Ki Anwar dengan cepat menyalurkan hawa murni ke tubuh Surya Yudha. Sementara Dewi Mayangsari telah dipindahkan untuk mendapatkan perawatan juga, karena sebelumnya Dewi Mayangsari hilang kesadaran setelah menyalurkan tenaga dalamnya pada Surya Yudha.
"Panggilkan beberapa perwira untuk membantu menyalurkan hawa murni," perintah Ki Anwar kepada Tole, salah satu muridnya.
"Baik, Guru!" Pemuda itu membungkuk hormat lalu pergi meninggalkan balai pengobatan menuju barak prajurit yang berada di sebelah selatan.
Di lain sisi, Surya Yudha merasakan jika dirinya sedang berada di tempat yang sangat asing.
"Di ... di mana aku? Apa aku sudah mati?" Tempat Surya Yudha kini berada adalah dimensi kosong yang berwarna putih sepenuhnya. Tidak ada apa pun di sana kecuali Surya Yudha.
"Jika aku mati, seharusnya alam sebrang tidak seperti ini," gumam Surya Yudha. Tiba-tiba pemuda itu teringat dengan kondisi tubuhnya yang terluka parah. "Sembuh? Bagaimana mungkin?" ucap Surya Yudha saat menggerayangi tubuhnya yang bersih tanpa luka.
"Apa aku benar-benar sudah mati?" Ketika Surya Yudha merasakan hal aneh terjadi pada tubuhnya, pemuda itu melihat setitik cahaya yang memancar dari ujung tempat itu.
"Mungkinkah itu jalan keluar? Aku harus ke sana memastikannya."
Surya Yudha berjalan menuju titik cahaya yang berada di ujung tempat itu. Dia mempercepat langkahnya karena melihat titik itu mengecil.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak sampai juga?" Surya Yudha tak habis pikir, secepat apa pun dia berlari, dan sejauh apa pun jarak yang ia tempuh, nyatanya pemuda itu tak sampai juga di tempat tujuan.
"Kamu tidak akan bisa keluar dari tempat ini, anak muda!" Terdengar suara entah dari mana asalnya. Suara parau seperti lelaki tua yang sudah bau tanah.
"Siapa kamu?!" tanya Surya Yudha setengah berteriak. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tetapi tidak menjumpai siapa pun di sana.
"Kamu tidak perlu tahu siapa aku." Suara itu terdengar kembali. "Kamu tidak bisa keluar dari tempat ini!" lanjutnya.
Suasana di tempat itu berubah menjadi lebih dingin. Semuanya yang berwarna putih mulai berubah, menjadi balai pengobatan tempat Surya Yudha dirawat.
Surya Yudha juga dapat melihat sosok yang sama seperti dirinya terbaring tak berdaya dengan luka di sekujur tubuhnya. Pemuda itu juga mendengar ucapan Ki Anwar bahwa dirinya telah mati.
Setelah itu, Surya Yudha melihat Dewi Mayangsari menyarlurkan tenaga dalamnya hingga menyebabkan sebuah petir menyambar tubuhnya.
"Ibu!" Melihat Dewi Mayangsari jatuh tak sadarkan diri, Surya Yudha mencoba menolong ibunya. Namun, ketika Surya Yudha mencoba untuk menyentuh Dewi Mayangsari, tangannya menembus tubuh sang ibu.
"Apa yang terjadi? Ibu!"
Penglihatan Surya Yudha menggelap, kepalanya terasa seperti mau pecah, dan rasa sakit yang telah hilang kini kembali lagi. Perlahan Surya Yudha membuka matanya.
"Argh ...."
Walau terlihat samar-samar, Surya Yudha yakin jika Ki Anwar sedang tersenyum kepadanya.
Surya Yudha kembali mengingat Dewi Mayangsari yang pingsan setelah menyalurkan tenaga dalam pada dirinya. "Ibu... di mana ibu?" tanya Surya Yudha cemas.
"Ibumu ada di ruang sebelah," jawab Ki Anwar. "Sepertinya ibumu kelelahan. Biarkan dia beristirahat."
Surya Yudha mengangguk paham.
"Bagaimana dengan Pangeran Abimanyu?" tanya Surya Yudha saat mengingat orang yang dikawalnya itu.
"Pangeran Abimanyu baik-baik saja, kamu tidak usah khawatir, tabib kepala sudah memberikan yang terbaik padanya."
"Syukurlah jika begitu." Surya Yudha mengembuskan napas perlahan.
"Ki, aku sangat lelah." Ki Anwar mengangguk dan meminta Surya Yudha untuk beristirahat.
Ki Anwar tersenyum dan membatin. 'Pemuda yang hebat. Sepertinya rumor tentang dirinya yang diberkati Dewa Matahari benar adanya.'
***
Di ujung utara Kerajaan Nara Artha, tepatnya di desa Pengadegan, terlihat seekor burung merpati bertengger di jendela rumah seorang warga.
"Surat dari kerajaan?" gumam orang itu saat melihat cap kerajaan di sayap merpati itu.
Orang tersebut mengambil surat yang terlilit di kaki burung dan kembali melepas merpati itu. Penjaga itu bergegas menemui pemilik runah untuk memberikan surat tersebut.
"Ki Arya, ada surat dari kerajaan." Seseorang yang dipanggil Ki Arya langsung mengerutkan kening saat mendapat berita itu. Diterimanya surat itu dengan rasa penasaran yang menggelayuti pikiran.
"Terima kasih," ucap Ki Arya Saloka.
Rasa cemas yang mendadak muncul membuat Ki Arya Saloka bergegas membuat surat itu.
'Surya Yudha terluka?'
Ki Arya Saloka bergegas ke ruang penyimpanan dan mengambil berbagai macam ramuan berharga lalu memasukannya ke dalam cincin penyimpanan.
"Jika bocah itu hanya mengalami luka ringan, Mayang tidak akan memberitahukan hal ini padaku," gumam Ki Arya Saloka. "Gendon!"
Seorang penjaga yang tadi memberikan surat pada Ki Arya Saloka tergopoh-gopoh menghampiri pria tua itu. "Iya, Ki."
"Aku harus ke Arta Jaya. Jaga tempat ini baik-baik."
"Arta Jaya? Maksud Ki Arya ibukota Nara Artha?" tanya Gendon kebingungan.
"Iya. Cucuku terluka dan memerlukan bantuanku. Aku harus segera pergi." Tanpa menunggu jawaban dari Gendon, Ki Arya Saloka pergi meninggalkan desa pengadegan, menuju Arta Jaya.
Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Ki Arya Saloka melesat dengan cepat ke arah selatan. Setelah menempuh setengah hari perjalanan, akhirnya Ki Arya Saloka sampai di Arta Jaya.
"Salam Ki Arya Saloka," sapa Ki Anwar saat melihat kedatangan Ki Arya Saloka di Balai pengobatan.
"Di mana cucuku?"
"Surya Yudha ada di dalam, Ki Arya." Ki Arya Saloka mengangguk dan masuk ke balai pengobatan bersama Ki Anwar. Hal yang pertama kali Ki Arya Saloka lihat adalah, Surya Yudha tengah terbaring tak sadarkan diri dengan beberapa prajurit menemaninya. Jika dari zirah perak yang mereka pakai, seharusnya mereka merupakan perwira kerajaan Nara Artha.
"Ki Arya," orang-orang yang sedang menyalurkan hawa murni kepada Surya Yudha berhenti dan memberi salam kepada Ki Arya Saloka.
"Kalian sudah bekerja keras, terima kasih. Aku pasti akan mengingat budi baik kalian hari ini."
Ki Arya Saloka telah datang, kini saatnya orang-orang itu pergi.
"Kami mohon diri, Ki Arya." Ki Arya Saloka mengangguk mengizinkan.
Setelah para perwira itu pergi, Ki Arya Saloka mengeluarkan banyak tanaman herbal, ramuan dan juga pil berkhasiat dari cincin penyimpanannya.
Melihat kondisi cucunya begitu lemah, Ki Arya Saloka mengambil tanaman ilalang emas untuk memulihkan tenaga dalam cucunya.
Senyum terukir di wajah Ki Arya Saloka ketika membayangkan cucunya menjadi begitu kuat saat bangun. "Saat terbangun nanti, kamu pasti terkejut."
Akar ilalang emas yang sudah dibakar dan ditumbuk oleh Ki Arya Saloka diberi sedikit nira aren serta air pahatan burus. Dengan hati-hati Ki Arya Saloka meminumkan ramuan itu kepada Surya Yudha.
"Uhuk!"
Kening Ki Arya Saloka berkerut saat Surya Yudha menyemburkan darah. Tak hanya itu, tubuh Surya Yudha menegang hingga urat lehernya menonjol keluar. Seluruh permukaan kulit Surya Yudha berwarna merah seperti pembuluh darahnya pecah.
"Apa yang terjadi?"
Rasa cemas Ki Arya Saloka semakin menggila ketika mendengar raungan kesakitan dari cucunya.
"Aargh ...!"
Bab 92Ketika matahari mulai terbenam, Surya Yudha bersama dengan Banyulingga dan Gendon pergi ke markas Harimau Besi. Persis seperti kabar yang beredar, malam itu markas harimau besi begitu ramai. Ada banyak sekali orang yang datang ke tempat tersebut.“Den Bagus, kita mau gimana?” tanya Gendon. Surya Yudha tidak mengatakan apa pun sebelum pergi ke tempat ini.Surya Yudha meletakkan jari telunjuknya di bibir. “Jangan berisik.”Pemuda itu lantas menunjuk sebuah tembok yang berada di sisi timur. “Itu adalah tempat paling dekat dengan tempat para budak itu disekap.”Gendon mengangguk mengerti. “Den Bagus jaga di sini saja, biar Gendon yang masuk dan bawa para budak keluar.”Surya Yudha menggeleng. Dia sudah punya rencana sendiri. “Kau membawa arak, kan?”Gendon menggaruk lehernya yang tidak gatal. Ingin rasanya dia menggali lubang dan bersembunyi di dalamnya.“Keluarkan beberapa guci arak terbaik, juga beberapa harta benda.”“Tapi Den …” Wajah Gendon menunjukkan ekspresi keberatan. “Di
Bab 91Setelah diskusi panjang nan alot, akhirnya Surya Yudha berhasil meyakinkan Mahasura dan lainnya. Ketika dirinya terdesak karena tiga orang itu, suara Baiji tiba-tiba beresonansi di kepalanya.[Asal menggunakan tombak yang kau dapatkan kemarin, tubuhmu akan baik-baik saja. Kau kelelahan karena tidak bisa mengeluarkan sumber energi dengan baik sehingga menyerang dirimu sendiri. Aku akan melatihmu mengendalikannya.]Mereka berempat kembali ke penginapan dan mendapati Candrika yang menyambut mereka dengan kemarahan. “Apa tidak cukup kalian membuatku gelisah semalam?”“Waduh … Gendon ngga ikut-ikut kalau begini.” Gendon segera berbalik dan melarikan diri. Musuh sekuat apa pun bisa dia hadapi, tetapi jika makhluk dengan jenis wanita, dia tidak pernah yakin bisa menghadapi mereka.Banyulingga yang tidak ingin mendapat masalah juga pergi. “Aku lupa meninggalkan arak yang sudah aku beli. Akan akan segera kembali.”Tersisa Surya Yudha dan Mahasura yang berdiri dengan gugup. Meski usianya
Bab 90Surya Yudha merasakan seluruh tubuhnya dipenuhi dengan rasa sakit. Pemuda itu membuka matanya perlahan, untuk saat ini penglihatannya sedikit buram. Namun, setelah mengerjapkan mata beberapa kali, akhirnya dia bisa melihat dengan jelas. Ingatan terakhirnya adalah pertarungannya melawan beruang jambul api yang dia menangkan sebelum jatuh pingsan.“Tuan Muda….”Suara lembut yang familier di telinga Surya Yudha menyiratkan kekhawatiran. Surya Yudha menoleh dan melihat Candrika yang duduk di sampingnya dengan wajah cemas. “Candrika? Ini … apa aku sudah di penginapan?”Ekspresi Candrika berubah begitu cepat. Gadis itu terlihat tak senang dengan Surya Yudha. Dengan marah dia berkata, “Kau berjanji akan baik-baik saja, tapi baru pergi dua hari malah pulang seperti ini.”Surya Yudha menghela napas pelan. Akhirnya dia mengerti dengan kecemasan gadis itu. “Aku baik-baik saja,” Pemuda itu mengedarkan pandangannya, mencari rekan-rekannya. “ Di mana Gendon dan Lingga?”Pemuda itu menyadar
Bab 89Ketika matahari mulai tinggi, Surya Yudha meninggalkan lembah sunyi bersama Gendon dan Banyulingga. Seperti yang Banyulingga katakan sebelumnya, melakukan perjalanan di lembah sunyi pada siang hari sedikit lebih mudah dibandingkan jika melakukannya pada malam hari. Tak butuh waktu lama hingga mereka bisa meninggalkan lembah Sunyi.Perjalanan terus dilakukan, beberapa kali mereka harus berhenti untuk istirahat dan memberi makan kuda.“Kita langsung ke sarang macan atau mau ketemu paman Mahasura dulu, Den?”“Kita pulang ke penginapan dulu. Besok malam baru beraksi.”Gendon mengangguk paham. Pemuda bertubuh gempal itu sedang membakar ayam hutan buruannya beberapa waktu lalu. Aroma harum yang menyebar ke segala arah menarik perhatian, tidak hanya manusia tetapi juga hewan lainnya.“Kita kedatangan tamu.” Tanpa menoleh sedikit pun, Surya Yudha sudah menyadari kedatangan mereka. Pemuda itu menghela napas panjang sebelum bangkit dan menatap ke sebuah arah. Semak-semak mulai bergetar
Pendekar Tombak Matahari bab 88[Tunjukkan padanya jika kau memiliki sesuatu yang istimewa!]Suara Bai Ji kembali menggea di pikiran Surya Yudha. Dia mengerutkan kening untuk sesaat, dan kembali seperti semula ketika menyadari jika Rangga Geni mungkin akan mencurigai perubahan ekspresinya.Istimewa apanya? Aku hanya pemuda yang kehilangan tenaga dalam. Selain latar belakang keluargaku, tidak ada lagi yang istimewa.Suara dengusan muncul dalam pikiran Surya Yudha.Apakah kepingan jiwa dari alam lain yang mendiami pikirannya juga bisa mendengus? [surya, aku bisa mendengar semua yang ada dalam pikiranmu dengan jelas. SEMUANYA!]Surya Yudha berdehem. Dia lantas membatin.Lalu bagaimana aku menunjukkan keistimewaan? Aku bahkan tidak tahu apa yang aku miliki sehingga membuatku menjadi istimewa.[Buatlah tungku energi dari sumber energi yang kau miliki.]Sebelumnya Surya Yudha sudah pernah mendengar tentang tungku pembakaran yang dipakai oleh para pande besi. Namun, selama hidupnya, dia tida
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo