Share

Bab 3. Ki Darmo Terkejut

"Tetapi?" tanya Arya penasaran.

"Tetapi, yang menculik salah seorang warga kami itu adalah Gento Ireng, anak buahnya.”

Arya kembali terkejut untuk beberapa saat.

Dia hanya terdiam belum tahu apa yang musti ia perbuat.

Sesekali, ia arahkan pandangannya ke arah lubuk tengkorak lalu kemudian pada rombongan warga Desa Sedayu yang berbaris tak beraturan di depannya.

Setelah merenung beberapa saat dan belum menemukan solusi akan kejadian yang secara tiba-tiba itu, Arya kemudian melangkah lebih mendekat pada rombongan warga Desa Sedayu itu.

“Saya memang mendengar suara semak dan kayu-kayu kecil tersibak dan patah lalu dentuman di tengah-tengah lubuk itu," ucap Arya lugas, "tetapi, saya tak melihat dengan jelas asal suara. Saat ini, saya sendiri belum bisa membantu Kisanak semuanya untuk membebaskan salah seorang warga yang diculik itu. Karena berbahaya, alangkah sebaiknya kalau para Kisanak memperbolehkan saya untuk bertemu dengan Kepala Desa Sedayu. Demikian, kita dapat membicarakan ini sebelum mengambil tindakan,” tutur Arya Mandu pada para warga desa.

Mendengar penjelasan masuk akal Arya, warga pun terdiam, hingga akhirnya salah satu pria tua bersuara.

“Baik Kisanak, mari ikut kami. Kisanak akan kami antarkan menemui Ki Darmo Kepala Desa Sedayu."

"Oh ya sebelumnya siapa Kisanak dan dari mana hendak ke mana?” tanya salah seorang pemuda yang penasaran pada Arya.

“Nama saya Arya Mandu, saya berasal dari Gunung Sumbing. Mengenai hendak ke mananya saya sendiri belum dapat memastikan karena memang saya seorang pengembara,” jawab Arya.

“Oh, nama saya Tarno. Mari Mas Arya kami antar menemui kepala desa kami,” ajak salah seorang warga Desa Sedayu yang bernama Tarno itu.

“Mari,” Arya pun mengikuti Tarno dan para warga yang lainnya.

Sebuah rumah yang cukup besar berdinding papan dan beratap genteng dari bahan tanah liat, dengan halaman yang luas serta terdapat pendapa di depan rumah yang sisi kiri kanannya didinding anyaman bambu beratap daun.

Seorang lelaki paruh baya nampak ke luar setelah Tarno yang tadi memimpin para warga desa mengetuk pintu, sementara Arya berdiri bersama para warga Desa Sedayu lainnya di halaman.

Lelaki paruh baya itu tampak terkejut melihat puluhan warganya berkumpul di halaman rumahnya, sepertinya dia tak mengetahui akan kejadian penculikan salah orang warganya itu oleh Gento Ireng anak buah dari Ratu Siluman Buaya putih.

“Ada apa ini Tarno? Kok kamu dan para warga mendatangi rumah saya?” tanya lelaki paruh baya itu.

“Maafkan kami Ki, kami tadi tidak langsung memberi tahu Ki Darmo bahwasanya telah terjadi penculikan salah seorang warga desa oleh Gento Ireng. Kami langsung mengejarnya ke lubuk tengkorak.” Tarno memberi laporan.

“Apa?! Salah seorang warga kita diculik lagi oleh Gento Ireng? Bedebah..! Benar-benar keterlaluan Ratu Siluman Buaya Putih itu, kita harus melakukan perlawanan sebab sudah beberapa orang warga kita telah jadi korbannya.” Ki Darmo tampak geram, lalu menghampiri para warga yang masih berdiri di halaman.

Selain diangkat sebagai kepala desa, Ki Darmo juga sosok yang sangat dihormati para warganya. Begitu Ki Darmo tiba di hadapan warga, mereka semuanya memberi salam hormat dengan membungkukan badan begitu pula dengan Arya yang secara reflek mengikuti gerakan para warga Desa Sedayu itu.

Awalnya Ki Darmo tak merasa aneh saat berdiri di depan para warganya di halaman rumahnya itu, akan tetapi ketika pandangan matanya tertuju pada Arya kening Ki Darmo nampak kerut karena mengernyit penuh tanda tanya.

“Maaf, Kisanak ini bukan warga Desa Sedayu ini, kan? Soalnya saya tidak pernah melihat Kisanak sebelumnya?” Ki Darmo langsung melontarkan pertanyaan.

“Maaf pula saya ucapkan Ki, saya memang bukan bagian dari warga Desa Sedayu ini. Nama saya Arya Mandu saya berasal dari Gunung Sumbing,” jawab Arya, hormat.

“Lalu kenapa tiba-tiba saja Arya bersama para warga desa di sini?” tanyanya memincingkan mata. Ia curiga dengan keberadaan Arya yang terlalu kebetulan.

Arya memahaminya. Dengan hormat, ia pun menjelaskan pada tetua Desa Sedayu ini. “Saat kejadian penculikan salah seorang warga desa,  saya tadi bertemu warga ditepian sungai. Kebetulan, saya juga memang sempat mendengar suara aneh dari arah tebing kemudian di tengah-tengah lubuk di sungai itu,” Arya menjelaskan.

Melihat Arya yang tampak jujur, Ki Darmo terdiam. Tak lama, ia pun mengangguk. “Begitu kejadiannya. Jika demikian, mari Nak Arya kita bicara di pendopo,” ajak Ki Darmo yang memanggil Arya dengan sebutan Nak.

Hal ini karena kepala Desa Sedayu itu menduga usia Arya tidak jauh beda dengan usia putrinya bernama Intan.

Tak lama, mereka pun sampai ke sebuah pendopo yang berada di depan rumah Ki Darmo.

Ukurannya kira-kra 5 x 6 meter, cukup besar dan dapat memuat sebagian besar dari para warga yang datang untuk duduk bersila di dalamnya.

Arya lantas duduk bersebelahan dengan Ki Darmo dan Tarno, sementara sebagian besar warga yang juga ikut ke dalam pendapa duduk berjejer di depan mereka.

Yang tersisa, akhirnya berdiri di depan pendapa itu.

“Seperti biasa yang kita lakukan ketika ada masalah atau apapun itu menyangkut warga Desa Sedayu ini, kita rembukan di sini mencari penyelesaian atau juga jalan ke luarnya,” Ki Darmo mengawali pembincangan mereka di pendapa di depan rumahnya itu.

“Benar Ki, kali ini kita akan membahas bagaimana caranya mengatasi keresahan para warga atas diculiknya kembali oleh Gento Ireng salah seorang warga kita,” ujar Tarno.

“Kita sebelumnya pernah melakukan ronda malam secara bergiliran, akan tetapi tidak berhasil menangkap Gento Ireng karena ia beraksi kali ini pada siang hari ketika sebagian besar warga kita banyak yang berada di sawah dan di ladang,” tutur Ki Darmo.

“Lalu apa yang musti kita lakukan Ki untuk mengatasi agar kejadian yang serupa tak terulang kembali? Sementara tak seorangpun dari kita yang mampu menyusul beberapa warga desa yang diculik itu ke dalam lubuk tengkorak itu,” Tarno kembali bertanya mewakili warga.

“Jangankan menyusul ke sana, untuk mengepung Gento Ireng saja di kawasan desa ini kita belum pasti mampu. Ilmu kanuragannya cukup tinggi apalagi Ratu Siluman Buaya putih itu,” tutur Ki Darmo.

Arya yang duduk bersebelahan dengan Ki Darmo sejauh ini hanya mendengar saja percakapan antara Ki Darmo dan Tarno di pendapa itu. Ia tak ingin lancang ikut bersuara sebelum Ki Darmo memintanya.

Untuk beberapa saat Ki Darmo, Tarno dan para warga yang duduk serta yang hanya berdiri di depan pendapa itu terdiam.

Namun, Ki Darmo tiba-tiba menoleh ke arah Arya. Ia penasaran dengan anak muda di sampingnya yang tampaknya memiliki kekuatan besar di tubuh mudanya. “Nak Arya, menurutmu apa yang musti kita lakukan untuk mencegah agar kejadian serupa tak terulang lagi?” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status