Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.
Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.
“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”
Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.
Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.
Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh beban. Aku butuh saudara yang bisa diandalkan.”
Ucapan itu membuat Li Mei menunduk. “Aku… aku akan berusaha,” bisiknya.
Li Feng menatap Qin Shan, giginya terkatup rapat. “Aku tidak akan jadi beban.”
“Baik,” ujar Qin Shan. Ia menatap mereka dengan dingin, tapi dalam hatinya muncul sedikit rasa bangga. Ia tahu, mereka benar-benar ingin berubah.
Qin Shan berjongkok di depan mereka, menepuk dada dan perutnya. “Hari ini kita mulai dari dasar. Duduk bersila. Pejamkan mata. Tarik napas dari perut, bukan dada.”
Li Feng mengerutkan dahi. “Dari perut? Maksudmu… gimana?”
“Tarik napas pelan, biarkan udara mengalir sampai bagian bawah perutmu. Rasakan.” Qin Shan memperagakan, dadanya nyaris tak bergerak. Napasnya dalam dan teratur seperti aliran air.
Li Mei mencoba meniru, tapi napasnya tersendat-sendat. “Aku… aku susah bernapas begini.”
“Itu karena kau terbiasa takut,” ujar Qin Shan lembut. “Ketika kau takut, napasmu pendek. Sekarang lupakan ketakutan itu.”
Li Feng mencoba lebih keras. “Seperti ini?” Ia menarik napas panjang, tapi suaranya malah seperti sapi kehausan. Qin Shan hampir tertawa tapi menahannya.
“Tidak usah seperti orang tenggelam,” katanya datar, walau senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Santai.”
Setelah beberapa kali percobaan, napas Li Feng mulai stabil, sementara Li Mei akhirnya menemukan ritmenya sendiri. Mereka berdua berpeluh meski belum bergerak banyak.
“Bagus,” kata Qin Shan. “Kalian mulai mengerti. Mengendalikan napas berarti mengendalikan hidupmu sendiri.”
Setelah satu jam, Li Feng terengah-engah. “Aku nggak nyangka… cuma duduk aja bisa capek begini.”
Qin Shan berdiri. “Karena kau belum terbiasa hidup dengan tenang.”
Li Mei menyeka keringat di dahinya. “Kau juga dulu belajar kayak gini, Qin Shan?”
“Ya,” jawabnya singkat. “Bahkan lebih berat. Tapi itulah harga kekuatan.”
Setelah istirahat sejenak, Qin Shan berkata, “Sekarang ikut aku. Kita ke hutan. Aku akan tunjukkan dunia yang sebenarnya.”
Kabut tipis menyelimuti jalur hutan. Daun-daun basah meneteskan air setiap kali mereka melangkah. Suara burung dan serangga beradu di udara.
Li Mei menatap sekeliling dengan gugup. “Kenapa tempat ini kelihatan… menyeramkan?”
“Karena hutan tidak pernah peduli siapa yang lewat,” jawab Qin Shan tanpa menoleh. “Kau takut, hutan tetap berjalan seperti biasa. Itu pelajaran pertamamu hari ini.”
Li Feng menelan ludah. “Kau ngomongnya kayak guru, tahu nggak?”
Qin Shan menatapnya sebentar. “Kalau kau mau hidup, dengarkan gurumu ini baik-baik.”
Mereka berhenti di sebuah tempat dengan tanah lembap dan dedaunan rimbun. Qin Shan jongkok dan menunjuk tanah. “Lihat ini.”
Li Feng mendekat. “Jejak?”
“Ya. Serigala. Kalau kau lihat ini di malam hari, kau harus tenang. Jangan panik. Serigala bisa mencium ketakutanmu.”
Li Mei memeluk keranjangnya. “Aku nggak suka serigala…”
“Tidak ada yang suka serigala,” sahut Qin Shan. “Tapi dunia di luar sana lebih buas dari mereka.”
Ia kemudian menunjuk semak kecil. “Itu tanaman obat. Daunnya bisa menghentikan pendarahan kalau ditumbuk. Ambil, tapi jangan cabut semua. Sisakan akarnya.”
Li Mei menatapnya heran. “Kenapa nggak diambil semua aja?”
Qin Shan menatapnya dalam. “Kalau kau habiskan semua, besok orang lain mati karena kehabisan obat. Orang kuat bukan berarti serakah.”
Li Mei menunduk malu, lalu mengangguk. “Baik, aku ingat.”
Namun tiba-tiba, semak di depan mereka bergetar. Li Feng langsung bersiap. “Apa itu?”
Seekor kelinci sebesar anjing melompat keluar. Di keningnya ada tanduk kecil berkilau.
Li Mei menjerit kecil. “Itu… kelinci?”
“Kelinci Bertanduk,” jawab Qin Shan cepat. “Binatang buas peringkat satu. Jangan tertipu bentuknya.”
Hewan itu menatap mereka dengan mata merah menyala, lalu melesat. Qin Shan maju satu langkah, tubuhnya bergetar seperti bayangan kilat. Satu pukulan keras meluncur.
BOOM!
Kelinci itu terlempar tapi masih bangkit, menggeram marah. Qin Shan menatap Li Feng. “Sekarang giliranmu.”
Li Feng mematung. “A-aku? Kau bercanda?”
“Aku jarang bercanda.” Qin Shan menatap tajam. “Kalau kau tak bisa hadapi seekor kelinci, bagaimana melindungi adikmu?”
Li Feng menatap Li Mei, lalu menatap binatang itu lagi. Tangannya gemetar memegang pisau. “Kalau aku mati?”
“Kalau kau mati,” Qin Shan menjawab dingin, “setidaknya kau mati mencoba. Tapi kalau kau lari, kau akan mati sia-sia.”
Li Mei memegang lengan kakaknya. “Kak, jangan…”
Li Feng menarik napas panjang. “Aku nggak akan lari lagi.”
Kelinci itu melompat lagi, cepat seperti panah. Li Feng berteriak dan menebas — meleset. Cakar tajam menggores lengannya. Darah mengalir.
“Agh!”
Qin Shan tidak bergerak. “Bangun! Kau pikir dunia akan berhenti karena kau terluka?”
Li Feng terhuyung tapi menggertakkan gigi. “Aku nggak mau lari!”
Kelinci itu menyerang lagi. Kali ini Li Feng menunggu detik terakhir, lalu menancapkan pisaunya lurus ke depan.
CRACK!
Tanduk binatang itu patah, tubuhnya menegang lalu roboh.
Li Feng berdiri kaku, terengah-engah. “A-aku menang?”
Qin Shan mendekat, menatap bangkai hewan itu. “Tidak. Kau baru saja belajar untuk tidak mati.”
Li Mei berlari memeluk kakaknya. “Kakak hebat! Tapi kau berdarah…”
Li Feng tertawa lemah. “Luka kecil. Aku nggak apa-apa.”
Qin Shan berjongkok dan menatapnya dalam. “Rasa takutmu tadi — ingat itu. Jangan lupakan. Karena hanya orang bodoh yang tidak takut.”
Li Feng menatapnya heran. “Bukannya orang kuat nggak takut?”
“Orang kuat selalu takut,” kata Qin Shan pelan. “Tapi mereka belajar berjalan meski takut.”
Malam itu, mereka duduk di sekitar api unggun di dalam gua. Api memantulkan bayangan mereka di dinding batu.
Li Mei memandang nyala api. “Qin Shan, kau… kau nggak pernah takut?”
Qin Shan terdiam lama. “Dulu aku takut setiap hari. Takut lapar. Takut sendirian. Takut mati. Tapi rasa takut itu yang membuatku tetap hidup.”
Li Feng menatapnya. “Kau ngomong kayak orang dewasa.”
Qin Shan menatap api. “Karena dunia memaksaku jadi dewasa sebelum waktunya.”
Hening sejenak. Hanya suara api yang berderak.
Li Mei kemudian tersenyum kecil. “Aku senang ada kalian berdua. Kalau aku sendirian, mungkin aku udah mati ketakutan.”
Li Feng menepuk bahu adiknya. “Aku juga. Tapi sekarang… kita punya Qin Shan.”
Qin Shan menatap mereka, tersenyum samar. “Mulai sekarang, kita bukan anak kecil lagi. Kita saudara seperjalanan. Ingat itu.”
Mereka bertiga saling menggenggam tangan.
Li Mei menatap api, berbisik pelan. “Aku janji… aku akan kuat. Supaya nggak nyusahin kalian.”
Li Feng mengangguk. “Aku juga.”
Qin Shan menatap langit malam dari mulut gua, di mana bintang-bintang berkelap. “Bagus. Karena mulai sekarang, dunia tidak akan memberi ampun pada yang lemah.”
Dari kejauhan, terdengar raungan binatang besar menggema. Angin malam meniup api unggun hingga bergetar. Qin Shan berdiri, menatap gelapnya hutan.
“Besok, kita mulai latihan sesungguhnya.”
Li Feng mendongak. “Latihan apa lagi?”
“Latihan hidup,” jawab Qin Shan pendek.
Mereka bertiga terdiam. Tapi di mata mereka, cahaya kecil mulai menyala — cahaya keberanian yang lahir dari rasa takut.
Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant
Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j
Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send
Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b
Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l
jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila