Ardo Kenconowoto yang telah diberi gelar Pendekar Tiga Iblis oleh gurunya, Iblis Jelita, masih duduk berlutut di depan sang guru yang duduk di balai-balai bambu.“Ulurkan kedua tanganmu!” perintah Iblis Jelita.Ardo pun mengulurkan kedua tangannya dengan telapak terbuka ke atas. Ardo memandang dan menunggu pusaka jenis apa yang akan diberikan kepadanya.Iblis Jelita lalu meletakkan kedua telapak tangannya pada telapak tangan muridnya.“Tahan!” perintah Iblis Jelita.“Iya, Nyai,” ucap Ardo.Ardo lalu mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan ketika dia merasakan ada energi yang menekan kedua telapak tangannya. Energi itu keluar dari kedua telapak tangan Iblis Jelita seiring munculnya bias sinar ungu. Sinar ungu itu seperti sedang terhimpit oleh dua telapak tangan yang saling menekan.Ardo merasakan kedua telapak tangannya panas, tapi tidak sepanas api. Dia pun bisa merasakan ada energi yang mengalir masuk ke dalam tangannya. Tangan-tangan keduanya sempat gemetar karena menahan energi y
Ardo Kenconowoto terus berkuda menuju Tebing Pahat. Dia akan tiba di sana menjelang senja. Ardo sudah beberapa kali datang ke Tebing Pahat, tempat tinggal Iblis Satu Kaki. Jadi dia bisa mengukur durasi perjalanannya.Tidak seperti ketika pergi ke kediaman Iblis Sirih yang lancar seperti jalan tol bebas hambatan, kali ini Ardo tertarik untuk berhenti melihat satu peristiwa.Dia menghentikan kudanya di pinggir jalan. Ada tanah lapang di sisi kiri yang konturnya lebih rendah dari tanah jalanan. Di sana sedang terjadi pertarungan yang tidak seimbang, lima orang lelaki sedang mengeroyok satu orang lelaki. Jadi semuanya lelaki.Kelima lelaki yang berpakaian kuning-kuning tapi berbeda model, memiliki usia yang beragam. Ada yang muda sampai usia separuh baya. Kelimanya bersenjatakan tongkat besi pendek, tetapi pada satu ujungnya memiliki replika logam bentuk tangan. Ada tangan mengepal milik Rungga Kasa, ada tangan mencakar milik Srikil, ada tangan yang jari-jarinya lurus semua milik Suganda,
Pertolongan yang dilakukan oleh Ardo Kenconowoto terhadap Anggar Sukolaga membuat pemuda tampan itu terpaksa menunda perjalanannya ke Tebing Pahat. Dia harus membawa ayah dari Aninda Maya itu ke Lembah Jepit agar bisa diobati oleh Tabib Juku Getir. Ardo tidak banyak bertanya karena Anggar Sukolaga sudah pingsan. Ardo sampai harus mengikat tubuh Anggar Sukolaga dengan tubuhnya agar tidak jatuh saat mereka berkuda. Ardo tahu di mana letak Lembah Jepit, karena waktu dia masih usia imut-imut pernah diajak oleh Iblis Jelita ke sana menghadiri satu pertemuan pendekar. Arah menuju ke Tebing Pahat dan ke Lembah Jepit berbeda. Tebing Pahat ke arah timur, sedangkan Lembah Jepit ke arah utara. Untuk jarak Tebing Pahat lebih jauh. Ardo setengah panik karena Anggar Sukolaga tidak sadarkan diri. Dia takut orang tua itu punya niat mati. Perjalanan Ardo lancar, tidak ada begal atau penjahat yang menghadang. Dia tiba di wilayah Lembah Jepit menjelang matahari terbenam. Namun, dia tidak tahu jelas d
Akhirnya Tabib Juku Getir selesai membersihkan dan menangani luka Anggar Sukolaga. Sejumlah balutan perban melingkar di tubuh Anggar Sukolaga yang tidak berbaju. Dia belum siuman dari pingsannya.“Mohon maaf, Ki. Aku pamit pelgi, Ki,” izin Ardo Kenconowoto.“Kau mau ke mana? Lihat, sudah gelap,” tanya Tabib Juku Getir sambil menunjuk ke pintu dengan wajahnya. “Bermalamlah. Aku punya minuman bagus untuk malam hari. Belum dikatakan datang ke kediaman Tabib Juku Getir jika belum minum kopi musang luwak.”Hari memang sudah gelap. Jika Ardo memaksakan melanjutkan perjalanan ke Tebing Pahat, akan sulit. Tentunya Iblis Satu Kaki tidak akan mau ditamui tengah malam. Itu pikir Ardo. Apalagi Ardo bukanlah pacar pendekar tua itu.Mooo!Tiba-tiba terdengar suara lenguhan sapi di luar. Bukan hanya satu sapi, tapi beberapa sapi.Ardo berjalan ke pintu untuk melihat. Di dalam kegelapan yang belum begitu gulita terlihat ada belasan sapi yang sedang digiring oleh lelaki bercaping. Warna pakaiannya sam
Karena ini perkara nyawa orang cantik, Ardo Kenconowoto terpaksa gagal menikmati jagung bakar bersama Ki Pawang Api. Dia hanya menghabiskan kopi musang luwaknya.“Sudah aku katakan, jika kau menuruti permintaan Anggar Sukolaga, kau akan terlibat dalam bahaya,” kata Ki Pawang Api kepada Ardo saat hendak ditinggal. Dia agak kecewa karena batal duet makan jagung bakar yang baru mulai dipanggangnya.“Tidak apa-apa, Ki. Demi menolong olang lain,” balas Ardo sebelum meninggalkan Ki Pawang Api.Dengan membawa sebatang obor, Ardo berkuda menembus kegelapan malam meninggalkan kediaman Tabib Juku Getir. Dia harus berhati-hati dalam berkuda. Cahaya satu obor tidak begitu kuasa menerangi jalanan.Di Tengah jalan, Ardo melihat ada dua titik cahaya api yang terbang cepat mendekat. Seiring dua api itu kian mendekat, terdengar pula lari dari beberapa ekor kuda. Ternyata ada tiga ekor kuda berpenunggang dari arah depan, tetapi hanya dua orang yang membawa obor. Ketiga orang itu terdiri dari dua lelaki
Ardo Kenconowoto kini berdiri berhadapan dengan Kuyup Lani yang merupakan anggota Lima Tangan Maut. Kuyup Lani berusia jauh lebih senior dari Ardo, tetapi gestur tubuhnya gemulai.Keduanya berdiri dengan kuda-kuda siap duel. Kuyup Lani baru saja meledakkan tanah jalanan desa dengan kesaktian senjata tongkat besi pendeknya.Sementara itu, belasan mata yang bersembunyi di balik dinding-dinding rumah warga menonton. Justru mereka yang lebih tegang menyaksikan pertarungan kedua pendekar asing yang tidak mereka kenal.“Kenapa menyelangku, Kisanak?” tanya Ardo.“Hihihi! Rupanya pendekar cadel. Biasanya pendekar aneh sepertimu umurnya tidak lebih panjang daripada umur seekor ayam,” kata Kuyup Lani seperti ibu-ibu cerewet, setelah dia tertawa cekikikan seperti janda genit.“Kau juga aneh. Laganya lelaki tapi nyawanya betina,” balas Ardo, tidak suka disebut aneh.“Anggar Sukolaga adalah pemberontak. Semua orang yang membantunya akan dianggap sebagai pemberontak, termasuk kau, Cadel,” jelas Kuy
Ada rasa bahagia di dalam hati Aninda Maya ketika mengetahui sosok pemuda yang sangat tampan itu adalah Ardo Kenconowoto, yang tidak mungkin dia lupakan kecadelan dan ketampanannya. Satu-satunya orang cadel yang dia kenal adalah Ardo, meski sudah empat tahun lamanya tidak bertemu lagi.Namun, perkataan Ardo tentang noda darah di pakaiannya sungguh mengejutkan Aninda Maya, sampai-sampai dia sudah mengeluarkan air mata yang siap jatuh di pipi licinnya.“Tapi Paman Anggal tidak mati. Paman Anggal hanya telluka dan sudah diobati oleh Tabib Juku Getil,” kata Ardo cepat, agar Aninda Maya tidak jadi menangis.Namun, ketika mengedipkan mata, air mata Aninda Maya pun menetes terjun mengukir di pipinya. Melihat itu, Ardo jadi merasa bersalah.“Maafkan aku, Aninda. Aku tidak belniat membuatmu sedih,” ucap Ardo dengan wajah mengerenyit, tapi tetap ganteng. Ingat, Ardo akan selalu ganteng dalam kondisi apa pun, kecuali bersin.“Apa yang terjadi dengan Ayah, Ardo?” tanya Aninda sedih.“Paman Anggal
Di waktu subuh. Di sebuah tanah lapang yang kering.Ada sejumlah api unggun yang menyala di beberapa titik. Apinya sudah mengecil karena kayu-kayu yang dibakar sudah nyaris habis, menyisakan bara yang menumpuk.Di tanah terbuka itu, ada banyak prajurit yang tidur dengan seragam lengkap. Seragam mereka berwarna hitam-cokelat. Mereka bahkan tidur dengan senjata di dalam pelukan. Itu sudah menjadi SOP bagi prajurit Kerajaan Panesahan. Meski tidur, senjata tetap harus dalam pelukan, meski efek sampingnya terkadang menderita luka-luka usai mimpi berciuman dengan bidadari dari alam gaib.Di salah satu api unggun yang apinya masih menyala cukup besar, ada lima lelaki yang duduk mengelilingi api sambil minum-minuman hangat. Empat lelaki di antaranya mengenakan pakaian kuning-kuning dengan model yang berbeda. Di pinggang belakang mereka ada terselip tongkat besi pendek yang satu ujungnya memiliki replika tangan dari besi.Keempat lelaki berbaju kuning tidak lain adalah anggota dari Lima Tangan