Rombongan keluarga Anggar Sukolaga tiba di Lembah Jepit tepat pada pagi hari. Seturunnya dari kuda, Kenari Inang dan Aninda Maya langsung bergegas masuk ke rumah Tabib Juku Getir.Melihat kondisi ayahnya, menangislah Aninda Maya. Namun, tidak bagi Kenari Inang.Ardo Kenconowoto memilih tidak masuk ke dalam. Setelah menambatkan kudanya di tanah berumput dan menyediakan wadah kayu berisi air, Ardo memilih pergi ke area belakang. dia mencari tempat nyaman untuk tidur, bukan untuk buang air.Dia melihat keberadaan Wanduro dan Sologeni masih ada di tempat tersebut. Namun, Ardo memilih menghindar karena dia merasa lelah dan sangat mengantuk. Dia juga tidak melihat keberadaan Ki Pawang Api. Saat ke area belakang, dilihatnya kandang sudah kosong dari sapi-sapi. Bisa diduga ke mana perginya Ki Pawang Api.“Ardo!” panggil Semuri yang sedang menjemur pakaian luar dan dalam di belakang rumah. Dia menengok dan tersenyum kepada Ardo yang lewat agak jauh dari posisinya. Dia pun sudah menyebut nama A
Semuri mengendap-endap mendekati Ardo Kenconowoto yang tertidur nyenyak di bawah pohon besar di belakang kediaman Tabib Juku Getir. Terdengar dengkuran halusnya.Semuri tersenyum lebar sambil memandangi Ardo yang tampan. Dia manggut-manggut mengagumi ketampanan pemuda gondrong itu. Dada bajunya yang robek membuat kebidangan dadanya yang kekar mengintip tanpa mata.Yang jadi masalah, saat itu Semuri sedang memegangi seekor ular hijau sebesar genggaman.Gadis cantik bertubuh sekal itu lalu meletakkan ular bawaannya pelan-pelan di atas badan Ardo yang saat itu sedang bermimpi berpelukan dengan gurunya, Iblis Jelita.Adegan di dalam mimpi seperti mengulang ketika Ardo mendapat ciuman di dahi dari guru cantik jelitanya. Ketika di dalam mimpi Iblis Jelita ingin mencium bibir Ardo, tiba-tiba wujud cantiknya berubah menjadi bebek raksasa yang menyosor bibir si pemuda.Meski sosok cantik Iblis Jelita sudah menjadi bebek, tetapi Ardo justru menikmati.“Hihihi…!”Bebek itu menghentikan sosoranny
Dalam perjalanannya, sebelum jauh meninggalkan Lembah Jepit, Ardo Kenconowoto melihat sekumpulan sapi-sapi sedang merumput di tanah hijau. Di sana ada juga sosok lelaki bercaping, capingnya sama dengan yang dikenakan oleh Ki Pawang Api. Ardo memutuskan untuk pergi mendatangi Ki Pawang Api. Mendengar ada suara lari kuda yang mendekat, Ki Pawang Api yang sedang memijat-mijat paha seekor sapi menengok. Ki Pawang Api yang menengok, bukan sapinya. Jadi jangan salah paham. Ki Pawan Api hanya tersenyum saat melihat siapa yang datang. Ardo turun dari kudanya saat tiba di dekat Ki Pawang Api. “Hehehe! Kau mau ikut menggembala sapi, Aldo?” tanya Ki Pawang Api dengan menyebut Ardo menggunakan nama yang masih keliru, tapi tidak meresahkan. “Aku mau pamit, Ki,” ujar Ardo sembari tersenyum. “Apakah urusanmu dengan Anggar Sukolaga sudah selesai?” “Sudah, Ki. Tapi aku mau beltanya, Ki.” “Tanyakan saja.” “Apakah benal Paman Anggal adalah pembelontak?” “Maka itu aku berpesan kepadamu, jangan
“Sembah holmatku, Gulu!” ucap Ardo sambil turun berlutut di lantai batu pelataran, saat Iblis Satu Kaki sudah berdiri satu tombak di hadapannya.“Pasti guru perempuanmu memberimu tugas khusus,” terka Iblis Satu Kaki dengan tatapan tajam berwibawa.“Benal, Gulu. Nyai Sakti telah membeli aku gelal Pendekal Tiga Iblis, Gulu. Aku dipelintahkan untuk meminta lestu Gulu. Kalena nama Tiga Iblis adalah nama Nyai Sakti Iblis Jelita, Iblis Silih dan Iblis Satu Kaki,” jelas Ardo.“Kau belum menjadi muridku dan aku belum menjadi gurumu,” kata Iblis Satu Kaki.“Kalau begitu angkat aku jadi mulid, Gulu. Karena Nyai Sakti dan Gulu Iblis Silih sudah membeli lestu kepadaku,” kata Ardo yang masih memegang bingkisan dua nasi bungkus yang mungkin sudah dingin.“Mana buktinya bahwa Iblis Jelita dan Iblis Sirih sudah merestuimu?” tanya Iblis Satu Kaki.Sest!Ardo lalu mengeluarkan Kuku Iblis Betina pada jari-jari tangannya yang berupa kuku-kuku sinar ungu yang padat.“Ini pusaka Kuku Iblis Betina, Gulu,” u
Di saat Ki Pawang Api menggiring sapi-sapinya menuju pulang, rombongan pasukan yang dipimpin oleh Arjunatama Cula Garang datang dan menghentikan rombongan sapi.“Berhenti, Kisanak!” seru Cula Garang yang berkuda bersama sejumlah prajuritnya, sementara yang lain berlari-lari kecil.Pasukan pun berhenti, tapi tidak mode mengepung serius. Mereka hanya mengepung posisi tanpa ada ancaman senjata kepada Ki Pawang Api dan komunitas sapinya.Saat itu, tidak terlihat keberadaan empat orang anggota Lima Tangan Maut dalam rombongan pasukan. Dengan dalih ingin memakamkan rekan mereka yang mati dibunuh oleh pemuda cadel, Lima Tangan Maut tidak ikut ke Lembah Jepit.“Kisanak, siapa kau?” tanya Cula Garang tanpa turun dari punggung kudanya.“Aku penggembala sapi, Gusti,” jawab Ki Pawang Api santun dan merendah.“Siapa namamu?” tanya Cula Garang lagi.“Namaku Ki Pawang Sapi,” jawab Ki Pawang Api agar namanya tidak terdengar keren.“Kau mau ke mana?”“Pulang.”“Pulang ke mana?”“Ke rumah.”“Rumahmu di
“Siapa namamu, Tabib?” tanya Cula Garang, di saat para prajuritnya menggeledah rumah Tabib Juku Getir.“Tabib Juku Getir, Gusti,” jawab sang tabib.Beberapa prajurit keluar dengan wajah mengerenyit, bahkan memencet hidung besarnya, setelah mereka keluar dari dalam rumah Tabib Juku Getir.“Rumah ini kosong, Arjuna!” lapor seorang prajurit sambil memencet hidungnya sehingga terdengar sengau dan lucu. Dia menutup hidungnya karena tidak tahan mencium bau minyak obat di dalam rumah.“Jika kalian mencari Anggar Sukolaga, dia sudah pergi,” kata Tabib Juku Getir.“Sudah pergi? Aku dengar dia terluka parah. Setidaknya butuh istirahat beberapa hari. Kenapa kau biarkan dia cepat pergi jika ingin menolongnya?” debat Cula Garang.“Mohon maaf, Gusti Prajurit. Dia memang terluka parah, tapi sepertinya dia buru-buru. Dia dibantu oleh seorang pemuda….”“Pemuda yang bicaranya cadel?” terka Cula Garang memotong perkataan sang tabib.“Benar, Gusti,” jawab Tabib Juku Getir.Sementara itu, Ki Pawang Api da
Di dalam gelap-gelapan waktu subuh yang tanpa penerangan cahaya api itu, insting menolong membuat Ardo Kenconowoto refleks melompat cepat menjangkau tubuh wanita yang tanpa sengaja kakinya terperosok, membuat si wanita oleng ke belakang lalu jatuh ke arah bawah, yaitu air sungai yang mengalir.Bluk! Jbur!Ardo berhasil menangkap peluk tubuh si wanita, tetapi tetap saja mereka berdua jatuh ke air sungai.Meski berpengalaman di sungai karena sejak kecil hidup di lingkungan sungai, tetap saja Ardo cukup gelagapan ketika masuk ke air yang gelap.Namun, dalam insiden yang terjadi dengan cepat tersebut, ada kejanggalan yang Ardo rasakan. Ketika dia menangkap tubuh si wanita, dia sangat jelas merasakan kulitnya menempel langsung dengan kulit si wanita, terutama merasakan dua benjolan besar yang empuk pada bagian dada. Ardo juga bisa merasakan bahwa wanita itu masih berkain pada bagian bawahnya. Ardo menduga kuat, wanita itu hanya tidak berbaju saja, dalam arti polos dari perut ke atas, tapi
Pagi-pagi Desa Guling sudah ramai, karena memang hari ini ada acara Pertandingan Kepala Mati, sebuah acara kompetisi sederhana yang diadakan sepekan sekali.Pertandingan Kepala Mati selalu ramai peminat. Bukan hanya para lelaki Desa Guling yang turun bertanding, sejumlah jagoan dari beberapa desa terdekat datang ikut unjuk kemampuan. Ramainya peminat tidak lepas dari pertandingan yang sifatnya bersahabat kepada orang biasa, tidak mesti harus seorang pendekar karena tidak ada adegan adu jotos. Mereka hanya adu tahan napas dengan sedikit sepak-sepakan.Biasanya, pendaftar ada lebih dari seratus orang. Pendaftaran yang gratis jelas membuat banyak orang yang ingin coba-coba, meski kemudian hampir semuanya gugur. Hanya para peserta yang serius saja yang bisa terus lolos hingga ke babak dua puluh besar.Turnamen yang sudah menjadi budaya pekanan Desa Guling membuat panitia yang dipimpin oleh Kepala Desa Guling, Totor Gema, sudah ahli dalam mengurus turnamen tersebut.Hadiah yang diperebutka