“Kau sudah menyalin Kitab Naga Bertuah. Jika otakmu bekerja sedikit saja, tentu ada bagian dari kitab itu yang kau ingat."
Genjo Li menatap Zhouyang Hong dengan pelipis berkedut. 'Tidak bisakah Guru bertanya dengan bahasa yang lebih manusiawi?'
"Kau hanya perlu menjawab tanpa harus mengomentari cara berbicaraku," tegur Zhouyang Hong seolah mampu membaca pikiran Genjo Li.
"Oh ... em ... apa Guru baru saja membaca pikiranku?" Genjo Li tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Tubuhnya bahkan refleks mendekat pada Zhouyang Hong yang duduk di hadapannya.
Zhouyang Hong meletakkan telunjuknya di dahi Genjo Li, lalu mendorongnya hingga pemuda itu nyaris berjungkal ke belakang. "Tidak perlu jurus apa pun untuk bisa mengerti apa yang kau pikirkan. Wajahmu sudah menunjukan segalanya."
"Hehe, begitukah? Maafkan aku, Guru!" Genjo Li membungkuk seperti biasa.
"Hah ... kau bisa membuatku mati karena bosan mendengarmu meminta maaf." Zhouyang Hong mengus
Bruk!Sebuah cabang pohon tumbang setelah Genjo Li mengayunkan pedangnya. Dengan cepat pemuda itu memotong ranting-ranting dahan hingga menyisakan cabang dengan ukuran sebesar lingkar lengan orang dewasa.Benar, pada akhirnya Genjo Li memutuskan untuk menggunakan kayu dengan ukuran sedang. Jika dipikir-pikir besar atau kecil kayu yang digunakan untuk memecahkan batu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. ‘Dengan ini aku akan mematahkan bebatuan yang ukurannya lebih kecil dulu,’ batinnya dengan senyum lebar. Genjo Li pun kembali ke sungai dengan penuh percaya diri.Saat tiba di sungai, Genjo Li melihat Zhouyang Hong sedang menangkap ikan menggunakan batang kayu yang runcing di bagian ujungnya. Dengan alat menyerupai tombak sederhana itu, sang guru bisa mendapatkan banyak ikan dalam waktu sekejap saja.“Guru, apa yang Guru lakukan?”“Apa kau buta?!” jawab Zhouyang Hong tanpa menoleh.“H
Terdapat lebih dari tujuh batang kayu tergeletak di tepi sungai dengan berbagai macam ukuran. Kesemuanya adalah buah karya Genjo Li, belum termasuk batang kayu yang remuk di antara bebatuan sungai.Tampak Genjo Li tengah membungkuk di dekat sang guru dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Punggungnya tampak turun naik seiring napasnya yang memburu. Jika diperhatikan, baju yang dikenakan Genjo Li bahkan sampai kuyup. Jangan dikira itu karena air sungai! Bajunya basah oleh keringat. Jika keringat Genjo Li dikumpulkan, mungkin cukup untuk mandi tiga orang. Maka, ia sendiri terkejut mendapati jantungnya masih berdetak.“Guru ... aku tidak sanggup lagi,” kata Genjo Li sangat lirih hingga hampir-hampir tak terdengar.“Hm ....” Zhouyang Hong menyahut dengan malas tanpa membuka kedua matanya. Entah sudah berapa lama ia terlelap selagi Genjo Li berjuang keras memecah bebatuan.Bruk!Genjo Li ambruk tengkurap. Sekonyong-konyon
Genjo Li melahap ikan bakar yang diberikan Zhouyang Hong seperti orang yang tidak makan seminggu. Sampai akhirnya karena terburu-buru ia tersedak duri.“Hm! Pemalas yang ceroboh!” Zhouyang Hong menyodorkan sekantong air pada muridnya dengan wajah malas. "Makan saja mau bunuh diri!"Dengan cepat Genjo Li menerima dan meneguk air hingga sakit di tenggorokkannya hilang. “Terima kasih, Guru.”“Kau harus lebih cermat dan berhati-hati. Kadang-kadang situasi menuntut kita untuk bertindak cepat, tetapi ada kalanya menunggu akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Aku bisa menghancurkan batu itu tidak lain karena sejumlah tenaga dalam yang aku gunakan. Hal yang sama harus kau lakukan saat menggunakan Jurus Tebasan Pedang Taring Naga. Kuncinya ada pada kekuatan lengan. Tidak cukup dengan kekuatan fisik semata, tetapi juga harus menggunakan tenaga dalam.”“Guru ....” Genjo Li terpaku dengan penjelasan Zhouyang Hong y
“Guru ....” Genjo Li tertegun melihat batang-batang bambu kuning tumbang bersamaan. Ia memandang sang guru seolah bertanya apakah semua bambu itu tumbang karena Tebasan Pedang Taring Naga yang baru saja ia praktikkan? Saat ia mendapati Zhouyang Hong mengangguk, senyum pun perlahan terkembang di wajahnya. Genjo Li menunduk, melihat tangannya yang bergetar. Rasa-rasanya sangat sulit dipercaya. Ia baru mencoba jurus pedang itu dua kali dan langsung berhasil? Genjo Li mulai memandang Zhouyang Hong benar-benar sebagai seorang ahli dan guru yang sangat berbakat. Tidak salah jika Patriark Yong Yuwen memintanya untuk menjadi murid lelaki tua bermulut sampah itu. Kenyataannya, seburuk apa pun Zhouyang Hong berbicara, ia memiliki cara berbeda dalam mengajar, dan berhasil mengantarkan muridnya untuk bisa menguasai jurus yang dipelajari dengan lebih cepat. “Guru, aku sudah siap menerima siksaan Guru lagi! Katakan Guru, apa yang harus aku lakukan sekarang?” ta
“Guru tidak berniat memintaku untuk memecahkan bebatuan remuk ini ‘kan?” tanya Genjo Li ketika Zhouyang Hong menghentikan langkahnya di tempat sang murid nyaris tewas kelelahan melawan batu. Pikir pemuda itu, jika sang guru benar-benar memintanya untuk menghancurkan batu yang telah hancur, tentu itu akan menjadi pekerjaan yang sangat menyita tenaga dan waktu. “Memangnya kenapa kalau aku menyuruhmu melakukannya? Katamu kau akan melakukan apa saja siksaan yang kuberikan! Hah, aku telah melakukan kesalahan besar karena mengira kau telah berubah. Nyatanya nol besar! Sekali menjadi pemalas, sampai mati pun akan tetap pemalas.” Genjo Li hanya mengerjapkan mata tanpa mampu berkata apa-apa lagi. Ia hanya bertanya satu kali dan sang guru sudah mengomel tanpa henti. Detik itu juga Genjo Li merasa keliru sudah mempercayai ucapan Zhouyang Hong begitu saja. ‘Bukankah dulu dia memintaku bertanya saat tidak tahu? Kalau seperti ini, tersesat bahkan lebih baik daripada bertanya
‘Jurus Perisai Udara?’ gumam Genjo Li mengulangi ucapan Zhouyang Hong. Mendadak kedua matanya terbuka lebar teringat akan sesuatu. “Guru, itu adalah salah satu jurus yang tertulis dalam Kitab Naga Bertuah!” Zhouyang Hong mengangguk. “Aku sudah menunjukkan padamu bagaimana jurus itu bekerja. Sekarang giliranmu untuk mempraktikkannya.” “Tapi Guru ....” “Kenapa? Kau tidak berani?” Genjo Li terdiam. Tidak bisa dipungkiri, ia memang menyimpan takut. Zhouyang Hong memang telah mencontohkan jurus itu. Akan tetapi, gurunya tidak melakukan apa-apa ketika bebatuan itu melesat ke arahnya selain berdiri dengan tenang. Bagaimana mungkin Genjo Li bisa diam di tempat ketika batu-batu runcing mengancam keselamatannya? “Aku—” Belum sempat Genjo Li menjawab, Zhouyang Hong telah memotongnya lebih dulu. “Aku tidak peduli, bahkan seandainya kau sampai kencing karena takut, kau harus mempraktikkan Jurus Perisai Udara!” Zhouyang Hong menatap lekat muridnya. Lantas i
“Ma—” “Tetap di tempatmu dan jangan membuat telingaku sakit dengan mengatakan maaf!” sambar Zhouyang Hong sangat lantang melebihi suara petir. Kedua alisnya bertaut erat tak mau dipisahkan. Tulang rahangnya mengeras dengan otot-otot leher yang timbul memperjelas kemurkaan. “Guru ... aku akan mencobanya lagi.” “Harus! Tidak akan kubiarkan kau berhenti berlatih sebelum menguasai jurus ini, bahkan jika nyawamu sebagai taruhannya! Kematian murid malas tidak akan membuatku menyumbang air mata setetes pun!” Genjo Li menelan ludahnya dengan susah payah. Kenyataannya, ia terus bergerak untuk menangkis batu. Malahan, jika ia mengikuti apa yang tertulis dalam kitab pusaka, dirinya harus menjadi seorang pemalas yang hanya diam di tempat ketika serangan datang. “Siapkan dirimu lagi! Dengar baik-baik, sejak tadi aku sudah berbaik hati memberimu peringatan sebelum menyerang. Meski hal itu tidak boleh dilakukan, aku tetap melakukannya mengingat betapa lemahn
Genjo Li menoleh, memandang Zhouyang Hong yang berbaring di sampingnya. Meski wajah sang guru telah dimakan usia, kegagahannya masih melekat tanpa luntur oleh waktu. Genjo Li tersenyum, teringat pada Patriark Yong Yuwen. Meski sikap kedua gurunya itu sangat berbeda, bagi Genjo Li mereka adalah guru yang sangat hebat.“Apa kau akan terus menatapku sampai pagi? Kau masih harus melatih Jurus Perisai Udara-mu yang payah!” tegur Zhouyang Hong dengan mata tertutup.Dalam ketenangan malam di pinggir sungai, terang saja suara Zhouyang Hong yang tiba-tiba itu mengejutkan Genjo Li. Ia bahkan diam-diam mengatakan dalam hati bahwa sang guru tidur seperti orang mati, lalu bagaimana bisa Zhouyang Hong tahu jika sedari tadi Genjo Li menatapnya?“Aku tidak bisa tidur, Guru,” jawab Genjo Li jujur. Entah karena terlalu bahagia sebab bisa menguasai jurus-jurus yang diajarkan sang guru atau karena badannya yang terasa sakit semua, yang jelas Genjo Li m