Mata Surya Yudha masih terpejam, tetapi tubuh pemuda itu menggelinjang dan mulutnya tak berhenti meraung. Kepanikan semakin menjadi tatkala Dewi Mayangsari masuk ke ruangan itu, karena keluar darah dari telinga, hidung dan mulut Surya Yudha.
Luka-luka di tubuh Surya Yudha yang awalnya sudah menutup, kini kembali terbuka.
"Apa yang terjadi?" Ki Arya Saloka menggeleng, masih belum memahami dengan kondisi cucunya.
"Aliran tenaga dalamnya kacau, organ dalamnya juga mulai hancur. Padahal aku hanya memberinya ilalang emas untuk meningkatkan tenaga dalam." Dewi Mayangsari roboh seketika. Bibirnya bergetar tak dapat mengeluarkan kata-kata yang menumpuk di kepalanya.
"I-ilalang emas? Ayah memberikan ilalang emas?" tanya Dewi Mayangsari tak percaya. Air mata mengalir derastak bisa ia bendung lagi.
"Ya dewa ... kenapa harus terjadi?" lirih Dewi Mayangsari dalam tangisnya. Ki Arya Saloka yang masih sibuk meracik ramuan obat tak menggubris ucapan putrinya.
"Ramuan mahkota dewa, ramuan ini harusnya bisa menghentikan pendarahannya." Ki Arya Saloka meminumkan ramuan itu kepada Surya Yudha, akan tetapi tidak ada perubahan apa pun.
"Surya ... Surya Yudha diberkati dewa matahari. Ilalang emas menjadi sumber kelemahannya."
"Dewa Matahari? Kenapa aku tidak pernah tahu? Ilalang emas bisa dinetralkan dengan kencana wungu, tapi aku tidak sanggup memberikannya." Ki Arya Saloka menyalurkan hawa murninya kepada Surya Yudha. Walau cara ini belum tentu berhasil, namun Ki Arya Saloka tidak ingin menyerah begitu saja.
"Ayah ... aku mohon. Surya adalah anakku satu-satunya. Asal dia hidup, aku tidak masalah." Dewi Mayangsari terus memohon kepada Ki Arya Saloka. Namun, Ki Arya Saloka tak mendengarkannya dan terus menyalurkan tenaga dalam. "Ayah ... aku mohon."
"Tidak."
"Baik. Jika Surya mati aku akan mengikutinya. Dengan tanggung jawab yang dipikul suamiku, dia pasti bisa hidup walau dalam penderitaan." Ancaman Dewi Mayangsari nyatanya mampu menyentuh hati ayahnya.
"Kalau kamu dan Surya pergi, apa gunanya ayah hidup? Ayah juga akan ikut kalian," lirih Ki Arya Saloka. Orang tua yang biasanya selalu tegar dan hangat itu, saat ini mengalir air mata penyesalan.
"Ayah akan memberikan ramun kencana wungu. Walau cara ini akan menghancurkan masa depannya, tapi dia masih bisa memperbaiki jika ada niat." Dewi Mayangsari mengangguk dan memeluk ayahnya.
"Panggilkan beberapa perwira tinggi untuk membantu menyalurkan tenaga dalam. Kamu sudah terlalu lelah, jangan memaksakan diri." Dewi Mayangsari mengangguk dan memanggil beberapa perwira lewat tabib muda yang sedang berjaga.
Beberapa orang berzirah perak dan satu orang menggunakan zirah emas memasuki ruangan dengan wajah cemas. Dalam susunan militer Kerajaan Nara Artha, Surya Yudha adalah seorang anak emas yang tidak boleh mati muda.
Sifat keras kepala namun setia, otak cerdas dan sigap mengambil keputusan, dan kekuatan fisik yang begitu baik membuat Surya Yudha perlu dilindungi.
"Apa yang dapat kami bantu?" tanya Wirmo, prajurit yang menggunakan zirah emas.
"Salurkan tenaga dalam kalian. Aku harus membuat sebuah ramuan penting, tak bisa menyalurkan hawaku kepada Surya. Aku mohon bantuannya."
"Tidak perlu memohon, Ki Arya. Surya sudah seperti anak kami." Ki Arya Saloka mengangguk dan menyingkir dari sisi Surya Yudha.
Wirmo dan lima orang lainnya segera mengambil pisisi dan bersiap menyalurkan tenaga dalam.
Ki Arya Saloka duduk di sudut ruangan. Di hadapannya ada meja kecil dan tempayan serta lumpang kecil dan alu. Dari ruang kosong Ki Arya Saloka mengeluarkan sebuah tanaman bunga yang memiliki kelopak berwarna ungu.
Di petiknya beberapa kelopak bunga itu kemudian ia masukan ke dalam lumpang. Ki Arya Saloka juga mencampurkan beberapa tetes madu hitam dan air laut kemudian menumbuk semua bahan itu.
Sebuah ramuan hitam pekat dengan aroma menyengat tercipta dari kombinasi bahan-bahan tersebut. Dengan tangan bergetar Ki Arya Saloka memindahkan ramuan itu ke dalam mangkuk.
"Wirmo, aku minta tolong. Minumkan ramuan ini pada Surya Yudha. Setelah itu tahan tubuhnya agar tetap duduk. Aku akan mengerjakan sisanya."
"Baik, Ki."
Wirmo menerima mangkok itu kemudian meminumkannya kepada Surya Yudha. Wirmo merasakan sesuatu yang aneh dalam diri Surya Yudha setelah ramuan itu memasuki tubuhnya. Gelombang tenaga dalam yang awalnya terpancar kuat perlahan meredup dan hilang sepenuhnya setelah beberapa saat.
"Ki Arya, apa Surya baik-baik saja?" tanya Wirmo ketika melihat tubuh Surya Yudha melemah.
"Dia akan baik-baik saja. Tapi ... perlu waktu lama untuk menyembuhkannya." Wirmo mengangguk tanpa curiga. Luka di tubuh Surya Yudha memang parah. Jika penyembuhannya memerlukan waktu lama, maka pria itu menganggapnya hal yang wajar.
"Apa yang harus kami lakukan setelah ini?"
"Aku akan menangani Surya Yudha, terima kasih sudah membantuku. Setelah bangun nanti cucuku akan membutuhkan banyak waktu untuk bisa ditemui."
"Aku mengerti. Luka separah itu memang perlu banyak istirahat. Semoga Surya Yudha bisa segera pulih," ucap Wirmo tulus. Pria itu pamit kepada Ki Arya Saloka karena harus mengawasi pelatihan para prajurit.
Ki Arya Saloka hanya mengangguk dan memandangi punggung para perwira yang semakin jauh sebelum hilang terpisah pintu.
'Jika mereka memahami maksudku, entah apa reaksi mereka.'
Waktu cepat berlalu, sudah tujuh hari Surya Yudha tak sadarkan diri semenjak meminum ramuan ilalang emas. Indra Yudha yang baru selesai menjalankan misi langsung menjenguk putranya yang masih belum sadar.
Ki Arya Saloka dan Dewi Mayangsari menemani Indra Yudha yang masih dirawat di balai pengobatan. Mereka berdua menceritakan semua tanpa menutupi satu apa pun.
Indra Yudha terlihat marah dan kecewa. Tidak pada putranya, tetapi pada orang yang membuat putranya seperti ini.
"Jika seperi ini, aku akan menulis surat pengunduran diri untuknya."
Panglima Besar Indra Yudha menulis surat pengunduran diri Surya Yudha dan menyerahkannya ke Raja Wirya Semitha. Hari itu juga, Panglima Besar Indra Yudha resmi mencopot Surya Yudha dari jajaran militer kerajaan Nara Artha.Istana terlihat ramai karena banyak pejabat militer yang menolak keputusan Panglima Besar Indra Yudha mengenai pengunduran Surya Yudha yang masih dinilai sepihak.Surya Yudha bahkan belum bangun dari tidur panjangnya, tetapi Panglima Besar Indra Yudha sudah menurunkan perintah untuk mencopot Surya Yudha dan meresmikannya."Maaf, Panglima besar, saya rasa pencopotan Surya Yudha adalah sesuatu yang berlebihan. Apalagi jika alasannya adalah karena gagal melindungi Putra Mahkota." Wirmo menjadi orang yang pertama menolak keputusan Panglima Besar Indra Yudha."Benar, Panglima. Tanpa kehadiran Surya Yudha, maka kekuatan generasi muda kita akan menurun banyak.""Janga
Bagai tersambar oleh petir surgawi, Ki Arya Saloka terpaku di tempatnya berdiri. Segudang kalimat yang ingin ia katakan tiba-tiba lenyap saat itu juga."Eyang ... aku ingat betul sebelum aku terlelap kondisiku baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang seperti ini?" Surya Yudha terlihat kecewa dengan kondisinya yang menyedihkan. Begitu pemuda itu bangun, tenaga dalam miliknya tak bisa ia keluarkan. Padahal ia yakin jika tenaga dalamnya masih tersisa bahkan dalam kondisi penuh.Sejenak, Ki Arya Saloka menghela napas panjang. Pria tua itu menatap Raja Wirya Semitha dan Panglima Besar Indra Yudha bergantian. Panglima Besar Indra Yudha mengangguk lalu keluar bersama dengan Dewi Mayangsari dan Raja Wirya Semitha.Perlahan Ki Arya Saloka mendekati Surya Yudha dan duduk di sampingnya. Ki Arya Saloka terlihat ingin menyampaikan sesuatu, tetapi seperti tak bisa mengungkapnya.Surya Yudha akhirnya mengalah dan
Wanita yang ditolong oleh Surya Yudha terlihat ketakutan. Pakaiannya juga compang-camping serta penampilan yang begitu berantakan. Saat Surya Yudha mendekati wanita tersebut, wanita itu mundur karena ketakutan."Aku tidak akan menyakitimu. Namaku Surya Yudha.""Su-Surya Yudha?" tanya wanita itu tergagap ketakutan.Surya Yudha mengangguk dan mendekati wanita itu lagi. "Aku Surya Yudha. Dulu aku adalah seorang prajurit di kerajaan Nara Artha. Siapa namamu?"Wanita itu masih diam. Surya Yudha hanya menghela napas dan memalingkan wajahnya. "Sekar," jawab gadis itu bernama Sekar.Surya Yudha tersenyum tipis dan kembali berdiri. "Di mana rumahmu? Jika kamu ingin pulang aku akan mengantarnya. Namun, jika masih betah di sini aku harus pergi sekarang."Sekar terlihat ragu untuk memilih pergi bersama Surya Yudha atau tidak. Namun, berdiam diri di tempat ini sama saja mencari mati. Maka, wanita itu akhirnya memutuskan mengikuti S
Jalanan dusun Tegalsari tak terlalu ramai, tapi tidak juga bisa dikatakan sepi. Seorang gadis muda yang berjalan dengan pakaian compang-camping tentu saja menarik perhatian orang-orang sehingga bisikan-bisikan mulai timbul karena beberapa orang mulai bergunjing.Sekar, gadis cantik berkulit sawo matang dengan alisnya bagaikan lambaian daun kelapa, giginya bagai biji mentimun berjalan dengan muka yang memerah menahan malu. Untung saja jarak antara gapura dusun hingga rumahnya tak begitu jauh sehingga gadis itu kini sudah sampai di depan rumahnya. Rumah yang cukup besar namun tampak sederhana. Dengan kebingungan bercampur rasa takut, Sekar berjalan memasuki rumahnya. Baru di ambang pintu, seseorang membuka pintu dan memberinya tatapan tajam penuh pertanyaan.Terdengar suara berat mengandung amarah yang membuat tubuh Sekar bergetar seketika. "Masuk."Satu kata yang diucapkan dengan perlahan, nada yang begitu datar tetapi siapa saja bisa mengetahui jika tersirat ama
Di tengah kegelapan malam yang hanya disinari rembulan, Surya Yudha terus melangkah untuk mencari hewan buruan. Matanya terus mengedar, pendengarannya terus ditajamkan, kewaspadaannya tak turun sedikit pun. Selain itu, tangan kanannya selalu memegang gagang pedang dengan tangan kiri mencengkeram erat selongsongnya.Tak jauh dari tempat Surya Yudha berdiri, terdengar suara gemerisik yang berasal dari balik semak-semak. Senyum licik tersimpul di bibir Surya Yudha sebelum pemuda itu melangkah memburu hewan buruannya.Dengan perlahan Surya Yudha menyibak semak-semak di hadapannya.Bruk!Sebuah hewan sebesar anak gajah menerjang Surya Yudha hingga pemuda itu tersungkur. Tanpa memberi kesempatan untuk lawannya bangkit, hewan tersebut kembali menerjang dan menendang tubuh Surya Yudha hingga tersungkur beberapa langkah dari tempat sebelumnya. Surya Yudha menarik pedang dari selongsong dan menghunuskan ke tubuh hewan yang menyerangnya. Seekor babi hutan dewasa yang menyerangnya dengan membab
"Ya Dewa ... kenapa aku harus melihatnya?" Surya Yudha berkata dalam hati ketika dia sedang melihat gadis penolongnya sedang membersihkan diri. Dan yang membuat tubuh Surya Yudha terasa panas adalah, gadis itu tak memakai sehelai kain pun di badannya. Walau setengah badannya berada di bawah air, tetapi penglihatan Surya Yudha yang seperti kucing saat malam hari membuat semuanya begitu jelas. Dan ketika Surya Yudha telah selesai mengenakan pakaiannya, pemuda itu bergegas meninggalkan sungai. Malang tak dapat dihindari, ketika Surya Yudha baru saja naik ke tepian sungai, kakinya menginjak batu dan membuatnya tergelincir, kembali tercebur ke sungai."AAA!!"Terdengar suara nyaring diikuti dengan suara riak air membuat Surya Yudha secara tak sadar memalingkan wajahnya. Gadis yang awalnya sedang berendam di air kini sudah berada di tepian sungai dan mengenakan pakaiannya secara tergesa. Surya Yudha yang masih terpana di tempatnya tak menyadari jika bahaya akan segera tiba."Kau pemuda c
Selama perjalanan berlangsung, tak ada hambatan berarti menghadang mereka. Namun, perjalanan mereka tetap lambat karena Surya Yudha yang meminta istirahat beberapa kali.Surya Yudha duduk di bawah pohon sengon dan memegang dadanya yang terasa sakit. Ki Arya Saloka kembali memeriksa kondisi cucunya. "Maaf, Eyang. Aku menyusahkan Eyang." "Tidak ada masalah serius. Hanya saja kita perlu berhenti beberapa hari untuk pemulihan. Tak jauh dari sini ada kota kecil, jika ada penginapan kita bisa menginap di kota itu," ucap Ki Arya Saloka dengan wajah tenangnya.Surya Yudha mengangguk setuju dan kembali mengenakan pakaiannya sebelum melepas tambatan kuda. Keduanya beriringan dengan menunggang kuda, setelah tiga jam melewati perjalanan, akhirnya mereka sampai di kota Batu ceper.Setelah bertanya kepada beberapa penduduk sekitar, Surya Yudha mengetahui jika di kota ini ada beberapa penginapan. Ki Arya Saloka kemudian mengajak Surya Yudha menuju ke penginapan terdekat dari mereka saat ini.Waj
Di kota batu ceper, beberapa gadis sedang membicarakan seorang pemuda yang datang bersama dengan pria paruh baya. "Pemuda itu sangat tampan, tapi sayang, dia tampak terluka.""Kau benar, sangat malang nasibnya.""Kau lihat, walau wajahnya pucat dan tampak tak sehat, tetapi dia terlihat begitu gagah dengan aura yang mengesankan. Asal dia bukan dari kalangan penjahat, aku mau menikahinya.""Aku akan jadi yang pertama.""Jika kau yang pertama, maka aku akan menjadi yang kedua.""Aku ketiga,"..."Aku yang ke dua belas,"Mendengar yang terakhir, semuanya terdiam sesaat sebelum tertawa terbahak-bahak bersama.Seorang gadis dengan baju berwarna kuning daffodil sedang berjalan bersama dua punggawa, merasa penasaran dengan obrolan para teman-temannya."Hei ... apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa kalian tak mengajaku juga?"Seorang gadis yang melihat kedatangan gadis itu buru-buru bangkit dan mendekatinya."Ningrum, kau sudah kembali?"Gadis yang dipanggil Ningrum mengangguk pelan, ken