Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif dan menjadi cendekiawan yang bermanfaat.
"Pulanglah kalian ke kampungku," kata Banga. "Jadi perampok bukan pilihan klan Adikara, apalagi merampok uang rakyat, mendingan mati kelaparan. Janganlah melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan untuk bersenang-senang, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keselamatan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah di sepanjang jalan yang dilalui. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan menjelang makan siang. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai, kebanyakan berpakaian centeng. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes ikan dengan rakus. "Sekarang ia kembali untuk balas dendam. Kepala kampung itu jadi korban pertama." Kabar pembalasan dendam sudah sampai di kampung ini, menjadi topik hangat makan siang, terutama pendekar yang menjadi centeng bangsawan dan penguasa kampung. "Aku dengar bangsawan muda itu pergi ke utara, berarti menuju ke kampung kita," ujar temannya. "Jumlah prajurit dan pendekar di kampung kita sedikit sekali." "Jumlah bukan jaminan kemenangan. Aku kira kepandaian kawan-kawan sangat mumpuni untuk membinasakan pemuda itu." "Kita juga turut bertanggung jawab." "Tugas kita di sini." Mereka ini penjaga perbatasan, batin Banga. Pantas gayanya tengil sekali. Duduk dengan sebelah kaki menginjak kursi. Semua ada empat orang, mereka duduk terpisah. Pengunjung tampak menyelesaikan makan siang secepatnya, seolah menyesal mampir di kedai nasi ini. Mereka memendam kebencian kepada empat centeng kepala kampung itu, tapi kecut untuk menunjukkan secara terang-terangan. Empat lelaki brewok itu sering meminta upeti tambahan kepada juragan mereka. "Konon ilmu pedang ksatria ini sangat aneh, pedangnya juga. Pedang ketinggalan zaman terbuat dari perunggu arsenik, namun kekuatannya melampaui pedang dari campuran baja dan besi." "Jangan terpengaruh dengan cerita itu, kau akan memperoleh pengurangan upah kalau terdengar kepala kampung memuji pendekar pedang kalkolitik itu." Pendekar botak ini sangat merendahkan Banga. Ia sangat percaya diri dengan pedang perak yang dimilikinya. "Kau seharusnya memuji pedangku, terbuat dari komposit perak berkualitas buatan juru tempa terbaik. Pedangku setara dengan pedang tokoh sakti istana." "Ilmunya setara tidak?" sindir temannya. "Ilmu dan senjata mesti berimbang." Banga duduk satu meja dengan mereka dan memanggil pelayan. Pengunjung terkejut. Pemuda itu cari perkara. Nyawanya bisa melayang gara-gara masalah sepele. Tidak ada orang yang berani duduk bersama mereka, selain sudah bosan hidup. "Kau lancang sekali berani bergabung dengan kami," sergah pendekar botak. "Apakah kau ingin merasakan kehebatan pedangku?" Banga memandang dingin. "Kau tahu siapa orang paling bodoh di kampung ini?" "Orang di kampung ini pintar-pintar." "Ada satu yang sangat bodoh." "Siapa?" "Si botak yang menganggap hebat pedang picisan. Ia mestinya tahu kalau pedangnya akan patah menjadi beberapa potong oleh pedangku." Pendekar botak murka. "Kurang ajar! Kau cari mampus berani menghina pedangku!" "Lehermu juga akan potong. Jangan minta dibuktikan." "Aku ingin membuktikan!" Pendekar botak segera mencabut pedang perak. Ia belum sempat menghunuskan pedang saat Banga membabat pedang yang dipegangnya menjadi beberapa bagian, lalu menebas leher pendekar itu. Gerakannya laksana kilat, sehingga tahu-tahu potongan pedang itu menancap di dada kawannya, dan leher pendekar botak hampir putus. Pengunjung terpukau melihat keahliannya bermain pedang, gerakannya cepat sekali, tidak tertangkap oleh mata mereka. "Cecunguk berani bertingkah di depanku," geram Banga penuh amarah. Kemudian ia mengedarkan pandang ke sekitar. "Ada lagi yang ingin menemui kematian hari ini?" Pengunjung kedai terdiam ketakutan. Mereka menundukkan kepala dalam-dalam. Banga memanggil pelayan, lalu memberikan beberapa ringgit sambil berkata,"Keempat cecunguk ini menghilangkan selera makanku. Tolong urus mayatnya." "Baik tuan," kata pelayan dengan tubuh gemetar ketakutan. "Jangan ketakutan seperti itu, aku bukan iblis, aku hanya membinasakan orang-orang yang pantas mati, yaitu antek-antek Ratu Nayaka. Ada lagi selain mereka?" "Tidak ada, Tuan." Pelayan sedikit tenang, meski rasa takut masih membayang dalam bola matanya. "Mereka hanyalah centeng gudang yang tidak tahu apa-apa." "Mulai sekarang kalian harus tahu apa-apa, harus peduli pada nasib sendiri. Bagaimana nasib kalian akan berubah kalau takut untuk merubah nasib?" "Ya tuan." "Tirani bukan untuk ditakuti, untuk dilawan. Ketika kalian merasa takut, maka kehidupan kalian telah mati. Hanya orang-orang yang berani yang berhak mendapat keadilan." "Ya tuan." Banga pergi. Mereka berbisik-bisik. "Siapa pemuda itu?" cetus seorang pengunjung. "Kepandaiannya sungguh luar biasa." "Tapi ia takkan mampu melawan gusti ratu, istana didukung para iblis!"Banga mewarisi empat ilmu dewa perang; Tapak Dewa, Angin Dewa, Sinar Dewa dan Mata Dewa. Mewarisi teknik pengobatan penyakit dan racun dari dewa obat, dan tujuh jurus inti Dewa Pedang: Angin Topan Menggulung Badai, Gelombang Samudera Meneguk Ombak, Bulan Sabit Menutup Matahari, Harimau Putih Menangkap Buruan, Kupu-kupu Menari Di Awan, Bintang Jatuh Di Teratak, dan Petir Membelah Hujan. Tanda-tanda pewaris tiga ilmu dewa ini sangat misterius dan mustahil terdapat pada klan Nayaka, maka beberapa abad lalu lembaran berita tentang kedatangan ksatria perang dilenyapkan dari kitab kuno istana. "Apakah pemuda itu mewarisi ilmu raja iblis?" ujar tokoh silat istana bertampang Asia Timur. "Dewa pedang hanya memiliki keunggulan senjata, ia mengalahkan ribuan musuh dengan senjata." Semua jurus sakti yang berada di muka bumi tercantum dalam kitab besar istana, maka itu Ratu Nayaka merekrut tokoh silat istana dari berbagai golongan dan memiliki jurus langka. Bahkan beberapa jurus sakti mampu m
"Baiklah! Aku mendatangi kalian kalau kalian ragu-ragu untuk mati!" Banga berjalan di antara mayat di halaman menghampiri pasukan kerajaan di pintu gerbang, sambil memegang pedang mirabilis. Komandan perang dan tokoh silat istana heran melihat perilakunya ini. Ksatria besar seharusnya melayang di udara dan langsung menyerang mereka. Bukan berjalan kaki seperti petani hendak pergi ke sawah. Pemuda ini kelihatannya tidak memiliki gin kang memadai. Aneh sekali. "Semakin kentara kalau kekuatan pemuda itu berada di tangannya," kata komandan perang. "Kita rebut pedang kalkolitik." "Aku kira pemuda itu hanya berpura-pura," ujar Jagapati. "Ia ingin menghabisi prajurit dengan cara berbeda. Kau lihat ia tidak meninggalkan jejak di tanah berdebu. Ia tidak benar-benar menginjak bumi." "Kita habisi ksatria itu lebih dahulu." Komandan perang lompat dari kuda dengan jungkir balik di udara, lalu berdiri di halaman menghadang Banga. Jagapati dan beberapa tokoh silat istana istana menyusul deng
Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Satu batalyon prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata samurai dan panah. Pasukan kotaraja dipimpin seorang komandan perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka. Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Komandan perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah. "Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata komandan perang marah. Matanya memandang nanar pada mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina." Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di muka beberapa mayat terdapat tinja. "Kau komandan perang munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan aktif dalam pembantaian klan Adikara di kadipaten ini! Mereka dibunuh secara biad
Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimangan darah di halaman, tewas secara mengenaskan. Penduduk meludahi beberapa prajurit yang sekarat dan menginjaknya hingga mati, semasa hidupnya mereka sangat kejam menindas rakyat. Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah mencari harta yang tertinggal. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati. "Kau bukan ksatria sejati," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?" "Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga dingin. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?" "Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!" "Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!" Banga meminta Abiyasa mengurus pemakaman korban untuk mencegah penyakit menular dari bangkai yang tergeletak.
Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana. Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno Jawa Dwipa, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu. Ia adalah pendekar bayaran yang bertugas melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang perlu dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Buat apa lagi bertahan di rumah ini? "Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?" Kepala kampung pergi naik kereta lewat gerbang belakang, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan pelayan tua dan tidak berguna di ranjang. "Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?" Kepala pengawal tersenyum licik. "Kau memerintahkan mereka tinggal karena kau ja
Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga dengan bersenjatakan tombak. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan teperdaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak bisa dibedakan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat penjilat." "Sombong sekali k