waktu untuk menstabilkan dantian dan menguatkan fisik dewa perangnya. Dunia Batu Semesta akan mempercepat pemulihanku.”Tanpa banyak bicara lagi, ia menutup matanya, memusatkan kesadaran jiwa, dan dalam sekejap tubuhnya lenyap dari tempat itu. Yue Ling mengikuti, me
Asap tebal memenuhi lembah. Batu-batu besar yang sebelumnya kokoh kini hancur berserakan. Bau ozon memenuhi udara akibat petir hitam yang baru saja menghantam tanah.Yue Ling berlari dengan wajah panik, tubuhnya berlumuran debu dan darah. “Qin Shan! Di mana kau?!”Tidak ada jawaban. Hanya suara batu yang runtuh dan desis petir yang belum sepenuhnya padam.Ketika debu mulai mengendap, matanya menangkap sebuah sosok di tengah kawah besar. Qin Shan berdiri setengah berlutut, tubuhnya penuh luka. Sebagian baju terbakar, darah menetes dari pelipis dan dada kirinya. Namun matanya masih terbuka, tajam seperti biasa.“Qin Shan!” Yue Ling berlari mendekat.“Jangan,” katanya lirih sambil menahan napas. “Jangan terlalu dekat.”Yue Ling terhenti. Dari jarak beberapa langkah, ia merasakan tekanan aneh yang menyelimuti Qin Shan—campuran antara aura petir dan energi hitam milik Mo Yuan yang belum sepenuhnya menghilang.“Kau terluka parah,” ucap Yue Ling, nada suaranya bergetar. “Kita harus segera ke
Debu reruntuhan belum sepenuhnya mereda saat Qin Shan berdiri tegak di tengah sisa paviliun. Udara masih bergetar akibat ledakan energi yang baru saja terjadi. Batu-batu besar di sekelilingnya hancur menjadi serpihan, dan tanah di bawahnya tampak seperti terbakar oleh petir.Ia menarik napas dalam-dalam. Setiap tarikan udara membawa rasa logam dan listrik.“Bagian dari Hati Langit, huh…” gumamnya pelan.Tubuhnya memang terasa berbeda. Energi spiritual di dalam dantiannya berputar jauh lebih cepat, tapi setiap aliran energi itu juga menimbulkan tekanan yang luar biasa. Seolah tubuhnya sedang berjuang menyeimbangkan sesuatu yang terlalu besar untuk ditampung manusia biasa.Ia menunduk dan melihat tangannya yang bergetar halus. Urat-urat biru keemasan tampak samar di bawah kulitnya — tanda bahwa energi Hati Langit belum stabil.“Kalau aku ceroboh sedikit saja, seluruh tubuh ini bisa meledak,” pikirnya.Langkah kaki terdengar dari belakang. Pria bertopeng yang tadi bertarung dengannya ber







