Lebat dan luasnya hutan belantara sejak dari lembah di lereng Gunung Sumbing, membuat Arya masih berada di kawasan hutan belantara itu.
Saat hari mulai gelap, barulah ia tiba di ujung hutan belantara itu. Namun, sungai besar berair keruh dan deras membuat Arya terdiam. Terlebih, ia menyadari bahwa gerimis telah turun. Hujan lebat akan menyusul.
Pemuda itu juga melihat tak satu pun ada bebatuan yang dapat diloncati untuk sampai ke seberang.
“Untuk menyeberangi sungai besar, aku membutuhkan rakit," gumam Arya.
Melihat situasi yang tak memungkinkan, pemuda itu lantas memutuskan untuk bermalam di pinggir hutan itu.
Arya kemudian memilih sebuah pohon yang paling besar dan berdaun rindang untuk tempatnya bermalam.
Sebelum hari benar-benar gelap, ia telah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk dijadikan api unggun di bawah pohon rindang menyerupai pohon beringin itu.
“Hemmm ... di sini, aku akan aman meskipun nanti hujan lebat turun tidak akan mengenai tubuhku dan juga api unggun itu,” kembali Arya bergumam sembari arahkan pandangan ke api unggun yang telah ia nyalakan itu.
Benar saja perkiraannya. Saat hujan mulai turun semakin lama semakin lebat, tak setetespun mengenai tubuhnya begitu pula ungunan api beberapa meter di depannya itu.
Hanya sesekali saja bias embun air hujan mengarah padanya dan juga api unggun itu akibat diterpa angin yang bertiup akan tetapi tak sampai membasahinya serta memadamkan api unggun di depan Arya.
Dapat dibayangkan betapa besarnya pohon yang menyerupai pohon beringin itu, untuk menyandarkan tubuhnya saja Arya tak perlu ke batangnya melainkan salah satu akarnya saja yang menjalar ke segala arah.
Beberapa kali petir pun melegar setelah terlebih dahulu terlihat percikan kilat di langit yang kelam, Arya baru dapat memejamkan kedua matanya dengan posisi tubuhnya masih bersandar ke salah satu akar pohon itu saat malam sudah cukup larut.
*******
Tak diketahui kapan api unggun yang dibuat Arya itu padam, yang jelas, begitu diam bangun saat sang fajar mulai menyingsing unggunan api yang tadi malam menyala kini tinggal arang dan debu saja.“Hoaaaaaam, rupanya sudah pagi. sebaiknya aku mencari pohon bambu atau apapun itu yang dapatku jadikan rakit untuk menyeberangi sungai itu.” Arya berbicara sendiri, kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke tepian sungai yang di tepi sungai itu juga rimbun berbagai jenis pepohonan.
Tak sebatang pohon bambupun yang ia jumpai di kawasan tepian sungai itu, hanya dua batang pohon pisang yang tak jelas tumbuhnya karena di tanam atau tumbuh sendiri yang pasti di sepanjang kawasan pinggiran sungai itu tak dijumpai satupun pemukiman atau dangau orang yang berladang.
Dengan dua batang pohon pisang itulah, Arya perlahan menyeberangi sungai yang besar berair keruh dan berarus deras itu.
Arya yang tak memakai pengayuh apa-apa itu cukup nampak kewalahan melawan derasnya arus.
Akan tetapi, ia berhasil juga tiba di seberang setelah Arya mengayuh rakit itu dengan kedua tangannya disertai tenaga dalam.
Di seberang sungai itu, kembali ia berhadapan dengan rimbunnya semak dan pepohonan yang tak telalu tinggi seperti pepohonan yang ia temui di hutan belantara.
Karena cukup lelah setelah melawan arus sungai dengan rakit yang hanya terbuat dari dua batang pohon pisang, Arya memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari mengitari pandangannya ke arah kanan dan kiri serta ke depan semak dan pepohonan itu siapa tahu ada buah-buahan yang dapat ia petik untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar.
“Tak satupun buah-buahan yang dapat aku makan untuk pengganjal perut, kalaupun di pinggiran seberang sungai ini banyak terdapat pohon pisang akan tetapi buahnya mentah semua. Sebaiknya aku lanjutkan perjalanan,” gumam Arya.
Baru beberapa langkah Arya berjalan menyibak semak di pinggiran seberang sungai itu, tiba-tiba saja ia dikejutkan akan suara yang berasal dari pinggiran hingga tengah-tengah sungai.
“Kraaaaak..! Kraaaak..! Duuuuum..! Byuuuuuuuur..!”
Suara semak dan pepohonan kecil tersibak dan patah lalu suara dentuman disertai percikan air.
Arya tentu secara reflek arahkan pandangannya ke suara aneh itu, seperti sesuatu yang bergerak dari tebing pinggiran sungai hingga berakhir dengan dentuman keras di tengah-tengah lubuk yang terdapat di sebelah kanan Arya berdiri sekitar 12 tombak jaraknya.
“Benda apa itu yang bergerak dari tebing lalu masuk ke dalam sungai?!” Arya berseru sendiri.
Saking cepatnya benda itu bergerak dan masuk ke dalam sungai tepat di tengah-tengah sebuah lubuk, Arya tak mengetahui wujudnya. Dia hanya nampak terbengong saja dengan sesekali mengaruk-garuk kepalanya mencoba menerka-nerka benda apakah itu, saat ia masih dalam rasa penasarannya menerka wujud dari benda itu tiba-tiba tak jauh di depannya terdengar suara teriakan yang seperti berasal dari segerombolan orang.
“Toloooong...! Ada penculikan...! Toloooooooong..!”
Mendengar teriakan itu, Arya kemudian hentakan kedua kaki melambung menaiki lereng tepian sungai itu.
Dalam sekejap, ia telah berada di atas tebing itu.
Tak beberapa lama tampak puluhan orang berlari sambil berteriak minta tolong dan berseru penculikan ke arah tebing di pinggiran sungai itu, Arya tentu saja menghampiri mereka.
“Apa yang terjadi kisanak, hingga kalian semua berteriak minta tolong? Siapa yang diculik?” tanya pemuda itu tenang.
“Salah seorang warga kami telah diculik dan di bawa ke dalam masuk ke dalam lubuk tengkorak itu..!” jawab salah seorang dari mereka.
“Penculikan salah seorang warga? Berarti tak jauh dari sini terdapat pemukiman desa?”
“Benar Kisanak, kami semua warga Desa Sedayu,” jelas yang lainnya panik.
Arya terdiam. Pemuda itu teringat ucapan sang guru mengenai sebuah tempat yang 'berbahaya'. “Lalu, di depan lubuk itu bernama lubuk tengkorak, bukan?”
“Betul Kisanak, lubuk terangker di kawasan sungai ini.” Kembali, salah seorang dari mereka menjawab.
Pemuda itu lantas menganggukan kepala. Pantas saja, warga di sini panik. Tempat penculikan begitu sulit digapai.
Namun, ada satu hal yang ingin dipastikan oleh Arya. “Kalau boleh tahu, kenapa penculik itu membawa salah seorang warga desa kalian ke dalam lubuk tengkorak itu?”
“Dia akan dijadikan budak oleh Ratu Siluman Buaya Putih.”
“Ratu Siluman Buaya Putih?!” Arya terkejut.
“Benar Kisanak, tetapi ...."
"Tetapi?" tanya Arya penasaran. "Tetapi, yang menculik salah seorang warga kami itu adalah Gento Ireng, anak buahnya.” Arya kembali terkejut untuk beberapa saat. Dia hanya terdiam belum tahu apa yang musti ia perbuat. Sesekali, ia arahkan pandangannya ke arah lubuk tengkorak lalu kemudian pada rombongan warga Desa Sedayu yang berbaris tak beraturan di depannya. Setelah merenung beberapa saat dan belum menemukan solusi akan kejadian yang secara tiba-tiba itu, Arya kemudian melangkah lebih mendekat pada rombongan warga Desa Sedayu itu. “Saya memang mendengar suara semak dan kayu-kayu kecil tersibak dan patah lalu dentuman di tengah-tengah lubuk itu," ucap Arya lugas, "tetapi, saya tak melihat dengan jelas asal suara. Saat ini, saya sendiri belum bisa membantu Kisanak semuanya untuk membebaskan salah seorang warga yang diculik itu. Karena berbahaya, alangkah sebaiknya kalau para Kisanak memperbolehkan saya untuk bertemu dengan Kepala Desa Sedayu. Demikian, kita dapat membicarakan
Arya terkejut, tetapi dia kembali menormalkan ekspresinya. “Maaf Ki, sedapat mungkin, kita bukan hanya mencegah saja. Kita juga harus berusaha membebaskan beberapa orang warga yang telah diculik itu.”Beberapa warga lantas menunduk. Bahkan ada yang menggelengkan kepala mendengar ucapan pemuda naif itu.“Iya, kami juga inginnya begitu Arya. Akan tetapi, tak ada yang dapat kami lakukan. Seperti yang telah kami bicarakan tadi, kami pernah melakukan ronda secara bergiliran setiap malam untuk menangkap Gento Ireng jika muncul di desa ini,” tutur Ki Darmo, "awalnya, kami pikir akan berhasil, tetapi penculikan justru terjadi siang hari." Arya terdiam. Gento Ireng ternyata memiliki pikiran cerdik, buktinya dia masih saja dapat melakukan aksinya ketika siang hari saat sebagian besar warga desa sibuk di sawah dan di ladang mereka. “Kalau boleh tahu, sudah berapa lama hal ini terjadi Ki?” tanya pemuda itu akhirnya. “Setahun yang lalu, Nak. Gento Ireng sebenarnya salah seorang warga Desa Seda
Sepintas, jika dilihat dari atas tebing, lubuk tengkorak sama dengan lubuk-lubuk yang ada di sungai-sungai besar lainnya. Permukaan airnya juga tenang dan lebih dalam tentunya sulit untuk melihat dasarnya. Terlebih, sungai itu saat ini keruh akibat hujan lebat di hulu yang membuat sungai itu makin besar. Di atas permukaan lubuk itu, sesekali juga terlihat pusaran dan gelembung-gelembung air yang berasal dari dasar. Sejauh ini, memang tak ada seorangpun yang berani melewati lubuk itu menggunakan rakit atau juga perahu karena di samping ada pusaran air yang secara tiba-tiba muncul dapat menyedot benda apa saja di atasnya lubuk itu juga terlihat angker. Terlebih, semua warga Desa Serayu mengetahui jika di lubuk tengkorak itu terdapat Ratu Siluman Buaya Putih yang kerap meneror mereka. Para warga yang juga bermata pencarian mencari ikan di sungai itu, lantas memilih lokasi penangkapan jauh dari lubuk sekitar satu kilometer jaraknya di atas atau di hilir lubuk tengkorak. Ajaibnya, me
Ki Darmo menggeleng. “Tidak Arya, ada juga perempuan. Tapi, memang para warga yang diculik itu laki-laki dan perempuan masih muda atau belum menikah,” jawab Ki Darmo. Arya nampak mengganguk. Sepertinya, dia telah paham penyebab kenapa para warga yang justru kesehariannya mencari ikan di sungai tidak pernah jadi korban. Mereka semuanya laki-laki yang telah berkeluarga. Siluman ini sepertinya tak tertarik dengan mereka. Ia butuh manusia-manusia yang dapat ia manfaatkan tenaganya. “Baiklah Ki, sekarang saya mohon izin ke kawasan lubuk tengkorak itu untuk menyelidiki. Siapa tahu saja, ada petunjuk yang saya dapatkan nanti berupa cara masuk ke dalam lubuk itu membebaskan para warga yang diculik." "Pasti, ada pintu rahasianya hingga Gento Ireng yang dulunya merupakan bagian warga desa ini bisa ke luar masuk dari lubuk tengkorak itu,” jelas Arya lagi. Ki Darmo menarik napas panjang. Ia khawatir dengan keputusan anak muda di depannya itu.Tapi, tak ada yang ia bisa lakukan. Perlahan, w
“Benar, silahkan duduk.” Gento Ireng memberi salam hormat, kemudian duduk di kursi yang ada di depan singasana tempat Dewi Purbalara duduk terlebih dahulu beberapa saat sebelumnya. “Terima kasih, ada apa yang mulia tiba-tiba saja memanggil saya untuk menghadap?” Gento Ireng bertanya demikian bukan tanpa sebab, ia merasa heran saja karena memang Ratu Siluman Buaya Putih tak biasanya memintanya menghadap setelah berhasil menjalankan tugas yaitu menculik salah seorang warga desa untuk dijadikan pengikutnya. Biasanya Dewi Purbalara memberi perintah sebulan atau dua bulan berikutnya untuk melakukan hal yang sama, tapi kali ini baru beberapa hari saja Gento Ireng diminta menghadap lagi. “Hemmm, kamu tentu merasa heran kenapa kamu saya minta menghadap?” “Benar yang mulia, maafkan apabila saya lancang bertanya seperti itu.” “Tidak apa-apa, ini memang terkesan mendadak karena saya melihat ada seorang pemuda di pinggiran lubuk dengan gerak gerik mencurigakan. Saya ingin kamu memeriksanya
Diam-diam Arya mengamati lelaki yang berdiri di sampingnya, meskipun pria itu tersenyum namun tak dapat ia sembunyikan jika raut wajahnya terkesan bengis. Kulitnya berwarna hitam dan di lehernya melingkar sebuah kalung yang di tengah-tengahnya terdapat bandul berupa kepala buaya berwarna putih, darah Arya langsung berdesir dan menyakini jika pria itu salah seorang dari anak buah Ratu Siluman Buaya Putih. “Apakah dia yang bernama Gento Ireng? Melihat dari ciri-cirinya yang dikatakan Ki Darmo berkulit hitam dan bertampang bengis?” Arya bergumam dalam hati. “Sepertinya benda yang saya cari sulit ditemukan, saya mohon diri saja Kisanak untuk melanjutkan perjalanan,” ujar Arya menghentikan kepura-puraannya mencari sesuatu dengan menyibak semak-semak di pinggiran lubuk tengkorak itu. “Oh, silahkan. Kisanak hendak ke mana?” “Saya ingin melanjutkan perjalanan ke arah sana,” Arya menunjuk ke arah utara. “Apakah Kisanak ingin ke Desa Serayu?” Gento Ireng bertanya kembali. “Desa Serayu? Me
Dewi Purbalara bersegera menemui Gento Ireng yang berada di ruangan di mana di sana terdapat singasananya, tanpa duduk terlebih dahulu Ratu Siluman Buaya Putih itupun berucap. “Pemuda itu berada di Desa Serayu.” “Berarti dia singgah di desa itu sebelum melanjutkan perjalanannya ke utara seperti yang dia katakan.” Gento Ireng terlihat memegang dagunya sendiri, seperti memikirkan sesuatu. “Benar, pemuda itu singgah di rumah Ki Darmo.” “Hah?! Ada keperluan apa dia hingga singgah ke rumah tetua Desa Serayu itu yang mulia?” Dewi Purbalara gelengkan kepalanya, karena memang ia hanya bisa melihat akan tetapi tak bisa mendengar suara atau pun percakapan Arya dengan Ki Darmo yang saat itu duduk di pendopo. “Kalau saat ini yang mulia perintah saya untuk menemui pemuda itu dan mengajaknya ke sini, saya rasa tidak mungkin yang mulia. Sebab pastinya Ki Darmo atau para warga desa yang lain jika melihat saya tidak akan membiarkan saya sampai di rumah tetua desa itu,” tutur Gento Ireng. Dewi
Arya bergumam dalam hati menduga jika ada sepasang mata yang saat itu tengah mengamatinya dari kejauhan di kegelapan malam, Arya kemudian berbicara pada Ki Darmo dengan suara pelan setengah berbisik perihal itu. Arya seperti berpamitan untuk meninggalkan pendopo, itu terlihat setelah berbicara sang pendekar berdiri dari duduknya kemudian melangkah meninggalkan Ki Darmo yang masih duduk bersila sembari menikmati sisa kopi di cangkir bambu itu. “Hendak ke mana pemuda itu? Apakah mungkin malam-malam begini melanjutkan perjalanannya?” sosok di kegelapan malam yang diduga Arya mematainya bergumam. “Sebaiknya aku ikuti saja dia, begitu aman dari para warga aku akan menghampirinya.” Kembali sosok itu bergumam dalam hati, lalu dengan perlahan ia melangkah dari tempat ia berdiri memantau Arya di pendopo tadi. Tak jelas hendak ke mana Arya dari pendopo berpamitan dengan Ki Darmo tadi, yang pasti ia melangkah ke arah utara dari pendopo itu. Tepat di tempat sepi di mana tak ada satu orang wa