Hai hai hai.... Author mau mengucapkan terima kasih juga buat yang sudah menyumbangkan gemnya. Ini sangat berarti bagi perkembangan novel ini. karena semakin banyak gem yang diberikan, semakin besar peluang novel ini untuk berada di peringkat pilihan pembaca. Jangan lupa juga berikan ulasan yang positif dan rate bintang lima biar bintangnya tidak lagi redup.
Helena menarik napas lebih panjang dari sebelumnya lalu mengembuskannya perlahan. Tangannya yang terletak di atas meja sedikit gemetar, namun dia berusaha menyembunyikannya dengan menggenggam serbet. Meski wajahnya masih terlihat pucat, dia masih mencoba tersenyum.“Jangan menebak berlebihan. Suamiku sebelumnya memang meninggal karena kecelakaan.” Helena beralih pada Adam, matanya mencari dukungan. “Maaf, sebelumnya aku tidak pernah menceritakannya padamu. Itu adalah saat terburuk dalam hidupku. Aku tidak ingin mengingatnya.” Suaranya bergetar sedikit di akhir kalimat. “Tapi tidak ada yang lainnya. Kurasa Anna terlalu banyak berpikir.”Anna mengutuk dalam hati. Dia memperhatikan bagaimana bahu Helena menegang dan cara wanita itu menghindari kontak mata langsung dengannya.Wanita ini sangat pandai berdalih. Dari ekspresinya tadi, Anna memiliki firasat bahwa tebakannya benar. Setidaknya cukup dekat dengan kebenaran. Ekspresi singkat yang melintas di wajah tidak pernah bohong, dan Helena
Helena merasa makanan yang dikunyahnya tiba-tiba menjadi hambar. Tangannya berhenti di udara, sumpit yang dipegang hampir terjatuh. Mulai lagi. Kekhawatiran Adam terbukti. Dia sudah menduga Anna tidak akan diam saja. “Kenapa?” Anna melihat dua orang itu bergantian dari wajah ke wajah dengan ekspresi polos yang menjengkelkan. Lanjutnya, “Apa kalian tidak berencana menikah? Bukankah nantinya aku harus memanggil Helena sebagai nenek.” Itu benar. Aku tidak keberatan. Tapi bukan itu masalahnya. Adam mengambil segelas air dan meminumnya hingga habis demi menenangkan diri. Tenggorokannya terasa kering sekali. Helena di seberang sana juga tampak kesulitan menelan. Dia meminum air dari gelasnya sedikit sambil berusaha mencerna situasi. Dia merasa sangat tua dengan panggilan nenek. Hanya itu. Selebihnya tidak ada yang salah. Tapi kenapa rasanya seperti ada yang mengganjal? “Untuk saat ini kau bisa memanggilku Helena saja. Untuk ke depan, kita lihat saja nanti.” Helena menjawab dengan ten
Pintu kaca berat dengan ukiran naga emas terbuka perlahan, menyambut Anna dan Adam dengan hembusan udara sejuk yang tercampur aroma khas rempah Asia. Seorang pelayan berbalut cheongsam sutra biru tua membungkuk sopan, suaranya lembut menyapa para tamu yang datang.“Selamat datang di Jade Palace.”Langkah kaki mereka diredam karpet Persia tebal saat melewati deretan meja yang diterangi cahaya lentera merah. Interior restoran dipenuhi dengan ukiran kayu gelap dan vas porselin biru putih yang elegan. Suara gemericik air dari air mancur kecil di sudut ruangan berpadu dengan alunan musik tradisional yang lembut.Anna datang dengan dress putih selutut yang sederhana dan rambut yang dikuncir, membuatnya tampak sangat muda dan cantik. Gadis itu mulai masuk restoran sudah menggelantung di lengan Adam, menciptakan bisik-bisik sepanjang jalan yang dilewatinya.“Lihat gadis muda itu. Tidak tahu malu, berkencan dengan seorang pria tua.”“Yah, mengandalkan kecantikan untuk mendapatkan uang.”“Sayan
Perjalanan menuju tempat pertemuan berlangsung dalam suasana yang tegang. Adam duduk di kursi belakang dengan wajah cemberut, menatap keluar jendela tanpa minat. Lengannya terlipat erat di dada, bahunya tegang menunjukkan betapa kesalnya dia. Setiap beberapa menit dia menghela napas panjang, seperti sedang menyiapkan mental untuk menghadapi bencana yang akan datang. Anna duduk di sebelahnya dengan semangat yang sangat berlawanan. Gadis itu tidak bisa diam, matanya berkeliling mengamati pemandangan di luar sambil sesekali mencoba mengajak Adam berbicara. Tangannya sesekali bergerak-gerak menunjuk sesuatu di luar mobil, seolah-olah mereka sedang dalam perjalanan wisata yang menyenangkan. “Kakek, kita akan ketemu Helena di mana?” Anna bertanya dengan nada penasaran sambil menoleh pada Adam dengan mata berbinar. Adam hanya menggumam tidak jelas tanpa menoleh. Rahangnya mengeras, tanda bahwa kesabarannya sudah hampir habis. “Ini akan menjadi kejutan yang menyenangkan baginya.” Anna mela
Anna tiba-tiba teringat malam ketika mereka pergi ke taman hiburan. Dia merasa sangat bodoh karena berpikir bisa mengelabui Felix. Tapi dia tidak ingin memikirkannya saat ini.“Jadi, bagaimana Helena ini? Apa kau sudah menyelidikinya? Aku merasa dia mencoba memanfaatkan kakek.” Anna mendekatkan dirinya pada Felix dan merendahkan suaranya, seperti takut didengar orang.“Bukankah semua wanita sama saja? Mereka yang mendekati keluarga Harrington hanya ingin mengambil manfaat.” Felix melanjutkan langkahnya yang pergi ke kamar tidur.Anna buru-buru mengikuti di belakang pria itu.“Wu wu wu, sebentar. Jangan katakan semua wanita. Aku tidak termasuk di antaranya. Sebaliknya, kaulah yang mengambil keuntungan.” Anna segera protes. “Aku terpaksa menikah denganmu hanya demi menenangkan kakek. Jangan bilang tidak. Aku tidak bodoh.”“Kalau begitu, kau tidak pandai menghitung.” Felix mempercepat langkahnya. “Kau mendapat status sebagai nyonya Harrington dan semua fasilitas. Sementara aku, aku tida
Adam menatap Anna dengan pandangan putus asa. Gadis itu berdiri di depannya dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa dia tidak akan mundur dari keinginannya. Lengan Anna terlipat di dada, dagu terangkat dengan penuh tekad. Pria tua itu menghela napas panjang, otaknya bekerja keras mencari jalan keluar dari dilema ini.Keheningan mengisi ruangan selama beberapa saat. Adam memijit pelipisnya yang mulai terasa sakit. Dia sudah terlalu tua untuk menghadapi pertengkaran seperti ini, apalagi dengan menantu yang keras kepala.“Baiklah,” Adam akhirnya berkata dengan nada menyerah. Pundaknya merosot, tanda bahwa dia telah kalah dalam pertarungan ini. “Apa yang kau inginkan?”Anna menaikkan alis, tidak mengerti dengan pertanyaan kakek mertuanya. Ekspresinya berubah bingung. “Maksudmu?”“Sesuatu yang kau inginkan selain pergi denganku. Sebutkan saja.” Adam berjalan menuju meja nakas di samping tempat tidurnya dengan langkah berat. Dia membuka laci dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna emas. Kartu