"Jangan lakukan ini, aku mohon!"
"Il Falco, siapkan Sig Sauer P320 untuk kali ini." Mengabaikan Lynette yang memegang lengannya memohon kepadanya, Lucian malah semakin memerintah para anak buahnya untuk mengikat kepala pelayan di tiang yang sama seperti Lynette lihat tadi pagi. Lynette kelabakan. Dia melirik berulang kali pada kepala pelayan yang menangis tersedu-sedu, juga pada para pelayan muda yang ikut masak dengannya tadi. "Tuan Issac! Aku mohon! Jangan bunuh dia! Ini semua keinginaku, bukan karena mereka yang menyuruhku. Dia sama sekali tidak bersalah. Jangan hukum dia! Aku mohon!" jerit Lynette dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Kedua tangannya masih memegang erat lengan kanan Lucian, mencoba meminta belas kasih. Dia menangis begitu keras, ketika melihat Il Falco yang tadi dipanggil oleh Lucian datang membawa senjata yang diinginkan Lucian. "Demi Tuhan! Jangan bunuh dia!" Lucian menatap lurus pada Il Falco yang berdiri sejajar, mengangkat pistol. Mengarahkan anak buah terbaiknya itu untuk melakukan sesuatu tersebut. Sebenarnya, Lucian sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan hal remeh seperti menghukum pelayan. Lucian melakukan ini hanya untuk memberikan peringatan. "Lihat ke depan sana! Lihatlah satu nyawa yang melayang karena perbuatanmu! Dia akan mati dalam penyesalan. Karena telah membiarkan seorang Nyonya Muda melakukan pekerjaan pelayan rendahan." "Tidak! Tuan Issac! Aku mohon, tidak! " Lynette semakin merasa bersalah. "Aku mohon! Aku berjanji tidak akan melakukan pekerjaan apapun lagi, memasak atau yang lainnya." "Benarkah? Aku paling tidak suka dengan seseorang yang suka membual dan berkata penuh omong kosong, asal kau tahu" kata Lucian menundukkan kepala menatap Lynette dengan senyum miring. "Iya. Aku berjanji!" Lucian mengibaskan tangan kanannya ke udara beberapa kali. Il Falco melihat itu dan menganggukkan kepalanya sebelum pergi dari sana. Kepala pelayan itu dilepaskan. Para pelayan muda lainnya membantu dan membawa kepala pelayan ke dalam rumah. Hingga semuanya lenggang, yang ada di sana tersisa Lucian dan Lynette yang meluruhkan tubuhnya di atas rumput sintesis di taman eksekusi. Lucian berjongkok, mencengkram dagu gadis tersebut dan berkata, "Ini adalah salah satu dari sekian banyaknya hal yang tidak boleh kau lakukan di dalam rumah ini." "Kau tidak diperkenankan untuk melakukan apapun yang belum aku setujui. Semua hal, semua aspek kehidupan yang ada di sini, hanya boleh bergerak atas perintah ku. Mengerti?" "Iya, aku mengerti." Lynette merasakan bibirnya dikecup dan kepalanya ditepuk beberapa kali. "Kau wanita manis yang tidak mungkin aku lepaskan. Jam 10 malam, aku ingin kau telah siap di atas ranjang ku. Memakai pakaian yang ada di dalam sana dan jangan lupa, memoles bibir cantik ini dengan lipstick merah." Lucian menambahkan, "Saat ini aku tengah menyelidiki tentang bajingan Benjamin. Kau tenang dan tunggu akhirnya." Lynette tidak bisa mengatakan apapun untuk membalas Lucian. Dia tetap terduduk di sana dengan tangisan. Sesekali, dia menoleh ke belakang. Perasaan asing yang bercampur ketakutan, semakin menghantui Lynette. Belum juga sehari Lynette di sini, tapi dia sudah mengalami hal semengerikan ini. "Aku harus mencari cara untuk pergi dari sini. Aku harus memberitahu ayah, jika Tuan Issac akan membunuhnya. Aku harus pergi dari sini. Tapi, bagaimana?" Lynette beranjak kembali memasuki rumah. Melihat pelayan bekerja dengan cepat, juga tanpa banyak bicara. Lynette memasuki dapur. Tidak ada siapa pun di sana. Lynette menghampiri meja makan. Dia merasa lapar. Dia mengambil makanan dan membawanya ke kamar. Siang harinya, matahari tinggi di atas kepala. Rasa panasnya membuat wajah Lynette memerah, panas dan gerah. Namun, itu tidak membangunkannya. Wanita itu terbangun, ketika pintu kamarnya diketuk. Dia bangkit dan membuka pintu dengan sangat perlahan. Yang datang adalah seorang pelayan laki-laki yang belum pernah Lynette lihat sebelumnya. "Ya? Aku tidak sedang menginginkan apapun." Pelayan laki-laki menggeleng dan mendekatkan diri pada Lynette. Dia berbisik, "Aku tahu Nyonya ingin kabur, kan? Aku bisa membantu jika kau mau."Di sinilah mereka sekarang, di sebuah taman yang ada di belakang rumah kecil dan cukup jauh dari rumah utama.“Sekarang jelaskan, apa yang kau mau?”“Tentu saja, saya juga tidak bisa lama-lama,” kata pelayan laki-laki tersebut.“Saya tahu, Anda ingin segera pergi dari sini,`kan? Saya bisa membantu Anda.”Lynette berdeham kecil. “Benarkah? Lalu, apa yang harus aku lakukan?”Di dalam pikirannya, hanya ingin pergi dari mansion terkutuk ini. Tawaran tersebut seolah memberikan dia kesempatan untuk pergi. Kejadian yang tidak begitu mengenakkan dan tidak mungkin dia lupakan begitu saja. Pelayan laki-laki itu tersenyum tipis. Kemudian menunjuk ke arah gerbang depan yang jauh dari tempat mereka. “Sebelum kita pergi melewati gerbang kebebasan itu, Anda harus melakukan suatu hal yang akan menjadi kunci utama misi ini.”“Aku? Apa yang harus aku lakukan?”Lynette tidak bisa berdiam diri di sini. Bagaimana pun caranya, dia harus segera keluar dan bertemu dengan ayahnya.“Namaku Taylor Frecne, ak
Pertanyaan yang datang dari bibir suaminya, membuat rasa kantuk dan lelah yang Lynette rasakan tiba-tiba luruh seketika. Tidak mendapatkan jawaban dari sang istri, Lucian memajukan tubuhnya, menumpu dagu runcingnya di atas lengan kurus Lynette.“Kenapa kau tidak menjawabnya? Bagaimana perasaanmu setelah melihat hal tersebut? Apa kau senang?”Senang? Lynette menoleh dan matanya langsung terkunci dengan iris biru kelam milik Lucian. Keduanya bertatapan dengan cukup lama, sebelum Lucian menegakkan punggung dan kembali ke tempat semula. “Aku melihatmu berlari melewati lorong bawah tanah yang panggalnya berada sangat jauh dari rumah utama, kira-kira apa yang sedang kau lakukan di sana?”“Aku-aku hanya ingin melihat-lihat sebentar,” cicitnya dengan suara yang bergetar.“Benarkah? Lalu, apa yang kau lakukan dengan pelayan Taylor di sana?”Lynette tidah merasakan rasa takut yang seperti ini. Napasnya tercekat dan pikirannya kosong seketika. Bagaimana bisa Lucian tahu, dia telah melihat oran
Pembicaraan mengenai proyek 170DH itu terus berlanjut, Lynette hanya bisa mendengarkan dan menunggu jeda dari pembicaraan seru keduanya. Tangannya masih aktif mencuci banyaknya sayuran dan beberapa buah, menggantinya ke wadah bersih. “Tapi, kenapa juga mereka melakukannya lagi, ya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Pertanyaan dari Glea dengan suara pelan membuat Brich menundukkan kepala dan mendekat ke tengah-tengah. Secara spontan, Lynette juga ikut mendekat dan memasang telinga dengan baik-baik. Ketiganya saling pandang, sebelum tiba-tiba Brich membuat gerakan tangan mencakar dan memasang wajah mengerikan. “Ada banyak penghianat di dalam sini dan Tuan issac ingin menghanguskan mereka semua. Menjadi abu dan mengumpulkan darah mereka untuk di minum.”Tepukan kuat Brich dapatkan dari Glea. “Kau mengatakan hal mengerikan di depan istrinya.”Lynette melirik keduanya dengan wajah polos, dia menarik diri dari sana dan menumpukkan sayuran yang telah dia bersihkan. Mengambilnya satu helai da
Gelap, sunyi, dan sendiri. Lynette membuka matanya selebar yang dia bisa, namun tetap dia tidak mendapatkan pandangan apa pun. “Tu-tuan Issac? Tuan, Anda di mana?”“Aku mohon! Jangan bunuh aku!”Lynette terkesiap dengan dada yang berdebar dengan kencang. Suara itu terdengar begitu nyaring, serak, dan penuh keputusasaan.Namun, siapa dia? “Tuan! Tu-tuan Issac!” teriaknya sekali lagi. Kedua tangannya menyentuh permukaan tanah kasar yang dia genggam dan remat dengan erat. Lynette bingung, saat ini dia ada di mana? Yang dia ingat, hanya dapur, suara aneh, dan darah. Wanita itu berdiri dari duduknya, memutar tubuh ke kanan dan kiri, berharap mendapatkan secercah cahaya untuk menemukan jawaban, di manakah dia sekarang? “Tuan Issac,” panggil Lynette dengan pelan. Entah kenapa hanya nama itu yang terbesit dalam hatinya. “Tidak! Jangan bawa Lynette! Dia cintaku yang tersisa, aku mohon, Nyonya Anya! Jangan bawa Lynette!”Teriakan itu datang lagi dan kini namanya pun ikut disebut. Hati L
Rasa pusing menghantam kesadarannya dengan telak. Matanya menyipit merasakan tusukan cahaya lampu yang terang, dia melengguh memegangi kepalanya. “Kau sudah menelpon Dokter Haydee?”“Tentu saja! Kau ingin kita beneran mati di tangan Tuan Issac?”“Aku hanya bertanya!”“Jangan berteriak! Nyonye Lynette telah sadar!”Pertengkaran itu terhenti, ketika Lyentte menggerang dan bangkit dari tidurannya. Glea dan Brich segera membantu dan memberikan segelas air pada Lynette. “Nyonya?”“Ya, Brich. Aku mendengarmu. Apa aku pingsan?”Brich menganggukkan kepala, gadis itu memperbaiki letak kaca matanya dan bergegas bangkit saat mendengar suara pintu diketuk. Yang datang adalah dokter keluarga Issac.“Silahkan masuk, Dokter!” Brich mempersilahkan.Dokter Haydee masuk dengan pakaiannya yang modis. Sebuah dress ketat berwarna merah menyala, rambutnya digulung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kakinya melangkah dengan anggun, selaras dengan ketukan sepatu hak tinggi yang berdenting berir
"Tuan?" Lucian menarik pinggang sempit Lynette mendekat kepadanya, kepala wanita itu dia angkat dan menempatkan lengan kanannya di bawah kepala sang istri. Deru napas hangat Lynette menabrak leher Lucian, seolah mengatakan secara tak tersirat jika demamnya lumayan tinggi. Tidak ada yang bisa Lynette lakukan selain pasrah dengan dentuman jantung yang berirama tidak santai. "Jika malam tiba, tidak ada kah yang mengatakan kepadamu, tidak boleh keluar dari kawasan rumah selain dengan pengawal?" "Tidak." "Baik, aku akan menghukum mereka yang telah lalai dalam pekerjaan." Telinga Lynette menjadi lebih sensitif mendengar kata 'hukum', wanita itu sontak mengangkat kepalanya dengan cepat. Akibatnya kepalanya secara tidak sengaja berbenturan dengan dagu Lucian. Suaranya cukup menyakitkan, Lynette bangkit dari tidurann dan mengusap dagu Lucian dengan ringisan di wajahnya. Namun, tidak ada reaksi yang berlebihan dari Lucian. Tidak ada wajah kesakitan atau wajah galak yang b
Lynette tidak berhenti menggerang selama sisa siang itu. Dia tidak punya energi yang tersisa. Tubuhnya belum sembuh sempurna, tapi Lucian melakukannya dengan cukup kasar. Lucian mengancing kemejanya dengan mata yang tidak lepas dari Lynette yang tertidur. Punggung polos yang penuh bercak cinta miliknya terpampang dengan cantik, secantik wanita yang bahunya dia cium berulang kali sebelum pergi dari sana. Rekash yang masih setia di depan pintu, langsung menegakkan badannya ketika tuannya keluar dari sana. Wajah yang segar dengan aura yang lebih tenang dari sebelumnya, membuat Rekash tidak tahu harus bersyukur atau tidak. “Maaf, kan saya Tuan. Tapi, Tuan Elias membatalkan pertemuannya dan ingin menggantinya lain waktu. Sedangkan Nona Emma membatalkan kerja samanya.”“Atur kembali pertemuan dengan Tuan Elias, untuk Nona Emma tidak masalah. Kita tidak membutuhkan bahan dasar dari dia.”“Baik, Tuan. Setelah ini, Anda ingin kembali ke kantor atau yang lain?”Pertanyaan Rekash menghentikan
Ruangan yang tadinya sepi dan seperti tak berpenghuni, kini tiba-tiba saja menjadi ramai. Lynette menoleh ke belakang melihat banyaknya orang yang muncul dari balik gelepan, dari balik tingginya rak-rak perpustakaan lama. Orang-orang itu memakai pakaian serba hitam dengan kepala yang tertutup dengan topi serta masker. Di tangan mereka juga terdapat senjata tajam yang mana membuat Lynette terkejut setengah mati. Dia ke sini karena ingin bertemu dengan Taylor, tapi apa ini? Siapa orang-orang ini? Dan, Lucian?Belum sempat Lynette mencerna ketegangan yang mulai menyebar, pergelangan tangannya ditarik paksa. Dia disergap oleh sebuah pisau yang ada di depan lehernya tepat.“Rekash!”Rekash yang tadinya berdiri tidak jauh dari perpustakaan, tiba-tiba berlari dengan sangat kencang mendengar nada tinggi sang tuan. Sesampainya di belakang Lucian, asisten pribadi itu terkejut luar biasa.Ternyata benar, di sini adalah tempat para penghianat berkumpul. Tapi, “Nyonya Issac! Kenapa bisa ada d
Ruangan itu penuh dengan decak basah dengan geraman rendah Lucian. Lynette merasakan perih di bibirnya, ketika Lucian menariknya dengan gigi. Kemudian menyesap bibir merahnya dengan buas. Seolah ingin menghapuskan jejak yang tertinggal oleh bajiangan kurang ajar yang dengan berani menyentuh Lynette. Kedua kaki Lynette semakin di lebarkan, Lucian masuk di antara paha kurus itu dan menarik pinggang Lynette untuk naik ke pangkuannya. Ciuman itu terlepas setelah Lynette menjambak kasar belakang rambut Lucian. Napas mereka memburu dengan begitu hebat, untaian saliva mengalir dari sudut bibir dan turun membasahi dagu. Lucian menyekanya dengan ibu jari. “Ingatkan aku tentang si bajingan itu juga, aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Akan aku robek mulutnya, menarik lidahnya dan memberikan kepalanya untuk makan anjing kesayanganku!”Mulut Lynette masih terbuka, dadanya naik turun dengan hebat. Pancaran mata yang dikeluarkan oleh Lucian, menarik dirinya ikut tenggelam dalam emosi
Ruangan yang tadinya sepi dan seperti tak berpenghuni, kini tiba-tiba saja menjadi ramai. Lynette menoleh ke belakang melihat banyaknya orang yang muncul dari balik gelepan, dari balik tingginya rak-rak perpustakaan lama. Orang-orang itu memakai pakaian serba hitam dengan kepala yang tertutup dengan topi serta masker. Di tangan mereka juga terdapat senjata tajam yang mana membuat Lynette terkejut setengah mati. Dia ke sini karena ingin bertemu dengan Taylor, tapi apa ini? Siapa orang-orang ini? Dan, Lucian?Belum sempat Lynette mencerna ketegangan yang mulai menyebar, pergelangan tangannya ditarik paksa. Dia disergap oleh sebuah pisau yang ada di depan lehernya tepat.“Rekash!”Rekash yang tadinya berdiri tidak jauh dari perpustakaan, tiba-tiba berlari dengan sangat kencang mendengar nada tinggi sang tuan. Sesampainya di belakang Lucian, asisten pribadi itu terkejut luar biasa.Ternyata benar, di sini adalah tempat para penghianat berkumpul. Tapi, “Nyonya Issac! Kenapa bisa ada d
Lynette tidak berhenti menggerang selama sisa siang itu. Dia tidak punya energi yang tersisa. Tubuhnya belum sembuh sempurna, tapi Lucian melakukannya dengan cukup kasar. Lucian mengancing kemejanya dengan mata yang tidak lepas dari Lynette yang tertidur. Punggung polos yang penuh bercak cinta miliknya terpampang dengan cantik, secantik wanita yang bahunya dia cium berulang kali sebelum pergi dari sana. Rekash yang masih setia di depan pintu, langsung menegakkan badannya ketika tuannya keluar dari sana. Wajah yang segar dengan aura yang lebih tenang dari sebelumnya, membuat Rekash tidak tahu harus bersyukur atau tidak. “Maaf, kan saya Tuan. Tapi, Tuan Elias membatalkan pertemuannya dan ingin menggantinya lain waktu. Sedangkan Nona Emma membatalkan kerja samanya.”“Atur kembali pertemuan dengan Tuan Elias, untuk Nona Emma tidak masalah. Kita tidak membutuhkan bahan dasar dari dia.”“Baik, Tuan. Setelah ini, Anda ingin kembali ke kantor atau yang lain?”Pertanyaan Rekash menghentikan
"Tuan?" Lucian menarik pinggang sempit Lynette mendekat kepadanya, kepala wanita itu dia angkat dan menempatkan lengan kanannya di bawah kepala sang istri. Deru napas hangat Lynette menabrak leher Lucian, seolah mengatakan secara tak tersirat jika demamnya lumayan tinggi. Tidak ada yang bisa Lynette lakukan selain pasrah dengan dentuman jantung yang berirama tidak santai. "Jika malam tiba, tidak ada kah yang mengatakan kepadamu, tidak boleh keluar dari kawasan rumah selain dengan pengawal?" "Tidak." "Baik, aku akan menghukum mereka yang telah lalai dalam pekerjaan." Telinga Lynette menjadi lebih sensitif mendengar kata 'hukum', wanita itu sontak mengangkat kepalanya dengan cepat. Akibatnya kepalanya secara tidak sengaja berbenturan dengan dagu Lucian. Suaranya cukup menyakitkan, Lynette bangkit dari tidurann dan mengusap dagu Lucian dengan ringisan di wajahnya. Namun, tidak ada reaksi yang berlebihan dari Lucian. Tidak ada wajah kesakitan atau wajah galak yang b
Rasa pusing menghantam kesadarannya dengan telak. Matanya menyipit merasakan tusukan cahaya lampu yang terang, dia melengguh memegangi kepalanya. “Kau sudah menelpon Dokter Haydee?”“Tentu saja! Kau ingin kita beneran mati di tangan Tuan Issac?”“Aku hanya bertanya!”“Jangan berteriak! Nyonye Lynette telah sadar!”Pertengkaran itu terhenti, ketika Lyentte menggerang dan bangkit dari tidurannya. Glea dan Brich segera membantu dan memberikan segelas air pada Lynette. “Nyonya?”“Ya, Brich. Aku mendengarmu. Apa aku pingsan?”Brich menganggukkan kepala, gadis itu memperbaiki letak kaca matanya dan bergegas bangkit saat mendengar suara pintu diketuk. Yang datang adalah dokter keluarga Issac.“Silahkan masuk, Dokter!” Brich mempersilahkan.Dokter Haydee masuk dengan pakaiannya yang modis. Sebuah dress ketat berwarna merah menyala, rambutnya digulung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kakinya melangkah dengan anggun, selaras dengan ketukan sepatu hak tinggi yang berdenting berir
Gelap, sunyi, dan sendiri. Lynette membuka matanya selebar yang dia bisa, namun tetap dia tidak mendapatkan pandangan apa pun. “Tu-tuan Issac? Tuan, Anda di mana?”“Aku mohon! Jangan bunuh aku!”Lynette terkesiap dengan dada yang berdebar dengan kencang. Suara itu terdengar begitu nyaring, serak, dan penuh keputusasaan.Namun, siapa dia? “Tuan! Tu-tuan Issac!” teriaknya sekali lagi. Kedua tangannya menyentuh permukaan tanah kasar yang dia genggam dan remat dengan erat. Lynette bingung, saat ini dia ada di mana? Yang dia ingat, hanya dapur, suara aneh, dan darah. Wanita itu berdiri dari duduknya, memutar tubuh ke kanan dan kiri, berharap mendapatkan secercah cahaya untuk menemukan jawaban, di manakah dia sekarang? “Tuan Issac,” panggil Lynette dengan pelan. Entah kenapa hanya nama itu yang terbesit dalam hatinya. “Tidak! Jangan bawa Lynette! Dia cintaku yang tersisa, aku mohon, Nyonya Anya! Jangan bawa Lynette!”Teriakan itu datang lagi dan kini namanya pun ikut disebut. Hati L
Pembicaraan mengenai proyek 170DH itu terus berlanjut, Lynette hanya bisa mendengarkan dan menunggu jeda dari pembicaraan seru keduanya. Tangannya masih aktif mencuci banyaknya sayuran dan beberapa buah, menggantinya ke wadah bersih. “Tapi, kenapa juga mereka melakukannya lagi, ya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Pertanyaan dari Glea dengan suara pelan membuat Brich menundukkan kepala dan mendekat ke tengah-tengah. Secara spontan, Lynette juga ikut mendekat dan memasang telinga dengan baik-baik. Ketiganya saling pandang, sebelum tiba-tiba Brich membuat gerakan tangan mencakar dan memasang wajah mengerikan. “Ada banyak penghianat di dalam sini dan Tuan issac ingin menghanguskan mereka semua. Menjadi abu dan mengumpulkan darah mereka untuk di minum.”Tepukan kuat Brich dapatkan dari Glea. “Kau mengatakan hal mengerikan di depan istrinya.”Lynette melirik keduanya dengan wajah polos, dia menarik diri dari sana dan menumpukkan sayuran yang telah dia bersihkan. Mengambilnya satu helai da
Pertanyaan yang datang dari bibir suaminya, membuat rasa kantuk dan lelah yang Lynette rasakan tiba-tiba luruh seketika. Tidak mendapatkan jawaban dari sang istri, Lucian memajukan tubuhnya, menumpu dagu runcingnya di atas lengan kurus Lynette.“Kenapa kau tidak menjawabnya? Bagaimana perasaanmu setelah melihat hal tersebut? Apa kau senang?”Senang? Lynette menoleh dan matanya langsung terkunci dengan iris biru kelam milik Lucian. Keduanya bertatapan dengan cukup lama, sebelum Lucian menegakkan punggung dan kembali ke tempat semula. “Aku melihatmu berlari melewati lorong bawah tanah yang panggalnya berada sangat jauh dari rumah utama, kira-kira apa yang sedang kau lakukan di sana?”“Aku-aku hanya ingin melihat-lihat sebentar,” cicitnya dengan suara yang bergetar.“Benarkah? Lalu, apa yang kau lakukan dengan pelayan Taylor di sana?”Lynette tidah merasakan rasa takut yang seperti ini. Napasnya tercekat dan pikirannya kosong seketika. Bagaimana bisa Lucian tahu, dia telah melihat oran
Di sinilah mereka sekarang, di sebuah taman yang ada di belakang rumah kecil dan cukup jauh dari rumah utama.“Sekarang jelaskan, apa yang kau mau?”“Tentu saja, saya juga tidak bisa lama-lama,” kata pelayan laki-laki tersebut.“Saya tahu, Anda ingin segera pergi dari sini,`kan? Saya bisa membantu Anda.”Lynette berdeham kecil. “Benarkah? Lalu, apa yang harus aku lakukan?”Di dalam pikirannya, hanya ingin pergi dari mansion terkutuk ini. Tawaran tersebut seolah memberikan dia kesempatan untuk pergi. Kejadian yang tidak begitu mengenakkan dan tidak mungkin dia lupakan begitu saja. Pelayan laki-laki itu tersenyum tipis. Kemudian menunjuk ke arah gerbang depan yang jauh dari tempat mereka. “Sebelum kita pergi melewati gerbang kebebasan itu, Anda harus melakukan suatu hal yang akan menjadi kunci utama misi ini.”“Aku? Apa yang harus aku lakukan?”Lynette tidak bisa berdiam diri di sini. Bagaimana pun caranya, dia harus segera keluar dan bertemu dengan ayahnya.“Namaku Taylor Frecne, ak