Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif.
"Pulanglah kalian ke kampung itu. Jadi perampok bukan kebiasaan klan Adikara dalam situasi sesulit apapun. Lebih baik mati kelaparan ketimbang melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan mencari makan, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit kembali secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keamanan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai. Jam makan siang. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes ikan dengan rakus. "Sekarang ia kembali untuk balas dendam. Kepala kampung itu jadi korban pertama." Kabar pembalasan dendam sudah sampai di kampung ini, menjadi topik hangat makan siang. "Aku dengar ksatria itu pergi ke utara, berarti menuju ke kampung kita," ujar temannya. "Jumlah prajurit dan pendekar di kampung ini sedikit sekali." "Jumlah bukan jaminan kemenangan. Aku kira kepandaian kawan-kawan sangat mumpuni untuk membinasakan ksatria itu." "Kita juga turut bertanggung jawab." "Tugas kita di sini." Mereka ini penjaga perbatasan, batin Banga. Pantas gayanya sangat tengil. Semua ada empat orang, mereka duduk terpisah. Pengunjung tampak ingin menyelesaikan makan siang secepatnya, seolah menyesal mampir di kedai nasi ini. Mereka memendam kebencian kepada para pendekar itu, tapi kecut untuk menunjukkan secara terang-terangan. "Konon ilmu pedang ksatria ini sangat aneh, pedangnya juga. Pedang ketinggalan zaman terbuat dari perunggu arsenik, namun mempunyai kekuatan melampaui pedang terbuat dari campuran baja dan besi." "Jangan terpengaruh dengan cerita itu, kau akan memperoleh pengurangan upah kalau terdengar kepala kampung memuji pendekar pedang kalkolitik itu." Pendekar botak ini sangat merendahkan Banga. Ia sangat percaya diri dengan pedang perak yang dimilikinya. "Kau seharusnya memuji pedangku, terbuat dari komposit perak berkualitas dengan juru tempa terbaik. Pedangku setara dengan pedang tokoh silat istana." "Ilmunya setara tidak?" sindir temannya. "Ilmu dan senjata mesti berimbang." Banga duduk di kursi kosong di meja mereka. Pengunjung terkejut. Pemuda itu cari perkara. Nyawanya bisa melayang gara-gara kelancangannya itu. Tidak ada orang yang berani duduk bersama mereka, selain sudah bosan hidup. "Kau lancang sekali berani bergabung dengan kami," sergah pendekar botak. "Apakah kau ingin merasakan kehebatan pedangku?" Banga memandang dingin. "Kau tahu siapa orang paling bodoh di kampung ini?" "Orang di kampung ini pintar-pintar." "Ada satu yang sangat bodoh." "Siapa?" "Si botak yang menganggap hebat pedang picisan. Ia mestinya tahu diri kalau pedangnya akan patah menjadi beberapa potong oleh pedangku." Pendekar botak murka. "Kurang ajar! Kau cari mampus berani menghina pedangku!" "Lehermu juga akan potong. Jangan minta dibuktikan." "Aku ingin membuktikan!" Pendekar botak segera mencabut pedang perak. Ia belum sempat menghunuskan pedang saat Banga membabat pedang yang dipegangnya menjadi beberapa bagian, lalu membabat leher pendekar itu. Gerakannya laksana kilat, sehingga tahu-tahu potongan pedang itu menancap di dada kawannya, dan leher pendekar botak hampir putus. Pengunjung terpukau melihat keahliannya bermain pedang. "Cecunguk berani bertingkah di depanku," geram Banga penuh amarah. Kemudian ia mengedarkan pandang ke sekitar. "Ada lagi yang ingin menemui kematian hari ini?" Pengunjung kedai terdiam ketakutan. Mereka menundukkan kepala dalam-dalam. Banga memanggil pelayan, lalu mengeluarkan beberapa ringgit dan menaruhnya di meja. "Keempat cecunguk ini menghilangkan selera makanku. Tolong urus mayatnya." "Baik, Tuan," kata pelayan dengan tubuh gemetar ketakutan. "Jangan ketakutan seperti itu, aku bukan iblis, aku hanya membinasakan orang-orang yang pantas mati, yaitu antek-antek Ratu Nayaka. Ada lagi selain mereka?" "Tidak ada, Tuan." Pelayan sedikit tenang, meski rasa takut masih membayang dalam bola matanya. "Mereka hanyalah rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa." "Mulai sekarang kalian harus tahu apa-apa, harus peduli pada nasib sendiri. Bagaimana nasib kalian akan berubah kalau takut untuk merubah nasib?" "Ya tuan." "Tirani bukan untuk ditakuti, untuk dilawan. Ketika kalian merasa takut, maka kehidupan kalian telah mati. Hanya orang-orang yang berani yang berhak mendapat keadilan." "Ya tuan." Banga pergi. Mereka berbisik-bisik. "Siapa pemuda itu?" cetus seorang pengunjung. "Kepandaiannya sungguh luar biasa." "Tapi ia takkan mampu melawan gusti ratu, istana didukung para iblis!"Banga mencari kedai nasi untuk makan siang. Ia sulit mengisi perut jika di antara pengunjung terdapat kaki tangan istana. Ada kejadian yang melecut nuraninya saat Banga melewati sebuah rumah sederhana, beberapa warga menyaksikan dari rumah masing-masing dengan sinar mata prihatin. Tampak pendekar brewok membawa paksa seorang gadis, sementara ibunya berusaha mempertahankan. "Jangan bawa anakku, Tuan," pinta wanita separuh baya itu. "Kasihanilah anakku, ia akan menikah pekan depan." "Kau seharusnya bangga anakmu menjadi gundik kepala kampung," sergah pendekar berambut gimbal. "Berarti anakmu cantik." "Apalah artinya cantik kalau ia harus mengkhianati kekasihnya?" "Dasar ibu tidak tahu diri!" maki pendekar berjidat nongnong. "Seharusnya kau selamatan seperti ibu lain, bukan menghiba!" Tugas gundik setiap hari berdandan dan hidup dalam kemewahan, mereka bisa membantu keluarganya yang kekurangan karena mendapat harta berlimpah dari kepala kampung. Hadiah mengalir setiap hari kala
Banga mampir di rumah makan yang cukup ramai pengunjung. Ia heran melihat tampang pelayan seperti ketakutan melayani tamu berwajah sangar di beberapa meja. Barangkali pendekar kampung yang sering meresahkan penduduk, sehingga pelayan kecut untuk melayani mereka. Rumah makan ini adalah rumah makan terbaik yang terdapat di kampung ini. Interior sangat mewah dengan lampion unik tergantung di setiap tiang. Seorang pelayan menghampiri Banga yang duduk di meja terpisah, dan menyapa dengan sopan, "Selamat siang. Tuan ingin pesan apa?" "Nasi putih dan sop iga," jawab Banga, pesanan itu adalah hidangan yang tersaji di meja mereka. Mudah saja menerka, sop iga adalah menu unggulan di rumah makan ini. "Minumnya air tawar." "Tunggu sebentar ya, Tuan." Banga menunggu dengan sabar. Keadaan terlalu tenang sehingga terasa mencekam. Wajah-wajah tegang terpampang di setiap meja, seakan menunggu seseorang yang sudah mengusik ketenangan mereka. Pedang dan golok tergeletak di meja. Mereka hend
Pendekar berkumis baplang melarikan diri, ia merasa tertipu karena ksatria yang dihadapi bukan pemberontak sebagaimana yang diceritakan kepala kampung. Ksatria yang dihadapi adalah ksatria terluka karena klannya dimusnahkan secara keji. Ia mengamuk laksana macan terluka dengan energi dendam yang dimiliki. Kemarahannya sulit dihentikan, selain menghirup darah untuk mengobati luka yang diderita. Ia tidak ingin mati konyol. "Mustahil bagi kaki tangan kepala kampung lolos dari pedang mirabilis," kata Banga sambil berjumpalitan di udara dan mendarat di hadapan pendekar itu. "Kau harus menyusul kawan-kawanmu." Banga membabatkan pedang, pendekar berkumis baplang berusaha menangkis dengan golok, golok patah dua, tebasan pedang merobek dada. Pendekar berkumis baplang tumbang dengan golok buntung di tangan. Banga pergi meninggalkan tempat itu dengan dingin. Amarah dan dendam telah membekukan hatinya. "Ada lagi yang mencari mati," geram Banga. "Padahal mereka bisa menikmati hidup le
Pedang mirabilis meliuk-liuk menghantam beberapa prajurit bersenjata tombak. Prajurit bertumbangan laksana pohon roboh, tak berdaya menghadapi amukan pedang. Mereka datang untuk mengantarkan nyawa. Permainan pedang Banga sulit ditandingi. Sekali tebas, tombak dan samurai berjatuhan terpotong dua. "Kalian hanyalah martir yang tidak berguna bagiku!" kata Banga masygul. "Sebanyak apa kalian mendatangiku sebanyak itu nyawa tercecer!" "Kesombonganmu akan menghancurkan dirimu sendiri, anak muda!" gertak komandan prajurit. "Kau takkan bisa menantang istana dengan tangan sendiri!" "Bagi cecunguk menumbangkan ratu durjana adalah sebuah kemustahilan! Bagiku hanyalah sebuah jalan yang sedang kulewati!" Prajurit mengepung dengan gagah berani, meski kawan mereka bertumbangan. Lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan keberanian, begitu prinsip mereka. Naifnya mereka bukan membela kebenaran dan keadilan, mereka diperalat untuk mempertahankan kekuasaan ratu tak berhati. Banga sudah kehil
Di antara ksatria yang menyamar jadi petani itu terdapat pemuda bernama Abimanyu, klan Adikara yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian. Ia sulit melawan ribuan prajurit dan tokoh sakti yang membumihanguskan perumahan klan Adikara. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik jelita bernama Mihira, dan Sekar, perempuan yang pernah ditolong Banga. "Aku kira Banga tidak butuh bantuan," kata Abimanyu. "Aku bangga klan Adikara mempunyai ksatria gagah berani, selain cendekia dengan pena yang tajam." "Banga cocok sekali menjadi pemimpin pergerakan untuk menuntut balas kematian klan Adikara," ujar Mihira. "Ada beberapa saudagar besar klan Adikara bermukim di Han Barat, mereka siap memberi bantuan finansial untuk pergerakan." "Banga ingin berjuang sendiri," ucap Sekar. "Aku sudah menawarkan diri menjadi budak, namun ia menolak dengan pertimbangan keselamatan diriku." Banga tidak boleh melawan seorang sendiri, batin Mihira kelu. Bukan pemuda itu saja yang murka, semua anggota klan yan
"Banga!" Banga berhenti melangkah saat suara merdu yang tidak asing di telinga memanggilnya. Ada sinar kebahagiaan di mata Banga melihat seorang gadis cantik jelita berlari menghampiri. Gadis itu ternyata selamat dari pembantaian. Mihira adalah teman bermainnya sewaktu kecil. Menjelang remaja ia menimba ilmu di Han Barat. Sekarang ia pulang dan menemukan keluarganya sudah tewas, menyedihkan sekali. Orang tua Banga dan Mihira adalah bangsawan terkemuka di klan Adikara. Mereka terkenal sebagai saudagar dermawan dan menentang sistem perbudakan. "Aku senang melihatmu semakin cantik," puji Banga. "Seharusnya kau tidak pulang demi keselamatan dirimu." "Aku tidak langsung pulang setelah lulus kejuruan. Aku belajar ilmu bela diri di pegunungan Kunlun untuk menuntut balas atas pemusnahan klan Adikara." Mata bening kebiru-biruan itu berkobar dibakar dendam, sebagaimana anggota klan yang ditemui Banga sebelumnya, mereka pulang untuk menuntut balas. Mereka kebanyakan belajar ilmu
Mihira memandang sedih. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar jawaban yang membuat kemarau hatinya. Padahal ia ingin melaksanakan amanah terakhir orang tuanya. Perkawinan bukan duri untuk perjuangan. Menggulingkan Ratu Nayaka butuh kekuatan besar. Mustahil berjuang sendiri. Hanya mengantarkan nyawa pada tiang gantungan. "Aku tahu di antara kita tidak ada cinta," kata Mihira kelu. "Sejak kecil di hati kita hanya ada rasa persahabatan. Aku berusaha menyingkirkan rasa itu untuk menghibur orang tuaku di alam langgeng." "Aku bukan menolak perjodohan kita," elak Banga tidak enak. "Aku menghormati perjanjian orang tua kita. Namun mengertilah, pedang mirabilis menuntut aku untuk menjadi ksatria perang." "Tiada larangan bagi ksatria perang untuk berumah tangga. Bukankah semakin banyak istri semakin menunjukkan kebesaran namamu?" Istri adalah lambang kebesaran pada abad pertengahan. Semakin banyak istri semakin tinggi derajat suami. Kebesaran nama lelaki dilihat dari berapa
Mihira protes. "Jangan asal. Bagaimana kau menyebut mereka pengkhianat? Mereka sudah bersamaku sejak di Han Barat." Mihira menganggap Banga sudah dibutakan dendam. Ia menjatuhkan hukuman mati secara serampangan. Sepasang pengantin baru itu maniak bercinta. Mereka akan bercinta di mana saja jika muncul hasrat. Kebiasaan di Han Barat terbawa pulang ke Salakanagara. Mereka bahkan pernah berbuat di semak-semak tanpa peduli situasi. Mereka jatuh sakit jika libido tak tersalurkan. "Menurut tabib Han Barat, mereka memiliki kelainan. Sebagian anak muda di perkotaan Salakanagara juga mengalami gejala serupa." Banga tersenyum dingin. "Jangan meyakinkan diriku dengan mencatut tabib asing. Mereka bukan klan Adikara. Kau sudah tertipu." "Mereka tinggal di kotaraja," sanggah Mihira. "Jadi kau tidak mengenal mereka." "Aku sangat mengenal budaya klan Adikara, meski tidak mengenal orangnya. Anak muda klan Adikara tidak pernah memanggil tuan kepada pemuda seusia." Mihira terdiam.
Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Lusinan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan terpedaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak tidak bisa disembunyikan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Penduduk laki-laki menyaksikan di sekitar pagar benteng, sementara perempuan dan anak-anak masuk ke ruangan besar di belakang. Mereka
Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka jadi pecundang. Takut mati, padahal kehidupan mereka sudah mati. "Kalian bodoh semua!" sergah kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita menginap semalam saja di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Sumpah serapah tidak akan menghentikan kepala kampu
Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah sendiri karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya sejak Ratu Nayaka berkuasa? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi dewa perang mengutus sang pewaris?"
Banga memutuskan untuk tinggal beberapa waktu di kampung ini. Ia memperkirakan prajurit kerajaan akan mengobrak-abrik rumah penduduk jika menemukan para petani muda itu sudah melarikan diri. Adipati terlalu menganggap enteng. Ia hanya mengirimkan pasukan reguler dan komandan peleton berkemampuan standar untuk menangkap dirinya. Kampung ini berbatasan dengan kota kadipaten. Tidak banyak prajurit ditempatkan di kedukuhan, juga beberapa tokoh silat saja, kebanyakan pendekar lokal. "Aku pergi ke rumah kepala kampung lebih dahulu," kata Banga. "Aku kira ia sudah mendapat kabar tentang peristiwa di perbatasan ini." Banga tidak meminta Abimanyu untuk kembali jika kampung ini berhasil ditaklukkan. Ia ingin menyerahkan kepada tokoh kampung untuk mengelola. Berani menentang kehendaknya, berarti siap menjadi korban pedang kalkolitik. Mereka mesti diancam agar berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka sudah saatnya bangkit untuk merobohkan tirani. Hidup dalam ketakutan tak
Mihira protes. "Jangan asal. Bagaimana kau menyebut mereka pengkhianat? Mereka sudah bersamaku sejak di Han Barat." Mihira menganggap Banga sudah dibutakan dendam. Ia menjatuhkan hukuman mati secara serampangan. Sepasang pengantin baru itu maniak bercinta. Mereka akan bercinta di mana saja jika muncul hasrat. Kebiasaan di Han Barat terbawa pulang ke Salakanagara. Mereka bahkan pernah berbuat di semak-semak tanpa peduli situasi. Mereka jatuh sakit jika libido tak tersalurkan. "Menurut tabib Han Barat, mereka memiliki kelainan. Sebagian anak muda di perkotaan Salakanagara juga mengalami gejala serupa." Banga tersenyum dingin. "Jangan meyakinkan diriku dengan mencatut tabib asing. Mereka bukan klan Adikara. Kau sudah tertipu." "Mereka tinggal di kotaraja," sanggah Mihira. "Jadi kau tidak mengenal mereka." "Aku sangat mengenal budaya klan Adikara, meski tidak mengenal orangnya. Anak muda klan Adikara tidak pernah memanggil tuan kepada pemuda seusia." Mihira terdiam.
Mihira memandang sedih. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar jawaban yang membuat kemarau hatinya. Padahal ia ingin melaksanakan amanah terakhir orang tuanya. Perkawinan bukan duri untuk perjuangan. Menggulingkan Ratu Nayaka butuh kekuatan besar. Mustahil berjuang sendiri. Hanya mengantarkan nyawa pada tiang gantungan. "Aku tahu di antara kita tidak ada cinta," kata Mihira kelu. "Sejak kecil di hati kita hanya ada rasa persahabatan. Aku berusaha menyingkirkan rasa itu untuk menghibur orang tuaku di alam langgeng." "Aku bukan menolak perjodohan kita," elak Banga tidak enak. "Aku menghormati perjanjian orang tua kita. Namun mengertilah, pedang mirabilis menuntut aku untuk menjadi ksatria perang." "Tiada larangan bagi ksatria perang untuk berumah tangga. Bukankah semakin banyak istri semakin menunjukkan kebesaran namamu?" Istri adalah lambang kebesaran pada abad pertengahan. Semakin banyak istri semakin tinggi derajat suami. Kebesaran nama lelaki dilihat dari berapa
"Banga!" Banga berhenti melangkah saat suara merdu yang tidak asing di telinga memanggilnya. Ada sinar kebahagiaan di mata Banga melihat seorang gadis cantik jelita berlari menghampiri. Gadis itu ternyata selamat dari pembantaian. Mihira adalah teman bermainnya sewaktu kecil. Menjelang remaja ia menimba ilmu di Han Barat. Sekarang ia pulang dan menemukan keluarganya sudah tewas, menyedihkan sekali. Orang tua Banga dan Mihira adalah bangsawan terkemuka di klan Adikara. Mereka terkenal sebagai saudagar dermawan dan menentang sistem perbudakan. "Aku senang melihatmu semakin cantik," puji Banga. "Seharusnya kau tidak pulang demi keselamatan dirimu." "Aku tidak langsung pulang setelah lulus kejuruan. Aku belajar ilmu bela diri di pegunungan Kunlun untuk menuntut balas atas pemusnahan klan Adikara." Mata bening kebiru-biruan itu berkobar dibakar dendam, sebagaimana anggota klan yang ditemui Banga sebelumnya, mereka pulang untuk menuntut balas. Mereka kebanyakan belajar ilmu
Di antara ksatria yang menyamar jadi petani itu terdapat pemuda bernama Abimanyu, klan Adikara yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian. Ia sulit melawan ribuan prajurit dan tokoh sakti yang membumihanguskan perumahan klan Adikara. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik jelita bernama Mihira, dan Sekar, perempuan yang pernah ditolong Banga. "Aku kira Banga tidak butuh bantuan," kata Abimanyu. "Aku bangga klan Adikara mempunyai ksatria gagah berani, selain cendekia dengan pena yang tajam." "Banga cocok sekali menjadi pemimpin pergerakan untuk menuntut balas kematian klan Adikara," ujar Mihira. "Ada beberapa saudagar besar klan Adikara bermukim di Han Barat, mereka siap memberi bantuan finansial untuk pergerakan." "Banga ingin berjuang sendiri," ucap Sekar. "Aku sudah menawarkan diri menjadi budak, namun ia menolak dengan pertimbangan keselamatan diriku." Banga tidak boleh melawan seorang sendiri, batin Mihira kelu. Bukan pemuda itu saja yang murka, semua anggota klan yan
Pedang mirabilis meliuk-liuk menghantam beberapa prajurit bersenjata tombak. Prajurit bertumbangan laksana pohon roboh, tak berdaya menghadapi amukan pedang. Mereka datang untuk mengantarkan nyawa. Permainan pedang Banga sulit ditandingi. Sekali tebas, tombak dan samurai berjatuhan terpotong dua. "Kalian hanyalah martir yang tidak berguna bagiku!" kata Banga masygul. "Sebanyak apa kalian mendatangiku sebanyak itu nyawa tercecer!" "Kesombonganmu akan menghancurkan dirimu sendiri, anak muda!" gertak komandan prajurit. "Kau takkan bisa menantang istana dengan tangan sendiri!" "Bagi cecunguk menumbangkan ratu durjana adalah sebuah kemustahilan! Bagiku hanyalah sebuah jalan yang sedang kulewati!" Prajurit mengepung dengan gagah berani, meski kawan mereka bertumbangan. Lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan keberanian, begitu prinsip mereka. Naifnya mereka bukan membela kebenaran dan keadilan, mereka diperalat untuk mempertahankan kekuasaan ratu tak berhati. Banga sudah kehil