Sekarang Ram Wenang Sendiri jadi sedikit percaya dengan cerita Kahinda yang menceritakan bahwa Kahayu ada sangkut pautnya dengan penculikan Raja Marpala. Tapi, dirinya masih harus membenahi beberapa hal sebelum membuat tindakan. Dia sekarang meminta pada Kahinda untuk menjadi Raja sementara sampai ayahnya benar-benar bisa ditemukan. Tapi, Kahinda menolak hal tersebut dan dia langsung memilih Ram Wenang untuk menjadi Raja sementara Kerajaan Marpala. Dan itu dia katakan sebagai titah langsung dihadapkan semua pasukan Kerajaan Yang tersisa.
"Tapi Kahinda, Kamu akan lebih aman disini. Dan tidak mungkin bagiku untuk membiarkan mu berkeliaran bebas" Ucap Ram Wenang jelas tidak ingin sampai keponakannya mendapatkan masalah. Kahinda tetap menolak apa yang diinginkan Ram Wenang, dan dia sendiri juga ingin pergi untuk menemui seseorang yang merupakan gurunya. Namun, Ram Wenang tetap menolak permintaan Kahinda dan dia sekarang meminta beberapa orang untuk menjaga kediaman Kahinda yang berada di sisi lain Kerajaan Marpala. Kahinda begitu tak mengerti dengan kekhawatiran pamannya, tapi dia sudah memutuskan untuk pergi malam ini juga. Bukan untuk mencari ayahnya yang jelas dia tidak tahu keberadaannya. Melainkan dia akan pergi ke tempat dimana ada seorang Guru sakti yang sudah mengajarkan ilmu kesaktian padanya. Dimalam hari, Kahinda masih menunggu kesempatan datang agar dirinya bisa melewati beberapa penjaga yang terus keluyuran di dekat kediamannya. Bahkan dia sedang menggerutu pada Ram Wenang. "Paman Ram Wenang terlalu berlebihan, Bahkan bukan hanya ada sepuluh penjaga disini. Melainkan ada sekitar 20 orang. Tapi, aku tetap akan pergi..." Ucap Kahinda masih menunggu kesempatan datang. Dia juga sempat berbicara dengan seseorang yang akan membantu dirinya keluar dari kediamannya. Walaupun sempat ada penolakan, Orang yang akan membantu Kahinda pergi sekarang sedang bersiap untuk melakukan sesuatu dengan bayaran setimpal. "Winggih, Ayolah lama sekali" lirih Kahinda sedang mengintip dari celah jendela. Sampai beberapa menit kemudian, Terjadi keributan di pelataran halaman istana. Dimana ada sekitar 30 sapi jantan dilepas di halaman istana. Bukan hanya itu saja, Dibeberapa pelataran halaman istana juga ada keributan lain, dimana seseorang melepaskan beberapa kuda milik Prajurit Ram Wenang. Malam itu sungguh kacau, sampai-sampai membuat beberapa penjaga di kediaman Kahinda harus ikut turun tangan. Dan kesempatan itu tidak akan disia-siakan Kahinda yang sekarang sudah membuat pingsan lima orang penjaga dengan sebuah pukulan di tengkuk lehernya. "Aduh apa aku terlalu keras?, Maaf ya" Dengan pakaian serba hitam, Kahinda juga menutupi kepala dan wajahnya dengan cadar dan kerudung hitam. Dia ingin menyamarkan diri di dalam kegelapan malam. Setelah lima hari perjalanan, Akhirnya kahinda sudah sampai di luar perbatasan Wilayah Kerajaan Marpala. Dia sekarang sedang menuju ke arah timur Wilayah yang disebut Pasir Getih. Sebuah dataran luas dengan tanah Merah, yang memiliki hutan Akasia di sebagian wilayah itu. Itu juga merupakan Wilayah kerajaan lain yang tidak terurus bahkan tidak ada yang menetap tinggal di situ. Kahinda sendiri juga sudah membeli Kuda dari penduduk desa di perbatasan wilayah kerajaan Marpala. Dia bisa keluar dari tempat tersebut, karena memang tidak ada penjagaan sama sekali. Terlebih dia melewati jalan yang memang tidak sering dilalui oleh orang lain. Jadi, sekarang dia lebih mudah untuk pergi dan tidak perlu Khawatir pamannya akan memerintah pasukan untuk mencari dirinya. "Semoga Winggih baik-baik saja. Dan Paman mengerti dengan keegoisan ku" lirih Kahinda memacu kudanya. "Hiya!" Tanpa sadar, perjalanan Kahinda untuk bertemu dengan Gurunya begitu panjang dan lama. Karena sekarang dirinya sendiri yang akan berkunjung. Tidak seperti sebelumnya, Kahinda lah yang sering dijemput untuk belajar ilmu kanuragan dengannya. Kahinda sendiri mengenal Gurunya karena sebuah kejadian di masalalu ketika masih remaja. Dia yang sedang ikut berburu dengan Ram Wenang tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seorang Guru sakti yang hampir mati karena kelaparan. Kahinda yang masih Remaja bertemu dengannya di hutan, ketika Ram Wenang dan beberapa orang sedang menjelajahi hutan. Kahinda yang jenuh didalam tenda memutuskan untuk pergi diam-diam sambil membawa makanan dan minuman. Tapi dia kemudian tersesat di hutan, Dia menangis begitu kencang. Dan saat tangisannya perlahan mengecil. Didepannya, dia melihat tubuh seseorang yang seperti sedang tertidur. Kahinda saat itu mencoba untuk memeriksa tubuhnya dan seketika terkejut melihat Tubuhnya yang penuh dengan luka. Saat itu, Orang itu terus meminta air dan makanan pada Kahinda. Kahinda yang merasa iba pun tanpa curiga langsung memberikan makanan dan minumannya. Sebagai balapan atas kebaikan Kahinda, orang tersebut lalu memberikan Kahinda sebuah bandul kalung berwarna merah. Dan itu adalah hadiah pertemuan dan pengikat dirinya dengan seorang Guru sakti. Dan saat ini, Kahinda sudah sampai di sebuah wilayah aliran sungai, Dia melompat ke beberapa bebatuan besar menuju ke air terjun disisi atas. "Guru, Aku datang untuk menjenguk mu" "Guru, Dimana kamu" Teriak Kahinda lantang dan terus memanggil seseorang. Kahinda sendiri sampai sekarang belum mengetahui nama aslinya, dan hanya menyebut orang itu Guru. Dan Bagaimana pun, Orang itu lah yang melatih Kahinda sejak usia Remaja. "Guru, Kamu beneran tinggal disini?" tanya Kahinda merasa dibohongi sekarang. "Guru, Apakah kamu sedang Kebelet?" Teriak Kahinda masih juga belum mendapatkan balasan. Padahal dia sudah bersusah payah datang ke tempat itu sendirian. "Gu.." "Berisik sekali Kamu. Aku sudah berada di belakang mu sedari tadi, Bodoh" Ucap suara pria berusia 52 tahun sedang membawa Botol air yang terbuat dari Bambu yang diikat dengan serabut kelapa yang dianyam. Kahinda yang jelas mengenal suara pelan Pria tua itu langsung mencoba untuk menoleh kebelakang. Tapi dia tidak melihatnya, sampai sebuah pukulan pelan dipundak membuat Kahinda terkejut. "Wayo.." ucap pria tua mengejutkan Kahinda. "Guru, Kau sudah tua sekarang" ucap Kahinda senang Akhirnya dia bisa bertemu dengan seorang yang dia panggil Guru. "Aku ya memang sudah tua, Apa kamu mau mengejekku yang tua ini? dan datang cuma mau melihat wajahku yang tua?" Ucap pria tua itu tersenyum. "Haha, Maaf Guru. Aku cuma senang melihat Guru baik-baik saja dan masih sehat" Ucap Kahinda siap menutup telinga ketika Pria tua itu mau berbicara. "Oh, Kamu mengira aku sakit-sakitan? Dan kamu kesini cuma untuk mengatakan kalau aku sehat?" Ucap pria tua itu sembari memberikan Kahinda botol bambu yang berisi air Nira. "Nah, Minumlah. Aku baru mengambilnya" Ucap Pria tua itu yang kemudian melompat ke arah bebatuan di tengah kubangan air terjun. "Kahinda, Ikuti aku" "Baik Guru" ucap Kahinda yang kemudian juga ikut melompat ke beberapa bebatuan menuju ke tengah batu dikubangan air terjun. Sekarang keduanya langsung bediri sambil melihat Air terjun yang jatuh dengan derasnya. Dan tanpa berlama-lama, Pria tua itu seketika mengayunkan telapak tangan ke udara. Dengan sebuah pemanggilan, Dari telapak tangannya muncul sebuah pusaka berbetuk seperti tongkat. Dia lalu menyuruh Kahinda untuk berdiri di belakang tubuhnya Sambil terus memainkan tongkatnya. Dan hanya dengan sekali pukul, Kubangan air terjun dan Air yang terjatuh seketika terbelah dan langsung memperlihatkan sebuah pintu masuk di belakang air terjun tersebut. Kahinda masih begitu kagum melihat kesaktian Yang ditunjukkan oleh Gurunya dan berharap dia suatu saat nanti bisa mempelajarinya. "Nah, Ayo gunakan titian langit" Ajak pria tua itu yang langsung terbang masuk ke dalam Belahan air terjun. "Tunggu!, Guru" teriak Kahinda yang kemudian menyusul Gurunya dari belakang.Di belakang Mayapena bersaudara, kaliwu membuka mulutnya lebar-lebar ketika dia melihat ke arah keduanya. Dia melata pelan tanpa bersuara, tampak tubuhnya begitu elastis dengan Kepala mendongak ke bawah. Dia bukan ular kobra atau semacamnya, tapi dia mendirikan kepalanya seolah seperti tiang listrik. Dia memperlihatkan taringnya yang tajam sambil melirik ke arah Ragul. Dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan serangan. Bahkan kedua Mayapena bersaudara pun tak sadar jika dibelakang mereka muncul sosok Ular besar. "Kak, Dia begitu mulus. Sebelum kita menggunakannya. Aku ingin mandi kembang terlebih dulu." Ucapan itu keluar dari mulut Ragul yang sedang meremas kain baunya. "Haha, Itu lebih baik." Balas Ragil yang sedang mengikat Kahinda dengan tali yang belum terikat kuat dan mengencangkan–nya. "Aku sudah tak butuh ini" Ragil melemparkan kain bau ke belakang dan itu tepat masuk ke dalam mulut Kaliwu. Kahinda yang saat ini belum memberikan aba-aba, begitu terkejut ket
Ragul pun ikut melompat ke arah Kahinda. Dia sudah mempersiapkan dirinya untuk dijadikan pengalihan. Dia bersama Kakaknya, akan melakukan segala cara hanya untuk menangkap Kahinda, walaupun harus mempermalukan dirinya. Bagaimana pun, keduanya sudah sangat tergoda dengan kemolekan dan kecantikan Kahinda. Terlebih bagi Ragil sendiri, Kahinda adalah tipe wanita yang sempurna untuk dijadikan istrinya. Ragul hanya mengikuti keinginan Kakaknya, dia sekarang tertawa lebar ketika melihat Kahinda memperhatikan dirinya. Dia berdiri dengan begitu tegap dan berani. "Hey, Cantik lihat aku." Ucapnya sembari tertawa lepas, ketika dia memperlihatkan bulu ketiaknya. "Kalian berdua memang menjijikkan!" Bentak Kahinda seketika menerima tendangan Ragil di perutnya. Dia langsung terpental mundur ke belakang dan terjatuh ke sisi pinggir danau. Ragil dan Ragul kembali tertawa, ketika tahu Kahinda bisa dengan semudah itu dikalahkan. Ragul kemudian mengenakan pakaiannya kembali dan dia hanya ingin mempe
Ragil dan Ragul tak menyangka, Wanita didepannya begitu ahli dalam pertarungan. Keduanya pun mundur kebelakang ketika merasa pukulan palu mereka tidak membuat Kahinda menyerah. Bahkan keduanya sekarang begitu terkejut melihat Kahinda kembali membuat ejekan. "Dua lawan satu, Ayo kalian maju?!" tantang Kahinda membuat senyum cantik di depan mereka. Tampak bibir dan giginya telihat manis saat membuat senyum itu. Ragil kemudian meminta Adiknya untuk mundur dan berbisik beberapa hal. Dia ingin tahu apakah Kahinda memang sehebat itu, dan mampu membuat mereka mundur kebelakang. "Kau mengerti kan" tutur Ragil yang meminta Adiknya untuk melakukan sesuatu. "Malulah, Masa aku buka pakaian?" Ragul langsung dijitak Kakaknya yang memiliki Rencana dan siasat aneh. Kahinda terbengong beberapa saat, ketika dia melihat Ragil maju dan Ragul melangkah ke arah samping. Dia terus memperhatikan keduanya, "Apa yang kalian Rencana kan?" tanya Kahinda. Ragil hanya tersenyum sebelum dia pada akhirnya
"Haha, Aku sudah cukup lega sekarang. Wanita ini begitu mulus dan terasa Enak untuk digunakan." Tutur Sosok Botak berjanggut. Dia adalah Ragil Mayapena yang sedang mengikat seorang wanita cantik hasil tangkapannya. "Lain kali aku mau duluan Kakak, Aku juga mau merasakan Wanita yang masih Perawan." Ucap Ragul Mayapena sembari duduk dan memperhatikan Kakaknya yang sedang membenarkan celananya. "Tapi sayang, dia tak terlalu banyak menjerit. Padahal aku lebih suka Wanita yang melawan." Ucap Ragil Mayapena berjalan ke arah kudanya. Dan saat dirinya berbalik arah, dia langsung mendengar suara Ragul Mayapena yang terjatuh. "B–wah!" Ragul Mayapena tersungkur ke tanah ketika dirinya mendapatkan sebuah tendangan keras dari Kahinda. "Ragul!" teriak Ragil melihat ke arah seseorang Wanita yang berdiri di belakang Ragil. Ragul langsung bangkit, dan memperhatikan wanita di belakangnya. Dia langsung tersenyum melihat sosok Kahinda, "Kak, Bukankah dia Wanita di kedai." Ucap Ragul bangkit dan
Dua hari kemudian, Kahinda dan Wan Bin tengah mempersiapkan diri mereka untuk kembali memutar jalan. Mereka sedang menunggu Kaliwu menunjukkan kehebatannya. Di bantu Kahinda selaku majikannya, Kaliwu sedang memusatkan tenaga magisnya. Dari telapak tangan Kahinda, anting Kaliwu berkedip dan melata di tanah seperti ular kecil mainan. Ukurannya seperti sebatang rokok dan itu sangat kecil. Jika, di ibaratkan tubuh Kaliwu itu seperti tiga kecoa berjajar dan berbaris. Kahinda mencoba kembali pemanggilan bentuk besar ular Kaliwu. Dia berkonsentrasi penuh saat ini, dan ketika dua jarinya berada dan menempel di keningnya. Kahinda langsung menyalurkan tenaga Magis yang sudah dipelajari dari Kaliwu. Terlihat benang merah bersinar seperti cahaya laser langsung masuk ke dalam tubuh Kaliwu. Hanya sesaat, Kahinda melihat tubuh Kaliwu semakin membesar dan dia langsung mundur bersama Wan Bin. "W–argh!" Teriak Kaliwu menggema, sisik merahnya terlihat seperti lava berpijar ketika dirinya kembali k
Kahinda pun langsung menutup matanya, dan perlahan dia merasakan sensasi dingin di wajahnya. Dia benar-benar ketakutan ketika melihat taring tajam dan juga panjang hendak menusuk dirinya. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Wan Bin yang langsung di lilit ekor kaliwu. Dia tidak mampu bergerak ketika merasakan lilitan itu terus meremas tubuhnya. "Haha, Bagaimana ya rasanya daging manusia??" tanya Kaliwu mengarahkan ekor ke wajahnya sendiri. Dia ingin melihat tatapan ketakutan Wan Bin saat ini. "Apa kamu suka makan daging ular?." Saat ini Kaliwu hanya ingin membalikkan perkataan Wan Bin yang beberapa menit yang lalu tergiur dengan dagingnya. "Kaliwu, lepaskan Wan Bin!." Ucap Kahinda merasakan dan melihat ingatan kaliwu di dalam pikirannya. Kahinda tidak takut, hanya saja dia sedikit merasa pening ketika dirinya terhubung dengan Kaliwu. Walaupun hanya sesaat, Kahinda melihat gambaran wajah seseorang perempuan cantik yang merupakan Ratu ular. Sampai beberapa menit kemudian, Kaliwu lang