Arya terkejut mendengar pertanyaan dari Dewi Purbalara yang sama sekali tak ia duga itu, di hatinya membatin dari mana Ratu Siluman Buaya Putih itu tahu jika dia tengah berusaha mempengaruhi para prajurit dan juga pengawal istana dan siapa pula yang telah melaporkannya. “Mempengaruhi para prajurit dan pengawal istana ini? Maksudmu bagaimana Dewi? Saya benar-benar tak mengerti.” Dewi Purbalara tak menunjukan sikap curiga sedikitpun terlebih Arya balik bertanya seperti itu. “Hemmm, saya hanya bertanya saja Arya. Ada yang melaporkan pada saya bahwa kamu sering dilihatnya bicara dengan para prajurit dan juga para pengawal, dan itu membuatnya curiga kalau kamu mempengaruhi mereka untuk hal yang tidak baik pada istana ini.” Arya garuk-garuk kepalanya sembari menunjukan sikap bahwa dirinya benar-benar tak mengerti dengan yang dimaksud Dewi Purbalara itu. “Siapa yang melaporkan itu padamu Dewi? Tak mungkinlah saya melakukan yang tidak-tidak, apalagi mempengaruhi para prajurit dan juga pe
Tatapan Arya kosong ke luar jendela kamar, sekelebat bayangan melintas samar-samar di kegelapan malam membuat Arya terkejut. “Hei, siapa kau.......!” Arya dengan segera ke luar melalui jendela kamarnya mengejar sekelebat bayangan yang baru saja melintas di depan jendelanya itu, dengan ilmu meringankan tubuh yang mempuni Arya pun berhasil mengejar bahkan mendahului dengan menghadang sosok itu dari depan. “Berhenti...! Siapa kau yang sepertinya sengaja mengintip di kamar saya tadi?” seru Arya. Sosok yang tadi berkelebat dan ternyata mengenakan topeng penutup wajahnya itu tak menjawab, hingga Arya menjadi kesal lalu mengarahkan cengkaramannya ke wajah sosok yang bertopeng itu. Menyadari Arya akan meraih dan membuka topeng yang ia kenakan, sosok bertopeng itu mundur satu langkah lalu memutar balik tubuhnya dan berlari kembali dengan cepat. Arya tentu saja dibuat semakin kesal, iapun kembali mengejar dan seandainya sosok bertopeng itu tak berlari ke kawasan di mana di sana terdapat be
Seiring Dewi Purbalara kembali ke ruangannya setelah memberi perintah, para prajurit yang tadi telah mengepung Arya secara serentak maju untuk menangkap Arya. “Wuuuuuus..! Traaaa.. trataaataaaap..!” Bak Seekor elang tubuh Arya yang tadi tegak lurus menginjakan kedua kakinya di tanah melesat ke atas, lalu dengan menapakan kedua kakinya di kepala dan juga bahu para prajurit yang hendak menangkapnya itu ia pun lolos dan saat ini berdiri tegak di belakang mereka yang mengepung. “Ha.. Ha.. Ha..! Kalian pikir saya ayam dikepung lalu ditangkap?!” Arya tertawa terbahak-bahak, lalu ia menggaruk-garuk kepalanya sambil cengengesan. Hal itu tentunya membuat para prajurit dan pengawal Dewi Purbalara makin murka, karena mengetahui jika sasaran yang hendak mereka tangkap lolos dan terkesan meremehkan. Mereka kembali serentak berlari mengejar dan mengepung Arya, namun sebelum para prajurit dan pengawal itu mendekat sang pendekar arahkan kedua telapak tangannya ke depan. “Tunggu dulu..! Saya ber
“Taaaap...! Buuuuuuuuk....! Gubraaaaaaak..!” Arya menangkap pergelangan tangan Gento Ireng, lalu di susul dengan tendangan keras ke arah perutnya hingga tubuh lelaki berkulit hitam itu terpental jauh melabrak dinding salah satu tempat penjagaan pengawal di bagian depan istana buaya putih itu. Gento Ireng bukan hanya meraung kesakitan sambil meraba perutnya namun bagian dadanya ternyata juga nyeri terkena tendangan Arya yang dilesatkan secara beruntun, Arya yang mengarahkan pandangannya pada tubuh Gento Ireng yang tertelentang di tanah tak menyadari sebuah serangan lain mengarah kepadanya. “Awas...! Deeeeeees...! Bruuuuuuuk..!” Salah seorang prajurit berseru pada Arya, namun sang pendekar terlambat mengelak hingga tubuhnya seketika saja terpental dan sempat bergulung-gulung beberapa saat di udara sebelum akhirnya jatuh tertelungkup di tanah. Darah segar nampak ke luar di sela-sela bibirnya akibat hantaman sebuah benda berwarna putih panjang melibas ke wajahnya, rupanya benda itu a
Selain kembali mengibas ekornya dari mulut buaya putih besar itu menyemburkan cairan merah mendidih seperti lahar gunung berapi, jangankan tubuh manusia besi pun dapat meleleh. Arya yang tadi berhasil kembali menghindari ganasnya kibasan ekor buaya yang juga dapat meremukan tulang belulang jika sosok itu tak memiliki kekuatan apa-apa di tubuhnya, segera mengeluarkan salah satu ajian yang ia dapatkan dari Sang Guru. Kedua pergelangan tangannya ia putar berulang-ulang kali, lalu gelombang angin pun muncul makin lama makin besar. Ajian ini diberi nama oleh Nyi Konde Perak ajian Topan Gunung Sumbing, karena dirasa cukup Arya pun meluruskan kedua telapak tangannya ke depan ke arah semburan cairan mendidih dari mulut buaya putih itu. “Wuuuuus...! Blaaaaaam....! Glaaaaaaar...!” Deruan angin bak topan menghantam semburan cairan panas yang dilesatkan Dewi Purbalara berwujud seekor buaya putih itu, akibatnya terdengar ledakan dahsyat cairan panas mendidih itupun hancur menjadi debu dengan a
Para mantan prajurit dan pengawal yang telah berada di luar pintu gerbang istana buaya putih segera melakukan apa yang diperintahkan Arya, mereka secara bersamaan merogoh kantong baju mereka di mana di sana terdapat kalung buaya putih yang selama ini mereka kenakan. Kalung itu segera ia buang dengan melemparkannya ke dasar sungai, seiring dengan itu tubuh mereka pun melesat ke atas permukaan lubuk. Di tepian lubuk tengkorak itu para warga desa telah berkumpul, sebagian dari mereka menyebar sepanjang tepian lubuk seperti yang diperintahkan Ki Darmo berdasarkan usulan dari Arya. Tujuan mereka diperintahkan demikian untuk mengantisipasi jika ada beberapa orang mantan pengikut Ratu Siluman Buaya Putih itu yang setibanya di atas permukaan air tidak bisa berenang, maka orang-orang yang ditempatkan di sepanjang tepian lubuk tengkorak itu yang akan menolong. Arya yang juga telah ke luar dari pintu gerbang istana buaya putih tak segera melesat ke atas permukaan, melainkan dia sepertinya sen
Sama halnya dengan Dewi Purbalara alias Ratu Siluman Buaya Putih, para dayang-dayangnya pun lenyap begitu saja seiring menghilangnya junjungan mereka secara gaib. Tak diketahui apakah saat ini mereka masih berkumpul bersama dengan Dewi Purbalara di suatu tempat atau tidak, yang pasti mereka bukanlah sebangsa mahkluk yang berwujud tetap melainkan dapat menyerupai apa saja. Demikian pula dengan Dewi Purbalara, dia bukan hanya dapat merubah wujudnya menjadi seekor buaya putih yang besar tapi juga bisa ke wujud lainnya. Itulah salah satu bedanya antara siluman dengan manusia, banyak sekali yang tak dapat diketahui rahasia-rahasia makhluk halus yang hidup di dunia berbeda. ****** Para mantan pengikut Dewi Purbalara segera membubarkan diri dari halaman rumah Ki Darmo, setelah Arya dan tetua Desa Serayu itu mempersilahkan mereka untuk kembali ke desa masing-masing karena memang mereka tidak semuanya berasal dari Desa Serayu. Yang terlihat di sana tepatnya di pendopo hanya Arya, Ki Darmo
Tak butuh waktu lama Nyi Centil telah tiba di daratan, setelah secara sembunyi-sembunyi ia keluar dari istana Kerajaan Pantai Utara, tujuannya cuma satu yaitu untuk menemui tokoh golongan hitam di rimba persilatan yang bernama Joyo Kandis, pria itu bukanlah tokoh sembarangan ia cukup dikenal dan disegani oleh para pendekar-pendekar di rimba persilatan karena memiliki ilmu kanuragan yang cukup hebat. Joyo Kandis juga memiliki banyak anak buah atau pengikut, bahkan saat ini ia telah mendirikan sebuah Kerajaan yang terletak di dalam tanah di lembah Gunung Semeru, sesuai dengan letaknya Kerajaan itu pun ia beri nama Kerajaan Bawah Tanah. Di istana Kerajaan Bawah Tanah itulah rencana ritual Nyi Centil untuk dapat bertahan hidup di daratan selamanya akan dilaksanakan, tentu saja dengan bantuan Joyo Kandis. Rupanya antara Nyi Centil dan Joyo Kandis sudah mengenal cukup lama, hal itu dikarenakan seringnya Nyi Centil keluar istana Kerajaan Pantai Utara secara diam-diam, melihat kedekatan mer