"Tetapi?" tanya Arya penasaran.
"Tetapi, yang menculik salah seorang warga kami itu adalah Gento Ireng, anak buahnya.”
Arya kembali terkejut untuk beberapa saat.
Dia hanya terdiam belum tahu apa yang musti ia perbuat.
Sesekali, ia arahkan pandangannya ke arah lubuk tengkorak lalu kemudian pada rombongan warga Desa Sedayu yang berbaris tak beraturan di depannya.
Setelah merenung beberapa saat dan belum menemukan solusi akan kejadian yang secara tiba-tiba itu, Arya kemudian melangkah lebih mendekat pada rombongan warga Desa Sedayu itu.
“Saya memang mendengar suara semak dan kayu-kayu kecil tersibak dan patah lalu dentuman di tengah-tengah lubuk itu," ucap Arya lugas, "tetapi, saya tak melihat dengan jelas asal suara. Saat ini, saya sendiri belum bisa membantu Kisanak semuanya untuk membebaskan salah seorang warga yang diculik itu. Karena berbahaya, alangkah sebaiknya kalau para Kisanak memperbolehkan saya untuk bertemu dengan Kepala Desa Sedayu. Demikian, kita dapat membicarakan ini sebelum mengambil tindakan,” tutur Arya Mandu pada para warga desa.
Mendengar penjelasan masuk akal Arya, warga pun terdiam, hingga akhirnya salah satu pria tua bersuara.
“Baik Kisanak, mari ikut kami. Kisanak akan kami antarkan menemui Ki Darmo Kepala Desa Sedayu."
"Oh ya sebelumnya siapa Kisanak dan dari mana hendak ke mana?” tanya salah seorang pemuda yang penasaran pada Arya.
“Nama saya Arya Mandu, saya berasal dari Gunung Sumbing. Mengenai hendak ke mananya saya sendiri belum dapat memastikan karena memang saya seorang pengembara,” jawab Arya.
“Oh, nama saya Tarno. Mari Mas Arya kami antar menemui kepala desa kami,” ajak salah seorang warga Desa Sedayu yang bernama Tarno itu.
“Mari,” Arya pun mengikuti Tarno dan para warga yang lainnya.
Sebuah rumah yang cukup besar berdinding papan dan beratap genteng dari bahan tanah liat, dengan halaman yang luas serta terdapat pendapa di depan rumah yang sisi kiri kanannya didinding anyaman bambu beratap daun.
Seorang lelaki paruh baya nampak ke luar setelah Tarno yang tadi memimpin para warga desa mengetuk pintu, sementara Arya berdiri bersama para warga Desa Sedayu lainnya di halaman.
Lelaki paruh baya itu tampak terkejut melihat puluhan warganya berkumpul di halaman rumahnya, sepertinya dia tak mengetahui akan kejadian penculikan salah orang warganya itu oleh Gento Ireng anak buah dari Ratu Siluman Buaya putih.
“Ada apa ini Tarno? Kok kamu dan para warga mendatangi rumah saya?” tanya lelaki paruh baya itu.
“Maafkan kami Ki, kami tadi tidak langsung memberi tahu Ki Darmo bahwasanya telah terjadi penculikan salah seorang warga desa oleh Gento Ireng. Kami langsung mengejarnya ke lubuk tengkorak.” Tarno memberi laporan.
“Apa?! Salah seorang warga kita diculik lagi oleh Gento Ireng? Bedebah..! Benar-benar keterlaluan Ratu Siluman Buaya Putih itu, kita harus melakukan perlawanan sebab sudah beberapa orang warga kita telah jadi korbannya.” Ki Darmo tampak geram, lalu menghampiri para warga yang masih berdiri di halaman.
Selain diangkat sebagai kepala desa, Ki Darmo juga sosok yang sangat dihormati para warganya. Begitu Ki Darmo tiba di hadapan warga, mereka semuanya memberi salam hormat dengan membungkukan badan begitu pula dengan Arya yang secara reflek mengikuti gerakan para warga Desa Sedayu itu.
Awalnya Ki Darmo tak merasa aneh saat berdiri di depan para warganya di halaman rumahnya itu, akan tetapi ketika pandangan matanya tertuju pada Arya kening Ki Darmo nampak kerut karena mengernyit penuh tanda tanya.
“Maaf, Kisanak ini bukan warga Desa Sedayu ini, kan? Soalnya saya tidak pernah melihat Kisanak sebelumnya?” Ki Darmo langsung melontarkan pertanyaan.
“Maaf pula saya ucapkan Ki, saya memang bukan bagian dari warga Desa Sedayu ini. Nama saya Arya Mandu saya berasal dari Gunung Sumbing,” jawab Arya, hormat.
“Lalu kenapa tiba-tiba saja Arya bersama para warga desa di sini?” tanyanya memincingkan mata. Ia curiga dengan keberadaan Arya yang terlalu kebetulan.
Arya memahaminya. Dengan hormat, ia pun menjelaskan pada tetua Desa Sedayu ini. “Saat kejadian penculikan salah seorang warga desa, saya tadi bertemu warga ditepian sungai. Kebetulan, saya juga memang sempat mendengar suara aneh dari arah tebing kemudian di tengah-tengah lubuk di sungai itu,” Arya menjelaskan.
Melihat Arya yang tampak jujur, Ki Darmo terdiam. Tak lama, ia pun mengangguk. “Begitu kejadiannya. Jika demikian, mari Nak Arya kita bicara di pendopo,” ajak Ki Darmo yang memanggil Arya dengan sebutan Nak.
Hal ini karena kepala Desa Sedayu itu menduga usia Arya tidak jauh beda dengan usia putrinya bernama Intan.
Tak lama, mereka pun sampai ke sebuah pendopo yang berada di depan rumah Ki Darmo.
Ukurannya kira-kra 5 x 6 meter, cukup besar dan dapat memuat sebagian besar dari para warga yang datang untuk duduk bersila di dalamnya.
Arya lantas duduk bersebelahan dengan Ki Darmo dan Tarno, sementara sebagian besar warga yang juga ikut ke dalam pendapa duduk berjejer di depan mereka.
Yang tersisa, akhirnya berdiri di depan pendapa itu.
“Seperti biasa yang kita lakukan ketika ada masalah atau apapun itu menyangkut warga Desa Sedayu ini, kita rembukan di sini mencari penyelesaian atau juga jalan ke luarnya,” Ki Darmo mengawali pembincangan mereka di pendapa di depan rumahnya itu.
“Benar Ki, kali ini kita akan membahas bagaimana caranya mengatasi keresahan para warga atas diculiknya kembali oleh Gento Ireng salah seorang warga kita,” ujar Tarno.
“Kita sebelumnya pernah melakukan ronda malam secara bergiliran, akan tetapi tidak berhasil menangkap Gento Ireng karena ia beraksi kali ini pada siang hari ketika sebagian besar warga kita banyak yang berada di sawah dan di ladang,” tutur Ki Darmo.
“Lalu apa yang musti kita lakukan Ki untuk mengatasi agar kejadian yang serupa tak terulang kembali? Sementara tak seorangpun dari kita yang mampu menyusul beberapa warga desa yang diculik itu ke dalam lubuk tengkorak itu,” Tarno kembali bertanya mewakili warga.
“Jangankan menyusul ke sana, untuk mengepung Gento Ireng saja di kawasan desa ini kita belum pasti mampu. Ilmu kanuragannya cukup tinggi apalagi Ratu Siluman Buaya putih itu,” tutur Ki Darmo.
Arya yang duduk bersebelahan dengan Ki Darmo sejauh ini hanya mendengar saja percakapan antara Ki Darmo dan Tarno di pendapa itu. Ia tak ingin lancang ikut bersuara sebelum Ki Darmo memintanya.
Untuk beberapa saat Ki Darmo, Tarno dan para warga yang duduk serta yang hanya berdiri di depan pendapa itu terdiam.
Namun, Ki Darmo tiba-tiba menoleh ke arah Arya. Ia penasaran dengan anak muda di sampingnya yang tampaknya memiliki kekuatan besar di tubuh mudanya. “Nak Arya, menurutmu apa yang musti kita lakukan untuk mencegah agar kejadian serupa tak terulang lagi?”
Lalu kedua telapak tangannya ia hadapan ke angkasa seperti hendak mencakar langit, tiba-tiba kedua pergelangan tangannya itu berubah menjadi putih ke perak-perakan. Sejurus dengan itu ia pun melesat bak elang ke arah tubuh Raksasa Durja Iblis, dua sinar putih menderu menghantam tubuh Raksasa Durja Iblis itu. “Buuuuuuuuuum..! Kraaaaaaaak...! Blaaaaaaaaaar..!” Ledakan maha dahsyat pun terdengar seiring dengan hancurnya tubuh Raksasa Durja Iblis hingga menjadi debu bertaburan di tanah, itulah ajian andalan Sang Pendekar Rajawali Dari Andalas yang bernama ajian Rajawali Melebur Sukma. Pekik dan sorak kemenangan bergemuruh dari ribuan prajurit gabungan istana peri dan Kerajaan Permata Timur, istana megah Kerajaan Angkasa itu pun telah rata dengan tanah seiring terbenamnya tubuh Raksasa Durja Iblis saat dihantam ajian Telapak Suci Budha yang dilesatkan Arya tadinya sebelum tubuh Raksasa Durja Iblis itu hancur berkeping-keping dihantam ajian Rajawali Melebur Sukma. Tubuh Arya yang tad
Pasukan gabungan peri dan Kerajaan Permata Timur pun tak berselang lama setelah itu mampu pula menaklukan ribuan prajurit istana Kerajaan Angkasa, sebagian besar dari mereka tewas bersimbah darah, dan sebagian lagi dipaksa menyerah. Sementara duel sengit antara Arya dan Batara Durja masih berlangsung, sejauh ini Arya belum mampu mendekat apalagi menghantamkan pukulannya ke tubuh Batara Durja, karena raja segala licik dan tamak itu selalu menghantamkan senjata mustikanya berupa gada ke arah Arya, hingga membuat sang pendekar dipaksa menghindar bahkan beberapa kali mundur. Mendapatkan beberapa kali serangannya gagal dan mengetahui jika Guru dan sebagian besar prajuritnya tewas, Batara Durja pun murka. Dengan segera ia merubah wujudnya menjadi Raksasa Durja Iblis, yang tentu saja diiringi semakin besarnya senjata mustikanya berupa gada itu. “Wuuuuuuuuuuus..! Blaaaaaaaaaaaam..!” tanah yang terkena hantaman gada itu bak dilanda gempa dahsyat membuat semua yang ada di kawasan itu terpent
Setelah menyusun dan merembukan dengan matang rencana penyerangan ke istana Kerajaan Angkasa, ke empat peri yang memimpin 4 penjuru kawasan negeri diatas awan itu kembali ke istana mereka masing-masing, sementara Arya tetap tinggal di istana ratu hingga esok pagi seluruh pasukan berkumpul di sana. Peri Salju setibanya di istana salju di kawasan utara segera menyampaikan berita itu pada seluruh pasukannya, begitu pula dengan Peri Api dan Peri Laut di kawasan selatan dan barat. Sementara Peri Bulan sebelum menuju istananya dikawasan timur, ia singgah dulu di istana Kerajaan Permata Timur menemui Benggala dan Yuda Tirta selaku Raja serta Panglima Kerajaan. “Mari silahkan masuk yang mulia Peri Bulan! Baginda Benggala ada didalam istana!” tutur Yuda Tirta yang menyambut kedatangan Peri Bulan dihalaman istana Kerajaan Permata Timur itu. “Terima kasih, Yuda!” ucap Peri Bulan dengan senyum ramahnya, kemudian ia diiringi Yuda Tirta masuk kedalam istana menemui Benggala. “Sebuah kehormatan
“Loh, kok diam saja Arya? Ayo, naik kita berangkat sekarang!” seru Peri Salju. “Iya, tapi sebaiknya aku ganti pakaian dulu, sepertinya pakaian yang aku jemur itu sudah kering!” ujar Arya sambil memunggut pakaian yang ia jemur di samping mulut goa itu. “Oh, ya silahkan! Kami akan menunggumu!” setelah mengambil pakaian yang ia jemur Arya masuk kembali kedalam goa mengganti pakaiannya. Beberapa menit kemudian Arya pun tampak ke luar dari mulut Goa, Peri Salju kembali memintanya naik ke punggung kuda putih bersayap tunggangannya itu. Arya melesat ke atas kuda di belakang Peri Salju duduk, dengan tersenyum Peri Salju memerintahkan kuda putih bersayap itu untuk terbang kembali ke negeri diatas awan. ***** “Apa yang mulia yakin pemuda dari negeri 1.500 tahun yang akan datang itu tidak akan selamat dari luka yang ia alami saat bertarung kemarin?!” tanya Durgama, saat ia diminta berkumpul dengan para petinggi istana lainya diruang utama Kerajaan Angkasa. “Ha.. Ha.. Ha..! Aku benar-benar
“Hemmm... Jasa yang telah kau berikan pada negeri peri dan negeri di atas awan sudah sangat besar! Tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan yang aku lakukan ini kepadamu! Racun Iblis yang ada di tubuhmu belum sepenuhnya hilang, karena aku hanya berhasil mengeluarkan sebagiannya saja!” tutur Resi Dharma.“Jadi racun iblis masih ada di dalam tubuhku? Lalu bagaimana cara menghilangkan keseluruhannya, Resi?” Arya terlihat panik akan yang dituturkan Resi Dharma baru saja kepadanya.“Kamu tak perlu cemas! Kamu cukup berendam di depan air terjun sana beberapa menit! Air itu akan melenyapkan seluruh racun yang ada di tubuhmu! Tadi selain mengeluarkan sebagian racun di tubuhmu, aku juga telah berhasil membuka pori-pori di seluruh badanmu! Agar hawa gaib air terjun dapat merasuki dan melenyapkan racun di tubuhmu itu!” tutur Resi Dharma.“Oh, begitu! Baiklah sekarang juga aku akan berendam di air terjun depan goa ini!” Resi Dharma hanya anggukan kepalanya, Arya dengan tertatih-tatih bangkit
Setibanya di istana salju di ruangan tempat Arya dibaringkan, Peri Ratu segera memeriksa tubuh sang pendekar. Bagian dada kanan tampak lebam, dan ada goresan luka yang darahnya telah membeku.“Luka dalam yang dialami Arya sangat parah! Kalau saja dia bukan sosok berilmu tinggi, mungkin tulang dadanya telah remuk! Senjata mustika milik Batara Durja itu pun melukai bagian dadanya, dan akibatnya racun jahat dari senjata itu mengalir ke seluruh tubuhnya!” tutur Peri Ratu.“Apakah Arya masih hidup yang mulia? Tadi aku periksa denyut nadi dan detak jantungnya tak ada sama sekali!” Peri Salju masih terlihat sangat cemas.“Hemmm... Mungkin saat kamu memeriksanya tadi keadaanmu lagi kalut, hingga kamu tak merasakan masih adanya denyut nadi dan detak jantungnya! Hanya saja saat ini dia benar-benar tak bisa bergerak sama sekali dan tak sadarkan diri akibat racun iblis yang menjalar diseluruh tubuhnya! Ternyata Batara Durja tidak sendiri, dia bersekutu dengan raja iblis!” Peri Ratu menjelaskan se