Anna Sawyer menjadi saksi mata sebuah pembunuhan yang dilakukan seorang bos mafia, Felix Harrington. Dia diberi sebuah pilihan, pernikahan atau kematian.
View MoreAnna Sawyer baru saja menyelesaikan shift malamnya. Dia bergegas memasuki mulut sebuah gang untuk mengambil jalan pintas saat menyaksikan seorang pria dengan setelan jas berdiri di bawah lampu jalan. Tangan si pria terangkat lurus ke depan dengan senjata di genggaman.
“Tuan, tolong....” Seseorang yang menjadi sasaran tembak berkata dengan suara tercekat. Dia melangkah mundur dengan lutut gemetar. Pria dengan senjata memiliki wajah tanpa ekspresi. “Aku tidak pernah mengampuni siapa pun yang berkhianat, Max. Dan hanya kematian yang bisa memuaskanku.” Dengan berakhirnya kata-kata itu, tiba-tiba tubuh pria di depan sana tersentak dan jatuh ke belakang. Tidak ada suara ledakan. Itu adalah senjata dengan peredam suara. Lutut Anna langsung lemas. Matanya terbelalak pada pemandangan berdarah itu. Untuk sejenak dia tidak mempercayai penglihatannya. Ini bukan sungguhan, kan? Mungkin sedang ada syuting film. Tapi dia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan kru lain. Dia mundur dua langkah. Jantungnya mulai berdetak lebih kencang. Ini sepertinya benar-benar nyata. Lari! Suara di kepala Anna berteriak memperingatkan. Anna bersiap pergi secepat dia bisa dari sana. Tapi kakinya tersandung sebuah kaleng sialan. “Trang!” Jantungnya terasa seperti melompat keluar. Anna mengangkat pandangan ke depan dan melihat si pria dengan senjata menoleh ke arahnya. “Sialan!” desisnya panik. Mungkin ini adalah hari kematiannya. “Siapa di sana?!” Si penembak berseru. Tidak terlalu nyaring, tapi cukup membuat Anna kehilangan kekuatan untuk lari. Baiklah, tidak masalah kalau dia akan mati hari ini. Terima kasih, Tuhan. Barangkali saja kelak dia akan dianugerahi surga. Anna mengingat beberapa hal yang mungkin bisa dianggap kebaikan yang pernah dilakukannya. Mungkin Tuhan kasihan padanya dan merindukan untuk bertemu dengannya. Berpikir seperti itu tidak cukup menguatkannya. Dia memejamkan mata sebentar, menarik napas, lalu membuka matanya. Bibirnya segera mengukir sebuah senyum bodoh. “Hallo, aku baru saja ingin lewat. Aku tidak melihat apa-apa.” Anna mengangkat dua jarinya ke udara. “Sumpah.” Ada keheningan yang menegangkan di udara. Tapi itu hanya sesaat. Pria penembak yang bertubuh tinggi berjalan mendekat. Ekspresinya dingin seperti gunung salju abadi. Tapi hanya dengan melihat matanya, semua orang tahu bahwa mereka harus segera pergi dari sana jika tidak ingin kehilangan nyawa. Sekarang Anna bisa melihat jelas wajah pria ini. Tampan, tapi jelas tidak berperasaan. Gadis itu merasa telah melihat malaikat maut dalam sosok yang nyata. Di depan sana, Felix Harrington sedang dalam suasana hati yang buruk. Beberapa hal tiba-tiba menjadi di luar kendalinya, dan dia harus pergi malam-malam untuk langsung turun ke jalan. Ada pula orang tua yang selalu menerornya dengan kata pernikahan. Kalau saja dia bukan kakeknya, Felix sudah akan membuat isi kepala pria tua itu tersebar. Menghadapinya lebih memusingkan dari pada memikirkan cara untuk menghabisi kelompok dari selatan. Sementara itu di sisi yang lain, Anna tahu bahwa tidak ada yang percaya padanya. “Aku hanya ingin pulang dan tidur seperti biasa. Percayalah, aku akan menutup mulutku.” Dia mundur lagi dua langkah. Hanya gerakan refleks. Dia tahu dia tidak akan bisa menghindari incaran peluru yang akan ditembakkan. Felix tersenyum penuh ejekan. Terlihat lebih menawan, juga lebih menakutkan. “Kalau aku harus percaya semua orang, aku sudah mati sejak lama.” Jarak di antara mereka menyempit Dia mengangkat tangannya yang masih memegang senjata. Sialan! Anna memaki di dalam hati. Dia biasanya senang berkelahi. Dia tahu beberapa teknik bela diri meski itu hanya dipelajarinya secara otodidak, tapi cukup ampuh untuk melumpuhkan para pembully atau preman kecil di sudut-sudut gang. Tapi tentunya bukan perkelahian yang melibatkan senjata api. “Tuan, namaku Anna Sawyer….” Anna seperti bisa mendengar suara lelaki itu di dalam pikirannya. Tidak ada yang menanyakan namamu! Dia tahu kalau itu juga hal yang bodoh. Memberitahu namamu pada seorang pembunuh sama saja seperti memberikan kartu namamu untuk batu pemakaman. “Baiklah, jangan terburu-buru. Kita bisa membicarakannya.” Anna kembali bicara meski tahu tidak ada yang peduli dengan apa yang dikatakannya. Dia yakin dia akan mati. Jadi dia tidak peduli. Tapi tetap saja kakinya goyah dan tubuhnya gemetar. Apalagi saat si pria tiba tepat di depannya dan meletakkan moncong senjata di antara keningnya, Anna tidak yakin apakah sedang melihat malaikat atau iblis di depannya. Pria ini lebih tampan dari semua aktor yang pernah dilihatnya. Tapi juga lebih menakutkan dari hantu yang pernah ada dalam bayangannya. Anna menelan ludah. Rasa dingin di kening membuat napasnya tercekat. “Tuan—“ Dia tidak ingin menangis. Dia jarang menangis. Tapi airmatanya berkhianat. Saat ini dia menangis dengan cara yang paling memalukan. Dan apa pula yang terjadi di bawah sana? Rasanya sesuatu yang basah mulai merembes. “Kumohon.... Pasti ada yang bisa kulakukan.” Anna mengoceh lagi tanpa sadar. Felix mengerutkan kening, berpikir sesaat. Lalu kilatan cahaya segera melintas di mata gelapnya. Dia mengokang, menekankan moncong senjata lebih dalam ke kulit kening gadis di depannya. Matilah aku. Anna bergumam dalam hati sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Selamat tinggal semua. Sedetik. Dua detik. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada tembakan. Yang kemudian didengar Anna adalah suara pria itu. “Menikahlah denganku, maka aku akan mengampuni nyawamu.”Di meja makan telah berkumpul lima orang. Felix duduk di ujung meja. Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasa. Sedangkan Anna diatur duduk di kursi sebelah kanannya, tidak sekali pun dia melirik ke arah suaminya. Adam duduk di sebelah kiri Felix, tangannya gelisah memainkan serbet di pangkuannya. Sisanya, Frans bersebelahan dengan Adam dan Viona di sebelah Anna.Ada suasana canggung yang terasa di antara mereka. Suara dentingan sendok dan garpu menjadi satu-satunya yang memecah keheningan. Saat mereka mulai menyantap makanan, Vionalah yang mulai bicara."Sepupu, apa kau sudah tahu yang terjadi pada ibu hari ini?" Dia melirik pada nyonya Harrison yang berpenampilan seperti gadis muda yang polos. Viona sangat ingin mencekiknya hingga tewas.Felix sedang mengiris sepotong daging di piringnya menjadi bagian kecil dengan gerakan elegan. Dia menyuapnya dan mengunyah tanpa suara, bahkan tanpa menoleh ke arah Viona. Ekspresinya datar saja saat mendengar ucapan sepupunya itu."Ibumu perlu terapi
Felix tidak berniat kembali ke rumah sore itu. Dia masih harus memeriksa pengiriman dari gudang di luar kota ketika pesan dari Adam masuk ke ponselnya. Dengan sigap, dia menekan layar dan membaca pesan singkat itu. Setelah membaca pesannya, kerutan di keningnya segera tercipta.Baru tadi pagi isterinya membuat masalah. Apakah dia akan mengacau lagi di rumah?Felix menghela napas panjang. Rasanya dia baru saja menyelesaikan satu masalah, dan sekarang ada lagi. Dia menatap keluar jendela mobil, melihat gedung-gedung tinggi yang berlalu lalang. Saat dia memutuskan pulang dan menyuruh supir memutar arah mobil, saat itulah Aurel mendapat serangan panik. Dia hanya menemukan Anna sendirian di ruang tamu tengah bermain game di ponselnya. Suara tembakan dan musik latar permainan memenuhi ruangan itu. Meski berisik, tapi terasa tenang. Jenis ketenangan yang aneh. Tidak ada tanda-tanda pernah terjadi pertarungan.Anna duduk bersila di sofa dengan santai, seolah tidak ada yang terjadi. Ponselny
“Ibu!” Viona berseru memanggil ibunya yang duduk di sofa dengan tubuh kaku. Wajahnya pucat pasi, mata melebar dengan tatapan kosong ke depan. “Apa yang terjadi?!” Viona bergegas menghampiri dan mengguncang tubuh ibunya dengan lembut. Tetapi Aurel hanya duduk tegak dengan dua tangan membekap mulutnya erat-erat. Dadanya naik turun tidak beraturan. Dia seperti tidak bernapas.Serangan panik.“Nyonya, bernapaslah.” Garret ikut menyadarkan wanita itu dengan suara tenang namun tegas. Dia menunduk di hadapan nyonya Dawson, mencoba menangkap tatapannya. “Bernapaslah perlahan. Tarik napas... buang napas...” Ketika melihat kondisi majikannya tidak membaik, Garret menoleh cepat ke arah pintu. “Panggil tuan Dawson!” Dia berteriak pada seorang pelayan yang berdiri bingung di dekat pintu ruang tamu.Pelayan itu segera berlari keluar dengan panik.Suasana ruang tamu yang semula tegang berubah riuh. Beberapa pelayan lain mulai berdatangan, berbisik-bisik dengan wajah cemas.“Ibu!” Viona terus meman
Anna memiringkan wajah seakan sedang mengingat sesuatu. Alisnya berkerut, matanya memandang ke atas seolah berusaha menggali memori yang tersimpan jauh. Tapi memang tidak ada yang diingatnya. Tepatnya, tidak ada sesuatu yang pernah didengarnya dari siapa pun di rumah ini tentang keluarga Felix.“Tidak pernah dengar,” ujar Anna jujur sambil mengangkat bahu. Nadanya santai, seolah hal itu sama sekali bukan masalah besar.“Felix tidak pernah bercerita?” Viona merasa tidak puas. Suaranya naik satu oktaf. Itu hanya menunjukkan dua hal, keluarga Dawson tidak penting hingga Felix merasa tidak perlu mengungkitnya pada sang istri, atau istrinya yang tidak penting hingga dia merasa tidak perlu mengenalkan gadis ini pada keluarganya.Ini pasti bukan pernikahan yang direncanakan. Entah dari pinggir jalan yang mana sang sepupu mengambilnya.Viona melirik sekilas pada ibunya, mencoba menangkap reaksi Aurel. Wanita yang lebih tua itu duduk tegak, wajahnya datar namun mata tajamnya tidak lepas dari A
Adam berdehem sebelum menjawab pertanyaan Viona. “Dia sedang beristirahat di kamarnya.” Suaranya terdengar datar, tanpa emosi yang berlebihan. Lalu buru-buru menambahkan, “Aku akan pergi ke kamarku sekarang.”Dia meninggalkan satu keluarga di belakangnya tanpa menoleh lagi. Langkahnya terlihat tenang, namun ada sesuatu yang terasa dipaksakan dalam cara dia berjalan. Kenyataannya, Adam ingin sekali berlari dari tempat itu.Setiap langkah yang membawanya menjauh dari ruang tamu terasa seperti pembebasan. Adam menghela napas panjang ketika akhirnya sampai di kamarnya.Tinggal di rumah ini sudah tidak semenyenangkan dulu lagi, Adam mengeluh dalam hati. Dia teringat isterinya sebentar. Wajah lembut yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat setelah hari yang melelahkan. Kemudian bayangan wanita lembut itu segera tergantikan Helena. Wajah yang berbeda, tetapi kehangatan yang sama.Adam berhenti di depan pintu kamarnya, tangannya memegang gagang pintu tanpa membukanya. Bagaimana pun hidu
Adam masih dipenuhi dengan rencana dan kewaspadaan saat Garret datang dengan terburu-buru. Langkah kaki kepala pelayan itu terdengar lebih cepat dari biasanya, membuat Adam langsung menoleh padanya.“Tuan, keluarga Dawson sedang dalam perjalanan ke sini. Baru saja nyonya Dawson menelepon.” Garret tidak biasanya merasa ngeri. Dia sedang teringat pada Nyonya Harrington di lantai atas. Wajahnya pucat, seolah baru saja melihat hantu.Keluarga Dawson adalah cabang dari keluarga Harrington. Nyonya Dawson atau Aurel Dawson adalah adik perempuan dari ayah Felix. Dia tinggal di sebuah mansion di bagian lain kota Lumora dan baru kembali dari bepergian ke luar negeri. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu dikenal karena sikapnya yang tegas dan pandangannya yang kuno tentang kelas sosial.Mereka adalah keluarga yang cukup ramah pada orang yang memiliki status sosial satu dua level di bawah mereka. Tapi keluarga ini tidak memberikan toleransi pada seorang dengan status sosial yang jauh lebih r
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments