Beranda / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 16. Keluarga Pendekar Pedang

Share

16. Keluarga Pendekar Pedang

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-08 23:05:13

Naga Hitam terkekeh rendah, suara tawanya menggema.

"Tapi kau keras kepala. Kau tidak menyerah meski sudah berkali-kali jatuh. Itu menghiburku. Jadi, cepat kembali sebelum orang-orang mengira kau mati di sini."

Sebelum Kael sempat membalas, kesadarannya tiba-tiba tersentak kembali. Kael membuka matanya dengan napas memburu.

Dunia nyata langsung menyambutnya—udara malam yang sejuk, suara dedaunan yang bergoyang, dan… tatapan tajam seseorang di hadapannya.

Arsel berdiri di sana, kedua tangannya terlipat di dada. Matanya menatap Kael penuh selidik, seakan mencoba mencari tahu apa yang baru saja terjadi.

"Kau akhirnya bangun," kata Arsel datar. "Apa yang kau lakukan di sini sampai seperti mayat?"

Kael masih sedikit pusing, tetapi ia menghela napas dan berdiri perlahan.

“Aku memulihkan kekuatanku, tak mungkin aku baik-baik saja. Setelah menerima seranganmu,” jawa Kael yang tak ingin Arsel curiga.

Arsel menatapnya lebih lama sebelum menghela napas. "Apa kau terluka?”

Kael mengu
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Naga   98 Pertempuran berlangsung lama.

    Lembah yang sunyi itu tak lagi diam. Langit memerah oleh sisa-sisa energi naga kuno yang masih berkeliaran, seolah menanti waktu untuk kembali meledak. Di tengah tekanan itu, Kael dan Arsel berdiri berdampingan, napas mereka berat, namun langkah mereka mantap. Di belakang mereka, kelompok yang telah mereka bimbing mulai membentuk formasi siap tempur.Kael memandangi langit sejenak, lalu berkata pelan, “Kekuatan naga hitam... dulu kubenci karena kehancuran yang dibawanya. Tapi sekarang aku tahu, bukan kekuatannya yang jahat—melainkan siapa yang menggunakannya.”Arsel menoleh sambil mengangguk. “Dan kekuatan naga emas bukan untuk menghakimi, tapi untuk menjaga keseimbangan. Kita butuh keduanya, Kael. Hitam dan emas. Gelap dan terang.”Kael tersenyum tipis. “Jadi kita lakukan ini bersama, seperti dulu di akademi.”Arsel menghunus pedangnya. “Tapi kali ini bukan latihan. Ini medan perang sungguhan.”Dari kejauhan, tanah mulai berguncang lagi. Pilar-pilar batu menjulang dari tanah, menanda

  • Pendekar Pedang Naga   97. Rencana Penyerangan

    Di lorong gelap yang hanya diterangi cahaya api kecil dari kristal penyimpan energi, Kael berdiri dengan tangan menyilang. Di sampingnya, Arsel duduk di atas batu besar, pedang naga emas bersandar di lututnya. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di hadapan mereka terbentang medan yang akan segera menjadi ajang pertempuran: tanah tandus yang dipenuhi retakan, dan dari setiap bayangannya, bisa saja muncul musuh yang mereka cari—Kalajengking Merah."Aku sudah menebasnya tiga kali... dan setiap kali, tubuhnya mengabur seperti kabut lalu menyatu kembali," gumam Kael. "Bahkan dengan api hitamku, dia tetap kembali utuh."Arsel mengangguk pelan. "Dia bukan makhluk biasa. Aku mencium aroma alkimia di balik tubuh itu. Seperti... hasil rekayasa energi naga yang diputarbalikkan."Kael menatap sahabatnya, lalu menoleh ke medan. "Kita tidak bisa mengandalkan kekuatan langsung. Kita harus buat dia muncul dalam bentuk sejatinya. Mungkin dia punya inti—sesuatu yang belum kita liha

  • Pendekar Pedang Naga   96. Dalam Kegelapan

    Tiga hari setelah ekspedisi dimulai, pasukan elit yang dipimpin Kael dan Arsel tiba di sebuah desa kecil di tepi hutan, namanya telah hilang dari peta. Kabut turun lebih cepat di tempat itu, dan tak satu pun penduduk terlihat.Kael memberi isyarat senyap. Mereka menyisir rumah-rumah kosong—pintu-pintu yang tak terkunci, makanan yang masih tersisa di atas meja, dan api yang belum padam sepenuhnya di perapian. Terlalu baru. Terlalu tiba-tiba.“Tak ada tanda perlawanan,” kata salah satu prajurit. “Tapi orang-orang menghilang seolah… tahu mereka tak bisa melawan.”Di balai desa, mereka menemukan tanda pertama: dindingnya dihiasi simbol naga terbelah—separuh emas, separuh hitam. Namun garis hitamnya membelah lebih dalam, seolah mencakar lambang itu menjadi dua.Arsel berdiri diam di depan simbol itu. Matanya membeku. “Itu bukan hanya pesan,” katanya pelan. “Itu ejekan.”Malamnya, seorang pengintai kembali dengan laporan: “Kami menemukan tenda dan perkemahan kecil di tepi sungai, sekitar sa

  • Pendekar Pedang Naga   95. Pengkhianatan

    Mulanya, tak ada yang menyadari. Hanya tatapan yang mulai dingin, obrolan yang terhenti saat Kael lewat, dan bisik-bisik di antara regu saat Arsel memberi perintah.Farel tidak menyerang dari depan. Ia membidik hati para prajurit—keraguan mereka, kelelahan mereka, bahkan luka lama mereka yang belum sembuh.“Kael melatih kalian menjadi tameng,” katanya pada sekelompok perwira muda yang diundang diam-diam ke barak istana. “Tapi aku bisa menjadikan kalian pedang. Bukan alat pelindung… tapi alat penguasa.”Beberapa mulai berpaling. Tak banyak. Tapi cukup untuk meretakkan fondasi yang selama ini kokoh.Kael merasakan ketegangan dalam barisan. Ketika ia menyuruh regu barat untuk latihan formasi, mereka bergerak lambat. Saat ia menegur, tak satu pun menjawab. Mereka hanya menatap lurus… atau sesekali melirik ke arah barak istana, tempat Farel kini tinggal.Arsel mencoba mengumpulkan para pemimpin regu. Di ruang pertemuan, ia berbicara dengan nada tegas.“Jika kalian merasa direndahkan, katak

  • Pendekar Pedang Naga   94. Intrik Istana

    Tiga hari setelah laporan resmi kemenangan pasukan pelatihan tiba di istana, aula utama dipenuhi suara berbisik. Di balik pilar-pilar emas dan karpet merah yang panjang, para bangsawan berkumpul bukan untuk merayakan—melainkan untuk merundingkan cara menghadapi dua nama yang mulai menggeser pengaruh mereka: Arsel dan Kael.Di balik senyum-senyum diplomatis, perasaan waswas menyelimuti para petinggi militer. Pasukan pelatihan telah membuktikan efektivitasnya—cepat, terorganisir, tidak bergantung pada sistem feodal. Dan yang paling berbahaya: mereka loyal pada pelatihnya, bukan pada istana.“Aku mencium benih pemberontakan,” ujar Jenderal Prakas, salah satu tangan kanan Kaisar, dalam pertemuan tertutup. “Mereka bukan hanya kuat. Mereka memiliki hati rakyat.”Kaisar sendiri belum bersikap. Ia terlalu bijak untuk bergerak terburu-buru, namun terlalu picik untuk membiarkan kekuatan tumbuh di luar genggamannya.Sebagai langkah awal, ia mengutus seseorang—seorang penasihat istana muda bernam

  • Pendekar Pedang Naga   93. Pelatihan Mendalam

    Setelah para prajurit menguasai ketepatan serangan, Arsel tidak memberi mereka waktu beristirahat lama. Keesokan paginya, ia sudah menanti di lapangan pelatihan yang diubah menjadi miniatur medan perang—dipenuhi rintangan, menara pengintai, dan tempat berlindung dari serangan.“Musuh yang cerdas tidak akan menantang kalian satu lawan satu,” ucapnya tanpa basa-basi. “Mereka akan bersembunyi, menyerang dalam gelap, atau memancing kalian masuk ke dalam perangkap. Maka, kalian akan belajar menjadi satu tubuh, satu pikiran.”Arsel membagi pasukan menjadi regu-regu kecil, masing-masing terdiri dari empat hingga enam orang. Tiap regu diberikan peran: pengintai, penjaga, penyerang utama, dan pengalih. Mereka diharuskan menyusup ke wilayah “musuh”, mengambil bendera, dan kembali tanpa kehilangan satu pun anggota.Latihannya kejam. Tiap kegagalan berarti mengulang dari awal. Tiap pelanggaran strategi berarti dikeluarkan dari putaran itu. Tapi para prajurit mulai memahami: mereka bukan lagi peju

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status