Setelah mereka membubarkan diri. Jaka warangan langsung menghadap ki demang antasena di dalam rumahnya.
"Bagaimana ki demang..apa kau telah mempersiapkan alat pertempuran yang ku minta..?" "Kau tenang saja jaka..kademangan ini mempunyai pandai besi yang handal. Semuanya sudah kusiapkan. Pedang. Perisai kayu. Panahan. Semuanya telah tersedia..." jaka pun menganggukkan kepalanya. "Bagus ki demang. Besok aku akan kembali lagi. Aku pergi dulu.." "Tunggu dulu jaka. Mengapa kau selalu terburu-buru dan tak pernah mau menerima tawaranku untuk sekedar makan dan minum disini..?" "Sudah ku bilang..aku tak mau merepotkanmu..sampai besok ki demang..." Lalu jaka pun bangkit dan melangkah keluar. Namun ketika dia sudah di ambang pintu..tiba-tiba saja ada seorang gadis muda yang berwajah kemayu menghalangi jaka warangan yang ingin keluar. "Maaf..kang jaka. Kumohon kali ini kakang bersudi untuk sekedar makan dan minum disini..." "Ohh..mungkin lain kali gayatri. Aku ada keperluan mendadak hari ini. Permisi..." namun gadis itu masih menghalangi.. "Maaf kang aku memaksa.." Lalu jaka pun menoleh ke ki demang. "Kumohon jaka. Sekali ini saja kau bersudi menerima permintaan anak ku. Sudah 4 hari dia memasak untukmu namun kau selalu pergi begitu saja tanpa sedikit pun mencicipinya..." jaka pun menghela nafasnya sejenak. "Hmm. maaf aku tak pernah memintanya ki demang. Nah gayatri..sebaiknya kau tak usah memasak lagi untuk ku. Aku permisi dulu.." Namun gayatri bersikeras tak mau bergerak dari depan pintu. Inilah yang ditakutkan jaka warangan. Ia tak mau berurusan dengan wanita. Ia lebih suka bekerja tanpa ada urusan tetek bengek yang lain. Ia harus fokus pada pekerjaannya. "Maaf ki demang..kalau anakmu masih menghalangi. Terpaksa aku menotoknya.." Namun inilah yang ditunggu gayatri. Setidaknya ia tahu apa yang akan terjadi setelah itu. "Gayatri sudahlah nak. Biarkan jaka pergi. Mungkin ia ada keperluan penting di luar.." "Tidak ayah. Aku tak akan membiarkannya. Capek-cape aku memasak tapi orang yang di harap menyantapnya malah tak pernah menggubris. Aku tak akan bergerak dari sini sampai kang jaka mau me....." Tiba-tiba satu totokan mendarat telak di keningnya dan langsung membuatnya kaku lalu limbung. Jaka pun dengan sigap memeluk tubuh gayatri yang ingin jatuh.. Hingga mereka pun saling memandang. Inilah yang ditunggu gayatri. Hal ini membuat jaka terbuai oleh wajah kemayu nan cantik gayatri. Gayatri pun tersenyum dikala melihat mata jaka yang tak berkedip memandangnya. "Alamak..kenapa jadi begini yah?? Ko dalam hatiku jadi ada serr..serrnya melihat gadis ini...aduhh..kacau ini urusannya.." Lalu dengan cepat, tubuh gayatri pun langsung ia rebahkan di bangku. "Aku minta maaf ki demang. Gayatri tak lama akan lepas dari totokanku. Aku pergi dulu.." "Heyy jaka tunggu.." "Apalagi ki demang? "Biasa..sebatang saja cukuplah.." "Behahaha". Lalu jaka merogoh kantung nya dan melempar sebatang rokok ke ki demang. "Terima kasih jaka.." Karena para pengawal kini sudah mengenal jaka warangan. Maka sekarang jaka tak perlu berkelebat menghindari mereka lagi. Bahkan beberapa pengawal ada yang menawarkan untuk singgah di pos gerbang untuk sekedar minun kopi. Namun jaka dengan sopan menolaknya. Karena memang ia ingin segera beranjak dari situ. kemudian seperti biasa ia menyalakan rokoknya dan kembali berdendang. "aku ingin kesini..aku ingin gayatri. ingin hah..siall...kenapa jadi nyebutin nama dia yah.. Ah brengsek betul kecantikan nya membuat ku terbuai. Dasar bidadari laknat...aku jadi tak bisa berhenti membayangkan nya. Kampret.." ########## "Brakkkk" Warok bandar jati menggebrak meja hingga hancur berantakan. Sontak anak buah nya di ruangan itu pun terkejut "Bangsat...Jaka warangan semakin membuatku naik pitam saja. Kini dua anak buah terbaikku telah di bantai pula. Kalian semua manusia-manusia tak becus. Jaka warangan hanya satu orang..mengapa tak ada satupun dari kalian yang bisa membereskannya..?" Ruangan rapat itu pun mencekam. Bahkan warok karta yang telah hadir disitu hanya bisa membisu. Dua orang yang dibunuh jaka warangan memang anak buah yang di segani di komplotan warok bandar jati. "Kakang bandar. Yang kita hadapi memang orang yang licik kang. dia tak berani menyerang langsung. Tapi dia memang menggerogoti kita perlahan-lahan." Warok karta berucap. "Kau benar karta. Jaka warangan memang licik. Kita harus berbuat sesuatu untuk memancingnya kesini.." "Aku punya rencana kakang..." warok bandar jati pun mengerutkan keningnya "katakan apa rencanamu karta..." Lalu warok karta membisiki warok bandar jati. "Hmmm..rencana yang brutal karta. Tapi ini akan memancing jaka warangan. Kita lakukan rencana itu malam ini. Siapkan pasukan karta.." "Siap kang.." Maka warok karta segera mengumpulkan anak buahnya untuk diberikan pengarahan. Begitu pula warok bandar. Sore itu mereka telah bersiap-siap untuk sebuah penyerangan. Sementara itu di sebuah kedai yang kemarin porak poranda. Jaka warangan tengah berbincang ria sambil makan dengan pemilik kedai. "Ah..terima kasih jaka. Berkat kau, aku masih bisa meneruskan usahaku ini. Kedua orang yang kau bunuh itu memang anak buah warok bandar jati yang terkenal kejam di desa kami. Tak ada seorang pun yang berani melawan.." "Yahh...lumayan lah ki. Hasil penjualan dari gelang emas yang mereka pakai. Behahaha. Seharusnya aku tak membunuh mereka. Tapi ilmu yang mereka miliki memang dahsyat. Terpaksa aku melawan dengan jurus pamungkasku..." Dikala mereka tengah asyik ngobrol tiba-tiba terdengar kentongan ditabuh dalam nada genting. Lalu suara kentungan itu susul menyusul dan saling menyahut. Hingga malam itu suasana menjadi hingar bingar oleh suara kentongan. Jaka warangan pun langsung keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dan terkejut lah ia dikala melihat kobaran api dari kejauhan. Asap membumbung tinggi hingga kelangit. Tampaknya ada kebakaran besar di desa jantilan. Maka ia pun langsung melesat dengan ilmu peringan tubuhnya ke arah kebakaran itu. Setelah sampai jaka pun makin terkejut. Karena kebakaran itu sudah melebar hampir satu desa. Yah desa jantilan telah menjadi lautan api. Tampak orang-orang yang masih selamat berlarian kesana kemari. Dan sebagian lagi mencoba kembali kerumah untuk menyelamatkan keluarganya, namun di tahan oleh tetangga nya karena api yang sudah melahap rumah itu. Teriakan histeris warga jantilan berkumandang di malam yang mengenaskan. Jaka pun memberhentikan salah satu warga desa untuk bertanya. "Hey..kang apa yang terjadi.?" "Warok bandar menyerang desa kami kisanak. Mereka menjarah lalu membakar seluruh desa ini. Hampir sebagian warga desa mati terbakar didalam rumah mereka. Maka jaka warangan pun tersulut emosinya. Ia tak menyangka dengan kekejaman yang dilakukan warok bandar. entah mungkin puluhan keluarga mati mengenaskan malam ini. Api yang membakar dengan cepat menjalar kemana-mana. Warga desa tak sanggup memadamkanya hingga mereka hanya bisa pasrah melihat rumah mereka hangus terbakar. "Kurang ajar..aku harus membalas perbuatan mereka..."Langit Mandira menjadi gelap tak wajar. Bukan karena malam, tapi karena sesuatu yang lebih tua dari malam itu sendiri. Di ujung cakrawala, awan membentuk pusaran kelam. Cahaya petir menyambar tanpa suara. Di barak Pengawal Dalam, Raja Mandira menatap peta yang kini berubah warna. Jalur ke Gunung Sepuh menghitam. Tinta pada kertas menetes sendiri, seperti luka yang mengalirkan darah. > “Gerbangnya terbuka...” bisik Raja. Panglima Adikara berdiri gelisah di belakangnya. > “Paduka, pasukan siap digerakkan. Tapi kabut yang datang... menghapus jejak.” > “Kita terlambat,” jawab sang Raja. “Satu-satunya harapan kita… adalah Warangan.” --- Di kaki Gunung Sepuh, Jaka dan rombongan membangun perlindungan darurat bagi anak-anak korban ritual. Kabut tipis terus menyelimuti tanah, dan hawa menjadi dingin seperti habis hujan padahal langit kering. Putri Lintang duduk di samping api kecil, menggenggam tangan seorang anak perempuan yang masih gemetar. > “Namamu siapa?” > “Nira,” b
Kabut pagi menyelimuti tepian Sungai Rengganis, tempat Jaka Warangan dan rombongannya mendirikan kemah darurat. Api unggun telah padam, menyisakan bara merah yang nyaris mati. Burung-burung rawa belum bernyanyi, seakan tahu dunia sedang tak tenang. Jaka berdiri di tepi air, mencuci wajah. Di balik aliran sungai, bayangan perbukitan Gunung Sepuh menjulang pucat. Tempat itu kini menjadi petunjuk yang harus mereka kejar. Putri Lintang muncul dari balik pohon, mengenakan pakaian rakyat biasa. Rambutnya dikepang seadanya. Tak ada lagi sanggul atau perhiasan. Tapi matanya masih menyala—bukan dengan kebangsawanan, tapi tekad. > “Aku sudah siap,” katanya pelan. Jaka menatapnya sebentar. Tak ada yang diucapkan, tapi pandangan itu cukup. Mereka saling percaya. Dan itu lebih penting dari segala sumpah. --- Di sisi lain, Tarno memeriksa tali pelana kuda sewaan mereka. Ia bersiul kecil, tapi sorot matanya gelisah. > “Kang,” gumamnya ke Sura, “kalau ketahuan kita bawa Putri, kita bisa dicap
Langit Mandira menyambut Jaka Warangan dengan awan kelabu. Gerbang utama istana terbuka perlahan, diiringi suara genderang kecil dari penjaga kehormatan. Tapi tak ada perayaan, tak ada senyum.Karena yang ia bawa… bukan kemenangan, melainkan tuduhan.Sura dan Tarno menyusul di belakang, berdebat soal nasi bungkus yang katanya dicuri penjaga gudang. Tapi Jaka hanya diam. Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat.---Di dalam Balairung Wiyata, tempat para penasihat kerajaan berkumpul, suasana terasa panas. Pangeran Wirabasa duduk dengan tenang, memainkan cincin emas di jarinya. Di sampingnya, Putri Lintang menunduk dalam. Ratu Ayu tak hadir—konon sedang sakit karena kabut mimpi dari arah selatan.> “Jaka Warangan,” ujar Raja Mandira, suaranya berat. “Apa yang kau temukan di Langgasari?”Jaka meletakkan sehelai kain bersimbol darah di atas meja batu.Semua menahan napas.> “Aku menemukan pengkhianatan. Tapi bukan dari Langgasari… dari dalam.”> “Kau menuduh siapa?” tanya sang Raja.Jaka
Tiga hari setelah Festival Pendekar berakhir, Istana Langit Timur kembali sunyi. Namun pagi itu, langit berubah kelabu. Seekor burung hitam raksasa—Rajawali Gelap dari Kerajaan Langgasari—mendarat di pelataran istana, membawa dua orang bertudung ungu.Mereka adalah utusan khusus dari Raja Langgasari, kerajaan di utara yang selama ini bersikap netral, namun terkenal dengan siasat politik dan kekuatan mata-mata.> “Kami datang membawa undangan pertemuan rahasia,” kata salah satu utusan. Suaranya berat, matanya tajam seperti menyimpan racun.> “Dan kami minta satu orang saja untuk datang mewakili Kerajaan Mandira: Jaka Warangan.”---Raja Mandira terdiam lama saat menerima berita itu. Para penasihat protes. Bahkan Panglima Agung menolak keras.> “Itu jebakan! Kita tidak tahu siapa mereka sebenarnya!”Namun Putri Lintang berdiri, menatap ayahnya.> “Kalau mereka ingin bicara dengan Jaka… maka biarlah ia yang memutuskan. Bukan kita.”Jaka hanya mengangguk.> “Aku akan pergi. Tapi aku tak a
Fajar menyapu langit dengan warna emas pucat ketika genderang istana mulai ditabuh. Turnamen Cahaya Timur—ajang silat tertua antar perguruan di seluruh negeri—resmi dimulai. Kali ini, bukan hanya kehormatan yang dipertaruhkan, tapi juga aliansi politik dan takhta masa depan.Jaka Warangan berdiri di barisan peserta, mengenakan pakaian hitam sederhana, tak membawa lambang perguruan manapun. Di sebelahnya, Sura dan Tarno bersandar di pagar kayu, tak ikut bertanding, tapi ikut berjaga.> “Kau yakin ikut ini, Kang?” tanya Sura. “Pendekar dari segala arah datang. Ada yang pernah melawan harimau, ada yang katanya bisa membelah batu pakai suara.”> “Justru itu. Aku ingin tahu… apakah dunia masih sekejam dulu, atau sudah lebih adil untuk orang-orang seperti kita,” jawab Jaka tenang.---Turnamen dimulai.Babak penyisihan berlangsung cepat. Pendekar-pendekar saling menunjukkan teknik khas: jurus kipas sakti, pukulan halilintar, langkah kabut, bahkan gaya bertarung dari barat yang mirip tari pe
Langit di atas Kerajaan Mandira mulai cerah, tapi angin tetap dingin membawa kabar buruk dari timur. Di pelataran batu istana, Jaka Warangan berdiri di antara para pengawal. Jubahnya sudah berganti—bukan lagi gelap dan penuh luka, melainkan jubah biru laut dengan motif awan perak.Sura dan Tarno, kini berpakaian seperti ksatria istana, berdiri di sampingnya. Tarno bahkan mengenakan ikat kepala baru bertuliskan “ANTI SETAN”, hasil kreativitasnya sendiri.> “Kakang, kita sekarang jadi orang penting ya?” bisik Tarno sambil menyikut Sura.> “Iya, penting buat bersih-bersih kalau disuruh,” sahut Sura datar.Tapi suasana berubah saat seorang wanita turun dari tandu istana—anggun, berselendang merah muda, dan membawa tongkat bergagang kristal.Dialah Putri Lintang Madura, anak Raja Mandira yang dikabarkan memiliki ilmu membaca mimpi dan pengendali hujan. Dan begitu matanya bertemu dengan Jaka…> “Jadi… ini dia, pendekar yang katanya bisa mengusir kutukan langit?” katanya dengan senyum tipis.