Home / Pendekar / Pendekar Naga Petir / Teman Pertama di Tengah Bahaya

Share

Teman Pertama di Tengah Bahaya

Author: sophelia
last update Last Updated: 2025-09-29 20:58:49

 jalan yang sunyi.

Langit pagi itu tampak muram.

Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.

Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.

Suasana terasa sepi, terlalu sepi.

Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.

Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.

“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bilang luka di perutku sudah hampir sembuh, tapi tubuhku masih terasa berat. Mungkin aku butuh akar Seribu Urat atau rumput Jiwa Batu.”

Ia tersenyum kecil, lalu menatap ke arah lembah tempat kabut lebih tebal menggantung.

Namun, semakin dalam ia melangkah, suasana hutan terasa aneh.

Biasanya, kicauan burung dan dengung serangga menjadi musik alami yang menenangkan.

Tapi hari ini—tidak ada apa pun.

Hanya desiran angin dan suara dedaunan bergesekan.

Qin Shan berhenti, menatap sekeliling dengan tajam.

“Sunyi sekali…” bisiknya. “Biasanya hutan ini ramai. Apa ada binatang buas besar di sekitar sini?”

Ia memejamkan mata sejenak, mengandalkan pendengaran dan insting.

Lalu—di antara kabut—ia mendengar sesuatu.

Suara lirih, seperti seseorang sedang merintih pelan.

“Uh… tolong…”

Qin Shan membuka mata. “Seseorang?”

Ia menunduk dan bergerak cepat mendekati sumber suara, tubuhnya merendah di antara semak-semak. Ia memastikan langkahnya tidak menimbulkan bunyi.

Beberapa meter kemudian, matanya membulat.

Di sana, di balik semak basah, tergeletak seorang bocah laki-laki kira-kira seumur dengannya. Bajunya compang-camping, dipenuhi lumpur dan darah. Wajahnya pucat seperti kertas, bibirnya kering pecah-pecah. Ada luka panjang di lengannya—bekas cakaran binatang buas.

Qin Shan berlutut, menepuk pipinya pelan.

“Hey… bangun. Kau masih hidup?”

Kelopak mata bocah itu bergetar. Perlahan ia membuka mata.

Tatapannya kabur, tapi masih ada cahaya di sana.

“Tolong… saudaraku… dia masih di dalam hutan…”

“Saudaramu?” Qin Shan menatap sekeliling. “Di mana dia?”

Bocah itu mengangkat tangan gemetar dan menunjuk ke arah utara.

“Adikku… Li Mei… dia masih di sana…” suaranya semakin lemah, hampir tak terdengar.

Qin Shan menggigit bibir. Ia tahu risiko masuk lebih dalam ke arah utara—daerah itu sering dipenuhi binatang buas tingkat dua atau tiga. Tapi ia tidak bisa meninggalkan anak ini begitu saja.

“Baik,” katanya tegas. “Aku akan mencari adikmu.”

Ia memapah bocah itu dan membaringkannya di balik batang pohon besar, menutupinya dengan dedaunan agar tidak terlihat dari jauh.

“Jangan bergerak. Aku akan kembali. Kau dengar?”

Bocah itu menatapnya samar dan mengangguk pelan. “Hati-hati…”

Qin Shan menepuk bahunya, lalu berdiri. “Aku selalu hati-hati.”

Ia berlari menembus kabut.

Setiap langkahnya senyap, cepat, dan pasti.

Tak lama, terdengar lolongan panjang menggema di antara pepohonan. Suaranya dalam, seram, dan membuat udara di sekitar bergetar.

Qin Shan mempercepat langkahnya.

“Binatang buas…” gumamnya. “Kalau aku terlambat, gadis itu bisa mati.”

Dan benar saja.

Di tengah celah terbuka di antara pepohonan, ia melihat seorang gadis kecil meringkuk di tanah, tubuhnya bergetar ketakutan. Rambutnya panjang kusut, wajahnya kotor oleh tanah dan air mata. Di depannya, seekor Serigala Merah berputar mengelilinginya dengan geraman pelan.

Serigala itu ramping, otot-ototnya tegang, matanya menyala merah, dan liur menetes dari taring tajamnya.

Itu bukan hewan biasa — binatang buas peringkat dua, terkenal karena kecepatannya yang sulit diikuti mata manusia.

Qin Shan menghela napas pelan. “Kalau aku tak cepat, anak itu takkan selamat.”

Ia melangkah maju.

“Hey, anjing merah!” teriaknya lantang. “Lawanku aku, bukan dia!”

Serigala itu langsung berhenti, menatapnya tajam. Geramannya berubah menjadi lolongan pendek sebelum ia menerjang dengan kecepatan luar biasa.

Qin Shan menurunkan tubuhnya, memblokir dengan lengan kanannya.

CLANG!

Cakar serigala menghantam keras, meninggalkan tiga goresan dalam di kulitnya. Darah mengalir, tapi Qin Shan tetap tegak.

“Lumayan cepat,” katanya sambil menahan nyeri. “Tapi kekuatanmu tidak cukup.”

Serigala itu menggeram lebih keras, lalu berputar cepat, mencoba menyerang dari belakang. Qin Shan menunduk, mengelak, lalu membalas dengan pukulan.

“Tinju Harimau Guntur!”

BOOOM!

Tubuh serigala itu terpental, menghantam batang pohon hingga retak. Daun-daun berguguran.

Namun hewan itu masih belum mati.

Bulu di tubuhnya berdiri, mata makin merah, dan langkahnya jadi lebih cepat.

Serigala itu berputar, melompat rendah ke arah kaki Qin Shan.

“Cepat juga!” Qin Shan melompat mundur, tapi ujung taring sempat menggores betisnya.

“Aaah!” serunya pelan. Ia meringis, tapi matanya tetap fokus. “Kau membuatku marah…”

Ia menarik napas panjang, memusatkan tenaganya.

Tubuhnya mulai bersinar samar—cahaya biru petir muncul di sekitar tangannya.

“Fisik Dewa Perang, tingkat dua…” gumamnya pelan. “Kali ini tak akan lama.”

Serigala itu menerkam lagi. Tapi sebelum taringnya menyentuh, Qin Shan sudah bergerak.

Tubuhnya berputar cepat, tinjunya melesat dari bawah, menghantam dagu serigala itu dengan keras.

CRACK!

Suara tulang patah terdengar.

Serigala itu terhempas ke udara, jatuh terguling beberapa kali, lalu terdiam.

Qin Shan berdiri dengan napas terengah, tangannya berdarah, tapi matanya bersinar tajam.

“Sudah berakhir,” gumamnya. “Kau binatang buas yang tangguh, tapi aku lebih keras kepala.”

Ia menatap tubuh hewan itu sebentar, memastikan sudah mati, lalu menoleh ke arah gadis kecil yang meringkuk di tanah.

“Hey…” katanya dengan nada lembut. “Jangan takut. Serigala itu sudah mati.”

Gadis itu menatapnya dengan mata membulat, air mata masih mengalir di pipinya.

“Kau… kau yang menolongku?” suaranya bergetar.

Qin Shan tersenyum kecil. “Kau kira siapa lagi? Berdiri, ayo. Kakakmu menunggumu.”

Begitu mendengar kata “kakak”, gadis itu langsung berdiri tergesa.

“Benarkah dia masih hidup?!” tanyanya panik.

“Iya. Aku tinggalkan dia di balik pohon besar agar aman. Ayo, aku antar.”

Gadis itu mengangguk cepat dan mulai berlari, sementara Qin Shan mengikutinya dari belakang, memastikan tidak ada ancaman lain. Beberapa menit kemudian, mereka menemukan bocah laki-laki tadi masih terbaring di tempat semula.

“Kakak!” gadis itu berteriak, lalu berlari memeluknya. “Aku kira kau sudah mati!”

Li Feng membuka mata, menatap adiknya lemah tapi tersenyum. “Mei’er… kau selamat…”

Qin Shan berjalan mendekat, menatap keduanya. “Kau beruntung aku datang lebih cepat,” katanya tenang.

Li Feng menatap Qin Shan, bibirnya bergerak pelan. “Terima kasih… kalau tidak ada kau… aku dan Mei pasti…”

“Sudah, jangan bicara banyak. Tenagamu habis,” potong Qin Shan. Ia menunduk, mengeluarkan botol kecil berisi air dari tas kulitnya. “Minum ini. Pelan-pelan.”

Li Feng menerimanya dengan tangan gemetar, meminum sedikit lalu menghela napas.

Air itu segar, mengandung sedikit energi spiritual dari sumber di kolam rahasia tempat Qin Shan sering berlatih.

“Lebih baik?” tanya Qin Shan.

Li Feng mengangguk pelan. “Sedikit.”

“Bagus.” Qin Shan berdiri, menatap sekeliling. “Tempat ini tidak aman. Kita harus keluar dari hutan.”

Ia membantu Li Feng berdiri, sementara Li Mei memegangi tangan kakaknya erat-erat.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di tepi sungai kecil yang jernih.

Qin Shan duduk di batu besar, membasuh luka di tangannya. Li Feng dan Li Mei duduk di seberang, saling bersandar kelelahan.

Li Mei yang paling dulu membuka mulut.

“Namaku Li Mei,” katanya dengan suara pelan. “Dan ini kakakku, Li Feng. Kami dari Desa Heishan.”

“Desa Heishan?” Qin Shan menatap mereka. “Jaraknya lumayan jauh dari sini. Apa yang kalian lakukan di hutan belakang gunungku?”

Li Feng menjawab pelan, “Kami… tidak punya rumah lagi. Wabah menyerang desa kami sebulan lalu. Orang tua kami meninggal. Kami melarikan diri ke sini karena mendengar ada desa kecil di balik gunung.”

Qin Shan terdiam. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah basah.

Setelah lama, ia berkata, “Jadi kalian berdua sendirian?”

Li Feng mengangguk. “Iya. Aku cuma ingin mencari tempat aman untuk Mei. Tapi di tengah jalan kami diserang serigala. Aku mencoba melindunginya, tapi…”

“Dan kau hampir mati,” sela Qin Shan sambil menatap luka di lengan Li Feng. “Kau cukup berani.”

Li Feng menunduk. “Aku… cuma kakak yang takut kehilangan adik.”

Li Mei menggenggam tangan kakaknya erat. “Kakak tidak salah. Kalau bukan karena Kakak, aku pasti sudah—”

“Sudah, jangan menangis,” potong Qin Shan lembut. “Kalian berdua masih hidup, itu sudah cukup.”

Li Mei menyeka air matanya. “Kau… siapa namamu?”

“Qin Shan.”

Li Feng memandangnya lama, lalu menunduk hormat. “Qin Shan… terima kasih sudah menyelamatkan kami. Aku tidak tahu bagaimana membalasnya.”

Qin Shan menatap keduanya lama, lalu berkata datar tapi tegas,

“Kalau begitu, mulai hari ini ikutlah denganku.”

Keduanya terkejut.

“Ikut… bersamamu?” tanya Li Feng ragu.

“Ya,” jawab Qin Shan. “Aku tidak suka banyak bicara. Tapi aku butuh teman. Aku sering berlatih sendirian, dan kadang butuh bantuan. Kalian lemah sekarang, tapi kalau mau hidup… belajar bersamaku.”

Li Mei menatapnya dengan mata berbinar. “Kau mau kami ikut?”

“Tentu. Tapi ada syaratnya.”

Qin Shan menatap keduanya dalam. “Kalau kalian memilih jalan ini, kalian tidak boleh menyerah. Sekali melangkah, kalian harus terus maju. Dan satu hal lagi—jangan pernah khianati aku.”

Keduanya terdiam beberapa saat. Lalu Li Feng menatap adiknya, dan mereka saling mengangguk.

“Baik!” jawab Li Feng mantap. “Kami akan ikut denganmu. Kami janji tidak akan mengecewakanmu.”

Li Mei mengangguk dengan mata berkilat. “Aku juga! Aku ingin jadi kuat seperti Kakak Qin!”

Qin Shan tersenyum samar. “Kalau begitu, mulai sekarang, kita bukan orang asing lagi.”

Sore itu, tiga anak kecil berjalan bersama menyusuri tepi sungai, dengan langkah yang pelan tapi pasti. Matahari mulai turun, sinarnya menembus sela-sela pepohonan, memantulkan warna emas di air sungai yang jernih.

Li Mei berjalan di tengah, menggandeng tangan kakaknya dan sesekali menoleh ke arah Qin Shan.

“Kau tahu?” katanya polos. “Kau kelihatan keren waktu melawan serigala itu.”

Qin Shan mengangkat alis. “Keren? Aku cuma memukulnya sampai mati.”

“Tetap keren,” jawab Li Mei keras kepala. “Aku mau belajar seperti itu!”

Li Feng terkekeh lemah. “Kau bahkan takut lihat darah, Mei.”

Li Mei memonyongkan bibir. “Kalau ada Kakak Qin, aku tidak takut.”

Qin Shan tertawa kecil, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Nanti aku ajari. Tapi sekarang kita pulang dulu. Ibu pasti cemas kalau aku belum kembali.”

Li Feng menatapnya bingung. “Kau tinggal dengan ibumu saja?”

“Iya,” jawab Qin Shan. “Dia tabib desa. Orang-orang sering datang minta obat padanya.”

Li Feng menunduk. “Pantas kau tahu banyak tentang herbal.”

“Sedikit,” kata Qin Shan. “Tapi aku lebih banyak belajar dari pengalaman.”

Mereka terus berjalan hingga kabut menipis dan jalanan hutan mulai terlihat jelas.

Di bawah langit senja, Qin Shan menatap kedua bocah itu dan bergumam dalam hati:

“Orang-orang yang kutolong hari ini… mungkin suatu saat akan berdiri di sisiku. Tidak sebagai beban, tapi sebagai kekuatan.”

Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah dan daun kering.

Langit di atas mereka berwarna merah keemasan.

Tiga bocah kecil itu berjalan berdampingan — tanpa sadar, mereka baru saja menapaki langkah pertama dari sebuah takdir besar.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Qin Shan tidak berjalan sendirian lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Naga Petir   Batu Teratai dan Dunia Kecil

    Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant

  • Pendekar Naga Petir   Rahasia di Dalam Tubuh Ular

    Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j

  • Pendekar Naga Petir   Ular Bermata Emas

    Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send

  • Pendekar Naga Petir   Ujian Pertama di Hutan

    Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b

  • Pendekar Naga Petir   Li Feng Dan Li Mei Mulai Berlatih

    Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l

  • Pendekar Naga Petir   Teman Pertama di Tengah Bahaya

    jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status