“Kalau mau mati, setidaknya kau harus mati di tanganku bukan anak buahku.”
Yang menarik tangan Lynette adalah Lucian. Lynette melotot melihat laki-laki tersebut dan segera mencoba melepaskan diri. Namun, Lucian tidak membiarkannya. Dari arah belakang, Lynette bisa merasakan pundaknya menjadi tempat dagu Lucian, serta pinggangnya yang dililit oleh lengan keras. Mengunci Lynette yang mencoba memberontak dan melepaskan diri. Lynette tetap mencoba untuk melepaskan diri. Tapi Lucian malah memegang kepalanya dan menunjuk ke arah di mana dua orang tengah berdiri dengan posisi yang berbeda. Satu orang berdiri terikat di tiang, sedangkan yang satunya menodongkan pistol pada yang terikat. “Lihat ke depan!" perintah Lucian. “Tembak sekarang, Il Falco!” Kemudian, suara tembakan mengudara. Lynette terpaku di tempatnya. Wajahnya pucat pasi melihat banyaknya darah yang keluar dari kepala pria tersebut. Ludahnya tercekat. Dia ingin mengalihkan pandangannya, tapi Lucian mencegahnya. Il Flaco melambaikan tangan pada Lucian dan pergi dari sana. Dia embiarkan anak buah yang lain membersihkan mayat dan ceceran darah tersebut. “Itu yang akan terjadi, jika kau macam-macam denganku,” bisik Lucian dengan nada rendah. Lucian berkata lagi, “Aku sedang mencaritahu rahasia bajingan Benjamin. Maka, kau akan tetap di sini sampai semuanya selesai. Ah, tapi aku lupa sesuatu.” Kalimat yang tak rampung itu menarik rasa penasaran Lynette. “Apa?” Lucian melepaskan kunciannya pada pinggang Lynette, membiarkannya menjaga jarak dengan gurat ketegangan. Kepala keluarga Issac itu tertawa kecil. “Kau telah menjadi istriku. Itu artinya sampai kapanpun, aku tidak akan pernah melepaskanmu.” Kakinya melangkah mendekat, merapatkan diri dengan menundukkan dirinya pada Lynette yang jauh lebih pendek. “Meskipun kau memilih kabur dari sini dan pergi ke ujung dunia pun, aku akan mendapatkan kau kembali. Tidak akan pernah ada yang bisa lepas dari genggamanku, hidup atau mati.” Lucian meninggalkan Lynette begitu saja. Masih dengan perasaan takut, gelisah, dan kaget yang membayangi dirinya, mencekik hampir membuat dia kehabisan napas. Lynette menoleh ke belakang. Mayat itu sudah tidak ada. Begitu pun dengan noda darah. Semuanya bersih, tanpa noda. Tidak ingin berlama-lama di sana, Lynette berlari memasuki pintu keluar koridor yang dia gunakan tadi. Dengan linglung, dia berjalan lurus dan akhirnya menemukan dapur. Di sana, hanya ada beberapa pelayan yang memasak dengan cepat, tangkas, dan tanpa banyak bicara. Lyenette mendekat dan mencoba untuk menyapa mereka. “Selamat pagi,” sapanya ragu-ragu. Keempat pelayan yang ada di sana langsung menghentikan pekerjaan mereka dan membungkuk dalam-dalam seperti pelayan sebelumnya. Lynette menggigit bibirnya, kemudian dia mengibaskan tangannya di udara. “Jangan membungkuk terus! Aku ke sini ingin membantu bukan meminta sambutan.” “Nyonya Muda, mohon maaf. Kami akan memasak dengan sepenuh hati dan kami tidak akan mengecewakan Anda. Tolong tunggu kami selesai memasak!" “Aku percaya pada kalian, tapi apa salahnya aku membantu `kan? Aku juga tidak memiliki pekerjaan yang lain,” balas Lynette sembari mendekat pada penggorengan dan meneruskan apa yang ada di sana. Melihat nyonya muda mereka melakukan hal tersebut, keempat pelayan itu hanya bisa saling memandang dan tidak tahu harus melakukan apa. Tidak mendengar adanya pergerakan dari mereka, Lynette berbalik badan dengan spatula di tangannya. “Ayo, aku hanya membantu sedikit. Kalian teruskan saja apa yang telah kalian mulai.” Pada akhirnya, Lynette membuat hampir seluruh makanan yang kini tersaji di atas meja makan. Sama sekali tidak mendengarkan larangan dari kepala pelayan dan tetap menyelesaikan semuanya sendiri. Dia terbiasa melakukan semuanya sendiri, tidak ada yang membantu atau memberikan masukan. Jelas ini adalah hal yang mudah. Keempat pelayan hanya bisa pasrah dan berjejer di belakang kursi utama. Sesaat suara langkah kaki memasuki area dapur terdengar. Wajah semua pelayan pucat pasi. Lynette jelas kebingungan di tempatnya. Gadis itu refleks menoleh melihat kedatangan Lucian dengan seseorang yang dia ingat sebagai Rekash, seseorang yang mengantarkannya ke dalam kamar. Tampak wajah Lucian berkerut melihat Lynette memakai apron pelayan. "Apa ini? Kau memasak? Kepala Pelayan, rupanya kau memang sudah tidak ingin melihat matahari lagi?” “Apa yang kau katakan?” Lynette maju, mendekat pada Lucian yang menghakimi para pelayan. Meskipun dengan takut, dia tetap melangkah. “Aku sendiri yang menginginkan hal ini.” “Kau sendiri?” tanya Lucian. “Apa kau tahu peraturan apa yang ada di sini? Apa yang tidak dan boleh kau lakukan? Dan ini saatnya kau mengetahui satu dari banyak hal tersebut.” “Rekash, panggil Il Falco ke taman eksekusi!”Semuanya berjalan lancar, Telah mengetuk pintu kamar Tiara yang sebenarnya juga merupakan kamarnya, dengan pelan. Sang istri keluar dengan wajah malas, Rekash langsung mengatakan apa yang diinginkan oleh tuannya."Tuan Issac bilang, dia ingin plaster penurun panas. Aku tidak bisa menemukannya."Melewati Rekash, Tiara melenggang pergi ke dapur. Membungkukkan badan sebentar pada Lucian dan mengambilkan apa yang diinginkan tuannya.Plaster penurun panas itu ada di dalam sebuah kotak P3k yang tersimpan di dalam laci atas dapur. Lucian melirik pada Rekash yang tidak menyangka kotak itu ada di dalam sana, pria itu juga melirik balik Lucian dengan mengangkat dua jarinya."Ini," ucap Tiara sembari menyodorkan plaster penurun panas milik orang dewasa pada Lucian."Sebenarnya, tadi saya ingin mengabari Anda tentang kondisi nyonya Issac, tapi Anda sudah terlebih dahulu kemari.""Ya, semuanya mendadak." Lucian menjawab dengan nada kecil, sekali lagi dia melirik pada Rekash yang terlihat menghinda
Tiara keluar dari kamar Lynette, menutup pintu dengan pelan kemudian berjalan ke arah dapur. Duduk di sana dengan pikiran yang menaruh curiga dengan gelagat Lynette yang tidak seperti biasanya. "Apa aku melewatkan sesuatu? Seperti ada yang mengganggu Lynette, badannya panas, dan kemungkinan demam juga. Wajahnya pucat dan keringat deras, aku cukup yakin dia ada yang tengah dipikirkan olehnya."Tiara meminum kopi miliknya dengan kerutan khawatir. "Apa aku juga harus membicarakan hal ini dengan tuan Issac? Aku takut, jika ini ada berdampak serius. Dia tentu saja belum pernah melakukan olahraga berat seperti yang aku berikan, itu sebabnya tubuh Lynette belum sepenuhnya menerima? Aku tidak tahu harus bagaimana."Kebingungan melanda Tiara, wanita itu tidak pernah bimbang dengan berbagai keputusan yang dia ambil dalam bisnis dan persenjataan, tapi hanya tentang hal sekecil ini di bahkan meragukan intuisinya. Tiara menyelesaikan makanannya dan membersihkan dapur. Dalam ketenangan malam, sua
"Ini Taylor Frence, saya menulis surat ini setelah mendapatkan lokasi di mana Anda di buang oleh tuan Issac. Saya menyayangkan hal tersebut, karena kita tidak bisa secara langsung membicarakan dan mendiskusikan sesuatu yang harus kita lakukan. Pada surat ini, saya ingin bertanya, apakab Anda masih berminat untuk keluar dari keluarga Issac dan pergi sejauh mungkin dari tuan Issac. Jika Anda masih menginginkannya, Anda harus membalas surat saya ini dan menempatkannya di tempat Anda menemukan surat ini.Salam hormat, Taylor France."Surat itu tidak terlalu panjang, tapi sangat detail dan merujuk langsung pada tujuannya. Lynette bisa merasakan jika kedua tangannya bergetar samar, rasa takut menghantuinya setelah membaca dengan oleh kehati-hatian dan penuh konsentrasi surat ini. Meninggalkan Lucian dan pergi sejauh mungkin dari dunia hitam yang sama sekali tidak dia ketahui, itu adalah tujuannya atas semua kerja kerasnya. "Aku pikir, setelah aku meninggalkan mansion, Taylor tidak akan
"Jaga posisi stancemu, buka lebar kedua kakimu sama dengan lebar bahu. Pegang busurmu dengan kokoh, jaga anak panah tetap lurus.""Kali ini kita akan fokus latihan blank bale shooting, tujuan latihan ini adalah memperbaiki teknikmu, bulan hanya untuk tepat sasaran." Tiara menunjuk pada bale jerami besar yang beberapa langkah di hadapan mereka. Bale jerami itu ada di bawah pohon beringin besar yang biasanya digunakan Lynette untuk duduk beristirahat. Sekarang di sana terdapat satu bale untuk latihannya. Angin pagi berhembus lembut, membawa rasa dingin yang menusuk hampir meremukkan tulang-tulang rapuh Lynette. Hari ini dia memakai jaket biru beraksen garis putih dengan celana biru yang senada juga. Pagi tadi, Lynette bangun dengan perasaan yang sangat bahagia. Sebab, saat dia membuka lemari dia menemukan banyak sekali baju-baju baru yang kata Tiara dia boleh memakai semuanya. Lynette nanti akan berterima kasih pada Tiara karena menyediakan banyak baju untuknya. "Posisimu sangat bag
Lynette hanya bisa berdiri dengan kaku di ujung pintu, matanya melirik ke kanan dan kiri sesuai dengan pergerakan Tiara. Ide yang tiba-tiba diajukan oleh Tiara membuat Lynette tidak mengerti. "Kak, belajar di kamar juga tidak masalah.""Tidak masalah olehmu, tapi tidak dengan aku. Jika kau terus-menerus merasa ngantuk saat belajar, itu akan jadi masalah untukku."Lynette menundukkan kepala merasa tidak enak, salahkan saja kantuk yang mudah sekali menyerangnya. Ketiduran adalah sesuatu yang tidak bisa dia prediksi dan dia sendiri tidak menyadarinya, tentu saja itu hanya alasan Lynette yang tersimpan di hati. Sebuah kamar kecil yang ada tepat di samping kamar Lynette sebelumnya adalah sebuah gudang kecil yang penuh dengan barang bekas. Seperti tumpukan baju-baju di dalam kardus, buku-buku usang yang sobek dan rusak, dan beberapa perabotan rumah tangga. "Kakak, aku akan membantu.""Tidak perlu, kau kembali saja ke dalam dan selesaikan tugas yang aku berikan tadi.""Oke, aku pergi du
Kelenggangan terjadi antara Tiara dan Rekash. Kedua memiliki ekspresi yang berbeda. Tiara dengan wajah kebingungan menatap sang suami yang tidak tampak seperti biasanya, aneh. Sedangkan Rekash malah sibuk dengan kegugupan yang hampir membuat dia menyerah, tapi dia tidak boleh berhenti begitu saja. Jika dia gagal, konsekuensi akan dia dapatkan. Di dalam mobil, ada Lucian yang duduk di kursi belakang dengan memandang dua pasangan suami istri itu dengan penasaran. Rekash yang tidak kunjung melakukan apa yang dia suruh tadi membuat Lucian geram dan merasa tidak sabar. Beralih pada Rekash, pria itu sekali lagi melirik istrinya yang sudah mulai geram. "Aku bersumpah akan memukul pantatmu, jika kau tidak segera mengatakan apa maksudmu.""Tidak!" Rekash bersumpah dia tidak sengaja meninggikan suaranya. "Aku hanya ingin mengatakan sesuatu, sebentar.""Ya, baiklah, apa?" Tiara mencoba bersabar. "Apa kau .... ""Kenapa? Aku? Aku apa?" Rekash tanpa sadar melirik kembali pada mobil yang te