Ki demang pun senang mendengarnya. Namun ia masih ragu dengan kata-kata jaka warangan.
"Jaka..aku akui kemampuan mu yang mumpuni. Tapi bagaimana cara kau melakukannya..?" Jaka warangan menghela nafasnya sejenak lalu menjawab. "Begini ki demang. Aku telah memantau markas mereka. Dan jumlah mereka memang sangat banyak. Di sebelah selatan alas roban..aku telah melumpuhkan anak buahnya dan dedengkotnya yaitu warok druga. Tinggal di bagian barat dan utara saja yang akan kita serang.." Jaka warangan berhenti sebentar untuk mengatur nafas lalu melanjutkan. "Nah aku minta kau untuk mengumpulkan warga yang mau ikut dalam pasukanmu. Kita butuh 100 orang.." Terkejutlah ki demang mendengar jumlah yang diminta jaka warangan. "Apa aku tak salah dengar jaka?. Memang berapa jumlah komplotan warok bandar jati..?" Tanya Ki Demang keheranan "Sudah ku bilang tadi Ki Demang. Aku telah memantau nya. Dan jumlah mereka memang tak main-main. Di sebelah barat yang dipimpin warok karta saja berjumlah lebih dari 60 orang. Belum yang di utara yang kukira mempunyai anggota yang lebih banyak dari warok karta..." Ki demang berpikir sejenak. Ia tak yakin bisa mengumpulkan warga sebanyak itu. Namun keadaan memang sudah genting. Komplotan warok bandar jati yang berjumlah banyak itu memang sangat meresahkan warga. "Jaka warangan. Apa kau tahu kemampuan warok karta dan warok bandar jati..?" Jaka pun mengerti pertanyaan Ki Demang. Tapi ia datang memang sudah dengan perhitungan yang matang. "Itu urusanku. serahkan mereka padaku. Tugasmu hanya mengumpulkan warga. Dan aku akan melatih mereka.." ki demang pun mengerutkan keningnya keheranan. Ia tak pernah menyangka bahwa pendekar sakti itu mau turun tangan langsung. "Benarkah yang kau katakan itu jaka..?" "Ya..tapi dengan syarat. Aku akan melatih mereka dengan caraku. Tak ada yang boleh menggangguku. Itu saja. Yang pasti pengawal mu pun akan kutingkatkan ilmu kanuragan nya. Bagaimana?" Tawar Jaka. "Hmm...kalau begitu aku akan berusaha melakukannya. Kupikir dengan kejadian-kejadian selama ini. Akan membuat warga menjadi geram terhadap mereka. Namun kalau boleh tahu apa pamrihmu ini jaka..?" Mendengar itu Jaka pun tersenyum. Ia tahu Ki Demang akan menanyakan hal tersebut. "Oh jelas ada..tapi itu urusanku. Dan pamrihku bukan mengenai harta atau jabatan..." Jawab Jaka tegas. "Lalu apa? katakanlah. sebisa mungkim aku akan memberikannya.." Kembali Ki Demang bertanya Tapi Jaka Memang punya kepentingan sendiri. tapi itu Rahasia. Dan ia tak membutuhkan apapun dari Ki Demang "Kau tenang saja Ki demang. Aku tak membutuhkan apa-apa darimu. Aku hanya ingin Prajurit yang akan kulatih. itu saja." Ki Demang mendengarkan dengan seksama. Entah apa pamrih jaka itu. Tapi ia kesampingkan dulu pikiran itu. "Jujur saja jaka..kalau kau memang mau membantuku menghancurkan markas mereka. Maka akan ku usahakan apa saja keperluanmu. Sudah bertahun-tahun kami di tindas oleh komplotan warok jati bandar. Dan sekarang sudah saatnya kami bangkit dan melawan..." "Bagus ki demang. Kalian memang memerlukan semangat itu. Nah aku minta besok pagi..kau telah mengumpulkan wargamu..." "Baiklah jaka..lalu kau akan kemana hari ini?. Menginaplah disini..." "Oh tak perlu ki demang. Aku akan berada dimana saja yang kusuka. yang pasti besok aku akan kembali lagi..nah sampai jumpa besok.." Jaka pun bangkit dan bergegas keluar..namun ki demang memangilnya. "Tunggu dulu jaka..apa kau masih punya rokok mu itu..?" "Behahaha.." Lalu jaka merogoh kantong nya dan melemparkan sebatang rokok ke ki demang. "Terima kasih jaka..aku membutuhkan nya untuk menenangkan pikiranku..." "Hmmm..nikmatilah ki demang. Behahaha.." Lalu dengan cepat. Jaka warangan berkelebat kesana dan kemari tanpa ada satu pengawal pun yang mengetahuinya. Tahu-tahu dia sudah berada di luar rumah ki demang yang besar itu. "Hmmm..hari ini aku ingin bermain-main sedikit dengan warok karta..behahaha.." Dan seperti biasa. Jaka warangan menyalakan rokoknya dan lenggang kangkung sambil berdendang. "Aku ingin kesini..aku ingin kesana..ingin ini ingin itu banyak sekali...nana...nana..nana.." Suara nyanyian itu pun terdengar semakin menjauh hingga hilang di ujung jalan.Langit Mandira menjadi gelap tak wajar. Bukan karena malam, tapi karena sesuatu yang lebih tua dari malam itu sendiri. Di ujung cakrawala, awan membentuk pusaran kelam. Cahaya petir menyambar tanpa suara. Di barak Pengawal Dalam, Raja Mandira menatap peta yang kini berubah warna. Jalur ke Gunung Sepuh menghitam. Tinta pada kertas menetes sendiri, seperti luka yang mengalirkan darah. > “Gerbangnya terbuka...” bisik Raja. Panglima Adikara berdiri gelisah di belakangnya. > “Paduka, pasukan siap digerakkan. Tapi kabut yang datang... menghapus jejak.” > “Kita terlambat,” jawab sang Raja. “Satu-satunya harapan kita… adalah Warangan.” --- Di kaki Gunung Sepuh, Jaka dan rombongan membangun perlindungan darurat bagi anak-anak korban ritual. Kabut tipis terus menyelimuti tanah, dan hawa menjadi dingin seperti habis hujan padahal langit kering. Putri Lintang duduk di samping api kecil, menggenggam tangan seorang anak perempuan yang masih gemetar. > “Namamu siapa?” > “Nira,” b
Kabut pagi menyelimuti tepian Sungai Rengganis, tempat Jaka Warangan dan rombongannya mendirikan kemah darurat. Api unggun telah padam, menyisakan bara merah yang nyaris mati. Burung-burung rawa belum bernyanyi, seakan tahu dunia sedang tak tenang. Jaka berdiri di tepi air, mencuci wajah. Di balik aliran sungai, bayangan perbukitan Gunung Sepuh menjulang pucat. Tempat itu kini menjadi petunjuk yang harus mereka kejar. Putri Lintang muncul dari balik pohon, mengenakan pakaian rakyat biasa. Rambutnya dikepang seadanya. Tak ada lagi sanggul atau perhiasan. Tapi matanya masih menyala—bukan dengan kebangsawanan, tapi tekad. > “Aku sudah siap,” katanya pelan. Jaka menatapnya sebentar. Tak ada yang diucapkan, tapi pandangan itu cukup. Mereka saling percaya. Dan itu lebih penting dari segala sumpah. --- Di sisi lain, Tarno memeriksa tali pelana kuda sewaan mereka. Ia bersiul kecil, tapi sorot matanya gelisah. > “Kang,” gumamnya ke Sura, “kalau ketahuan kita bawa Putri, kita bisa dicap
Langit Mandira menyambut Jaka Warangan dengan awan kelabu. Gerbang utama istana terbuka perlahan, diiringi suara genderang kecil dari penjaga kehormatan. Tapi tak ada perayaan, tak ada senyum.Karena yang ia bawa… bukan kemenangan, melainkan tuduhan.Sura dan Tarno menyusul di belakang, berdebat soal nasi bungkus yang katanya dicuri penjaga gudang. Tapi Jaka hanya diam. Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat.---Di dalam Balairung Wiyata, tempat para penasihat kerajaan berkumpul, suasana terasa panas. Pangeran Wirabasa duduk dengan tenang, memainkan cincin emas di jarinya. Di sampingnya, Putri Lintang menunduk dalam. Ratu Ayu tak hadir—konon sedang sakit karena kabut mimpi dari arah selatan.> “Jaka Warangan,” ujar Raja Mandira, suaranya berat. “Apa yang kau temukan di Langgasari?”Jaka meletakkan sehelai kain bersimbol darah di atas meja batu.Semua menahan napas.> “Aku menemukan pengkhianatan. Tapi bukan dari Langgasari… dari dalam.”> “Kau menuduh siapa?” tanya sang Raja.Jaka
Tiga hari setelah Festival Pendekar berakhir, Istana Langit Timur kembali sunyi. Namun pagi itu, langit berubah kelabu. Seekor burung hitam raksasa—Rajawali Gelap dari Kerajaan Langgasari—mendarat di pelataran istana, membawa dua orang bertudung ungu.Mereka adalah utusan khusus dari Raja Langgasari, kerajaan di utara yang selama ini bersikap netral, namun terkenal dengan siasat politik dan kekuatan mata-mata.> “Kami datang membawa undangan pertemuan rahasia,” kata salah satu utusan. Suaranya berat, matanya tajam seperti menyimpan racun.> “Dan kami minta satu orang saja untuk datang mewakili Kerajaan Mandira: Jaka Warangan.”---Raja Mandira terdiam lama saat menerima berita itu. Para penasihat protes. Bahkan Panglima Agung menolak keras.> “Itu jebakan! Kita tidak tahu siapa mereka sebenarnya!”Namun Putri Lintang berdiri, menatap ayahnya.> “Kalau mereka ingin bicara dengan Jaka… maka biarlah ia yang memutuskan. Bukan kita.”Jaka hanya mengangguk.> “Aku akan pergi. Tapi aku tak a
Fajar menyapu langit dengan warna emas pucat ketika genderang istana mulai ditabuh. Turnamen Cahaya Timur—ajang silat tertua antar perguruan di seluruh negeri—resmi dimulai. Kali ini, bukan hanya kehormatan yang dipertaruhkan, tapi juga aliansi politik dan takhta masa depan.Jaka Warangan berdiri di barisan peserta, mengenakan pakaian hitam sederhana, tak membawa lambang perguruan manapun. Di sebelahnya, Sura dan Tarno bersandar di pagar kayu, tak ikut bertanding, tapi ikut berjaga.> “Kau yakin ikut ini, Kang?” tanya Sura. “Pendekar dari segala arah datang. Ada yang pernah melawan harimau, ada yang katanya bisa membelah batu pakai suara.”> “Justru itu. Aku ingin tahu… apakah dunia masih sekejam dulu, atau sudah lebih adil untuk orang-orang seperti kita,” jawab Jaka tenang.---Turnamen dimulai.Babak penyisihan berlangsung cepat. Pendekar-pendekar saling menunjukkan teknik khas: jurus kipas sakti, pukulan halilintar, langkah kabut, bahkan gaya bertarung dari barat yang mirip tari pe
Langit di atas Kerajaan Mandira mulai cerah, tapi angin tetap dingin membawa kabar buruk dari timur. Di pelataran batu istana, Jaka Warangan berdiri di antara para pengawal. Jubahnya sudah berganti—bukan lagi gelap dan penuh luka, melainkan jubah biru laut dengan motif awan perak.Sura dan Tarno, kini berpakaian seperti ksatria istana, berdiri di sampingnya. Tarno bahkan mengenakan ikat kepala baru bertuliskan “ANTI SETAN”, hasil kreativitasnya sendiri.> “Kakang, kita sekarang jadi orang penting ya?” bisik Tarno sambil menyikut Sura.> “Iya, penting buat bersih-bersih kalau disuruh,” sahut Sura datar.Tapi suasana berubah saat seorang wanita turun dari tandu istana—anggun, berselendang merah muda, dan membawa tongkat bergagang kristal.Dialah Putri Lintang Madura, anak Raja Mandira yang dikabarkan memiliki ilmu membaca mimpi dan pengendali hujan. Dan begitu matanya bertemu dengan Jaka…> “Jadi… ini dia, pendekar yang katanya bisa mengusir kutukan langit?” katanya dengan senyum tipis.