Suara pintu dibuka membuat Khansa terkejut. Dilihatnya Om Pras yang sudah berdiri di balik pintu, menatap tajam ke arahnya. Untungnya jubah mandi sudah dikenakannya saat mendengar teriakan kedua Om Pras tadi.
"Kenapa sih om tidak sabar, aku kan sudah bilang lima menit lagi. Apa om tidak tahu menghitung waktu selama lima menit," sungutnya mencoba memberanikan diri."Aku juga sudah mengatakan jangan lama-lama, ada hal yang harus aku selesaikan. Kamu harus ikut Hanny," tegasnya pada Khansa.Khansa melangkah melewatinya, kini dia tidak akan takut lagi. Khansa harus bisa menjaga dirinya sendiri meskipun itu dari Om Pras, suaminya sendiri. Dipakainya baju yang dibawanya kemarin dalam koper, namun saat ini baju-bajunya sudah tergantung rapi di lemari pakaian.Diambilnya salah satu baju yang pas digunakan untuk bepergian. Seingatnya Om Pras mengatakan akan pergi mengurus sesuatu. Setelah mengenakan bajunya, Khansa mencoba merias wajahnya agar tidak terlihat pucat."Sarapan dahulu, sudah hampir dingin," ucapnya sambil melongok ke arah kamar.Khansa tak menjawabnya, namun setelah selesai dia langgsung berjalan menuju ke sofa. Om Pras sudah memegang piring berisi nasi goreng. Di meja sudah ada segelas susu dan sandwich isi daging kesukaannya.Mengapa Om Pras mengetahui semua makanan dan minuman yang kusuka? Apakah Om Pras sudah menanyakannya pada mama atau Kak Yasmine? Kenapa sikapnya kadang kasar tapi bisa berubah perhatian padanya."Kalau tidak mau dimakan buang saja ke tempat sampah," ucapnya kemudian melanjutkan memakan nasi goreng yang tinggal separuh.Khansa langsung mengambil sandwich dan memakannya. Dia tak mau lagi menunggu hingga membuat Om Pras marah. Dimakannya pelan sambil meminum susu hingga habis. Om Pras tersenyum melihat piring dan gelas di hadapan Khansa sudah kosong.Diambilnya map coklat yang kemarin diberikan pada Khansa, mengeluarkan beberapa lembar kertas dan meletakkannya di atas meja bersama sebuah pulpen."Sudah dibaca? Ada yang mau ditambahkan?" tanya Om Pras sambil menatapnya.Khansa sudah tak mempedulikan isi tulisan di atas kertas, diambilnya pulpen yang tergeletak dan mulai menggoreskan tanda tangannya."Jika ada isinya yang tidak sesuai jangan menyalahkan orang lain," Om Pras mengingatkannya.Tangannya yang akan membubuhkan tanda tangan terhenti. Dibacanya sekilas tulisan tersebut. Bagian paling atas tertulis 'Perjanjian Pernikahan', selanjutnya terdapat angka 1 hingga 15. Huft... Khansa menarik napasnya, malas sekali membacanya. Pasti semua menguntungkan Om Pras, dengusnya pelan.Dilanjutkan menggerakkan tangannya menandatangani kertas yang diberikan padanya. Setelah selesai disodorkan kembali pada Om Pras yang disambut dengan kernyitan dahi. Khansa tidak membacanya, apakah dia sudah pasrah dengan kondisinya saat ini?Pras tersenyum puas, setelah ditandatangani oleh Khansa dia bisa menekannya untuk menuruti semua keinginannya. Diambilnya kertas yang sudah ditandatangani, dimasukkannya kembali ke dalam map coklat dan menyimpannya."Mengapa tidak dibaca satu persatu? Kamu yakin tidak merugikanmu?" tanyanya sambil menatap Khansa lekat."Semuanya pasti menguntungkan Om Pras mengapa aku harus membacanya?" tanya Khansa sambil mencibir ke arah Om Pras."Jangan salahkan aku jika suatu hari nanti aku akan menagih semua yang ada di atas kertas itu," ucapnya menekan Khansa."Aku sudah tak peduli. Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi selain suami yang pemarah dan pemaksa," sindir Khansa tajam.Pras terdiam, menerka-nerka apa maksud ucapan Khansa. Tidak punya siapa-siapa lagi? Jika seperti itu siapa Yasmine dan keluarga Yudhatama?Pras mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan dengan cepat pada Rama. Dimintanya menyelidiki apakah Khansa memiliki keluarga lain? Jika iya selidiki hingga semua rahasianya terungkap. Rama hanya memberikan tanda oke sebagai jawabannya.Saat ini Khansa sudah berada di dalam mobil Pras yang melaju di jalan utama ibukota. Pras fokus mengendarai mobilnya, sedangkan Khansa yang duduk di sampingnya tak berani menanyakan tujuan kepergian mereka. Hingga dilihatnya tulisan yang membuat jantung Khansa berdegup kencang. "Kampus Dwi Aksara"Apakah Om Pras akan mempertemukannya dengan Dimas?***Om Pras memarkirkan mobilnya di depan sebuah gedung. Berjalan keluar dan memutari mobil membukakan pintu di samping Khansa, dia terkejut saat pintu mobil terbuka lebar."Turunlah!" perintahnya pelan.Khansa mulai menurunkan kakinya agar tidak ditarik tangannya oleh Om Pras lagi. Setelah berdiri berjajar dengan Om Pras, didengarnya kalimat yang mengancam."Aku akan mendaftarkan kuliah sesuai keinginanmu, namun ingat sekali saja melanggar perjanjian yang sudah ditandatangani, tanpa alasan yang tepat maka saat itu juga namamu akan dicoret dari kampus ini," seringai Om Pras menatapku lekat.Khansa hanya mengangguk. Satu keinginannya menjadi mahasiswi di sini sudah di depan mata. Sebuah senyuman terlihat dari sudut bibirnya. Om Pras yang melihat senyum Khansa menatapnya tajam. Khansa menarik senyumnya hingga memutuskan mengikuti langkah kaki Om Pras."Ingat baik-baik, jika kamu yang memulainya maka bersiaplah menerima hukuman," ucapnya sambil melangkah cepat. Mereka berjalan beriringan menuju lobi. Beberapa karyawan yang sudah hadir dan melihat kedatangan mereka menundukkan kepalanya memberi hormat.Siapa sebenarnya Om Pras, mengapa mereka memberi hormat padanya. Khansa menepis rasa penasaran dengan mempercepat langkahnya. Tiba-tiba Om Pras berhenti sehingga dia menabrak punggungnya yang kokoh. Diusapnya dahi yang berbenturan sambil meringis.Om Pras membalikkan badannya dan menggelengkan kepala sambil menghapus senyum yang masih tersisa. Khansa hanya menatapnya sesaat dan terpaku pada tulisan di pintu 'Direktur - Ramadhani". Seorang wanita yang awalnya duduk di kursi langsung bangun, menghampiri mereka. Diketuknya pintu sambil membukakan pintu pelan.Om Pras masuk dan melangkah menuju sofa. Pak Rama yang duduk di kursinya beranjak dan menghampiri dan ikut duduk di sana. Khansa yang ingin duduk menjauh, namun Om Pras menatapnya tajam. Diurungkan niatnya dan duduk di samping Om Pras dengan terpaksa.Pak Rama yang sudah duduk di hadapan Om Pras tersenyum melihatku menunduk. "Wah ternyata berhasil juga ya menaklukannya, padahal ... .""Lanjutkan jika mau tulisan di depan pintu berganti nama," ucap Om Pras tajam menatap Rama.Pak Rama tak melanjutkan ucapannya, berdiri dan melangkah menuju meja mengambil berkas dan diberikannya pada Khansa untuk diisi. Formulir pendaftaran mahasiswa baru, Khansa mengambilnya menatap Om Pras meminta persetujuannya.Saat Om Pras mengangguk Khansa mulai mengisi formulir pendaftaran dengan pulpen yang ada di meja. Om Pras dan Pak Rama mulai berbincang mengenai pekerjaan, Khansa tak bisa mendengarkan perbincangan mereka karena fokusnya kini pada formulir yang harus diisinya.Setelah selesai diserahkannya pada Om Pras untuk dicek kembali. Dibacanya sekilas dan diberikan kembali pada Rama. Om Pras langsung beranjak bangun dan melangkah cepat menuju pintu. Khansa yang melihatnya, ikut bangun dan mengucapkan terima kasihnya pada Pak Rama.Langkah Om Pras sangat cepat hingga aku tertinggal beberapa langkah di belakang. Saat mulai memasuki lobi, sebuah suara memanggil namanya."Khansa...!"Khansa terdiam tak bergerak, suara itu suara yang dirindukannya. Namun mengingat perlakuan Om Pras padanya semalam, membuatnya tak berani melihat ke arah suara."Benar kamu Khansa kan? Wah... masuk di kampus ini juga ya, Sa?" ucapnya sambil mengulurkan tangannya untuk memberikan ucapan selamat.Saat itu Khansa ragu untuk mengulurkan tangannya. Apakah akan diulurkan untuk menerima ucapan selamat dari Dimas? tanyanya pelan. Sebuah suara yang menahan tangannya bergerak kini terdengar di sampingnya."Ehem...!"Suara deheman Om Pras sudah berada di samping Khansa. Dia terdiam membeku tak berani menatapnya. Dimas heran melihat tingkah Khansa.Mohon maaf ada sedikit kendala saat melakukan perilisan bab 6.
Khansa terdiam melihat Om Pras yang sudah berada di sampingnya. Dimas menatap Om Pras dan menarik tanggannya yang tadi terulur pada Khansa. "Jika ada yang ingin di sampaikan, sampaikan pada saya. Saya suami Khansa, Prasetya. CEO Kampus Dwi Aksara," ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Dimas. Khansa terpaku mendengar ucapan Om Pras. Di tatapnya wajah Om Pras untuk mencari jawaban. Tatap mata Om Pras hanya tertuju pada Dimas. Ditariknya napas panjang sebelum mencoba menatap Dimas yang telah menjabat tangan Om Pras. Dimas membuang rasa takut pada Prasetya, walau dia adalah pemilik kampus tempat Dimas kuliah. Setelah melepaskan jabat tangannya, Dimas menatap Khansa, memastikan jika dia baik-baik saja. Khansa mengangguk, mencoba mengatakan jika dirinya aman bersama Om Pras. Tangan Khansa ditarik Om Pras yang sudah melangkah cepat menuju mobil yang terparkir. Khansa harus kembali berlari kecil untuk menyeimbangi.Sesampainya di samping mobil, Om Pras membalikkan badannya hingga wajah m
Om Pras masuk ke dalam ruangannya setelah Nadin meninggalkan mereka dengan kesal. Tak lama sekretarisnya datang, meminta maaf karena baru saja meninggalkan mejanya. Om Pras mengangguk dan menarik tangan Khansa untuk ikut masuk ke dalam. Sebelum pintu ditutup Om Pras meminta dipesankan makan siang untuk mereka. "Di tempat biasa saja, dua porsi. Jus alpukat tanpa susu juga air mineral," pesannya sebelum menutup pintu. Khansa duduk di sofa sambil matanya mengelilingi ruangan Om Pras, tadi Nadin bilang jika ruangannya di samping ruang Om Pras. Di mana ruangan asisten pribadi? "Ada pintu di dekat lemari bukalah. Di sana ruang kerjanya, jika itu yang dicari," ucap Om Pras sambil menunjuk pintu yang dimaksudnya. Khansa berdiri ingin melihat ruangan tempatnya bekerja nanti. Berjalan menuju pintu yang dimaksudnya dan membukanya. Wajahnya memerah setelah melihat isi ruangan yang disangkanya adalah ruang kerja seperti umumnya. Di hadapannya terdapat sebuah tempat tidur yang cukup besar, sofa
Om Pras berjalan menuju pintu yang sudah dibuka oleh seorang pelayan. Dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Khansa yang berjalan di belakangnya terkesima dengan rumah yang sangat mewah. Sebelum melangkah ke arah sofa, Om Pras meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya dan Khasna. Khansa masih mengamati bagian dalam rumah utama. Dirasakan tangannya ditarik oleh Om Pras agar mengikutinya menuju sofa. Om Pras langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia memilih sofa yang agak jauh dari Om Pras dan perlahan duduk di sana. Nadin keluar dari kamar di bawah tangga bersama Mama Dewi yang di dorongnya. Tatapan mata Nadin seakan mengejeknya, sedangkan tatapan mata Mama Dewi menahan amarahnya. Khansa menatap Om Pras, sesaat Om Pras memberikan kode dengan meletakkan jari di depan bibirnya. Khansa mengangguk. Itu artinya dia tidak perlu menjawab atau mengeluarkan suara. Pelayan datang membawakan minuman yang diminta Om Pras, meletakkannya di atas meja bersamaan dengan Mama yang sudah ada di hada
Setelah bertemu Mama Dewi Om Pras sangat kesal. Khansa tak berani menanyakannya, apa yang diucapkan Om Pras langsung diturutinya. Biarlah Om Pras yang nanti akan menjelaskannya, saat ini sebaiknya dia diam dan menuruti semua keinginannya. "Hanny, aku akan bertemu Rama di lobi. Ada beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Mau menemani atau menunggu di sini?" tanyanya setelah mereka selesai makan malam. "Bolehkah menunggu di sini saja?" tanya Khansa kembali. Om Pras mengangguk, dia membiarkan Khansa menunggu karena ada beberapa hal terkait informasi yang akan dilaporkan Rama berkaitan dengan masa lalunya. Om Pras beranjak melangkah menuju pintu. Khansa mengiringi di belakangnya, Sebelum keluar kamar Om Pras berbalik dan berpesan, "Jangan bukakan pintu kecuali aku yang masuk." Khansa mengangguk. Saat pintu ditutupnya, Khansa teringat ucapan Mama Dewi. Tak disangka dia akan menjadi istri yang tak diinginkan olehnya. Apakah hal ini yang membuat Kak Yasmine memutuskan memilih Kak B
Khansa tak bergeming. Ditatapnya lurus jendela di hadapannya. Hembusan napas kasarnya membuat Om Pras jengah. Dirasakan lengannya ditarik dengan kasar, hingga wajahnya menatap wajah Om Pras yang marah. "Kenapa Om, mau menghukum aku lagi? Silakan om... aku memang ada untuk dihukum bukan. Karena aku tak pantas bahagia. Aku dilahirkan hanya membuat orang lain susah!" teriaknya menantang tatapan Om Pras yang marah. Sekejap Om Pras terkesiap melihat Khansa yang begitu emosi. Dikendurkannya pegangan pada lengan Khansa yang terlihat memerah. Butir air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kemarahan di wajahnya berkurang. "Kenapa Hanny, ada yang menyakitimu?" tanya Om Pras pelan. "Om yang menyakiti aku. Om tak menganggap aku ada, aku hanya pelampiasan kemarahan Om saja bukan?!" tanyanya sedikit berteriak. Om Pras yang awalnya ingin mengerjai Khansa dengan foto di laptopnya merasa bersalah dengan reaksi yang diberikan Khansa. Dihapusnya butiran air yang sudah jatuh, mencoba tersenyum unt
"Bagaimana? masih mau marah? Kalau tidak suka aku hapus sekarang juga," ledek Om Pras pada Khansa. "Jangan om, aku mau foto itu saja di sana. Tapi om harus menjelaskan siapa wanita yang sebelumnya ada di sana," rajuknya sambil melingkarkan tangannya di lengan Om Pras. Disandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Om Pras melanjutkan pekerjaannya untuk memeriksa email yang masuk dibiarkan Khansa yang bermanja di sampingnya. Huft... sepertinya dia harus banyak mengalah dengan istri kecilnya ini. Setelah selesai dan Om Pras menutup laptop serta menaruhnya di atas nakas. Diliriknya Khansa yang ternyata kembali tertidur. Dibaringkan badannya agar tidak menekuk karena tertidur saat duduk bersandar. Direbahkan tubuhnya di samping Khansa, dipeluknya tubuh Khansa hingga terasa kehangatan mengalir dan tak lama diapun ikut terpejam. "Om, bangun! teleponnya dari tadi berbunyi," ujar Khansa kesal. Om Pras mengambil ponsel dan melirik nama yang tertera di layar, Rama. Ada apa? bukannya tadi sud
"Bagaimana kabar bisnis Yudhatama, pa?" tanya Om Pras membuka percakapan."Sepertinya papa tidak bisa bertahan. Papa harus mengalah dengan pebisnis muda," keluhnya menjawab pertanyaan Om Pras. Om Pras mengangguk-angguk. Kemudian meminta maaf. " Maaf telah membuat dua kontrak di batalkan," senyum Om Pras terlihat saat melirik ke arah Khansa kemudian melanjutkan ucapannya."Khansa memintaku untuk membantu di Yudhatama karena dua proyek yang kemarin dibatalkan disebabkan olehnya. Jadi kami bermaksud mengembalikan nilai kontrak yang sama pada perusahaan papa," jelasnya.Papa menatap Khansa seakan memastikan apa yang dikatakan Om Pras adalah benar. Khansa hanya mengangguk setelah menatap Om Pras sesaat. Om Pras melanjutkan ucapannya, "Papa bisa menghubungi Rama untuk memilih dua kontrak yang senilai. Aku sudah menyiapkannya.""Wah, papa senang sekali mendengarnya. Papa jadi bersemangat kembali untuk melanjutkan bisnis ini," ucap papa sambil tersenyum penuh kemenangan. "Oh ya Pa. Kami akan
Khansa menunggu Om Pras menjawab pertanyaannya, dilangkahkan kakinya menuju sofa. Om Pras mengikuti Khansa sedangkan Rama melanjutkan kembali pekerjaannya. Mereka kini duduk di sofa, masih dengan keheningan yang mereka ciptakan. Khansa masih menunggu jawaban. "Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apakah akan mempengaruhi hubungn kita. Surat perjanjian sudah ditandatangani tidak ada yang memaksamu saat menandatanganinya bukan?" tegas Om Pras sambil menatap tajam. "Minimal aku tahu dengan siapa aku bertarung untuk mendapatkan Mas Pras. Jika memang dia bukan lawanku aku akan mundur perlahan. Apalagi jika aku tahu mas lebih memilihnya, aku akan mengalah untuk kebahagiaan Om Pras," ucapnya pelan sambil menunduk. Om Pras tersenyum melihat Khansa yang sudah menjadi istrinya tertunduk di sampingnya. Diangkat dagunya pelan agar dia bisa menatap wajahnya, diciumnya pelan bibir yang selalu membuatnya ingin menikmatinya lagi. Awalnya Khansa membalas ciumannya, tak lama ditariknya wajahnya dan m