Audrey tak sengaja mendorong Ayesha ketika ia sedang bekerja. Nahas, Ayesha keguguran dan rahimnya yang rusak terpaksa harus diangkat. Namun, bukan hukuman penjara yang Ayesha inginkan sebagai bentuk pertanggungjawaban, melainkan permintaan agar Audrey bersedia menikah dengan suaminya. Bersediakah Audrey menerima tawaran itu? Menikah dengan Tuan Muda Sebastian Earl Sanders yang arogan untuk mengganti janin yang nyawanya telah ia hilangkan?
View MoreMusibah tak terduga terjadi menimpa Audrey. Dia terpeleset saat membawa nampan, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan menabrak meja 2.
"Tolong, perutku." Wanita itu berteriak sangat keras, merintih kesakitan. "Basah apa ini? Air? Jangan bilang... I-ini bukan keguguran, kan? Bayiku. Darah. Tidak mungkin!"
Suasana restoran sontak kacau. Air ketuban wanita itu pecah di tempat, cairan bening menggenangi lantai disertai pendarahan hebat.
“Cepat panggil ambulans!” Pengunjung mulai berkerumun, sementara suaminya sibuk menenangkannya. “Sayang, bertahanlah. Ambulans akan segera datang!”
Audrey yang syok terduduk lemas. Menerima hujatan atas tindakannya yang ceroboh. “Apa yang kamu lakukan? Tidak bisakah kamu berhati-hati?”
Manajer restoran yang mengetahui hal itu bahkan meminta seseorang untuk mengemas barang Audrey. “Mulai hari ini kamu dipecat!” begitu katanya saat melemparkan barangnya.
Tak lama kemudian, ambulans datang. Audrey naik ke mobil itu sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Audrey hanya bisa terdiam pucat, kedua tangannya bergetar tak henti selama perjalanan.
Di ruang operasi, dokter berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus. Namun takdir berkata lain. Bayi mungil yang selama ini dinanti akhirnya lahir lebih cepat dari waktunya, tubuhnya kecil, pucat, dan tak bernapas.
Audrey menunggu dengan harap-harap cemas bersama seorang lelaki yang menangis sesenggukan di sampingnya. Dia adalah Earl, suami Ayesha. Dia masih menunggu kabar apakah bayi dan istrinya bisa diselamatkan atau tidak.
Earl ingin melampiaskan emosinya pada Audrey, tapi dia menahannya. Dia hanya berpesan kepada Audrey, “Dua pengawalku akan mengasimu. Jangan sampai kau beranjak dari rumah sakit sebelum ada kabar dari dokter!”
Audrey diam mematung.
Earl serius dengan ancaman itu. Matanya yang merah menatap Audrey tadi seakan berbicara kalau dia meninggalkan rumah sakit, maka hukumannya adalah dia harus mati.
Hampir dua harian Audrey menunggu di rumah sakit.
Dua hari itu juga dia dalam kondisi harap-harap cemas.
“Masuk!” ucap seorang pria. Wajahnya merah padam dan matanya sembab. Audrey tahu, pria itu adalah Earl, ayah sang bayi.
Meski tidak berbincang lama, mereka sempat bertukar kartu nama, terutama Audrey yang menyerahkan kartu identitasnya kepada Earl.
Penasaran dengan kondisi istrinya, Audrey pun bertanya, "Apa i-istrimu b-baik-baik saja?"
Seketika, Earl berhenti. Pria itu menunda membuka pintu.
Sudut bibirnya terangkat ke atas, kemudian menoleh hingga separuh wajahnya terlihat oleh Audrey. "Menurutmu?"
Deg!
Pria itu berbalik arah dan berjalan masuk ke ruang tempat bayinya berada. Audrey mengikuti langkah pria itu. Pandangannya menyapu dinding putih, lalu matanya berhenti pada satu benda di tengah ruangan.
Sebuah keranjang bayi di atas meja, tertutup kain putih bersih.
Pelan-pelan Earl membuka kain putih yang menutup seluruh tubuh anaknya. Tangannya gemetar. Dia masih belum percaya, bayi tanpa dosa ini harus menemui ajal sebelum sempat berbincang dengannya, walau hanya dengan tangisan.
Tubuh mungil itu terbaring.
Selain ada lebam, wajahnya juga pucat.
Tidak ada senyum.
Bayi itu tenang seperti sedang tidur, tetapi terlalu tenang untuk disebut hidup.
Bibir Audrey gemetar. “Tuhan…”
Ia mundur satu langkah.
Lututnya melemas.
“Tidak,” bisik Audrey. Dadanya sesak. “Tolong jangan.”
Earl membalikkan badan. Dengan tatapan kosong, dia memajukan tangan, seolah mempersilakan Audrey menggendongnya langsung.
Audrey menunduk. “Maafkan aku.” Hanya itu yang bisa dia ucap.
Earl tidak menjawab. Ia kembali menawari Audrey seraya memandangi wajah mungil yang tenang.
“Gendong putriku!” Earl berujar pelan. Dari nada bicaranya yang rendah, Audrey tahu, dia menahan emosi yang sudah meluap-luap setelah dua hari ini menunggu kabar seputar bayinya.
Audrey mundur satu langkah. “Aku tidak berani.”
“Pegang dia.” Suara Earl rendah dan sangat tenang. “Rasakan dinginnya. Rasakan apa yang hilang dariku dan istriku!”
Audrey hanya diam, sampai Earl mengingatkan lagi, “Rasa sakit ini tidak akan pernah kau rasakan ketika kau belum menjadi seorang ayah atau ibu. Gendonglah, setidaknya sebelum dia dikremasi!”
Dengan gemetar Audrey mengangkat tangannya. Bayi itu berpindah ke pelukannya.
“Aku mohon. Aku tidak sengaja,” ucapnya terbata. “Aku tidak bermaksud menyakiti siapa pun.”
Dia kemudian menoleh ke arah si bayi. Wajah lebam, bibir biru, dan mata indah yang belum sempat melihat dunia.
Andai diberi kesempatan, pasti dia sangat cantik!
Tapi takdir berkata lain.
Sembari bergetar hebat, Audrey memberanikan diri, “A-aku tidak bermaksud membunuhmu. Aku minta maaf. Aku tidak sengaja…”
“Lalu apa yang akan kau lakukan dengan maafmu,” tanya Earl pelan, “apa dengan maafmu, nyawa putriku bisa kembali lagi?”
Audrey terdiam. Ruangan terasa mengecil. Yang terdengar hanya napasnya sendiri.
“Jawab, Audrey!” bentak Earl, meski nadanya sangat rendah, Audrey bisa merasakan kemarahan meluap-luap dalam hati pria itu. “Apa yang akan kau lakukan untuk menebus nyawa ini? Bagaimana bila kau ibunya? Apa yang kau rasakan, hah?”
Audrey kembali menatap bayi mungil itu. Ia Hidungnya yang kecil. Kelopak yang tertutup rapi. Kulit yang sudah mulai memucat.
Yang lebih menyakitkan, bayi itu mewarisi mata ayahnya, mata cokelat!
Air mata Audrey jatuh tanpa suara. “Maafkan aku,” ucapnya lagi. “Aku mohon. Aku siap menerima hukuman. Aku siap melakukan apa pun. Tapi aku mohon, jangan cerca aku, aku tidak tahu harus dihukum seperti apa!”
Earl memerhatikan tanpa berkedip. “Hukuman seperti apa yang kau kira pantas untuk orang yang mengambil nyawa anak orang lain?”
“Aku akan mengganti kerugian nyawa dan perawatan istrimu. Aku akan bekerja keras. Aku bisa menjadi budakmu. Aku akan…”
“Uang?” Ia tersenyum tipis, kemudian mengambil kembali bayi mungil yang ada di pelukan Audrey. “Kau pikir aku butuh uang? Kau pikir uang bisa membeli nyawa putriku? Kau pikir uang bisa menyelamatkan istriku dari kesedihan?”
Audrey menggigit bibir. “Kalau bukan uang, aku bisa…”
“Kau bisa apa?” Ia mendekat selangkah lagi. Jarak di antara mereka nyaris tidak ada. “Kau bisa mengembalikannya ke rahim ibunya. Kau bisa menarik waktu dan menukar langkahmu yang ceroboh dengan langkah yang lebih hati-hati. Kau bisa berdiri di depan istriku dan berkata semuanya hanya mimpi.”
“Apa kau bisa melakukan itu semua?” Emosi Earl tak tertahankan lagi. “Jawab! Kalau kau bisa, cepat putar waktu biar kecerobohanmu tidak memakan kobran!”
“Aku tidak bisa.” Audrey menggeleng cepat. “A-a-aku tidak punya kekuatan sebesar itu.”
“Benar,” kata Earl. “Kau tidak punya apa pun.”
Audrey menarik nafas pendek. Kalimat itu telak.
Ia menunduk. Kedua lengannya mengencang, memastikan bayi kecil itu tetap aman di pelukannya. “Kalau aku tidak punya apa pun, izinkan aku menebus nyawanya...”
“Menebus,” ulang Earl. Ia seperti mencicipi kata itu di lidahnya. “Bagaimana cara seorang pelayan menebus satu nyawa?”
“Berapa lama kau akan bertahan dengan rasa bersalah?” tanyanya tiba-tiba.
“Seumur hidup,” jawab Audrey, suaranya patah. “Kalau perlu, seumur hidup. Aku akan selalu mengingat kejadian ini”
“Kau tidak tahu apa pun tentang seumur hidup,” balasnya. “Seumur hidup adalah kamu mendengar seorang ibu yang menunggu tangisan bayinya yang tidak pernah terdengar! Seumur hidup itu ayah yang tidak pernah bisa dikenal oleh gadis cantiknya!”
Audrey terisak. “Kumohon. Jangan buat ini lebih berat untuk istrimu.”
Earl menatap lurus. “Lakukan sesuatu. Baik. Mulai sekarang, kau akan melakukan sesuatu menurut caraku.”
“Aku akan menurut.”
“Kau akan menurut bahkan sebelum aku selesai berbicara.”
Audrey mengangguk cepat. “Iya.”
“Pertama.” Earl meletakkan bayinya kembali di keranjang, menutupnya dengan kain kafan putih. “Taati semua perintahku!”
“Kedua.” Ia menatap Audrey. “Dengarkan baik baik. Aku tidak akan mengulang.”
Audrey menegakkan badan. “Aku dengar.”
“Sekarang ikut aku!” Earl melangkah pergi, meninggalkan Audrey mematung di sana.
Melihat Audrey pingsan, Ayesha langsung memanggil dokter ke rumah. "Bagaimana, Dokter?" "Dia hanya kelelahan," jawab Dokter. "Biarkan dia istirahat. Dia akan sembuh satu atau dua hari." "Baiklah. Terima kasih, Dokter!" kata Ayesha. Sebelum pergi, dokter itu meninggalkan beberapa obat untuk Audrey. Ayesha yang tak memiliki waktu untuk menjaganya pun menyerahkan tugas itu kepada Rina. "Aku ada urusan di luar, baru pulang nanti malam. Kamu urus dan jaga dia!" "Baik, Nyonya!" jawab Rina. Kebetulan, Murphy masih ada di kamar itu. Dia membantu Rina mengangkat kepala Audrey agar Rina bisa memberi obat. "Coba periksa, badannya panas sekali, kan?" kata Murphy. Rina pun memeriksa kening Audrey, lalu mengambil baskom berisi air hangat. "Murphy, kamu boleh keluar. Aku akan mengompresnya sekarang." "Panggil aku kalau kamu butuh bantuanku!" Murphy pun meninggalkan kamar Audrey, sementara Rina mulai mengompresnya. Rina bahkan mengganti pakaian Audrey dengan baju tidur agar gadi
"Tidak mau!" Audrey beringsut mundur. "Aku tidak menginginkannya." "Benarkah?" Senyum tipis menghiasi bibir Earl. "Tapi kemarin kamu menginginkannya lagi dan lagi. Baru sehari, kamu sudah lupa?" Audrey tak tahu omong kosong yang sedang Earl katakan. Mereka tidak pernah melakukan apa-apa, tapi Audrey tidak memiliki waktu untuk bertanya. Earl sudah naik ke ranjangnya sekarang, mencegah pria itu menodainya adalah hal penting yang harus dia lakukan. "Jangan, Earl! Kumohon jangan mendekat!" Sayangnya Earl mengabaikan larangan itu. Tak hanya menindih, Earl bahkan menyusuri leher gadis itu dengan buas. Adegan seperti ini, Audrey baru pertama kali melakukannya. Itu membuatnya malu dan tak nyaman. "Earl, sadarlah!" Gadis itu mendorong tubuh suaminya. Bukannya menjauh, jaraknya malah semakin dekat karena perbedaan kekuatan yang terlalu besar. Audrey bahkan merasakan Earl mulai menghisap dan menggigit lehernya seperti vampir. "Earl, aku bilang henti,-" Teriakan Audrey terputus. Earl mem
"Ingat, kamu tak boleh ke mana-mana!" begitulah pesan yang Earl tinggalkan sebelum ia pergi. "Aku tahu!" kata Audrey. Karena Earl bekerja, Audrey tak perlu memasak. Dia pun berinisiatif membantu pelayan. Kebetulan mereka sedang mengganti bunga hidup yang mulai layu. "Nona Audrey, jangan!" Rina, kepala pelayan berusia 40-an melarang Audrey melakukan pekerjaan itu. "Kenapa?" Terbiasa bekerja, lalu tidak melakukan apa-apa membuat Audrey bosan. Makanya dia ingin membantu. Hanya merapikan bunga saja, Audrey bisa melakukan itu karena dia pernah bekerja part time di toko bunga saat kuliah. "Nanti Tuan Earl marah!" jawab Rina. "Dia?" Alisnya mengkerut. "Kenapa dia marah?" "Tuan sudah berpesan, tugas Nona hanya melayani Tuan Earl, Nona dilarang melakukan pekerjaan yang lain." "T-tapi?!" Ah, sudahlah. Pria arogan itu tak henti-hentinya membuat Audrey terkejut. Padahal, dia sudah membunuh putrinya, sudah mengirimnya ke rumah sakit, tapi kenapa dia masih begitu baik? Bahkan
"Aku sudah membuka bajuku, dan kamu masih bertanya nafkah apa yang kubicarakan. Kamu itu polos atau bagaimana?" Atasan piyama itu terlepas dari tubuh atletisnya dan Audrey melihat perutnya yang kotak-kotak. Pemandangan seperti ini, Audrey sudah sering melihatnya, namun rasanya berbeda saat Earl melakukannya. Ada perasaan ingin menyentuh, tapi tak berani. Ingin berpaling, tapi sayang jika dilewatkan. Kapan lagi ia bisa melihat pemandangan indah yang memanjakan mata seperti ini? "Cepatlah!" kata Earl. Akhirnya kata itu menyadarkan Audrey dari lamunan. Gadis itu mengambil piyama Earl dan melemparkannya ke pangkuan. "Kamu salah paham. Aku minta uang, bukan hal menjijikkan itu!" "Jadi kamu mau atau tidak?" "Tentu saja tidak!" Audrey berpaling, lalu melipat tangan. "Karena kamu sudah sehat, sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Aku juga ingin tidur di kasur!" "Aku masih sakit." Tanpa memakai piyamanya, Earl langsung merebakan dirinya ke ranjang. Menepuk-nepuk bantal di sebelahnya dan be
"Mencatat apa yang boleh dan tidak boleh kumakan." Audrey menurut. Gadis itu mengambil kertas dan pulpen, siap menulis. "Pertama, aku alergi jamur. Catat itu agar kamu tak lupa!" Audrey mulai menulis, namun dahinya mengkerut. 'Hanya alergi jamur saja apa perlu di catat? Aku bisa mengingatnya seumur hidup'. "Kedua, aku tidak makan kacang-kacangan yang di goreng. Aku hanya makan kacang yang proses masaknya direbus." "Apa bedanya?" Audrey mulai memprotes. Entah itu direbus, disangrai, atau digoreng, semuanya tetap kacang. "Kamu alergi juga?" Earl menggelengkan kepalanya. "Nggak. Cuma ngga suka aja!" "Lalu kenapa aku harus menulis ini?" Earl suka atau tidak, itu bukan urusan Audrey. Seharusnya pria itu cukup memberitahunya apa yang membuatnya alergi dan tidak boleh dimakan. Mereka tidak sedang melakukan pendekatan. 'Dia pikir siapa dirinya sampai aku harus mengingat makanan favoritnya?' Seolah tahu apa yang sedang Audrey pikirkan, Earl pun berkata, "Mulai hari ini tugasmu memasa
"Bagaimana, Dokter?" tanya Audrey ketika Dokter keluar dari ruang perawatan. "Sudah diberi obat, Earl boleh pulang setelah baikan." Dokter pun pergi dan Audrey menemui Earl yang belum siuman. Ada Edgar dan Murphy juga di sana. Berdiri di sebelah ranjang untuk melihat kondisi Earl. Diantara mereka, hanya Edgar yang penampilannya 'agak' pantas dilihat. Pria itu berbadan tinggi. Tubuhnya berotot juga, tapi tidak sebesar Murphy. Dia memakai piyama polos berwarna biru dongker, masih tampan meskipun rambutnya acak-acakan. Sedangkan Murphy memakai piyama berwarna cokelat. Sebenarnya cocok saja dengan warna kulitnya, tapi agak memalukan karena bermotif polkadot. Sangat tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang super besar dan kekar. Sementara Audrey memakai piyama warna hitam bermotif kotak-kotak. Dialah yang paling mencemaskan Earl. Sendalnya? Audrey lupa di mana ia meletakkannya. Dia telanjang kaki sekarang. "Earl alergi jamur, kamu tidak tahu itu?" Si perfeksionis Edgar menegur Aud
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments