Beranda / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 4. Pertarungan Dengan Bandit

Share

4. Pertarungan Dengan Bandit

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 14:55:53

Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.

Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.

Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepat yang membuat Kael terkejut. Serangan itu begitu kuat dan tepat hingga Kael hampir kehilangan keseimbangan. Namun, kali ini dia tidak hanya bertahan dengan kekuatan fisiknya saja. Dia memusatkan tenaga dalamnya, membiarkan aliran energi itu mengalir ke dalam Pedang Naga. Dengan satu tebasan, dia berhasil menangkis serangan Kakek Ling, bahkan membuat sang pendekar tua mundur beberapa langkah.

Kakek Ling tersenyum puas. “Bagus, Kael. Kau mulai memahami kekuatan Pedang Naga. Tapi ingat, ini baru permulaan. Masih banyak yang harus kau pelajari.”

Kael tersenyum tipis, meski napasnya masih tersengal-sengal. Dia merasakan bahwa ada lebih banyak kekuatan di dalam dirinya yang belum sepenuhnya ia sadari.

“Kau masih memikirkan tentang orang itu, bukan?” Suara Kakek Ling memecah keheningan malam saat mereka duduk di depan api unggun.

Kael menatap api yang berkobar di depannya. “Ya, Kek. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Dia yang membunuh keluargaku. Dia yang menghancurkan desaku. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?”

Kakek Ling menatap Kael dengan penuh kebijaksanaan. “Aku tidak mengatakan bahwa kau harus melupakan. Tetapi ingatlah, Kael, bahwa kekuatan yang kau dapatkan sekarang bukan hanya untuk balas dendam. Kau telah tumbuh menjadi seorang pendekar yang kuat, tetapi kekuatan sejati datang untuk melindungi.”

"Baik, Kek. Aku akan berusaha menggunakan kekuatan ini untuk kebaikan," ucap Kael dengan keyakinan akan kekuatannya sekarang.

***

Siang itu, Kael berjalan menyusuri jalanan pasar yang ramai di pusat Kerajaan Zarkan. Hari ini, dia memanfaatkan waktu luangnya untuk mencari informasi tentang para bandit.

Kael merasa tidak bisa hanya berdiam diri. Ia tahu, untuk menghadapi ancaman besar ini, dia perlu mengetahui lebih banyak tentang musuhnya.

Pasar menjadi tempat yang strategis bagi Kael untuk mencari petunjuk. Di tempat ini, banyak orang berlalu-lalang, para pedagang dari berbagai desa berkumpul untuk menjajakan barang-barang mereka, dan gosip beredar dengan cepat. Di antara hiruk-pikuk pasar, Kael bisa mendengar percakapan orang-orang tentang ketidakpuasan terhadap kerajaan dan ketakutan akan aliran hitam.

"Dengar-dengar, mereka menyerang lagi di desa sebelah," gumam seorang pria di salah satu sudut pasar.

"Benar. Mereka tidak hanya merampok, tapi juga membunuh tanpa belas kasihan. Siapa yang bisa menghentikan mereka sekarang? Pemerintah sepertinya tak peduli," jawab pria lain dengan nada putus asa.

Kael semakin serius mendengarkan. Dari percakapan itu, dia mulai mendapatkan gambaran bahwa para bandit sudah merajalela, tidak hanya menyerang desa-desa di dalam Kerajaan Zarkan, tetapi juga desa-desa di luar perbatasan kerajaan. Mereka sudah menjadi ancaman yang meluas, semakin meresahkan dan membawa kehancuran di mana-mana. Sayangnya, informasi yang didapatkan Kael di pasar masih belum lengkap.

Setelah berjam-jam berkeliling pasar, Kael melangkah pulang dengan langkah yang terasa berat. Pikiran tentang para bandit aliran hitam terus menghantuinya. Bagaimana mungkin kerajaan tidak mengambil tindakan tegas untuk menghentikan mereka?

Tiba-tiba, sebuah benturan keras mengejutkannya. Seorang pria paruh baya menabraknya dengan tubuh terhuyung-huyung. Kael menoleh dan melihat pria itu dalam keadaan panik dengan napas tersengal-sengal.

“Tolong... tolong aku,” kata pria itu dengan suara terputus-putus. “Mereka... mereka mengejarku.”

Kael dengan cepat menyadari bahwa pria itu sedang dikejar oleh sekelompok bandit. Matanya menyapu sekeliling dan melihat beberapa pria berpakaian lusuh dengan wajah garang berjalan cepat mendekati mereka.

“Para bandit sialan," bisik Kael dalam hati. Seketika, darahnya mendidih. Dia merasakan kemarahan dan dorongan untuk bertindak. Kael tidak akan membiarkan pria ini menjadi korban berikutnya.

Dengan cepat, Kael berdiri di depan pria paruh baya itu, melindunginya dari para bandit yang semakin mendekat. Dia meraba gagang pedangnya dan menghunus Pedang Naga dengan tekad bulat.

“Pergi dari sini jika kalian ingin hidup,” ujar Kael dengan suara dingin dan mantap.

Para bandit menghentikan langkah mereka sejenak, menatap Kael dengan tatapan penuh penghinaan. Salah satu dari mereka menyeringai dan berkata, “Kau pikir kau bisa menghalangi kami?"

Kael tidak menggubris ancaman itu. Dia hanya mempererat cengkeramannya pada Pedang Naga, merasakan energi yang mengalir melalui senjata kuno tersebut. Ketika para bandit menyerang, Kael bergerak dengan kecepatan luar biasa. Gerakannya halus, seperti aliran air, tetapi mematikan seperti petir.

Pertarungan pun terjadi. Kael yang belum pernah bertarung melawan banyak musuh sekaligus mulai mengatur strategi.

Tanpa rasa takut, Kael mengayunkan pedangnya, menebas satu per satu musuh yang ada di hadapannya. Jumlah musuh yang banyak mulai membuatnya kesulitan. Ia mempercepat gerakannya dan mencoba menghindari serangan. Satu per satu musuh berhasil dikalahkan. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, mereka tidak memiliki koordinasi dan kekuatan seperti Kael.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, bandit yang tersisa mencoba melarikan diri. Salah satu dari mereka berhasil kabur, berlari dengan cepat.

Setelah situasi aman, Kael menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup cepat. Aroma besi dari darah yang menempel di bilah Pedang Naga terasa samar di udara. Dia melangkah mendekati pria paruh baya yang masih terduduk di tanah dengan napas tersengal-sengal.

"Apa kau tidak apa-apa, Pak Tua?" tanyanya, suaranya masih diliputi sisa ketegangan pertempuran.

Pria itu mengangkat wajahnya, sorot matanya penuh rasa syukur dan kelegaan. "Tidak apa-apa, Anak Muda. Kau hebat. Terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan suara serak.

Kael mengangguk, menyarungkan kembali pedangnya. "Sudah jadi kewajibanku, Pak," ujarnya, meski dalam hati dia tahu masih banyak yang harus dia pelajari. Meskipun menang, pertarungan tadi membuatnya sadar bahwa jumlah bisa menjadi ancaman besar. Jika saja lawannya lebih terorganisir, hasilnya mungkin berbeda.

Pria tua itu bangkit perlahan, menepuk-nepuk debu di jubahnya. Matanya memperhatikan Kael dengan penuh ketertarikan. "Aku melihat kehebatan pedangmu. Aku dengar Akademi Kerajaan sedang menerima siswa baru. Apa kau tidak tertarik untuk masuk ke sana?" tanyanya.

Kael sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Akademi Kerajaan? Tempat para pendekar terbaik dilatih? Itu bukan pertama kalinya dia mendengar tentang tempat itu, tetapi dia tak pernah benar-benar memikirkannya.

"Aku akan membicarakannya nanti dengan Kakekku. Terima kasih atas informasinya," jawab Kael, meskipun dalam hatinya, rasa penasaran mulai tumbuh.

Pria tua itu tersenyum tipis. "Iya. Aku juga berterima kasih. Aku hanya merasa bakat pedangmu akan sia-sia jika kau tetap tinggal di desa terpencil ini," katanya sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Kael yang masih termenung di tempatnya.

Angin sore berembus lembut, membawa aroma rempah dari pasar yang mulai sepi. Langit mulai berubah jingga keemasan, menandakan matahari perlahan tenggelam di cakrawala.

Kael berbalik dan mulai berjalan pulang, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata pria tua itu terngiang di kepalanya.

Dia menatap tangannya yang masih terasa hangat setelah pertarungan tadi. Sorot matanya menajam, mencengkeram gagang pedangnya dengan lebih erat.

"Apa aku harus turun gunung dan berlatih di akademi?" batin Kael yang masih bingung dengan keputusannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Naga   109. Menjaga Perdamaian

    Beberapa bulan telah berlalu sejak Lembah Kembar kembali tenang. Tidak ada lagi pasukan bayangan yang berkeliaran di perbatasan. Tidak ada lagi langit hitam yang mengancam kota-kota. Dunia perlahan belajar bernapas kembali, dan dalam nafas itu… Kael memilih untuk menjauh dari semua hiruk pikuk kekuasaan.Ia tidak tinggal di istana. Tidak pula memimpin pasukan atau menerima gelar kehormatan.Sebaliknya, Kael kembali ke sebuah desa kecil di lereng gunung utara—Desa Elwind, tempat ibunya pernah menanam ladang lavender di musim semi. Tempat yang dulu terasa terlalu sunyi untuk seorang pejuang… kini terasa seperti satu-satunya tempat yang layak disebut “pulang”.--- Hidup BaruKael membeli sebuah rumah kayu tua yang hampir runtuh di ujung jalan berkelok desa. Ia memperbaikinya sendiri. Paku demi paku, atap demi atap. Tangannya masih terasa lemah, tapi hatinya menguat dari hari ke hari.Setiap pagi, ia bangun sebelum matahari terbit. Ia menyiram kebun kecil di belakang rumah, menanam herba

  • Pendekar Pedang Naga   108. Pertempuran Penentu

    Lembah Kembar mengerang dalam keheningan yang menyesakkan. Dua sisi tebing curam berdiri seperti penjaga bisu, menyaksikan benturan takdir yang akan datang. Langit menghitam, dan angin membawa aroma besi dan hujan.Kael, dengan jubah gelap dan mata setajam obsidian, melangkah perlahan ke tengah medan. Gelap Raga, pedang naga hitam, menggantung di punggungnya, berdenyut pelan seperti makhluk hidup yang sedang menahan lapar.Di seberangnya, Ravon, Jenderal Bayangan dan mantan pelindung kerajaan, berdiri dengan tombak bermata dua yang bersinar ungu gelap. Tubuhnya dibalut zirah bersimbah sihir kegelapan.“Sudah lama,” kata Ravon, suaranya datar. “Aku menunggumu di sini. Kukira kau akan mati dalam pemurnian.”Kael tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan saat membuka matanya kembali, cahaya naga hitam menyala samar di balik bola matanya.“Aku sudah mati sekali,” bisik Kael. “Yang berdiri di sini… adalah kehendak yang tidak kau kenal.”Petir menyambar — dan me

  • Pendekar Pedang Naga   107. Pemulihan Naga Hitam

    Hujan turun deras, menghantam atap dan tanah dengan suara seperti denting ribuan panah. Di tengah halaman istana yang sepi, Kael berdiri dengan mantel hitamnya yang basah kuyup, matanya menatap tajam ke arah sosok yang baru saja muncul dari bayang-bayang.Arsel.Sahabatnya. Pengkhianatnya.“Berani juga kau datang,” suara Kael serak, bukan karena cuaca, tapi karena amarah yang sudah lama membara.Arsel berjalan perlahan, tanpa pedang, hanya membawa kata-kata.“Aku tidak datang untuk bertarung, Kael.”“Tapi aku datang untuk membalas,” sahut Kael dingin.Kilatan petir menyambar langit. Dan di saat itulah pedang naga hitam Kael muncul di tangannya, seperti menjawab panggilan darahnya sendiri.Arsel mengangkat tangan. “Apa kau pikir aku yang menjebakmu di Benteng Suda? Kau tahu siapa dalangnya.”“Cukup! Kau diam saat aku dipenjara! Kau diam saat mereka menyiksa murid-muridku! Itu lebih buruk daripada pengkhianatan!”Kael melompat ke depan, pedangnya menebas udara. Arsel berguling menghinda

  • Pendekar Pedang Naga   106. Pengkhianatak Kaisar

    Pasukan kerajaan tiba di medan perang dengan kemegahan yang menggetarkan bumi. Barisan rapi dengan bendera berkibar tinggi, sorak sorai prajurit, dan sihir pelindung yang menyelimuti langit. Cahaya seolah kembali menyinari ladang kehancuran.Arsel berdiri di barisan depan bersama Kael, mengamati betapa besarnya kekuatan kerajaan. Untuk sesaat, harapan muncul kembali.Namun harapan itu hanya ilusi.Malam itu, saat tenda-tenda didirikan dan pasukan beristirahat, Arsel dipanggil ke tenda komando oleh Jenderal Taris, tangan kanan Kaisar. Di sana, bukan strategi pertempuran yang dibicarakan, melainkan rencana yang mengejutkan.“Arsel,” kata Taris, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Kaisar telah membuat kesepakatan. Kita tidak akan melawan Dorian.”Arsel menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”“Kaisar tahu kekuatan para naga tak bisa dimenangkan dengan kekuatan biasa. Jadi, dia memilih untuk bernegosiasi. Sebagian wilayah akan diserahkan. Sebagai gantinya, kerajaan akan dibiarkan utuh... dan a

  • Pendekar Pedang Naga   105. Langit Hitam Penghianatan

    Asap mengepul membumbung tinggi ke langit kelam, membungkus medan pertempuran dengan aroma hangus dan getir. Kael berdiri sendiri, tubuhnya penuh luka dan napasnya kian berat. Di hadapannya, kegelapan menjelma dalam wujud pasukan bayangan yang tak kenal lelah, terus merangsek maju. Suara denting logam telah lama pudar, tergantikan oleh jeritan dan derak reruntuhan.Pasukan yang bersamanya telah tumbang satu per satu, meninggalkan jejak darah dan bisu yang menggantung di udara. Kael berjuang sendirian kini—tanpa bala bantuan, tanpa kabar dari Arsel. Di setiap detik yang berlalu, harapannya mulai merapuh.Cahaya dari pedang naga hitamnya mulai redup, seolah kehabisan tenaga, tak lagi menyala dengan kemarahan seperti sebelumnya. Kael menggenggamnya erat, namun ia tahu: kekuatan itu hampir habis. Dan tanpa kekuatan itu, ia bukan tandingan kegelapan yang berdiri di hadapannya."Arsel... di mana kau?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar di tengah riuhnya kehancuran.Langit menggelap sepenu

  • Pendekar Pedang Naga   104. Tiga Naga

    Zaren membuka mata. Di sekelilingnya, hamparan kaca mengambang di udara seperti pecahan mimpi yang belum selesai. Setiap kaca menampilkan potongan masa lalu: wajah-wajah yang ia khianati, kota-kota yang ia biarkan jatuh, dan senyum-senyum yang berubah menjadi jerit.Ia berdiri di tengah lingkaran kenangan. Udara dingin menusuk, tapi bukan karena suhu—melainkan rasa bersalah yang menggantung di setiap napas.“Sudah lama, Zaren.”Suara itu keluar dari balik pantulan. Sosok yang muncul bukan siapa-siapa… selain dirinya sendiri. Tapi versi yang berbeda—lebih muda, lebih ambisius, dan lebih haus kuasa. Jubahnya masih bersih. Matanya memancarkan keyakinan yang dulu pernah Zaren miliki.“Kau lupa untuk apa kita dulu memulai?” tanya bayangan Zaren.“Kita ingin meruntuhkan sistem bobrok. Kita ingin kekuatan agar tak lagi dibodohi para penguasa.”Zaren menggeleng perlahan. “Dan dalam jalan menuju kekuatan itu… kita menghancurkan lebih banyak jiwa dari yang kita selamatkan.”Bayangan Zaren terta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status