Lynette Pugh, anak haram dari Benjamin Morreti dan Ranni Pugh yang diasingkan di desa terpencil, terpaksa dinikahkan dengan Lucian Isaac, seorang mafia kejam dan berkuasa di Sisilia yang memegang semua kendali. "Dia sangat kejam dan sama sekali tidak mempunyai hati," ucap saudara tiri Lynette. Namun nyatanya, pada pertemuan pertama yang mencekam, Lynette telah merasakan ketegangan yang sangat berbeda, ketika berhadapan dengan laki-laki itu. Hutang yang disisipi dengan penipuan. Darah, kekuasaan, penghianatan sampai sebuah rahasia kelam. Dalam permainan mematikan yang akan dimulai, siapa yang akan menang?
Lihat lebih banyak"Ayah, jangan lakukan ini padaku! Aku tidak mau di sini!”
Plak! “Diam, Lynette! Kalau kau tidak menutup mulutmu, aku akan menamparmu lagi!” Lynette Pugh merasakan pipinya panas untuk tamparan yang kesekian kalinya dari Benjamin Morreti. Lynette tersungkur menabrak tiang rumah yang tinggi menjulang di belakangnya. Dengan susah payah, Lynette kembali memegang kaki Benjamin untuk meminta belas kasihnya. “Aku bilang lepaskan!" seru Benjamin. "Cepat berdiri! Aku tidak ingin orang lain melihatmu seperti ini. Kau ini benar-benar aib yang harus segera ku singkirkan!” Benjamin memukul tangan Lynette dan kembali duduk di atas sofa mahal. Di antara isak tangis Lynette, seorang laki-laki muda berjalan mendekati mereka. Sosoknya tinggi dengan rambut pirang yang tertata rapi dan pakaian semi formal. Benjamin segera berdiri dan menyambut laki-laki tersebut. “Tuan Rekash, maaf kami sedikit terlambat. Ada sesuatu yang menahan kita, tapi itu bukan masalah besar." Benjamin melirik ke arah Lynette yang masih duduk di lantai. Rekash tidak peduli dengan hal tersebut. Dia berhenti berjalan di depan Lynette dan menatapnya. "Dia putrimu?” “Ya, dia putriku. Namanya Lynette. Dia memang tidak sempurna. Tapi, aku yakin dia bisa memuaskan Tuan Issac dengan sangat baik!” “Ayah!” jerit Lynette. Lynette berdiri, lalu berjalan mendekati Benjamin. “Jangan katakan seperti itu, Ayah! Aku tidak mau!” Benjamin tidak peduli pada teriakan Lynette. Dia menyodorkan beberapa dokumen. “Tuan Rekash, dia sudah menandatangani semua berkasnya." Rekash memeriksa semua berkas. Tidak lama, dia mengangguk. “Baik. Tapi, katamu dia tidak sempurna? Apa kau yakin memberikan barang yang tidak sempurna sebagai tanda perdamaian untuk Tuan Issac?” Benjamin gelagapan. Laki-laki paruh baya itu mencengkram kedua lengan Lynette dan membawanya ke depan Rekash. “Tuan Issac suka dengan wanita polos dan perawan, kan? Dia masih perawan. Aku bisa menjaminnya!” “Ayah!” Rekash memiringkan kepalanya, menatap Lynette dari atas ke bawah dan sebaliknya. Rekash berkata, “Baiklah. Aku akan mengabarkan tentang keputusan Tuan Issac besok pagi. Dia akan jadi penentu." Penentu? Apa maksudnya? Rekash bicara lagi, "Penentu apakah Tuan Issac akan memberikan tanda damai atau malah melemparkan bendera perang kepada keluarga penghianat sepertimu!” “Ya, ya. Tentu saja.” Benjamin merinding saat mendengar kata perang. Rekash berbalik badan untuk berbicara dengan para penjaga. Benjamin segera memberikan ancaman pada Lynette. “Dengar, Lynette! Kau harus bisa memenangkan hati Tuan Issac malam ini. Berikan apa yang dia inginkan tanpa membantah!" "Tapi, kenapa harus aku?" Benjamin terus mengancamnya. "Jika, kau tidak melakukannya, aku berjanji akan membunuh anak haram sepertimu!” “Nona Lynette, ikut saya!" seru Rekash. "Dan kau Tuan Benjamin, pergilah!” Benjamin mendorong punggung Lynette agar mengikuti Rekash. “Pergi sana, sialan!” Tidak ada yang bisa Lynette lakukan, selain berjalan di belakang Rekash. Untuk yang terakhir kalinya, dia menoleh ke belakang. Dia menatap Benjamin dengan marah yang bercampur rasa takut. Lynette berjalan melewati sebuah lorong panjang setelah berbelok di koridor pertama. Dia tidak bisa berhenti memikirkan nasib selanjutnya. Jika Lynette tidak bisa memenangkan hati Tuan Issac, Benjamin akan membunuhnya. Masalahnya, dia tidak tahu siapa Tuan Issac itu! Dua orang pelayan telah menunggu di depan pintu. Mereka mengangguk pada Rekash. Lalu, membukakan pintu. Sebelum masuk, Rekash melirik Lynette yang berwajah pucat. “Seharusnya, bukan kau yang datang ke sini," ujar Rekash. “Aku tidak tahu apapun." Lynette menjawab dengan terbata-bata. Rekash berdecih. “Cih! Tidak tahu apapun?! Bahkan kau telah menandatangi surat pernikahan.” Lynette menoleh ke arah Rekash dengan mata yang membulat. “Ternyata, kau memang tidak sempurna.” Rekash memberikan isyarat pada dua pelayan tadi sebelum pergi. Kemudian, mereka meminta Lynette untuk mengganti pakaian. Di dalam ruang ganti, Lynette memandangi dirinya. Dia memakai gaun berwarna merah menyala yang sangat pendek. Memamerkan paha, bagian atas dadanya dan punggung putih bersih miliknya. Lynette keluar dengan malu. Lalu, salah satu dari pelayan segera mendandaninya. Mereka dengan sengaja memakaikan lipstik berwarna senada dengan gaun Lynette. “Tunggu jam 10 malam! Tuan Issac akan datang ke mari. Jangan tidur atau membuatnya menunggu!" Saat ini, masih pukul 9 malam. Lynette hanya sendirian di kamar ini. Duduk di atas ranjang dan tanpa sadar tertidur. Rasa nyaman dan hangat, membuatnya lupa pesan kedua pelayan tadi. Tepat pukul 10 malam, pintu terbuka. Seorang pria dengan setelan jas hitam, tinggi dengan rambut hitam. Mata birunya menatap lekuk tubuh Lynette yang menawan. Semakin mendekat, dia akhirnya mendudukkan dirinya di pinggir ranjang. Lalu, menatap wajah Lynette yang sangat cantik. Kemudian, dia terpaku pada bibir mungil Lynette. Ibu jarinya menyapu bibir Lynette dengan dorongan hasrat yang membara. “Bibir yang cantik.”Pasta? Lucian menatap bungkusan pasta di tangan Lynette. “Ya, mungkin.”Lynette tidak memikirkan lebih lanjut tentang kemungkinan yang dimaksud oleh Lucian. Dia ambil bahan-bahan yang akan dia gunakan untuk memasak yang tersedia di dalam kulkas. Kulkas itu lebih tinggi dari Lynette, memiliki 4 pintu yang lebarnya bisa 4 kaki dari langkah Lynette. Bawang putih, Bawang bombay, saus tomat, pasta, cabai merah, semua itu ada di dalam sana. Lynette menempatkan semuanya di atas meja country, di depan Lucian. Setelah itu dia kembali ke depan kulkas, kali ini dia menyusuri dari tengah ke sisi kanan dan mencari sesuatu yang sangat dia sukai. “Oh! Ini dia!”Lucian memicingkan mata menatap Lynette yang mengambil dua terong ukuran sedang. “Apakah pasta membutuhkan terong?”“Tentu saja, karena aku akan membuat pasta yang berbeda dari biasanya.”Menganggukkan kepalanya, Lucian hanya bisa mengamati Lynette yang bergerak ke sana dan kemari tanpa merasa kesusahan. Padahal sebelumnya dia melihat Lynet
Lynette terbangun pukul 9 malam, wanita itu melirik ke arah lampu tidur yang menyala sebagai penerangan utama kamar ini. Di samping kanannya, Lucian tertidur damai dengan merangkul bahunya erat. Seluruh badannya terasa sangat sakit dan sangat letih. Dia ingat dengan Lucian yang tiba-tiba menggaulinya setelah dia terbangun kaget, karena merasa bermimpi buruk. Namun ternyata itu lebih dari sekedar mimpi buruk.Alis tebal Lucian mengambil perhatiannya, Lynette memposisikan dirinya menghadap pada Lucian. Menggeser letak kepalanya yang tadinya ada di pergelangan tangan pria itu, lebih naik ke atas hingga ke bahu. “Kenapa dia bisa memasang wajah setenang itu, padahal dia memeluk pinggangku dengan sangat erat.” Pandangan Lynette turun pada tangan kiri Lucian yang melingkar di pinggangnya. Lama dalam posisi itu, Lynette mencoba menyingkirkan dirinya dari pelukan Lucian dan duduk menghadap jendela kamar. Dia bangkit, menggeser pesan gorden besar itu dan melihat jika badai telah surut dan ke
Pengkhianatan adalah sesuatu yang paling tidak dia sukai. Lucian menyandarkan punggungnya pada dinding kaca balkon. Matanya mengikuti tetesan air yang turun dan bercampur dengan rintik hujan. Badai mulai tenang, tapi tidak dengan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh mendengar pernyataan yang tidak dia sukai. “Seperti saat aku mengambil keputusan ini, kau tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini,” katanya dengan datar. Vadim tidak akan melupakan bagaimana sarannya ditolak mentah-mentah oleh Lucian dari awal sebelum semua ini terjadi. Lalu, saat ini kembali apa yang dia katakan, tidak Lucian biarkan mempengaruhi pria itu. “Aku tahu. Kau menginginkan aku diam seperti lukisan pajangan?”“Iya, aku memang berencana menjadikanmu lukisan pajangan.” Lucian menoleh dan kali ini dia balas menatap saudara dari kakeknya. “”Aku masih ingat saat kakimu harus diganti dengan kaki pasangan dan membuat Abuela larut dalam kesedihan dan hampir menyerah. Kau ingin aku menyaksikan hal tersebut untuk ke dua k
Hujan badai masih terjadi dengan kilat yang menyambar, membelah langit dengan cahaya putih yang menyilaukan. Lucian menutup gorden dengan dua lapisan, mengunci dengan cekatan jendela di kamarnya. Kemungkinan nanti malam akan di adakan bersih-bersih untuk mengatasi apa yang telah badai sebabkan. Lucian berbalik mengambil handuk dan baskom air hangat yang disediakan pelayan, sewaktu dia turun untuk menjemput Lynette. Pria itu sudah berganti pakaian menjadi kaos abu-abu polos dengan celana training hitam. Rambutnya masih basah, ujungnya menitikkan air yang langsung dia seka dengan handuk yang dia bawa.Lynette dia baringkan di sofa depan televisi kamar, menempatkan baskom dan handuk di atas meja, Lucian tidak bisa mengalihkan perhatiannya pada wajah teduh Lynette yang seakan tidak terusik dengan badai di luar sana. Melepaskan mantel yang dia pakaikan pada Lynette juga pada seluruh pakaiannya. Lucian mengangkat Lynette pada pangkuannya dan menepuk pipi wanita itu pelan, erangan Lynette
Petir menyambar, angin berhembus kencang, menggoyang-goyang gazebo. Suara hujan dan angin berpadu menjadi simfoni alam yang dramatis. Kilatan petir menerangi sejenak kebun teh yang luas, memperlihatkan dedaunan yang terombang-ambing. Seolah memberikan reaksi dari pekikan penuh rasa kaget yang Abuela berikan. Wanita tua itu terkesiap dengan petir, secara refleks memeluk Lynette yang ketakutan. Abuela menepuk pipi Lynette, membawa wanita itu di sampingnya.“Kau baik-baik saja?”“Ada apa dengan ibuku?” Mata Lynette berkaca-kaca. Dia sungguh takut dengan hujan badai, apalagi saat ini mereka berada cukup jauh dari rumah utama, meskipun posisinya tepat di belakang.Abuela memeluk Lynette lebih erat, ketika petir kembali menyambar. “Aku tidak ingat dia bagaimana. Aku hanya ingat saat dia dulu pernah berkencan dengan Benjamin Moretti dan hampir menikah. Tapi, karena ditentang sangat keras oleh kepala keluarga Moretti saat itu, mereka putus dan Benjamin menikah dengan Anya D` Angelo.”“Aku ti
“Dua hal yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan jika terjadi.”“Kenapa kau berbicara seperti itu?” Lynette merasakan hawa yang lebih dingin dari sebelumnya. Kedua pahanya terkatup menahan dingin yang kian mengepul. Matanya menyorot penuh pada Abuela yang tetap tersenyum, meski topik yang tengah mereka bicarakan adalah sesuatu yang tidak terduga bagi mereka. “Aku tidak akan berbohong, jika aku tidak akan membencimu jika Lucian kalah telak di bawah pijakanmu. Tapi, yang harus kau ketahui, Lucian tidak pernah mengikat seorang wanita apalagi hanya untuk menghangatkan ranjangnya. Pernikahan ini telah dia pikirkan dengan matang-matang, termasuk apa saja keuntungan dan kerugian yang akan dia dapatkan.”Mendung semakin petang, siang hari semakin redup. Gerimis mulai membasahi perkebunan teh terbaik di Sisilia, Abuela menarik kaki Lynette dan merangkak untuk pergi ke sisi gazebo yang lebih aman. “Duduk si sini, rintik hujan tidak akan membasahimu,” ucapnya dengan menepuk pundak Lynette
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen