Petal Home baru saja tutup lebih awal. Zanitha sedang mengganti vas bunga di meja kasir ketika Bella menelepon.“Hallo Nit?” “Iya Bel?” “Nit, aku masih ketemu sama supplier … urusanku belum selesai tapi aku udah janji sama mas Doni pemilik kafe Ambrogio, Mereka bilang tertarik dengan rangkaian eucalyptus seperti yang kamu buat di open house kafe Bellami bulan lalu … kamu bisa gantikan aku ke sana sekarang?” “Oh bisa donk, kebetulan aku baru aja mau tutup toko karena ujan terus kayanya enggak akan ada pelanggan lagi.” “Baguslah … aku akan hubungi mas Doni kalau kamu yang datang ya?”“Oke ….”Setelah keduanya sepakat memutus sambungan telepon, Zanitha kembali merapihkan toko sebelum dia tinggal tapi kemudian suara lonceng di pintu membuatnya menoleh.“Satria?” “Hai Nit … sekarang aku datang mau beli bunga,” katanya memberitahu.Zanitha tersenyum, baiklah … Kamu mau beli bunga apa?” Zanitha bergerak ke kasir untuk melayani Satria yang datang sebagai pembeli.“Aku ingin b
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, mereka disambut oleh Mathias, ayah Ananta sekaligus kakek dari Ares. Wajah Mathias berseri-seri melihat cucunya.“Ares! Selamat datang di Jakarta!” seru Mathias sambil merentangkan tangannya.Ares, meskipun sedikit mengantuk, tersenyum lebar dan berlari kecil ke pelukan kakeknya.“Kakek Mathias!” panggil Ares dengan gembira. Mathias menggendong Ares, lalu menatap Ananta. “Senang melihatmu kembali, Nak.”Ananta mengangguk, merasa lega berada di Jakarta. “Terima kasih, Ayah. Kami juga senang bisa datang ke sini terutama Ares.”Mereka kemudian menuju mobil yang telah disiapkan untuk membawa mereka ke kediaman Mathias.Di dalam mobil yang melaju tenang, Ares duduk di kursi car seat khususnya, masih mengenakan jaket tipis bergambar singa. Di sampingnya, nanny membantu mengatur selimut kecil dan botol minumnya, sementara di kursi kabin tengah, Ananta sesekali menoleh ke belakang dengan senyum sabar.“Daddy… tadi waktu pesawatnya naik, t
Jakarta, Hari yang Sama-Ulang Tahun AresLangit Jakarta perlahan berwarna tembaga, seolah ikut menyimpan perasaan yang tak terucap dari seorang ibu yang hanya bisa mengenang, bukan merayakan.Di atas meja makan kecil di penthouse-nya yang sepi, Zanitha meletakkan sebuah kotak putih sederhana. Isinya: satu kue kecil dengan topping krim keju dan stroberi utuh di atasnya. Bukan kue mahal atau besar seperti pesta anak-anak pada umumnya—tapi Zanitha memilih kue itu dengan hati yang penuh dengan kerinduan dan penyesalan.Ia menyalakan satu batang lilin kecil yang ditancapkan di tengah kue. Api mungil itu berkedip pelan, seperti menari dalam keheningan.Di samping kue, diletakkan sebuah bingkai foto. Foto lama yang sudah hampir usang—foto yang diambil saat Ares masih berusia tiga bulan. Di dalam foto itu, Ares tertidur di pangkuannya, sementara Ananta duduk di belakang mereka, merangkul sambil tersenyum.Zanitha menatap foto itu lama sekali.“Selamat ulang tahun, Ares,” bisiknya pelan,
Ananta menutup pintu belakang perlahan menggunakan kakinya, masih menggendong Ares yang kini mulai terisak dalam diam. Cahaya lampu gantung menyinari interior hangat ruang tengah mansion, tapi suasananya terasa sunyi. Tak ada musik, tak ada tawa—hanya suara napas berat seorang ayah yang sedang mencoba tegar.Ananta duduk di sofa besar berwarna krem, masih memeluk Ares yang kini menyandarkan kepala kecilnya di dada pria itu. Sesekali, tangan mungilnya menggenggam erat baju Ananta seolah takut dilepas.“Mommy .…” gumam Ares pelan. “Aku mau cari mommy ….”Ananta mengecup kepala anak itu, lalu berbisik, “Daddy tahu… kamu kangen mommy, ya?”Ares mengangguk pelan, masih menahan isaknya. “Jenny punya mommy… Jonas punya mommy… kenapa aku enggak punya, Daddy?” tanyanya dengan suara kecil, terbata, cadel dan polos, tapi tajam menembus dada Ananta.Ananta menahan napas. Inilah luka yang ia ciptakan sendiri.“Kamu punya, Ares,” katanya pelan. Suaranya serak. “Kamu
Pagi itu, langit Zürich cerah dengan suhu yang sejuk, sekitar 19°C, menandakan awal yang sempurna untuk perayaan ulang tahun pertama Ares di kediaman keluarga Von Rotchschild. Halaman belakang mansion Sebastian telah disulap menjadi taman bermain yang menakjubkan, dihiasi dengan balon berwarna pastel yang melayang lembut di udara, pita-pita satin yang berkilauan di bawah sinar matahari, dan meja-meja kayu yang ditutupi taplak bermotif bunga, menciptakan suasana hangat menyambut kebahagiaan keluarga Von Rotchschild khususnya Sebastian dan Ananta atas usia Ares yang kini telah menginjak satu tahun.Di sudut taman, sebuah area bermain anak-anak telah disiapkan dengan teliti. Perosotan kecil, ayunan, dan rumah-rumahan kayu berdiri kokoh di atas rumput hijau, mengundang tawa riang anak-anak yang hadir. Dekorasi tambahan seperti bendera warna-warni dan lampu-lampu kecil menambah keceriaan suasana.Keluarga besar Von Rotchschild mulai berdatangan satu per satu, membawa serta semangat dan k
Malam sudah berganti pagi ketika Zanitha membuka tirai jendela dan membiarkan cahaya matahari menyelinap masuk ke penthouse-nya.Kota Jakarta perlahan bangkit dari tidurnya, namun pikirannya justru tak bisa lepas dari malam yang baru saja dilewatinya bersama Satria.Bukan tentang perlakuan keluarga Wiranata. Bukan tentang pesta ulang tahun sang papi yang mengiris luka lama.Tapi tentang kalimat Satria di akhir malam itu.“Kalau kamu capek diperjuangkan setengah hati… aku di sini, bukan untuk merebut kamu dari siapa pun. Tapi aku enggak akan pernah biarin kamu merasa sendiri lagi.”Kata-kata itu masih menggema, seperti alunan lembut dari lagu yang tak mau berhenti diputar ulang di benaknya.Dan anehnya… itu menenangkan.Zanitha yang haus kasih sayang seperti memiliki seseorang dalam hidupnya.Petal Home siang itu cukup ramai. Zanitha sibuk melayani pelanggan bersama dua karyawan baru yang mulai membantu di bagian logistik dan pengemasan. Bella masih sakit dan belum kembali ke t
Zanitha melangkah keluar dari restoran dengan wajah tertunduk dan napas pendek-pendek. Matanya memerah. Kata-kata Aditya masih terngiang. Pandangan hampa sang papi saat mami Ratih menghina dan keheningan yang menyayat hati dari seorang papi yang bahkan tak berusaha menahannya.Satria berjalan setengah langkah di belakangnya. Tak berkata apa-apa. Tak bertanya.Sampai mereka tiba di pelataran parkir.“Kamu diantar driver?” Satria bertanya.“Enggak ….” Zanitha menggeleng tapi tatapannya seperti orang linglung.Satria menuntun Zanitha ke mobilnya. Mesin mobil menyala, keheningan menggantung sebab Satria tak langsung melaju. Ia hanya duduk diam, membiarkan Zanitha meresapi semua rasa yang tak bisa langsung dikeluarkan dengan kata.Zanitha menatap lurus ke depan, air mata mulai jatuh satu per satu tanpa suara.Satria tetap diam. Ia tidak menyentuh, tidak menenangkan dengan tangan—ia hanya hadir, menunggu. Menyediakan ruang yang luas agar luka itu bisa bernapas.Butuh hampir lima men
Siang itu, udara Jakarta terasa gerah. Namun buket bunga yang digenggam Zanitha tetap harum dan segar.Di dalam mobil, ia menatap bayangannya sendiri di jendela. Bibirnya mengatup kencang, namun matanya menyimpan harap. Di antara kelopak bunga lili putih dan eustoma ungu, terselip kartu kecil bertuliskan:“Selamat ulang tahun, Papi. Semoga sehat selalu. Dari Zanitha.”Sesampainya di depan lobby, Zanitha turun. Sekuriti menyambutnya dengan ramah. “Selama siang Bu.” Seorang resepsionis menyapanya.“Aku Zanitha … anaknya papi Damar, papi ada?” Zanitha bertanya.“Ada … sebentar ya, saya hubungi pak Anton dulu.”Pak Anton adalah sekretaris papinya dan melihat kantor ini sudah memiliki resepsionis juga banyak karyawan yang berlalu lalang di loby membawa berkas menandakan kalau perusahaan sang papi telah berhasil bangkit menggunakan uang kompensasi dari pernikahan kontraknya dengan Ananta yang sang papi pinjam beberapa bulan lalu.Zanitha ikut senang meski dalam hati bertanya kenapa
Pagi di Petal Home berjalan seperti biasa. Aroma bunga lili dan mawar memenuhi udara, musik instrumental mengalun lembut dari speaker di sudut ruangan. Zanitha berdiri di balik meja kasir, mengecek ulang invoice pengiriman buket untuk pelanggan langganan.Pintu toko terbuka, memunculkan suara bel kecil yang berdenting lembut. Zanitha menoleh dan mendapati sosok pria dengan kemeja biru muda motif garis-garis dan senyum ramah yang familiar.“Satria,” sapanya pelan, sedikit terkejut.Satria melangkah masuk dengan tenang. “Hai,” balasnya ringan. “Maaf datang mendadak. Aku lagi lewat sini trus ingat kamu jadi mampir.” “Aku kira kamu marah… karena kejadian waktu itu.”Satria tertawa kecil. “Kalau aku marah setiap kali ada pria posesif datang memelototiku, aku enggak akan punya teman.”Zanitha tersipu. “Aku benar-benar minta maaf soal tempo hari. Aku enggak tahu kalau Ananta akan datang… dan kamu malah harus menghadapi—”Satria mengangkat tangan, memotong lembut. “Nitha, aku tahu sia