Home / Pendekar / Pendekar Pedang Mirabilis / Bab 6. Penerus Dinasti

Share

Bab 6. Penerus Dinasti

Author: Enday Hidayat
last update Last Updated: 2025-04-05 01:51:01

Percuma kepala kampung memohon ampun, pintu itu sudah ditutup. Pemusnahan klan Adikara adalah jalan kematian bagi orang-orang yang menjadi kaki tangan istana.

Banga hanya mengijinkan sembilan istrinya untuk pergi. Mereka hanyalah selimut yang diambil secara paksa dari orang tua.

Banga bukan iblis, ia menyisakan orang-orang bukan pendukung istana meski hidup di lingkungan istana, termasuk puluhan pelayan kepala kampung.

"Sebelum pergi, kalian boleh mengungkapkan perasaan kalian kepada suami jelek ini."

Sembilan perempuan muda itu bergegas mengambil senjata yang berserakan di halaman, dan menghujamkan ke tubuh kepala kampung dengan penuh kebencian.

Banga terpana. Kepala kampung menemui ajal di tangan istrinya sendiri. Beberapa pelayan perempuan turut menumpahkan kemarahannya kepada komandan legiun dan ketua pendekar dengan mengencingi mukanya.

Kedua pria separuh baya itu sering memaksa mereka untuk melayani. Mereka butuh pemersatu untuk menyalurkan kebencian atas pelecehan seksual lewat perjuangan rakyat.

"Aku percaya kalian bukan istri yang mendukung kekejaman kepala kampung, kalian menjadi istri karena keluarga terancam," kata Banga. "Jangan sia-siakan kepercayaanku ini."

"Kami bukan istri mayat keparat itu, kami hanyalah budak nafsu," ujar perempuan tertua. "Kami tidak pernah diperlakukan sebagaimana seorang istri. Kami sering menemani tidur pejabat pemeriksa upeti untuk menutup penyelewengan."

Nasib mereka sungguh malang sekali, batin Banga prihatin. Mereka pasti menyesal berwajah cantik.

"Bawalah harta yang ada untuk kalian kembali ke masyarakat, berdaganglah dengan kongsi klan Adikara."

"Terima kasih, Tuan."

Mereka pergi dengan membawa beberapa kotak kecil berisi barang berharga.

Banga meninggalkan rumah kepala kampung dengan api berkobar-kobar dan asap hitam membumbung tinggi.

Dalam sekejap rumah besar itu ludes dilalap api. Penduduk berdatangan dan bersorak-sorai dengan gembira. Kematian penguasa bertangan besi adalah pesta bagi rakyat.

"Aku akan meminta Pak Tua untuk memimpin kampung dan mengelola kongsi dagang ibuku. Aku kira penduduk dapat hidup sejahtera dari hasil berdagang dengan kongsi ibuku."

Banga kembali ke kedai kopi dan menemui Pak Tua. Pria separuh baya itu terkejut saat Banga menyampaikan maksudnya.

"Apakah tuan tidak keliru mengangkat diriku?" tanya Pak Tua tak percaya. "Pilihlah sahabat tuan dari klan lain, aku cukup berdiri di belakang."

"Terserah Pak Tua ingin menunjuk siapa. Terpenting kepala kampung harus mengutamakan kesejahteraan rakyat."

"Saya usahakan tuan."

"Janganlah melindungi aku jika ada prajurit yang mencari, aku pergi ke kotaraja."

"Baik tuan."

"Jangan juga mempertahankan kongsi dagang jika disita istana."

"Baik tuan."

"Jika hari nanti ada orang membawa markah kongsi dagang, serahkan kongsi itu kepadanya untuk dikelola."

"Baik tuan."

Banga pergi setelah nenyerahkan beberapa dokumen dan aset kongsi dagang.

Pak Tua menawari kuda untuk tunggangan, Banga menolak.

"Aku merasa bebas jalan kaki."

Banga meninggalkan kedai kopi, pergi ke utara menelusuri jalan berkerikil. Ia sengaja melewati jalan umum agar mudah ditemukan oleh prajurit kerajaan.

Banga menunggu kedatangan mereka sehingga tak perlu susah payah untuk menghancurkan kekuatan Ratu Nayaka.

Banga memasuki hutan yang menjadi perbatasan kampung. Hutan ini adalah tempat persembunyian perampok yang menjadi momok bagi penduduk.

"Ada orang mengikuti diriku," gumam Banga. "Mereka keliru kalau ingin merampok diriku."

Banga melihat mereka bergerak dengan cepat dari pohon ke pohon. Ia heran mereka belum memperlihatkan diri, padahal sekaranglah waktu yang tepat untuk membegal dirinya.

Ia sudah berada jauh dari perkampungan. Penduduk tidak akan mendengar teriakannya jika butuh pertolongan. Barangkali mereka sudah menyiapkan perangkap di sebuah area.

"Aku minta kalian menunjukkan diri!" teriak Banga habis sabar. "Jangan menunggu aku mendatangi kalian, karena itu berarti kematian!"

Lima orang pemuda berlompatan ke jalan berkerikil di depan Banga.

"Maafkan kami mengganggu kenyamanan perjalanan dirimu," kata seorang pemuda. "Kami adalah pelajar yang baru pulang dari Han Barat, dan menemukan klan Adikara sudah habis dibantai."

"Ada kepentingan apa kalian dengan klan Adikara?"

"Kami adalah klan Adikara dari kampung lain. Kami ingin balas dendam. Maka itu kami merampok bangsawan pendukung istana. Kami tidak ingin mereka hidup tenang."

Banga senang ada klan Adikara yang masih hidup. Berarti mereka dapat menyelamatkan klan terbesar di provinsi ini dari kepunahan.

Banga sempat cemas klan Adikara akan musnah pada generasi selanjutnya. Ia sudah bertekad hidup sendiri untuk mengurangi risiko. Anak dan istri pasti jadi korban kekejaman prajurit.

"Perampok bukan pilihan klan Adikara. Mereka pandai berbisnis. Janganlah kalian mengada-ada."

"Kami menginginkan kaki tangan istana hidup menderita. Kemampuan kami baru sebatas membalas dendam secara sembunyi-sembunyi. Kami kekurangan orang untuk membangun pergerakan."

Kemudian pemuda itu menunjukkan markah klan Adikara untuk menghilangkan keraguan Banga. Markah itu terbuat dari emas murni dengan gambar bunga mirabilis.

"Kalian bisa menjalani hidup di kampungku. Bekerja sama lah dengan kongsi dagang ibuku. Jangan sekali-kali mengaku klan Adikara."

"Kami ingin berjuang bersamamu."

"Penerus dinasti ada di pundak kalian. Aku tidak ingin kalian dalam bahaya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 24. Pewaris Tiga Ilmu Dewa

    Banga mewarisi empat ilmu dewa perang; Tapak Dewa, Angin Dewa, Sinar Dewa dan Mata Dewa. Mewarisi teknik pengobatan penyakit dan racun dari dewa obat, dan tujuh jurus inti Dewa Pedang: Angin Topan Menggulung Badai, Gelombang Samudera Meneguk Ombak, Bulan Sabit Menutup Matahari, Harimau Putih Menangkap Buruan, Kupu-kupu Menari Di Awan, Bintang Jatuh Di Teratak, dan Petir Membelah Hujan. Tanda-tanda pewaris tiga ilmu dewa ini sangat misterius dan mustahil terdapat pada klan Nayaka, maka beberapa abad lalu lembaran berita tentang kedatangan ksatria perang dilenyapkan dari kitab kuno istana. "Apakah pemuda itu mewarisi ilmu raja iblis?" ujar tokoh silat istana bertampang Asia Timur. "Dewa pedang hanya memiliki keunggulan senjata, ia mengalahkan ribuan musuh dengan senjata." Semua jurus sakti yang berada di muka bumi tercantum dalam kitab besar istana, maka itu Ratu Nayaka merekrut tokoh silat istana dari berbagai golongan dan memiliki jurus langka. Bahkan beberapa jurus sakti mampu m

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 23. Klan Terkuat

    "Baiklah! Aku mendatangi kalian kalau kalian ragu-ragu untuk mati!" Banga berjalan di antara mayat di halaman menghampiri pasukan kerajaan di pintu gerbang, sambil memegang pedang mirabilis. Komandan perang dan tokoh silat istana heran melihat perilakunya ini. Ksatria besar seharusnya melayang di udara dan langsung menyerang mereka. Bukan berjalan kaki seperti petani hendak pergi ke sawah. Pemuda ini kelihatannya tidak memiliki gin kang memadai. Aneh sekali. "Semakin kentara kalau kekuatan pemuda itu berada di tangannya," kata komandan perang. "Kita rebut pedang kalkolitik." "Aku kira pemuda itu hanya berpura-pura," ujar Jagapati. "Ia ingin menghabisi prajurit dengan cara berbeda. Kau lihat ia tidak meninggalkan jejak di tanah berdebu. Ia tidak benar-benar menginjak bumi." "Kita habisi ksatria itu lebih dahulu." Komandan perang lompat dari kuda dengan jungkir balik di udara, lalu berdiri di halaman menghadang Banga. Jagapati dan beberapa tokoh silat istana istana menyusul deng

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 22. Simbol Kekuasaan Langit

    Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Satu batalyon prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata samurai dan panah. Pasukan kotaraja dipimpin seorang komandan perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka. Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Komandan perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah. "Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata komandan perang marah. Matanya memandang nanar pada mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina." Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di muka beberapa mayat terdapat tinja. "Kau komandan perang munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan aktif dalam pembantaian klan Adikara di kadipaten ini! Mereka dibunuh secara biad

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 21. Berjuang Di Kemudian Hari

    Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimangan darah di halaman, tewas secara mengenaskan. Penduduk meludahi beberapa prajurit yang sekarat dan menginjaknya hingga mati, semasa hidupnya mereka sangat kejam menindas rakyat. Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah mencari harta yang tertinggal. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati. "Kau bukan ksatria sejati," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?" "Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga dingin. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?" "Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!" "Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!" Banga meminta Abiyasa mengurus pemakaman korban untuk mencegah penyakit menular dari bangkai yang tergeletak.

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 20. Sudah Terlambat

    Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana. Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno Jawa Dwipa, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu. Ia adalah pendekar bayaran yang bertugas melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang perlu dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Buat apa lagi bertahan di rumah ini? "Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?" Kepala kampung pergi naik kereta lewat gerbang belakang, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan pelayan tua dan tidak berguna di ranjang. "Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?" Kepala pengawal tersenyum licik. "Kau memerintahkan mereka tinggal karena kau ja

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 19. Bukan Ahli Pedang

    Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga dengan bersenjatakan tombak. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan teperdaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak bisa dibedakan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat penjilat." "Sombong sekali k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status