Saat malam tiba, Asoka sangat lapar. Dia tidak memiliki apapun untuk dimakan. Kakinya yang masih belum pulih setelah terjatuh juga mustahil digunakan untuk mendaki jurang.
Terpaksa, dia hanya minum air sungai yang lumayan jernih karena langsung bersumber dari pegunungan. Beberapa waktu berselang, mustika merah Pedang Naga Api Sulong menyala.
Setelah hampir satu menit terus bergetar, terdengar sebuah suara tanpa rupa. Suaranya mirip seperti Gatra, tapi sedikit lebih besar dan agak menyeramkan.
“Tubuhku dikunci oleh pertapa tua tadi, Soka. Sebelum aku kembali ke tubuhmu, ada satu pesan yang ingin kukatakan.”
Asoka masih menunggu pesan yang disampaikan Gatra.
“Dalam tas kain yang kau bawa, ada kitab Sabdo Urip yang aku keluarkan dari dalam mustika. Baca kitab itu dan sembuhkan lukamu!”
Tidak lama setelah itu, suara Gatra menghilang dan udara di sekitar Asoka kembali dingin.
Sebelum matahari terbenam sempurna, Asok
Perjalanan yang dibutuhkan Asoka kurang lebih tujuh hari, itupun kalau dia tidak berhenti di titik-titik tertentu. Sayangnya, Asoka tidak tahu ke mana arah yang harus dia tempuh.Saat menyusuri kaki gunung, Asoka tidak melihat keberadaan padepokan Ajisaka, bahkan sampai dia keluar dari hutan Babel. Padahal, ingin sekali dia menyambangi Raden Kusuma dan melaporkan kalau tujuan akhir latihannya berada di puncak Arjuna.“Eh ada desa,” lirih Asoka saat berdiri di sebuah pohon yang agak tinggi. “Mungkin aku bisa makan enak di sana tanpa harus mencari buah-buahan di hutan.”Asoka sempat mampir di kedai makanan, tapi dia tidak memiliki uang sepeserpun. Terpaksa, dia bekerja sebagai pencuci piring hanya demi sesuap nasi dan sayuran.Setelah makan, Asoka menyusuri seisi desa. Tidak ada yang aneh. Namun, ada seorang lelaki memandangnya tajam. Lelaki itu berdiri di depan rumah kecil seperti ruang ritual.“Kemarilah, Kisanak,&rdqu
Dukun itu bercerita kalau di sekitar tubuh Asoka ada aura merah tapi tertutup cahaya agak putih. Keduanya menyatu dan hanya bisa dilihat oleh orang yang memiliki kelebihan indera keenam.“Kisanak dari gunung Welirang kemarin?” Tanya Udin langsung ke inti.“Eh, itu benar. Paman tahu dari mana kalau aku baru saja dari gunung Welirang?”“Aura tersebut adalah ciri khas yang dimiliki padepokan kecil di sana. Ketua padepokannya adalah temanku dulu waktu aku masih ada di kerajaan Segoro Kidul.”“Yang Paman barusan maksud itu Raden Kusuma?”“Benar, namanya Kusuma, tapi biasa dipanggil Aji saat dia menjadi mahapatih.”Udin membuka semuanya. Dia bercerita kalau perampok yang akan menyerang desa adalah suruhan ketua laskar Tengkorak Merah.Mereka sepertinya dendam terhadap Raden Kusuma yang telah menghabisi empat kader terbaik yang mereka miliki, namun tidak bisa melampiaskannya begitu
Cerita masa lalu, cukup menggugah hati pendengar dan penceritanya.Udin mulai menegarkan diri, coba menguatkan mulutnya agar tidak terus-menerus bergetar. Cerita itu sangat menyentuh. Dia ingat betul, kejadian masa lalu, tanpa lupa detil-detilnya sekalipun.Asoka tetap menyimak, sambil menengadahkan kepala.Raden Kusuma waktu itu langsung bersimpuh di hadapan kakaknya yang sudah mencapai tingkat pendekar naga menengah, satu tingkat sebelum tingkatan pendekar terkuat.Matanya berlinang air mata. Ia tidak kuasa menahan kekhilafannya selama ini. Saat itulah dia sadar atas semua kesalahan yang diperbuat.“Habiskan kenakalanmu sekarang, Aji!” Bentak Ki Seno Aji pada adiknya. “Tapi ingat, kehidupan tidak selamanya. Ada kehidupan lain yang kekal, yaitu kehidupan setelah dunia!”“Perbuatanmu akan dihitung. Buruk dan baiknya dirimu baru diketahui nanti setelah kau mati. Ingat, karma itu ada dan pasti terjadi!”
Sebelum hari beranjak sore, Asoka berpamitan pada Udin. Dia harus menyelesaikan perjalanan menuju puncak Arjuno. Masalah perampokan yang akan terjadi di desa Pulungan, Asoka tidak bisa berbuat apapun.Dia tidak mungkin menunda pengembaraannya untuk kesekian kali.“Tenang, Paman, aku akan mencari markas perampok tersebut,” lirihnya meyakinkan.Wajah Udin yang sebelumnya masam kini berubah agak cerah. Ada secercah harapan yang diberikan Asoka. Pemuda itu sudah seperti pahlawan bertopeng yang identitasnya tidak diketahui.“Hati-hati, Soka. Mereka memiliki jurus racun ular yang mematikan.”“Baik, Paman. Aku akan mengingatnya.”Asoka berpamitan kepada Udin. Niat awalnya mampir di sini hanya sekedar makan dan mengisi perut. Tapi keberuntungan berpihak padanya. Dia bertemu Udin dan malah mendapat bekal untuk melanjutkan perjalanan.Setelah keluar dari desa, Asoka menyusuri jalanan dan terhenti di perempata
Lima perampok itu berjalan menuju arah Asoka. Satu di antaranya berhenti dan seperti curiga ada yang aneh. Asoka menahan nafasnya berharap keberadaannya tidak diketahui.“Paling hanya perasaanmu saja,” ujar perampok dengan tombak.Kelimanya berjalan lagi menuju setapak hutan. Mereka berbelok ke kanan, kemudian menghilang dari pandangan. Asoka penasaran. Dia mengikuti langkah mereka, tapi tetap menjaga jarak.Asoka masih sangat awam dengan hujan gerimis ini. Setelah mencari dari pohon ke pohon, dia tidak mendapati lima perampok tadi. Akhirnya, pemuda itu berinisiatif menunggu hingga lima orang perampok tersebut kembali.Eughh!Perut Asoka berbunyi. Ini sudah hampir tengah malam dan lima perampok belum kunjung kembali. Hampir-hampir Asoka menuruti nafsunya untuk mencari makanan. Untung saja, dia tidak jadi turun dari pohon.Lima perampok hutan tersebut mendadak muncul dari setapak yang sama. Mereka membawa buah-buahan dan tiga ekor ayam hutan.Asoka sudah berencana mengikuti lima peramp
Asoka memusatkan tenaganya di kaki. Ajian Angin Ribut membuatnya bisa melesat cepat sementara ilmu meringankan tubuh membuat suara tapak kakinya tidak terdengar.Namun, sial menimpa dirinya. Suara kentut di tengah-tengah pendakiannya ke atap bangunan paling mewah menimbulkan keributan di bagian bawah.“Aduh, goblok kali kau itu! Kenapa harus kentut saat menyusup!” Gatra mendengus kesal. Tidak sekali dua kali tuannya itu ceroboh. Ini sudah puluhan kalinya.Tidak lama, dua perampok keluar dari gubuk dan tiga lainnya keluar dari bangunan yang masih belum sepenuhnya direnovasi.“Woi bocah! Apa yang kau lakukan di sana!”Bagaimanapun juga, wajah tidak mencerminkan umur. Memang umur Asoka sudah melewati kepala dua, tapi wajahnya masih seperti anak umur 16 tahun.“A-anu, Paman, aku sedang latihan loncat.”“Latihan loncat?” Perampok itu keheranan oleh jawaban Asoka.“Iya, Paman. Aku diberi mandat guru agar meloncat dari satu pohon ke pohon lain.”“Itu yang kau pijak bangunan bukan pohon.”Aso
Belasan perampok yang mengerubungi Asoka seketika menjauh. Terlambat sudah, api terlanjur muncul dan mereka tertarik masuk ke dalamnya. Belasan jasad meninggal mengenaskan. Wajah mereka hitam kusam. Luka bakar di sekujur tubuh sudah pasti.Jalu dan anak buahnya tentu tidak berani mendekat. Mereka takut terbakar seperti belasan perampok yang tersambar api merah dari kekuatan mustika.Hal tersebut dimanfaatkan Asoka untuk mendaki gerbang yang tidak terlalu tinggi. Namun saat ingin menggunakan ajian Angin Ribut, kakinya sangat berat untuk digerakkan.“Sial! Kenapa harus sekarang!”Asoka mengulang kembali gerakannya. Kali ini, ia aliri kaki dan badannya dengan energi alam. Tapi hasilnya sama saja. Pemuda itu tidak dapat mengeluarkan ajian Angin Ribut dan ilmu meringankan tubuh.Gatra tidak berkata apapun. Dia tahu jika yang terjadi pada Asoka adalah efek samping dari kekuatan nafas api mustika merah. Selama api tersebut menyala, maka Asoka tidak bisa menggunakan jurus apapun.Tidak lama k
Ejekan Asoka sekali lagi membuat Setya semakin marah. Pria berkuncir itu meminta parang milik Jalu dan Jalu pun melemparnya dari jauh.Kini, Setya menggunakan dua parang besar, sementara Asoka hanya pedang kecil dengan gagang berpendar putih keabu-abuan.“Bagus. Dia semakin marah. Aku bisa memulihkan energi sembari menghindari serangan si bodoh itu,” batin Asoka dalam hati.“Dalam hitungan detik, aku akan memenggal kepalamu, Bocah!”Setya mengubah kuda-kudanya. Dia menekuk kaki kanannya dan mendorong kaki kirinya ke belakang. “Putaran Parang Gerimis!”Asoka terkejut. Kaki kiri Setya ternyata digunakan sebagai tolakan agar dia bisa melesat cepat ke arah Asoka. Dua parang tersebut diputar dengan cepat dan membentuk baling-baling yang siap memotong apapun.“Tabrak dia, Soka!” Gatra berteriak kencang dalam tubuh Asoka. “Lari ke depan dan jatuhkan tubuhmu ke arah kiri.”Asoka menuruti permintaan Gatra. Dia berlari cepat seakan ingin menandingi putaran golok dari Setya. Semua yang ada di sa