Share

Bab 6 Bertemu Dimas

Suara pintu dibuka membuat Khansa terkejut. Dilihatnya Om Pras yang sudah berdiri di balik pintu, menatap tajam ke arahnya. Untungnya jubah mandi sudah dikenakannya saat mendengar teriakan kedua Om Pras tadi.

"Kenapa sih om tidak sabar, aku kan sudah bilang lima menit lagi. Apa om tidak tahu menghitung waktu selama lima menit," sungutnya mencoba memberanikan diri.

"Aku juga sudah mengatakan jangan lama-lama, ada hal yang harus aku selesaikan. Kamu harus ikut Hanny," tegasnya pada Khansa.

Khansa melangkah melewatinya, kini dia tidak akan takut lagi. Khansa harus bisa menjaga dirinya sendiri meskipun itu dari Om Pras, suaminya sendiri. Dipakainya baju yang dibawanya kemarin dalam koper, namun saat ini baju-bajunya sudah tergantung rapi di lemari pakaian.

Diambilnya salah satu baju yang pas digunakan untuk bepergian. Seingatnya Om Pras mengatakan akan pergi mengurus sesuatu. Setelah mengenakan bajunya, Khansa mencoba merias wajahnya agar tidak terlihat pucat.

"Sarapan dahulu, sudah hampir dingin," ucapnya sambil melongok ke arah kamar.

Khansa tak menjawabnya, namun setelah selesai dia langgsung berjalan menuju ke sofa. Om Pras sudah memegang piring berisi nasi goreng. Di meja sudah ada segelas susu dan sandwich isi daging kesukaannya.

Mengapa Om Pras mengetahui semua makanan dan minuman yang kusuka? Apakah Om Pras sudah menanyakannya pada mama atau Kak Yasmine? Kenapa sikapnya kadang kasar tapi bisa berubah perhatian padanya.

"Kalau tidak mau dimakan buang saja ke tempat sampah," ucapnya kemudian melanjutkan memakan nasi goreng yang tinggal separuh.

Khansa langsung mengambil sandwich dan memakannya. Dia tak mau lagi menunggu hingga membuat Om Pras marah. Dimakannya pelan sambil meminum susu hingga habis. Om Pras tersenyum melihat piring dan gelas di hadapan Khansa sudah kosong.

Diambilnya map coklat yang kemarin diberikan pada Khansa, mengeluarkan beberapa lembar kertas dan meletakkannya di atas meja bersama sebuah pulpen.

"Sudah dibaca? Ada yang mau ditambahkan?" tanya Om Pras sambil menatapnya.

Khansa sudah tak mempedulikan isi tulisan di atas kertas, diambilnya pulpen yang tergeletak dan mulai menggoreskan tanda tangannya.

"Jika ada isinya yang tidak sesuai jangan menyalahkan orang lain," Om Pras mengingatkannya.

Tangannya yang akan membubuhkan tanda tangan terhenti. Dibacanya sekilas tulisan tersebut. Bagian paling atas tertulis 'Perjanjian Pernikahan', selanjutnya terdapat angka 1 hingga 15. Huft... Khansa menarik napasnya, malas sekali membacanya. Pasti semua menguntungkan Om Pras, dengusnya pelan.

Dilanjutkan menggerakkan tangannya menandatangani kertas yang diberikan padanya. Setelah selesai disodorkan kembali pada Om Pras yang disambut dengan kernyitan dahi. Khansa tidak membacanya, apakah dia sudah pasrah dengan kondisinya saat ini?

Pras tersenyum puas, setelah ditandatangani oleh Khansa dia bisa menekannya untuk menuruti semua keinginannya. Diambilnya kertas yang sudah ditandatangani, dimasukkannya kembali ke dalam map coklat dan menyimpannya.

"Mengapa tidak dibaca satu persatu? Kamu yakin tidak merugikanmu?" tanyanya sambil menatap Khansa lekat.

"Semuanya pasti menguntungkan Om Pras mengapa aku harus membacanya?" tanya Khansa sambil mencibir ke arah Om Pras.

"Jangan salahkan aku jika suatu hari nanti aku akan menagih semua yang ada di atas kertas itu," ucapnya menekan Khansa.

"Aku sudah tak peduli. Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi selain suami yang pemarah dan pemaksa," sindir Khansa tajam.

Pras terdiam, menerka-nerka apa maksud ucapan Khansa. Tidak punya siapa-siapa lagi? Jika seperti itu siapa Yasmine dan keluarga Yudhatama?

Pras mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan dengan cepat pada Rama. Dimintanya menyelidiki apakah Khansa memiliki keluarga lain? Jika iya selidiki hingga semua rahasianya terungkap. Rama hanya memberikan tanda oke sebagai jawabannya.

Saat ini Khansa sudah berada di dalam mobil Pras yang melaju di jalan utama ibukota. Pras fokus mengendarai mobilnya, sedangkan Khansa yang duduk di sampingnya tak berani menanyakan tujuan kepergian mereka. Hingga dilihatnya tulisan yang membuat jantung Khansa berdegup kencang. "Kampus Dwi Aksara"

Apakah Om Pras akan mempertemukannya dengan Dimas?

***

Om Pras memarkirkan mobilnya di depan sebuah gedung. Berjalan keluar dan memutari mobil membukakan pintu di samping Khansa, dia terkejut saat pintu mobil terbuka lebar.

"Turunlah!" perintahnya pelan.

Khansa mulai menurunkan kakinya agar tidak ditarik tangannya oleh Om Pras lagi. Setelah berdiri berjajar dengan Om Pras, didengarnya kalimat yang mengancam.

"Aku akan mendaftarkan kuliah sesuai keinginanmu, namun ingat sekali saja melanggar perjanjian yang sudah ditandatangani, tanpa alasan yang tepat maka saat itu juga namamu akan dicoret dari kampus ini," seringai Om Pras menatapku lekat.

Khansa hanya mengangguk. Satu keinginannya menjadi mahasiswi di sini sudah di depan mata. Sebuah senyuman terlihat dari sudut bibirnya. Om Pras yang melihat senyum Khansa menatapnya tajam. Khansa menarik senyumnya hingga memutuskan mengikuti langkah kaki Om Pras.

"Ingat baik-baik, jika kamu yang memulainya maka bersiaplah menerima hukuman," ucapnya sambil melangkah cepat. Mereka berjalan beriringan menuju lobi. Beberapa karyawan yang sudah hadir dan melihat kedatangan mereka menundukkan kepalanya memberi hormat.

Siapa sebenarnya Om Pras, mengapa mereka memberi hormat padanya. Khansa menepis rasa penasaran dengan mempercepat langkahnya. Tiba-tiba Om Pras berhenti sehingga dia menabrak punggungnya yang kokoh. Diusapnya dahi yang berbenturan sambil meringis.

Om Pras membalikkan badannya dan menggelengkan kepala sambil menghapus senyum yang masih tersisa. Khansa hanya menatapnya sesaat dan terpaku pada tulisan di pintu 'Direktur - Ramadhani". Seorang wanita yang awalnya duduk di kursi langsung bangun, menghampiri mereka. Diketuknya pintu sambil membukakan pintu pelan.

Om Pras masuk dan melangkah menuju sofa. Pak Rama yang duduk di kursinya beranjak dan menghampiri dan ikut duduk di sana. Khansa yang ingin duduk menjauh, namun Om Pras menatapnya tajam. Diurungkan niatnya dan duduk di samping Om Pras dengan terpaksa.

Pak Rama yang sudah duduk di hadapan Om Pras tersenyum melihatku menunduk. "Wah ternyata berhasil juga ya menaklukannya, padahal ... ."

"Lanjutkan jika mau tulisan di depan pintu berganti nama," ucap Om Pras tajam menatap Rama.

Pak Rama tak melanjutkan ucapannya, berdiri dan melangkah menuju meja mengambil berkas dan diberikannya pada Khansa untuk diisi. Formulir pendaftaran mahasiswa baru, Khansa mengambilnya menatap Om Pras meminta persetujuannya.

Saat Om Pras mengangguk Khansa mulai mengisi formulir pendaftaran dengan pulpen yang ada di meja. Om Pras dan Pak Rama mulai berbincang mengenai pekerjaan, Khansa tak bisa mendengarkan perbincangan mereka karena fokusnya kini pada formulir yang harus diisinya.

Setelah selesai diserahkannya pada Om Pras untuk dicek kembali. Dibacanya sekilas dan diberikan kembali pada Rama. Om Pras langsung beranjak bangun dan melangkah cepat menuju pintu. Khansa yang melihatnya, ikut bangun dan mengucapkan terima kasihnya pada Pak Rama.

Langkah Om Pras sangat cepat hingga aku tertinggal beberapa langkah di belakang. Saat mulai memasuki lobi, sebuah suara memanggil namanya.

"Khansa...!"

Khansa terdiam tak bergerak, suara itu suara yang dirindukannya. Namun mengingat perlakuan Om Pras padanya semalam, membuatnya tak berani melihat ke arah suara.

"Benar kamu Khansa kan? Wah... masuk di kampus ini juga ya, Sa?" ucapnya sambil mengulurkan tangannya untuk memberikan ucapan selamat.

Saat itu Khansa ragu untuk mengulurkan tangannya. Apakah akan diulurkan untuk menerima ucapan selamat dari Dimas? tanyanya pelan. Sebuah suara yang menahan tangannya bergerak kini terdengar di sampingnya.

"Ehem...!"

Suara deheman Om Pras sudah berada di samping Khansa. Dia terdiam membeku tak berani menatapnya. Dimas heran melihat tingkah Khansa.

Oase-biru

Mohon maaf ada sedikit kendala saat melakukan perilisan bab 6.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status