Malam ini puncak Gunung Agni sepi, tidak seperti biasanya di mana tempat itu akan selalu ramai oleh para anggotanya. Lentera-lentera telah padam, hawa panas yang terpancar dari kawah Agni sedikit mereda, tergantikan oleh semilir angin yang terasa hangat ketika menyapu kulit.Salah satu pondok di Puncak Gunung Agni masih terang dengan suara raungan yang terdengar samar. "Ndaru, lihatlah, luka ini melepuh dan mulai menjalar kemana-mana."Pemuda yang sedang bermeditasi di sudut ruangan membuka matanya perlahan, wajahnya tampak pucat, pandangannya terkunci pada sosok yang baru saja berbicara padanya. "Obat yang aku berikan tidak mempan?" tanya Ndaru dengan suara lemah. Di ruangan ini, sejujurnya dialah yang terluka paling parah akibat pertempurannya dengan Gendon. "Obat yang kau berikan hanya mengurangi rasa terbakarnya, tetapi tidak menghentikan penyebaran racunnya. Jika seperti ini terus, mereka akan mati kesakitan saat matahari tenggelam esok hari."Ndaru mengangguk, paham dengan ko
Satu mimggu berlalu dengan cepat. Hari ini adalah hari di mana pendaftaran masuk padepokan Raga Geni dibuka. Fajar menyingsing di langit timur, udara mulai memanas. Surya Yudha keluar dari bak mandi lalu segera berpakaian. Setelah memakan kudapan yang diberikan pihak penginapan, Surya Yudha meninggalkan tempat tersebut, menuju Gunung Agni. Meskipun hari belum terlalu siang, tetapi udara sudah sangat menyengat. "Sudah seminggu aku di tempat ini, tetapi tubuhku belum juga terbiasa."Surya Yudha terus mengayunkan kakinya menuju Gunung Agni. Menurut informasi yang kemarin dia dapat dari penginapan, ujian masuk padepokan Raga Geni biasanya dilakukan saat senja hingga malam hari. Karena ujian ini dibuka setiap bulan, hanya ada belasan orang yang akan mengikuti ujian ini setiap bulannya. Namun, ada waktu-waktu tertentu di mana ujian akbar dibuka dan menerima puluhan murid sekaligus. Tapi sayang, ujian akbar baru dibuka dua tahun lalu, jadi untuk menunggu ujian akbar selanjutnya, masih h
Ketika matahari mulai bergerak ke barat, Surya Yudha dan lainnya sudah sampai di Puncak Agni. Sebelum ini, mereka bertemu di mata air yang berada di puncak agni. Karena memiliki tujuan yang sama, mereka memutuskan untuk berjalan bersama. Ketika mereka sudah sampai, mereka segera pergi ke tempat pendaftaran yang berada di dekat gerbang utama. "Kalian bisa pergi ke tempat ujian saat ini juga karena ujian akan segera dilaksanakan." Seorang pria yang memakai seragam Padepokan Raga Geni berkata. Ujian dilakukan di ruang terbuka yang berada di samping kawah puncak Gunung Agni. Ada tiga tahapan ujian yang harus mereka lewati, yaitu ujian fisik, pengetahuan umum dan satu ujian rahasia yang akan diberikan oleh salah satu tetua. Di samping kawah Agni, terdapat dua puluh meja kecil yang disusun menjadi empat baris. Sudah ada beberapa meja yang telah terisi oleh peserta, Surya Yudha dan lainnya menempati meja yang masih kosong. Surya Yudha mengedarkan pandangannya, masih ada dua meja yang k
Semua orang di sana berdiri untuk menyambut kedatangan Ki Joko. Pria berjubah merah itu berjalan dengan langkah pelan mendekati mereka. "Mahaguru ...." Tetua Wangsa berkata dengan nada rendah, tetapi tersirat penghormatan mendalam di dalamnya. Ki Joko mengangguk, dengan suara rendahnya yang terdengar lantang dia bertanya. "Tetua Wangsa, kau sudah selesai?"Tetua Wangsa mengangguk, "Sudah mahaguru."Ki Joko mengangguk sekali, pandangannya beralih pada sekumpulan pemuda yang tampak basah kuyup oleh keringat. "Bawa mereka ke ruangan pribadiku." Setelah mengatakan kalimat tersebut, Ki Joko mengibaskan tangannya, membuat tubuhnya menghilang dari tempat tersebut. "Di mana mahaguru?" Para pemuda yang baru pertama kali melihat hal ini menjadi heboh. Mereka tidak pernah mengira jika kemampuan Mahaguru dari Padepokan Raga Geni sudah berada di tahap itu. Di tengah kehebohan tersebut, Tetua Wangsa berdehem dan menyadarkan semua orang akan kehadirannya di tempat itu. Orang-orang kembali memp
Sebuah cahaya kuning berpendar saat Surya Yudha menerima token tersebut. Tubuhnya terasa bergetar dan merasa sedikit limbung karena getaran tersebut. Ketika dia membuka matanya, Surya Yudha sudah berada di tempat lain. "Ini ... di mana ini?"Sebuah bangunan kecil yang cukup ramai, ada belasan hingga puluhan orang di tempat itu. Surya Yudha melihat seseorang yang duduk di sudut ruangan, sepertinya dia adalah penjaga di tempat ini. Surya Yudha berjalan menghampiri pria tersebut. "Paman,"Pria tersebut menoleh. "Ada apa?" Saat melihat penampilan Surya Yudha, pria tersebut mengelus kumisnya yang tebal. "Anak baru rupanya, berikan tokenmu!" Surya Yudha menyerahkan token berbentuk kotak itu kepada pria tersebut. Beberapa orang di sana melirik ke arah Surya Yudha, tetapi setelah beberapa saat mereka melanjutkan aktivitas seperti biasa. Setelah memeriksa token itu selama beberapa saat, pria itu mengembalikannya kepada Surya Yudha dan memberikan setumpuk pakaian kepadanya."Seragam ini
Bibir Surya Yudha berkedut, jantungnya berdebar kencang saat mendengar ucapan pemuda itu. Beberapa hari lalu, masih ada Gendon yang menyelamatkannya, tetapi untuk hari ini dan seterusnya, dia tidak memiliki pelindung lagi. Mungkin Sakra telah mengatakan jika dia bersedia melindungi dirinya. Namun, apakah Sakra mampu melakukannya?Dia sudah melihat bahkan merasakan sendiri kekuatan Ndaru. Namun, untuk Sakra, dia tidak memiliki gambaran sedikit pun tentang batas kemampuan pemuda itu. 'Ini adalah pilihanku, bagaimanapun, aku harus bisa menghadapinya sendiri.'Mengembuskan napas pelan, Surya Yudha maju selangkah membuat jarak antara dirinya dan pemuda itu semakin menipis. "Ndaru, entah dendam apa yang ada di antara kita, tetapi aku sangat penasaran kenapa kau sangat bernafsu membunuhku."Ndaru tampak menyeringai, "Dendam apa? Ini bukan masalah dendam, lebih tapatnya, HUTANG! Hutang nyawa dibayar nyawa!""Hutang nyawa? Aku tidak pernah membunuh orang-orangmu." Surya Yudha berusaha meny
Begitu sosok Ndaru menghilang, Sakra menarik tangan Surya Yudha, memandang wajah pemuda itu dengan lekat, bahkan tidak berkedip. Perasaan gugup mulai menyelimuti hatinya."Jadi ... jadi kau adalah anak Jendral? Apa kau adalah Surya Yudha, Putra Panglima besar Indra Yudha?""Apakah Jendral yang memiliki anak bernama Surya hanya Panglima besar Indra Yudha?" tanya Surya Yudha. Sakra berdehem, dia tidak memahami seluk beluk militer dengan baik. Bahkan, dia mengerti nama Surya Yudha adalah karena sepak terjang pemuda itu yang mengerikan. "Aku tidak tahu, pengetahuanku sempit, yang aku tahu hanya Jendral Indra Yudha yang memiliki putra bernama Surya."Surya Yudha menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sebenarnya tidak ingin membocorkan identitasnya, tetapi nyatanya Ndaru bermulut besar dan membuat beberapa orang mengetahuinya. Dia yakin, dalam beberapa jam semua orang di tempat ini akan tahu jika dia adalah anak Jendral Indra Yudha. "Hm ... aku sebenarnya tidak ingin mengatakannya, tet
Pagi-pagi sekali Surya Yudha sudah bangun, ini adalah hari pertamanya menjadi anggota Padepokan Raga Geni dan dia sangat bersemangat. Dia menoleh dan melihat Sakra masih terlelap di tempat tidur, Surya Yudha tidak memiliki niat untuk membangunkannya. Dia langsung pergi ke sumur untuk mandi. Dengan petunjuk beberapa orang, akhirnya Surya Yudha sampai di sumur. Meski disebut sumur, tetapi apa yang Surya Yudha lihat lebih cocok disebut kolam karena ukurannya sangat besar. Di sekitar tempat tersebut, tumbuh tanaman yang daunnya mirip seperti daun teh, tetapi Surya Yudha yakin jika ini bukanlah jenis teh yang bisa diminum. Sepertinya sengaja ditanam sebagai pagar keliling tempat itu. Wajah Surya Yudha bersinar saat membayangkan betapa segarnya mandi air dingin di tengah hawa panas yang melanda puncak gunung Agni. Dengan semangat dia melepas ikat kepalanya dan meraih batok kelapa yang biasa digunakan untuk menciduk air. Byur!"Arghhh!" Surya Yudha berjingkat ketika merasakan kepalany