Sontak, semua orang desa berlari sambil membawa kentongan. Beberapa perempuan juga ikut lari, tapi sisanya tetap di desa untuk menjaga tiga kawan Arka.“Kita di sini saja, Soka. Biarkan Lurah Ando yang memimpin mereka. Beliau orang sakti mandraguna. Jangan lupa, beliau juga anak kandung dari juru kunci gunung Arjuno.”Sepuluh menit berlalu dan para warga menggotong jasad Arka. Matanya masih terbuka, tapi nyawanya sudah tiada. Mbok Walijah keluar dari gubuknya dengan mata nanar. Tangis air matanya tak berhenti menetes.Beberapa kali Mbok Walijah memastikan cucunya hidup atau mati. Naas, Arka sudah tidak bernafas lagi. Denyut nadi di lehernya juga tidak terasa. Hanya saja, mata Arka masih terbelalak.Lurah Ando mengusap wajah Arka dan menutup matanya. Tetap tidak bisa. Hingga percobaan ketiga, barulah mata Arka bisa tertutup dan sore nanti akan diadakan sesi pemakaman.“Bagaimana nasibku nanti? Apa aku harus berakhir seperti cucu Mbok Walijah?”Asoka bertanya-tanya dalam hati. Masalahny
Asoka ikut menuju liang kubur dan melihat prosesi penggalian makam. Seluruh warga desa ingin memastikan siapa yang dimakamkan tiga hari lalu. Malam itu juga, para warga menggali makam dengan gotong royong.Semua terkejut saat makam terbuka. Ternyata bukan mayat Artka, itu hanyalah gedebog pisang yang terikat. Ando segera berlari menuju lumbung dan mempersilakan Arka kembali ke rumah.Arka memeluk neneknya. Dia menangis haru dan hampir satu menit mereka berpelukan. Sementara di luar, para warga sudah menunggu cerita dari Arka. Lelaki itu keluar dan duduk di tikar lebar yang digelar di depan rumahnya. Tiga kawan pendakinya juga ikut menyimak.“Saat aku kencing, ada seseorang tua dengan jenggot menjuntai sampai ke tanah menatapku marah. Ketika mata kami bertatapan, tiba-tiba aku pingsan dan tidak tahu ada di mana.”Setelah bangun, Arka mendapati teman-temannya bergerombol. Mereka memasang wajah cemas. Tapi untuk kedua kalinya, Arka menuju pohon tempatnya kencing. Semua di luar kontrol Ar
Saat larut malam, orang-orang kampung bergantian meronda untuk mengantisipasi datangnya siluman Kudajiwo yang bisa saja datang untuk menculik Asoka.Terutama Ando. Sang lurah itu tidak tidur semalaman dan tetap mengelilingi desa sambil membawa sabit pusaka yang diberikan ayahandanya selaku juru kunci gunung Arjuno.Hingga menjelang tengah malam, siluman Kudajiwo belum juga datang dan Ando tampak mengantuk. Sesaat sebelum fajar, Ando hampir saja tertidur. Namun, suara tapal kuda membangunkannya.Semua orang di pos kampung bergidik ngeri. Kali ini yang datang bukan lagi Kudajiwo, melainkan siluman ular raksasa dengan kepala manusia.“Di mana pemuda itu, Ando?” Teriaknya menggertak.“Ra-Ratu Kencana Sari,” Ando gemetar dan tidak bisa berkutik. Yang ada di hadapannya adalah sosok ratu yang menguasai seluruh pantai di tanah Jawa.Dalam babad kuno para raja dan orang-orang sakti sebelum masa Bunar Kumbara, ada banyak cerita tentang Ratu Kencana Sari. Tapi perlahan, nama itu terkikis hingga
Salah satu dari mereka ada yang berniat buruk. Pasalnya, Ratu Kencana Sari hampir tidak pernah memperlihatkan wujud manusianya yang paripurna. Ando menyadari hal itu. Dia bergeming pelan.“Sekali lagi aku minta tolong kepada kalian agar jangan menceritakan kejadian malam ini. Aku takut kalian akan jadi batu seperti yang Jainul alami,” Ando sedikit terisak. Dia teringat masa lalunya dulu hingga membuatnya dikenal oleh sang ratu.“Ba-baik, Paman,” seru tiga orang itu bersamaan.“Jika nanti orang-orang mencariku, katakan saja aku lagi berburu di dalam hutan.”Sesudah fajar terbit, Arka masuk ke rumah Ando. Dia membangunkan Asoka, tapi agak sulit. Tidak lama, lelaki itu bangun, tapi matanya sangat sulit untuk dibuka.Pagi itu juga, Ando mengajari Asoka tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Alas Lali Jiwo. Baik itu sejarah, etika, hingga siapa saja penghuni di sana.Langit masih agak gelap dan matahari b
“Terus hubungan Arjuna dengan penamaan gunung dan empat mustika legendaris Bunar Kumbara, Pak?” Asoka masih penasaran.“Penamaan gunung tersebut tentunya karena kejadian di masa lampau. Jika tidak ada Arjuna sang pertapa, niscaya gunung itu hanya menjadi gundukan mati tanpa aura mistis.”Asoka dan Arka akhirnya paham kenapa gunung itu dinamai Arjuno. Orang Jawa tidak terlalu suka dengan huruf ‘A’ dan menggantinya dengan ‘O’ karena dirasa lebih enteng, terutama saat pengucapan.“Perihal mustika, nenek moyang kita yakin kalau keempatnya terlempar saat Semar memotong puncak gunung. Mustika tersebut hilang sampai akhirnya Bunar Kumbara berhasil menemukannya.”“Mungkin Raden Kusuma menyuruhku ke sana untuk menemui pertapa yang menjaga kawah ya, Pak? Kalau seperti itu, aku jadi bersemangat. Pertapa itu pasti kuat.”“Semangat boleh, tapi gegabah jangan. Ingatlah empat pantangan
Dalam sekejap mata, angin tiba-tiba berhembus kencang. Semak-semak di sekitaran Asoka kembali bergoyang hebat. Suara tapak kaki yang tadinya terdengar jauh, sekarang menghilang.Wush!“Aku tidak boleh mati...!” Asoka berteriak keras. Tanpa sengaja, energi alam dalam hutan masuk ke tubuhnya. Energi itu dirasakan Asoka dan membuat kaki kanannya bisa digerakkan kembali.Sekuat tenaga pemuda itu menarik kaki kirinya. Dua tangan Asoka ditapakkan ke tanah dan dia menggunakan pukulan pemecah angin agar mendapat dorongan udara ke atas.Pukulan tersebut berfungsi. Tanah di bawah Asoka muncrat dan memperbesar lubang di kaki kirinya. “Ajian Angin Tandus,” teriak Asoka sekali lagi. Dia bertaruh dengan ajian tercepat yang bisa digunakannya.Suara remukan kayu terdengar jelas. Asoka berhasil menghindari serangan musuh, tapi tenaganya harus terkuras karena mengeluarkan jurus yang sebenarnya hanya boleh digunakan kalau Gatra sudah mengizink
Lelaki yang membawa kapak mengangguk. Dia berubah wujud menjadi seekor kera dengan kepala manusia. Berbeda dengan kembarannya, Nanang memiliki lebih hitam pekat dari pada Ganang.Dua siluman kera itu meloncat dari satu pohon ke pohon lain, lalu menghilang di rimbunan daun di balik pohon beringin. Mereka merencanakan sesuatu agar membuat Asoka tunduk.Setelah berlari agak jauh dan tidak lagi merasakan aura atau kekuatan yang membuntutinya, Asoka menyempatkan diri beristirahat di dekat sebuah gubuk terbengkalai.Dia memperhatikan betul wejangan Ando dan Arka bahwasanya setiap barang atau peninggalan manusia yang ada di gunung Arjuno dilarang untuk disentuh.Hari sudah beranjak siang, artinya sisa enam jam lagi waktu Asoka harus mencapai puncak. Dia kembali terngiang pesan terakhir lurah Ando saat mencegatnya di perbatasan hutan dan desa.“Ingat, Le, kemungkinanmu selamat hanya sepersekian persen. Maksudku, penduduk Alas Jiwo pasti mencarimu kal
Sekali lagi, Asoka memusatkan energi alamnya di kaki. Sontak keluarlah cahaya kecoklatan di sekitar kaki Asoka dan dia dapat menapak tanah tanpa sedikitpun goyah.Hingga beberapa menit lamanya, angin tersebut masih tertiup kencang. Tidak ada yang tahu kalau angin tersebut berasal dari dua siluman kera yang memang ingin Asoka terjebak di Alas Lali Jiwo.Mereka adalah pesuruh raja siluman penguasa Alas Lali Jiwo. Tugas keduanya hanya untuk menjebak Asoka, tidak lebih. Asoka tidak boleh terluka sedikitpun karena pernikahan akan berlangsung spesial.Sang raja tidak ingin mempelai pria yang memiliki luka fisik, apalagi terdapat darah.Tidak lama kemudian, angin tersebut hilang tiba-tiba. Nampaknya dua siluman kera itu kehabisan tenaga. Mereka kembali menghilang di tengah rimbunnya hutan.Asoka bisa bernafas lega, tapi itu hanya sejenak. Jarak sekian detik, suara gamelan kembali terdengar. Kali ini bercampur dengan gong dan ada suara sinden.&ldqu