Di kamar pribadinya yang luas, Winna duduk di sofa beludru, wajahnya penuh perhitungan. Di seberangnya, Rafael berdiri gelisah, memandang istrinya dengan tatapan ragu.
Mereka sedang membahas tentang rencana Winna untuk menjatuhkan Ananta melalui Zanitha.“Kita harus percepat serangan ke Zanitha,” ujar Winna dingin, membelai cincin berlian di jarinya.“Kalau kita bisa membuat Ananta jatuh, Rafael … posisi Chairman itu akan menjadi milikmu.”Rafael menghela napas berat, tangannya menyusup ke rambutnya dengan frustrasi. “Winna, ini mulai berlebihan. Ini bukan sekadar permainan.”Kasus pelayan yang tertangkap kamera CCTV menyimpan dokumen penting Helvion Group dengan maksud menjebak Zanitha malah berakhir dengan menyeret Rafael dan Winna karena pelayan itu masih keluarga Winna dari ibunya.Tentu saja itu membuat namanya semakin buruk di depan Sebastian.“Tidak ada permainan di dunia ini,” balas Winna tajam. “Hanya menang atau kalah.”Sebelum RafaeMalam itu, langit di atas mansion keluarga Von Rotchschild berwarna kelam, seolah ikut mengabarkan bencana yang sebentar lagi akan meletus.Di ruang kerjanya, Winna duduk di balik meja besar, cahaya lampu redup hanya menerangi sebagian wajahnya.Ponsel di tangannya sibuk mengirimkan serangkaian perintah.Rencananya kali ini lebih berani—lebih gila.Dia menyuap seorang jurnalis kecil untuk memuat artikel tentang “masa lalu kelam” keluarga Zanitha, mengaitkannya dengan Zanitha yang merupakan anak haram dan anak dari musuh Helvion Group—bukan sebuah fitnah tapi kenyataan yang dilebih-lebihkan yang dirancang untuk menghancurkan reputasi Zanitha di mata keluarga besar dan publik.“Begitu berita ini keluar, mereka tidak akan pernah melihatnya sebagai bagian dari kita lagi,” gumam Winna, senyuman licik melengkung di bibirnya.Namun yang tidak ia ketahui:Zanitha, dibantu jaringan kepercayaan Ananta, telah diam-diam memasang perangkap.Pagi itu, lang
Di kamar pribadinya yang luas, Winna duduk di sofa beludru, wajahnya penuh perhitungan. Di seberangnya, Rafael berdiri gelisah, memandang istrinya dengan tatapan ragu.Mereka sedang membahas tentang rencana Winna untuk menjatuhkan Ananta melalui Zanitha.“Kita harus percepat serangan ke Zanitha,” ujar Winna dingin, membelai cincin berlian di jarinya.“Kalau kita bisa membuat Ananta jatuh, Rafael … posisi Chairman itu akan menjadi milikmu.”Rafael menghela napas berat, tangannya menyusup ke rambutnya dengan frustrasi. “Winna, ini mulai berlebihan. Ini bukan sekadar permainan.”Kasus pelayan yang tertangkap kamera CCTV menyimpan dokumen penting Helvion Group dengan maksud menjebak Zanitha malah berakhir dengan menyeret Rafael dan Winna karena pelayan itu masih keluarga Winna dari ibunya.Tentu saja itu membuat namanya semakin buruk di depan Sebastian.“Tidak ada permainan di dunia ini,” balas Winna tajam. “Hanya menang atau kalah.”Sebelum Rafae
Di sudut ruangannya, Winna duduk di depan cermin besar, membelai rantai kalung di lehernya, wajahnya menyeringai puas.“Jika menjatuhkanmu di hadapan publik gagal,” gumamnya, “Maka aku akan menyerang tempat paling rapuh: keluarga yang kamu cintai.”Tangannya meraih ponsel, menekan serangkaian pesan rahasia.Orang-orangnya telah siap.Sasaran berikutnya bukan hanya nama baik Zanitha. Tapi kepercayaan keluarga terhadapnya.Dan bahkan… mungkin juga Ares.Sementara itu, di lantai atas mansion milik Ananta, Zanitha berdiri di balkon, membiarkan angin malam membelai wajahnya. Ananta berdiri tak jauh darinya, diam, mengamati.“Aku merasa Winna sedang mengincarku,” bisik Zanitha tanpa berpaling, suaranya serak kecil.Dia mengungkapkan bad feeling—nya kepada Ananta.Ananta mendekat, memeluk bahunya dari belakang. “Apapun itu, kita hadapi bersama,” katanya pelan, tapi nadanya mengandung janji tak tergoyahkan.Zanitha tersenyum tipis. Tapi di hatinya, ia tahu—ujian mereka belum selesai
Udara di mansion keluarga besar Von Rotchschild terasa lebih dingin pagi itu, meski matahari sudah tinggi. Ada ketegangan samar di udara—sebuah ketegangan yang belum kentara, tapi jelas terasa bagi mereka yang peka.Di sisi lain mansion, di ruang kerjanya, Winna menutup laptop dengan wajah penuh kepuasan. Semua sudah disiapkan. Hari ini akan menjadi hari di mana Zanitha diuji. Dan kalau semua berjalan sesuai rencana, reputasi istri Ananta itu akan tercoreng tanpa perlu Winna turun tangan langsung.“Semoga kamu siap, Zanitha,” gumamnya dingin disertai senyum penuh kepuasan.Sementara itu, Zanitha duduk di ruang keluarga, menyiapkan agenda hari ini. Ia tahu dari gerak-gerik pelayan, dan informasi rahasia yang Klaus berikan pagi ini, bahwa sesuatu sedang direncanakan untuk menjatuhkannya.Namun ia tetap tenang.Zanitha menyisir rambut panjangnya ke belakang, merapikannya dalam balutan blouse putih sederhana dan celana panjang krem. Tidak perlu mahkota di kepala untuk menjadi ratu—cu
Di hari berikutnya, Ananta sengaja membawa Zanitha keluar berdua sebagai kencan mengingat mereka tidak pernah merasakan pengalaman berkencan.“Kita mau ke mana sih, Ta?” tanya Zanitha yang begitu cantik dibalut gaun malam berwarna emerald, begitu kontras dengan kulitnya yang putih.Perhiasan berlian dengan ukuran sedang tidak berlebihan bertengger di leher telinga juga pergelangan tangan Zanitha.Sedangkan Ananta begitu tampan dibalut stelan jas mahal.“Kita butuh waktu hanya berdua,” bisiknya lembut di telinga Zanitha sembari memeluk dari belakang dan menatap Zanitha melalui pantulan cermin setinggi tiga meter di depan mereka.Zanitha tersenyum lalu mengurai rantai tangan di pinggangnya.“Kalau begitu kita pergi sekarang, sebelum Ares bangun.”Ananta menggenggam tangan Zanitha, menuntunnya ke teras mansion di mana mobil sudah terparkir menunggu mereka.Ananta membawa Zanitha mengunjungi sebuah galeri seni di pusat kota, tempat lukisan-lukisan klasik dan modern berpameran. Zan
Udara sore di mansion keluarga Von Rotchschild berembus lembut melalui jendela-jendela besar, membawa aroma bunga musim semi yang baru mekar.Di lantai atas, di salah satu kamar yang kini resmi menjadi milik Ares, Zanitha sibuk menata ruangan kecil itu dengan penuh perhatian.Tangannya cekatan menggantung lukisan hasil coretan Ares di dinding lalu ia mengatur koleksi mainan di rak rendah agar mudah dijangkau tangan mungil itu.Selimut berwarna biru muda dengan motif pesawat terbang dibentangkannya dengan hati-hati di atas ranjang kecil, setiap lipatan dirapikan seolah itu adalah takhta untuk pangeran kecilnya.“Supaya Ares nyaman,” gumam Zanitha pelan, matanya berbinar dengan kasih sayang.Tanpa ia sadari, Sebastian mengawasinya dari taman rumah Simon saat jalan pagi. Mata lelaki tua itu menyipit, seolah ingin mengerti sesuatu yang selama ini sulit ia terima: ketulusan Zanitha terhadap keluarganya.Namun, Sebastian memilih tidak menampakkan diri. Ia berbalik perlahan, meninggalk
Keesokan harinya, mereka memulai petualangan kecil di sekitar chalet. Ares berlari-lari di padang rumput, mengejar kupu-kupu dan memungut bunga liar untuk ibunya. Ananta dan Zanitha mengawasinya dengan senyum bahagia, meskipun harus terus-menerus mengejar Ares yang tak kenal lelah.Sementara Zanitha duduk di sebuah bangku dari bahan kayu, sesekali ponselnya merekam Ananta dan Ares lalu menangkap momen tersebut.Zanitha membuka sosial media yang sudah lama tidak dia sentuh.Memposting foto Ananta sedang berlari mengejar Ares dan memberi caption. “Duniaku.”Saat makan siang, mereka memutuskan untuk piknik di tepi danau kecil.Di atas selembar kain piknik sederhana yang dibentangkan di atas rerumputan, Zanitha sibuk merapikan bekal: potongan sandwich, pot salad, dan sebotol jus buah segar sementara Ananta membantu Ares membangun perahu kecil dari ranting dan daun. Tawa Ares menggema di udara saat perahu kecilnya mengapung di permukaan air. “Ares, makan siang sudah siap!” panggil Z
Setelah melewati hari-hari yang penuh ketegangan dan intrik keluarga, Ananta memutuskan untuk membawa Zanitha dan Ares berlibur singkat ke pegunungan Alpen Swiss.Mereka memilih sebuah chalet kecil yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota, tempat di mana mereka bisa menikmati kebersamaan tanpa gangguan meski tetap dikelilingi kemewahan.Perjalanan dimulai dengan penuh semangat. Ares, dengan mata berbinar, tak henti-hentinya bertanya tentang segala hal yang dilihatnya dari jendela mobil.“Mommy, itu apa?” tanya Ares sambil menunjuk ke arah ladang yang luas.“Itu ladang, sayang. Tempat petani menanam tanaman,” jawab Zanitha sambil tersenyum.“Kenapa tanahnya cokelat?” tanya Ares lagi.“Karena belum ditanami. Nanti kalau sudah ditanami, akan ada warna hijau dari tanaman yang tumbuh,” jelas Ananta sambil melirik ke arah putranya melalui kaca spion. Ares mengangguk-angguk, lalu matanya tertuju pada sekumpulan sapi yang sedang merumput. “Lihat, sapi! Mommy, Daddy, ada sapi!”“Iya
Zanitha tiba di ruang teh yang terletak di sisi barat mansion Rafael. Ruang itu indah, dipenuhi cahaya matahari pagi dan aroma mawar dari taman kaca yang mengelilinginya. Di sana sudah duduk Winna, Seraina, dan Livia. Di atas meja terhidang kue-kue kecil, teh earl grey, dan buah-buahan segar.“Selamat pagi, Zanitha,” sapa Winna sambil tersenyum. “Senang akhirnya kamu bergabung.”“Selamat pagi,” balas Zanitha sopan, lalu duduk di kursi yang disiapkan di sebelah Seraina.“Aku sudah minta pelayan menyajikan teh melati. Kudengar itu favoritmu,” ucap Winna sambil menuangkan teh ke cangkir Zanitha.Zanitha sedikit terkejut, tapi tetap menjaga senyum. “Terima kasih, Winna. Itu perhatian yang tidak terduga.”“Oh, kami semua sudah berubah, Zanitha. Kembalinya kamu ke mansion membuat suasana berbeda. Apalagi setelah Ananta resmi menjadi Chairman, kamu otomatis jadi pusat perhatian,” kata Winna, nadanya halus tapi mengandung ujian tersembunyi.“Dan kamu tahu,” sam