LOGINKandang kuda berbau jerami basah dan keringat hewan, sesekali riuh oleh ringkikan. Cahaya sore menembus celah papan, memantul di tumpukan jerami yang berhamburan.
Gaun sederhana Aveline sudah ternodai. Ia mengangkat sekop berisi kotoran, wajahnya bercahaya oleh peluh.“Kalau bukan karena kelicikan Sylvette, aku tak akan di sini,” gerutunya, menghantamkan isi sekop ke ember. “Seandainya aturan bangsawan tidak mengikat, sudah kujatuhkan dia di ring tinju.”Elowen terkekeh, mengusap pelipis dengan punggung tangan.“Aku bisa bayangkan wajahnya setelah satu pukulanmu. Tapi tenanglah… aku yang akan menyiapkan balasan. Sesuatu yang lebih manis daripada tinju.”Mata remaja itu berkilat, tinjunya mengepal.Aveline mendesah, meski bibirnya terangkat samar.“Kau… selalu lebih licik dariku.”Di atas tembok batu, Mocha duduk anggun, mengeong seolah ikut menimpali.“Lihat? Bahkan dia setuju,” kata Elowen, membuat keduanya tergelMatahari kian meninggi, panas menusuk kulit, membuat napas terasa berat. Waktu memilih sudah habis. Satu per satu mereka kembali ke depan, menenteng keranjang masing-masing. Barisan itu kini seperti para terdakwa yang menunggu vonis. Sylvette tampak letih, wajahnya merah padam karena terik, tapi bibirnya masih memaksa sebuah senyum anggun—palsu dan rapuh. Sebastian menatap keranjang Lady Vareen, Marcus, dan Lucianne. Marcus menegakkan bahu, suaranya penuh tantangan. “Anggur yang kupetik tentu kualitas terbaik.” Lady Vareen menyusul dengan nada dingin, halus namun menusuk. “Kau tak perlu meragukan darah Devereux, Sebastian.” Lucianne hanya tersenyum tipis, seolah senyumnya cukup untuk menutupi kebingungan yang tak ia pahami. Sebastian tidak menjawab. Ia berbalik, melangkah perlahan di sepanjang barisan. Suara sepatunya menghantam tanah kering, detak demi detak, membua
Bisik-bisik terdengar di antara sulur-sulur anggur. “Kalau kita mencicipinya sebutir saja, bolehkah? Supaya tahu mana yang manis,” bisik Finn, ragu-ragu, matanya sesekali menoleh ke keranjang di tangannya. “Jangan bodoh,” sahut Martha dari balik rumpun. “Kalau ketahuan, habislah kita. Ambil saja yang kelihatan bagus.” “Bagus belum tentu enak,” potong pelayan lainnya, suaranya lirih, takut tapi penasaran. Garrick tiba-tiba maju dengan dada membusung, langkahnya mantap di tanah lembap. “Ah, aku sudah bertahun-tahun mengangkat peti-peti anggur ke gudang Devereux. Mataku tahu mana yang terbaik.” Ia memetik tandan anggur ungu tua dengan percaya diri, seolah menantang siapa pun untuk meragukannya. Avelinne melangkah perlahan, jemarinya menyusuri daun-daun hijau. Setiap butir anggur yang ia sentuh diperik
Dapur kastil pagi itu riuh dengan bunyi panci beradu, pisau menebas sayur, dan suara pelayan saling bersahut. Asap tipis dari tungku menggulung, membawa aroma kaldu dan roti panggang. Tiba-tiba, pintu berderit keras. Garrick masuk terburu-buru, napas tersengal, wajahnya merah. “Hei! Hentikan apa yang kalian lakukan! Ikuti aku ke kebun anggur sekarang!” suaranya memecah kekacauan dapur. Martha menatapnya, mata terbelalak, pisau berhenti di udara. “Memetik anggur? Ini… ini bukan pekerjaan kita!” Garrick mencondongkan tubuh, menatap tiap pelayan dengan mata tajam. “Perintah Tuan Sebastian. Tidak ada yang menunda. Patuhilah… atau tanggung sendiri akibatnya.” Keranjang di tangan Elowen tergelincir, jatuh berdebam ke lantai. Gadis itu menatap ke arah Garrick, mata berbinar campur takut dan kagum. Nama itu
Bau jerami lembap dan kayu basah meruap di udara. Seekor kuda meringkik pelan, memecah keheningan malam. Elowen duduk di atas bal jerami, mulut sibuk mengunyah roti kering yang ia selundupkan dari dapur. Matanya berkilat nakal saat menceritakan kejailannya. “ Kau harusnya lihat wajah Sylvette tadi pagi… begitu kecoak itu muncul, dia melompat seperti anak kucing yang ekornya terjepit pintu! Aku hampir tersedak menahan tawa.” Avelinne ikut tertawa, bersandar pada dinding kayu yang dingin. “ Elowen, kalau sampai ketahuan, kau bukan cuma tidur di kandang. Bisa-bisa kau diusir lebih cepat dari yang kau kira.” Elowen hanya cengengesan, menggigit lagi rotinya. “ Ah, biarlah… seseorang harus membuat pesta ini sedikit lebih hidup. Lagi pula, Lucianne selalu muncul diam-diam, menutupi kekurangan Sylvette. Rasanya seperti dua serigala yang berbagi mangsa.” Kening Avelinne berkerut, sorot matanya menajam. “ Ya, mereka licik sekaligus rapi. Tidak heran satu per satu peserta lain tumban
Cahaya pucat menembus jendela tinggi, membelah kabut tipis fermentasi yang menggantung di udara. Debu dan uap alkohol berputar samar di antara deretan drum kayu. Bau anggur masam bercampur kelembapan lantai basah, menekan dada seperti beban tak kasat mata. Langkah Sebastian berderap masuk, bukan menuju kantor, melainkan ruang laboratorium kecil di ujung gudang—tempat sampel anggur diuji sebelum resmi menyandang nama Devereux. Osrich sudah menunggunya dengan clipboard di tangan. “Selamat pagi, Tuan.” “Pagi. Kau sudah kerjakan semua yang kuperintahkan kemarin?” “Ya, Tuan. Ini hasilnya.” Sebastian menerima laporan itu. Angka-angka tercetak rapi, namun setiap baris seperti duri menusuk matanya. Ia menghela napas berat. “Persis… seperti yang dikatakan gadis itu,” bisiknya, lebih mirip pengakuan pada dirinya sendiri. Osrich menambahkan, suaranya rendah:
Malam menyelimuti atap kastil Devereux, jendela-jendela besar menjulang seolah mata curiga yang mengawasi siapa pun yang melintas. Di ruang makan utama, denting sendok dan garpu terdengar nyaring, memecah keheningan megah. Para gadis peserta sayembara menunduk anggun, menikmati hidangan mereka dengan khidmat. Namun jelas, sebagian besar hanya menjadi hiasan di panggung permainan keluarga Devereux. Di sisi meja utama, Lady Vareen duduk tegak, ditemani Marcus, Lucianne, dan Sylvette yang mendapat kursi dekat keluarga inti—sebuah penegasan halus akan posisinya yang istimewa. Lady Vareen perlahan meletakkan tangannya di meja. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di hadapannya. “Marcus, di mana Sebastian? Mengapa dia tidak hadir?” Marcus mengangkat kepala, bibirnya melengkung tipis. “Mungkin ia sedang tidur bersama botol-botol anggur di gudangnya,” jawabnya, nada sinis seolah mengejek kakaknya sendiri. Lucianne menoleh sekilas pada suaminya, lalu kembali pada piringny







