Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.
Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya. "Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian. Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.” Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan. "Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka. Tapi aku hampir kalah karena jumlah mereka cukup banyak,” jelas Kael yang masih banyak kekurangan dalam bertarung. Kakek Ling menatap Kael dengan sorot mata tajam, tetapi penuh kebijaksanaan. "Pengalamanmu dalam bertarung masih kurang, Kael. Aku sudah mengajarkan semua jurus pedang yang kumiliki padamu, tapi itu saja tidak cukup. Kau harus terus berlatih dan meningkatkan kekuatan tenaga dalammu. Lagi pula, pedang Naga itu... sejak hari itu, ia tidak menunjukkan reaksi apa pun." Kael mengepalkan tangannya. Dia menyadari betul kelemahannya, dan itu membuatnya semakin bersemangat untuk menjadi lebih kuat. Dengan suara penuh tekad, ia berkata, "Kek, bolehkah aku mendaftar di Akademi Pedang Kerajaan? Mungkin di sana aku bisa mengasah pedang itu lebih jauh." Kakek Ling menghela napas pelan, seolah menimbang permintaan itu dalam hatinya. Setelah beberapa saat, dia mengangguk. "Jika itu sudah menjadi keinginanmu, Kakek tidak akan melarangmu." Mata Kael berbinar. Ia segera membungkuk hormat. "Terima kasih, Kek! Aku janji akan belajar dengan sungguh-sungguh." Kakek Ling menepuk bahu muridnya dengan lembut. "Aku yakin kau bisa menjadi pendekar hebat. Tapi ingat, jangan hanya terpaku pada pelajaran di akademi. Jika ada kesempatan, carilah juga informasi yang kau butuhkan." Kael mengangguk mantap. "Tentu saja! Itu adalah tujuan utamaku. Setelah aku berhasil membangkitkan kekuatan Pedang Naga, aku ingin mencari lebih banyak informasi tentang orang yang memiliki tato kalajengking." Kakek Ling tersenyum samar, tetapi sorot matanya menyiratkan keteguhan. "Kakek akan selalu mendukungmu, Kael. Bagiku, kau sudah seperti murid sejati. Pergilah dan temukan apa yang kau cari, tapi jangan pernah melupakan ajaran Kakek." Kael bersiap mengemasi barang-barangnya. Malam ini adalah malam terakhirnya bersama Kakek Ling sebelum ia turun gunung. Waktu terasa begitu cepat berlalu—tiga tahun telah ia habiskan berlatih pedang di bawah bimbingan sang kakek. Kini saatnya ia mengasah kemampuannya lebih jauh, bukan hanya untuk menjadi lebih kuat, tetapi juga demi satu tujuan pasti: membalas dendam. Selama ini, Kael terus mencari informasi tentang para bandit, namun orang yang ia cari masih belum ditemukan. Ia berharap di Akademi Pedang Kerajaan nanti, akan ada lebih banyak informasi yang bisa membantunya menyingkap kebenaran. Saat tengah tenggelam dalam pikirannya, suara berat Kakek Ling membuyarkan lamunannya. "Sudah larut malam, kenapa kau belum tidur?" Kael menoleh ke arah kakeknya, lalu menghela napas. "Belum, Kek. Aku masih mengumpulkan informasi, tapi sejauh ini belum ada satupun bandit dengan tato kalajengking." Kakek Ling mengusap janggutnya, matanya menyipit penuh pemikiran. "Aku rasa meningkatnya kejahatan di kerajaan akhir-akhir ini ada hubungannya dengan para bandit itu." Kael mengangguk. "Aku juga berpikir begitu, Kek. Akademi mungkin bisa memberikan lebih banyak informasi." Kakek Ling menatap Kael lekat-lekat. "Kau harus tetap berhati-hati. Dari yang kulihat, mereka bukan sekadar kelompok bandit biasa. Aku yakin mereka adalah organisasi besar. Setiap tahun keberadaan mereka semakin terasa—bahkan semakin ditakuti." Kael mengepalkan tangannya, matanya menyala penuh tekad. "Aku akan selalu mengingat pesan Kakek." Kakek Ling menghela napas panjang, lalu berkata, "Tidurlah. Besok kau harus berangkat, dan kau butuh stamina yang cukup." Kael mengangguk patuh. Setelah menatap Kakek Ling untuk terakhir kali malam itu, ia berbaring dan mencoba memejamkan mata. *** Pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Kael bangun dari tidurnya. Udara gunung yang dingin menusuk kulit, namun semangatnya jauh lebih membara. Hari ini adalah hari keberangkatannya menuju Akademi Pedang Kerajaan Zarkan. Di luar pondok, Kakek Ling sudah menunggunya. Sosok tua itu berdiri tegap dengan tangan bersedekap di depan dada, matanya menatap langit timur yang mulai berpendar keemasan. "Kau sudah siap?" tanyanya tanpa menoleh. Kael mengangguk, lalu menyesuaikan posisi pedang di pinggangnya. "Ya, Kek. Aku sudah siap." Kakek Ling berbalik, menatap muridnya untuk terakhir kalinya sebelum perpisahan. "Ingatlah, perjalananmu di akademi bukan hanya soal berlatih pedang. Gunakan waktumu dengan baik, cari informasi yang kau butuhkan, dan jangan mudah terprovokasi. Dunia di bawah sana berbeda dengan kehidupan di gunung." Kael menatap kakeknya dengan penuh hormat. "Aku mengerti, Kek. Aku akan berhati-hati." Sang kakek menghela napas sebelum merogoh sesuatu dari dalam jubahnya. Ia mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi koin dan menyerahkannya pada Kael. "Ini untuk bekal perjalananmu. Jangan boros, dan selalu waspada." Kael menerima kantong itu dengan perasaan hangat di dadanya. "Terima kasih, Kek. Aku akan menjaga diriku." Kakek Ling mengangguk. "Pergilah. Jangan menoleh ke belakang." Dengan satu tarikan napas, Kael melangkah maju, meninggalkan pondok tempatnya berlatih selama tiga tahun terakhir. Langkahnya mantap, penuh keyakinan. Perjalanannya menuju Akademi Pedang Kerajaan Zarkan baru saja dimulai. Di belakangnya, Kakek Ling berdiri diam, menatap punggung muridnya yang semakin menjauh. Kael melangkah penuh semangat menuruni gunung, menikmati udara segar pagi yang menyegarkan pikirannya. Semangatnya seketika berubah menjadi kewaspadaan saat sebuah anak panah melesat dengan kecepatan tinggi, nyaris mengenai dirinya. Dengan sigap, ia melompat ke samping, menghindari proyektil tersebut sebelum menghunus pedangnya. Matanya dengan cepat mengamati sekitar, mencari sumber serangan. Di kejauhan, ia melihat sebuah kereta kuda yang dikepung oleh sekelompok pria bersenjata. Anak panah tertancap di kayu kereta, di tanah, dan bahkan di tubuh beberapa pengawal yang berusaha mati-matian mempertahankan diri. Pertarungan sengit tengah terjadi. Para bandit, dengan pakaian lusuh dan wajah bengis, menyerang tanpa ampun. Mereka melompat dari balik semak-semak dan pepohonan, menebas para pengawal yang mencoba melindungi kereta. Sementara itu, dari dalam kereta terdengar suara ketakutan, menandakan ada seseorang yang berharga di dalamnya. Kael menyipitkan mata, tangannya semakin erat menggenggam gagang pedangnya. Ia bisa saja mengabaikan kejadian ini dan melanjutkan perjalanannya ke akademi, tetapi nalurinya berkata lain. “Bandit...? Apa mungkin mereka memiliki hubungan dengan kelompok yang kucari?"Tiga hari setelah ekspedisi dimulai, pasukan elit yang dipimpin Kael dan Arsel tiba di sebuah desa kecil di tepi hutan, namanya telah hilang dari peta. Kabut turun lebih cepat di tempat itu, dan tak satu pun penduduk terlihat.Kael memberi isyarat senyap. Mereka menyisir rumah-rumah kosong—pintu-pintu yang tak terkunci, makanan yang masih tersisa di atas meja, dan api yang belum padam sepenuhnya di perapian. Terlalu baru. Terlalu tiba-tiba.“Tak ada tanda perlawanan,” kata salah satu prajurit. “Tapi orang-orang menghilang seolah… tahu mereka tak bisa melawan.”Di balai desa, mereka menemukan tanda pertama: dindingnya dihiasi simbol naga terbelah—separuh emas, separuh hitam. Namun garis hitamnya membelah lebih dalam, seolah mencakar lambang itu menjadi dua.Arsel berdiri diam di depan simbol itu. Matanya membeku. “Itu bukan hanya pesan,” katanya pelan. “Itu ejekan.”Malamnya, seorang pengintai kembali dengan laporan: “Kami menemukan tenda dan perkemahan kecil di tepi sungai, sekitar sa
Mulanya, tak ada yang menyadari. Hanya tatapan yang mulai dingin, obrolan yang terhenti saat Kael lewat, dan bisik-bisik di antara regu saat Arsel memberi perintah.Farel tidak menyerang dari depan. Ia membidik hati para prajurit—keraguan mereka, kelelahan mereka, bahkan luka lama mereka yang belum sembuh.“Kael melatih kalian menjadi tameng,” katanya pada sekelompok perwira muda yang diundang diam-diam ke barak istana. “Tapi aku bisa menjadikan kalian pedang. Bukan alat pelindung… tapi alat penguasa.”Beberapa mulai berpaling. Tak banyak. Tapi cukup untuk meretakkan fondasi yang selama ini kokoh.Kael merasakan ketegangan dalam barisan. Ketika ia menyuruh regu barat untuk latihan formasi, mereka bergerak lambat. Saat ia menegur, tak satu pun menjawab. Mereka hanya menatap lurus… atau sesekali melirik ke arah barak istana, tempat Farel kini tinggal.Arsel mencoba mengumpulkan para pemimpin regu. Di ruang pertemuan, ia berbicara dengan nada tegas.“Jika kalian merasa direndahkan, katak
Tiga hari setelah laporan resmi kemenangan pasukan pelatihan tiba di istana, aula utama dipenuhi suara berbisik. Di balik pilar-pilar emas dan karpet merah yang panjang, para bangsawan berkumpul bukan untuk merayakan—melainkan untuk merundingkan cara menghadapi dua nama yang mulai menggeser pengaruh mereka: Arsel dan Kael.Di balik senyum-senyum diplomatis, perasaan waswas menyelimuti para petinggi militer. Pasukan pelatihan telah membuktikan efektivitasnya—cepat, terorganisir, tidak bergantung pada sistem feodal. Dan yang paling berbahaya: mereka loyal pada pelatihnya, bukan pada istana.“Aku mencium benih pemberontakan,” ujar Jenderal Prakas, salah satu tangan kanan Kaisar, dalam pertemuan tertutup. “Mereka bukan hanya kuat. Mereka memiliki hati rakyat.”Kaisar sendiri belum bersikap. Ia terlalu bijak untuk bergerak terburu-buru, namun terlalu picik untuk membiarkan kekuatan tumbuh di luar genggamannya.Sebagai langkah awal, ia mengutus seseorang—seorang penasihat istana muda bernam
Setelah para prajurit menguasai ketepatan serangan, Arsel tidak memberi mereka waktu beristirahat lama. Keesokan paginya, ia sudah menanti di lapangan pelatihan yang diubah menjadi miniatur medan perang—dipenuhi rintangan, menara pengintai, dan tempat berlindung dari serangan.“Musuh yang cerdas tidak akan menantang kalian satu lawan satu,” ucapnya tanpa basa-basi. “Mereka akan bersembunyi, menyerang dalam gelap, atau memancing kalian masuk ke dalam perangkap. Maka, kalian akan belajar menjadi satu tubuh, satu pikiran.”Arsel membagi pasukan menjadi regu-regu kecil, masing-masing terdiri dari empat hingga enam orang. Tiap regu diberikan peran: pengintai, penjaga, penyerang utama, dan pengalih. Mereka diharuskan menyusup ke wilayah “musuh”, mengambil bendera, dan kembali tanpa kehilangan satu pun anggota.Latihannya kejam. Tiap kegagalan berarti mengulang dari awal. Tiap pelanggaran strategi berarti dikeluarkan dari putaran itu. Tapi para prajurit mulai memahami: mereka bukan lagi peju
Tiga hari setelah ujian Takdir, Kael membawa tujuh anggota baru ke tempat yang tak disebutkan dalam peta mana pun: Kawah Ruhar—bekas sarang naga tua yang kini mati dan kosong, namun menyimpan energi purba yang masih membara di dalam tanahnya.“Tempat ini akan melawan kalian setiap hari,” ujar Kael, berdiri di tepi kawah. “Jika kalian bisa bertahan, maka tubuh kalian akan mulai menyesuaikan diri dengan getaran naga. Itu syarat pertama untuk masuk ke Kuil Ketujuh.”Latihan dimulai saat matahari belum muncul—dan berakhir hanya jika tubuh mereka ambruk.Hari Pertama – Penghancuran Ritme LamaKael memisahkan mereka. Tidak ada latihan berkelompok. Setiap peserta menghadapi elemen yang berlawanan dengan kekuatan mereka.Zidan harus menahan racun kabut tanpa bantuan pil. Liora dilempar ke sumber air panas bercampur belerang, agar mengontrol suhu tubuh tanpa sihir.Darren dihadapkan pada batu-batu pemukul naga yang jatuh dari langit, memaksanya bergerak dan bertahan tanpa perisai.Anara dilepa
Kael dan Arsel berdiri diam di atas batu hitam besar, jauh dari kerumunan. Dari tempat itu, mereka bisa melihat ke bawah—ke lembah Ronvara, tempat Pertandingan Antar Akademi berlangsung.Cahaya dari arena masih menyala samar, meski sebagian telah padam usai babak kedua. Kabut ilusi perlahan surut. Suara sorak telah lama hilang. Yang tersisa hanyalah bekas pertempuran… dan aroma sihir yang belum padam.Arsel menyilangkan tangan, menatap langit. “Kita tak ikut… tapi dunia tetap bergerak. Anak-anak itu bertarung seperti hidup mereka yang jadi taruhannya.”Kael tak menjawab. Tatapannya terkunci pada satu titik—seorang pemuda bertubuh kurus dengan jubah alkemis, tengah membantu temannya berdiri di tengah lapangan puing ilusi.“Zidan,” gumam Kael. “Dia tumbuh cepat. Lebih cepat dari yang kupikir.”Arsel melirik Kael sejenak. “Kau bangga?”Kael menarik napas dalam. “Bukan soal bangga. Aku takut.” Ia menoleh, matanya tajam. “Kalau anak seperti dia harus menanggung beban seberat ini… berapa la
Kabut terakhir dari kuil keenam belum sepenuhnya menghilang ketika tanah bergetar pelan. Arsel mendongak, menggenggam gagang pedangnya erat. Aura naga di dalam tubuhnya bereaksi—bukan karena musuh, tapi karena sesuatu yang sangat akrab.Dari ujung jalan berbatu yang terbuka perlahan, sosok hitam dengan jubah terbakar di ujungnya muncul, berjalan perlahan namun penuh kepastian. Kael.Tapi bukan Kael yang Arsel kenal dulu.Kini tubuhnya dikelilingi semacam pusaran energi gelap yang tidak liar, tapi teratur. Tatapannya dalam, tapi tidak dingin. Dan di punggungnya—terpahat simbol naga purba dalam cahaya ungu samar.Arsel tak berkata apa pun, hanya menatapnya. Tapi dalam hatinya, ada ribuan kata yang mendesak keluar.Kael berhenti hanya beberapa langkah dari sahabatnya. Ia menatap Arsel dengan senyum kecil—langka, tapi tulus."Aku kembali," katanya pelan. "Dan aku tidak datang untuk mati di kuil ketujuh."Arsel mendengus ringan, nyaris lega. “Kau lambat. Aku hampir mengira kau memutuskan t
Mengetahui bahwa kuil keenam akan menguji mereka dengan kehilangan dan pengorbanan, Kael dan Arsel tidak langsung melanjutkan perjalanan. Di sebuah lembah tersembunyi, dikelilingi batu-batu naga yang memancarkan energi purba, mereka memutuskan untuk berlatih—bukan hanya untuk mempertajam teknik, tapi juga untuk menyatukan ritme jiwa dan kekuatan naga masing-masing.Matahari terbit menjadi saksi latihan yang bukan lagi seperti duel biasa. Setiap tebasan Kael membawa nafas kegelapan yang telah ia jinakkan dari kuil kelima. Aura naga hitam menyelimuti pedangnya, namun kini tak lagi liar—melainkan tajam, fokus, dan presisi.Sementara itu, Arsel mulai membangkitkan sisi terdalam dari naga emas dalam dirinya. Ia belajar mengendalikan Cahaya Pemutus Ilusi, teknik rahasia yang muncul saat ia berdamai dengan kemungkinan kehilangan Kael. Cahaya itu bisa menembus tipu daya dan bayangan—sesuatu yang sangat penting menghadapi kuil yang konon menyesatkan hati.Mereka berlatih siang dan malam. Gerak
Fajar mulai menyentuh pucuk pepohonan ketika Kael dan Arsel duduk bersebelahan di tepian danau. Air tenang memantulkan cahaya lembut, dan embun pagi membuat dunia terasa sejenak damai. Untuk pertama kalinya sejak pertempuran itu, mereka tak merasa diburu.Arsel memandang telapak tangannya, yang masih sedikit bergetar. “Aku… hampir membunuhmu di dalam kuil itu.”Kael menghela napas pelan, matanya menatap air. “Bukan kau yang menyerang. Itu segel Vermarath.”“Tetap saja,” suara Arsel berat. “Kalau aku tak bisa melawan kendali itu, bagaimana nanti kalau ia kembali menguasai?”Kael menoleh, menatap sahabatnya. “Kau melawan pada akhirnya. Kau melindungiku, bahkan saat kau sendiri hampir hilang kendali. Itu cukup bagiku.”Hening sejenak. Hanya suara burung pagi dan riak air.Arsel menyeringai kecil, getir. “Kau selalu percaya pada hal-hal yang bahkan aku ragukan dalam diriku sendiri.”Kael menepuk pundaknya. “Karena kalau kita berhenti percaya satu sama lain, maka Vermarath sudah menang—bah