Khansa terdiam melihat Om Pras yang sudah berada di sampingnya. Dimas menatap Om Pras dan menarik tanggannya yang tadi terulur pada Khansa.
"Jika ada yang ingin di sampaikan, sampaikan pada saya. Saya suami Khansa, Prasetya. CEO Kampus Dwi Aksara," ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Dimas.Khansa terpaku mendengar ucapan Om Pras. Di tatapnya wajah Om Pras untuk mencari jawaban. Tatap mata Om Pras hanya tertuju pada Dimas. Ditariknya napas panjang sebelum mencoba menatap Dimas yang telah menjabat tangan Om Pras.Dimas membuang rasa takut pada Prasetya, walau dia adalah pemilik kampus tempat Dimas kuliah. Setelah melepaskan jabat tangannya, Dimas menatap Khansa, memastikan jika dia baik-baik saja.Khansa mengangguk, mencoba mengatakan jika dirinya aman bersama Om Pras. Tangan Khansa ditarik Om Pras yang sudah melangkah cepat menuju mobil yang terparkir. Khansa harus kembali berlari kecil untuk menyeimbangi.Sesampainya di samping mobil, Om Pras membalikkan badannya hingga wajah mereka saling berhadapan. Tubuh Khansa yang lebih pendek darinya, mengharuskan Om Pras mengangkat dagu Khansa pelan.Tak lama bibir Om Pras sudah berada di bibirnya, mencium dengan kasar. Khansa memejamkan matanya karena menyadari di belakangnya Dimas pasti memperhatikan mereka. Tak lama ciuman kasar Om Pras berubah perlahan, hingga Khansa mulai menikmatinya dan membalasnya pelan.Tak disadarinya kaki Khansa menjinjit mengimbangi tinggi badannya. Om Pras memundurkan wajahnya saat dirasakan Khansa mulai kesulitan bernapas. Khansa berusaha mengatur kembali napasnya dengan wajah yang memerah setelah bertatapan dengan Om Pras yang tersenyum puas."Cepat juga cara belajarmu Hanny, ini hukuman pertama. Jika melakukan kesalahan yang sama maka aku akan melakukannya di depan Dimas, Paham!" ucapnya tegas pada Khansa.Khansa mengangguk pelan. Om Pras membukakan pintu mobil dan membiarkan Khansa masuk. Setelah menutup pintu kembali, dia langsung memutari mobil dan bergegas masuk ke dalam mobil di belakang kemudi. Dipasangnya sabuk pengaman dan segera menyalakan mesin mobil, melajukan mobil meninggalkan gedung yang ternyata milik Om Pras.Dimas memperhatikan semua yang dilakukan Pras pada Khansa. Benaknya kini penuh dengan pertanyaan yang membuatnya kebingungan. Benarkan Khansa sudah menikah? Dengan pemilik Dwi Aksara, Prasetya Putra Narendra. Bukankah ujian sekolah baru pekan kemarin selesai?"Hey, Bos. Sudah selesai urusannya?" tanya Gilang yang melihat Dimas terdiam."Wah... kesambet apa nih bos kita," ucap Handy yang melihat Dimas tak bergeming."Woi... Dimas!" teriak Gilang membuat Dimas tersentak kaget."Awww!"Dimas melemparkan buku yang dipegangnya pada Gilang yang kemudian mengaduh. Gilang berteriak kaget karena lemparan Dimas tepat mengenai dahinya. Handy mengambil kembali buku yang dilempar dan mengembalikannya pada Dimas."Ada setan apa sih Bos? sampe bengong begitu?" tanya Handy."Prasetya Putra Narendra, dia pemilik kampus kita bukan?" tanyanya pada Handy."Iya, kalau tidak salah begitu, Bos."Dimas mengangguk-angguk. Gilang dan Handy dapat diperintahnya untuk mencari informasi mengenai pernikahan Prasetya dan Khansa. Mengapa harus Khansa yang dinikahi Prasetya? Setahunya seharusnya yang menikah adalah Yasmine, Kakak Khansa.***"Kita akan ke kantor. sebelumnya kita ke butik dahulu. Aku sudah memesankan beberapa setel pakaian untuk bekerja. Mulai pekan depan mulailah belajar menjadi salah satu karyawanku. Sesuai surat perjanjian, jabatanmu adalah asisten pribadiku," ucap Om Pras tanpa menoleh sedikitpun."Aku belum pernah bekerja, apa yang akan aku lakukan?" tanya Khansa bingung."Menyiapkan semua kebutuhan pribadiku," jelasnya singkat."Tapi Om...,""Tidak ada bantahan Hanny, kamu sudah menandatanganinya. Saat aku menanyakan kembali berkasnya sudah ditandatangani, artinya semua isinya sudah disetujui, ingat?"Huft... ini adalah kesalahannya. Khansa tidak membaca dengan detail apa yang harus dilakukannya. Sebatas apa asisten pribadi yang dimaksudnya? Mengapa harus aku, bukankah aku sudah menjadi istrinya?"Om, asisten pribadi itu seperti apa?" tanya Khansa sambil mencoba melirik ke arah Om Pras."Memenuhi semua kebutuhan pribadiku tanpa kecuali dan tanpa bantahan," jawabnya tanpa bergeming.Tanpa kecuali, apa maksudnya? Khansa tak mengerti, namun karena ini adalah pekerjaan di kantor jadi semua akan berhubungan dengan pekerjaan kantor pastinya. Khansa berharap apa yang akan dikerjakannya sesuai dengan kemampuannya.Sudahlah... Selama ini dia juga belum bekerja, apalagi baru lulus SMA tidak mungkin diminta pekerjaan yang menyulitkan. Mobil sudah memasuki parkiran butik ternama. Bukankah ini tempatnya memesan gaun pengantin?Om Pras sudah berjalan masuk setelah menutup pintu mobil. Aku mengikutinya dari belakang. Saat masuk mereka langsung disambut dan diantar ke ruang pribadi.Di sana sudah ada beberapa baju kerja yang seukuran, namun berbeda warna. Om Pras memintaku mencoba satu setel, Khansa memilih yang berwarna coklat susu untuk dicobanya. Khansa melangkah ke bilik ganti yang disediakan.Setelah mengganti pakaian dengan baju yang diambilnya, Khansa melihat dirinya di cermin. Pakaian yang dikenakan sangat pas di badannya, sepertinya memang dibuat untuknya."Keluarlah Hanny, aku ingin melihatnya," ujar Om Pras setelah menunggu beberapa lama.Khansa melangkah keluar bilik, menghampiri Om Pras yang sudah menunggunya. Om Pras tersenyum puas. Mengangguk dan mengambil tangannya untuk berpindah menuju kursi. Di sana sudah ada sepatu yang sudah disiapkan juga.Om Pras mengenakan sepatu pada kaki Khansa setelah mecopot sepatu yang dipakainya. Sekarang Khansa sudah siap. Khansa merasa semuanya berbeda, semua karena baju yang dikenakan serta sepatu pantofelnya."Mba Alina, semuanya bawakan ke rumah besar. Terima kasih untuk semua desain bajunya," ucap Om Pras kemudian meninggalkan butik melanjutkan perjalanan menuju kantor.Lima belas menit perjalanan menuju kantornya, di pinggirkan mobil dan memberikan kuncinya pada sopir kantor. Om Pras menunggu hingga Khansa mensejajarkan langkahnya.Biasanya aku akan ditinggalnya, tapi kali ini Om Pras menggandeng tangannya. Ditariknya tangan Khansa agar melingkari lengannya. Setelah memastikan aman, barulah Om Pras berjalan masuk ke dalam lobi kantor.Beberapa karyawan yang melihatnya mengangguk memberikan tanda penghormatan. Khansa yang berjalan di sampingnya berusaha tersenyum walaupun sedikit dipaksakan.Tadi mereka di Kampus Dwi Aksara dan kini mereka di kantor utama Narendra grup. Sepertinya Om Pras sedang menunjukkan tempatnya bekerja.Mereka berdua sampai di depan ruangan bertuliskan Presiden Direktur. Nama Prasetya Putra Narendra tertera di sana. Khansa menatapnya ingin bertanya. Namun diurungkan niatnya saat dilihatnya Nadin keluar dari ruang kerja Om Pras."Pras! Mengapa membawanya ke kantor?" tanyanya saat melihat Khansa berjalan di samping Pras."Ruangannya sudah siap?" tanya Om Pras tajam tanpa menjawab pertanyaan Nadin."Bukannya aku yang akan menempati ruangan itu Pras? Mengapa jadi Khansa?"Diingatnya saat Pras meminta banyak pendapat untuk ruangan pribadinya. Nadin yang sangat senang akhirnya tugasnya menjaga Bu Dewi, akan berganti menjadi asisten pribadi Presiden Direktur."Ruangan itu untuk Khansa, dia yang akan menjadi asisten pribadiku, kamu tetap menjaga mama sampai mama sembuh," ucap Pras tanpa mempedulikan perasaan Nadin padanya.Nadin beberapa kali mengungkapkan perasaannya pada Pras, namun tak pernah digubrisnya. Niat Nadin merawat mamanya yang lumpuh hanya untuk menarik perhatian Pras.Setelah menggagalkan pernikahan Pras dengan Yasmine, Pras malah menikah dengan Khansa. Adik kandung Yasmine. Kini jabatan asisten pribadi juga diberikan Pras pada Khansa."Awas saja Pras. Suatu hari nanti kamu akan menyesal dengan pilihan yang kamu ambil," janji Nadin dalam hati.Om Pras masuk ke dalam ruangannya setelah Nadin meninggalkan mereka dengan kesal. Tak lama sekretarisnya datang, meminta maaf karena baru saja meninggalkan mejanya. Om Pras mengangguk dan menarik tangan Khansa untuk ikut masuk ke dalam. Sebelum pintu ditutup Om Pras meminta dipesankan makan siang untuk mereka. "Di tempat biasa saja, dua porsi. Jus alpukat tanpa susu juga air mineral," pesannya sebelum menutup pintu. Khansa duduk di sofa sambil matanya mengelilingi ruangan Om Pras, tadi Nadin bilang jika ruangannya di samping ruang Om Pras. Di mana ruangan asisten pribadi? "Ada pintu di dekat lemari bukalah. Di sana ruang kerjanya, jika itu yang dicari," ucap Om Pras sambil menunjuk pintu yang dimaksudnya. Khansa berdiri ingin melihat ruangan tempatnya bekerja nanti. Berjalan menuju pintu yang dimaksudnya dan membukanya. Wajahnya memerah setelah melihat isi ruangan yang disangkanya adalah ruang kerja seperti umumnya. Di hadapannya terdapat sebuah tempat tidur yang cukup besar, sofa
Om Pras berjalan menuju pintu yang sudah dibuka oleh seorang pelayan. Dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Khansa yang berjalan di belakangnya terkesima dengan rumah yang sangat mewah. Sebelum melangkah ke arah sofa, Om Pras meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya dan Khasna. Khansa masih mengamati bagian dalam rumah utama. Dirasakan tangannya ditarik oleh Om Pras agar mengikutinya menuju sofa. Om Pras langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia memilih sofa yang agak jauh dari Om Pras dan perlahan duduk di sana. Nadin keluar dari kamar di bawah tangga bersama Mama Dewi yang di dorongnya. Tatapan mata Nadin seakan mengejeknya, sedangkan tatapan mata Mama Dewi menahan amarahnya. Khansa menatap Om Pras, sesaat Om Pras memberikan kode dengan meletakkan jari di depan bibirnya. Khansa mengangguk. Itu artinya dia tidak perlu menjawab atau mengeluarkan suara. Pelayan datang membawakan minuman yang diminta Om Pras, meletakkannya di atas meja bersamaan dengan Mama yang sudah ada di hada
Setelah bertemu Mama Dewi Om Pras sangat kesal. Khansa tak berani menanyakannya, apa yang diucapkan Om Pras langsung diturutinya. Biarlah Om Pras yang nanti akan menjelaskannya, saat ini sebaiknya dia diam dan menuruti semua keinginannya. "Hanny, aku akan bertemu Rama di lobi. Ada beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Mau menemani atau menunggu di sini?" tanyanya setelah mereka selesai makan malam. "Bolehkah menunggu di sini saja?" tanya Khansa kembali. Om Pras mengangguk, dia membiarkan Khansa menunggu karena ada beberapa hal terkait informasi yang akan dilaporkan Rama berkaitan dengan masa lalunya. Om Pras beranjak melangkah menuju pintu. Khansa mengiringi di belakangnya, Sebelum keluar kamar Om Pras berbalik dan berpesan, "Jangan bukakan pintu kecuali aku yang masuk." Khansa mengangguk. Saat pintu ditutupnya, Khansa teringat ucapan Mama Dewi. Tak disangka dia akan menjadi istri yang tak diinginkan olehnya. Apakah hal ini yang membuat Kak Yasmine memutuskan memilih Kak B
Khansa tak bergeming. Ditatapnya lurus jendela di hadapannya. Hembusan napas kasarnya membuat Om Pras jengah. Dirasakan lengannya ditarik dengan kasar, hingga wajahnya menatap wajah Om Pras yang marah. "Kenapa Om, mau menghukum aku lagi? Silakan om... aku memang ada untuk dihukum bukan. Karena aku tak pantas bahagia. Aku dilahirkan hanya membuat orang lain susah!" teriaknya menantang tatapan Om Pras yang marah. Sekejap Om Pras terkesiap melihat Khansa yang begitu emosi. Dikendurkannya pegangan pada lengan Khansa yang terlihat memerah. Butir air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kemarahan di wajahnya berkurang. "Kenapa Hanny, ada yang menyakitimu?" tanya Om Pras pelan. "Om yang menyakiti aku. Om tak menganggap aku ada, aku hanya pelampiasan kemarahan Om saja bukan?!" tanyanya sedikit berteriak. Om Pras yang awalnya ingin mengerjai Khansa dengan foto di laptopnya merasa bersalah dengan reaksi yang diberikan Khansa. Dihapusnya butiran air yang sudah jatuh, mencoba tersenyum unt
"Bagaimana? masih mau marah? Kalau tidak suka aku hapus sekarang juga," ledek Om Pras pada Khansa. "Jangan om, aku mau foto itu saja di sana. Tapi om harus menjelaskan siapa wanita yang sebelumnya ada di sana," rajuknya sambil melingkarkan tangannya di lengan Om Pras. Disandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Om Pras melanjutkan pekerjaannya untuk memeriksa email yang masuk dibiarkan Khansa yang bermanja di sampingnya. Huft... sepertinya dia harus banyak mengalah dengan istri kecilnya ini. Setelah selesai dan Om Pras menutup laptop serta menaruhnya di atas nakas. Diliriknya Khansa yang ternyata kembali tertidur. Dibaringkan badannya agar tidak menekuk karena tertidur saat duduk bersandar. Direbahkan tubuhnya di samping Khansa, dipeluknya tubuh Khansa hingga terasa kehangatan mengalir dan tak lama diapun ikut terpejam. "Om, bangun! teleponnya dari tadi berbunyi," ujar Khansa kesal. Om Pras mengambil ponsel dan melirik nama yang tertera di layar, Rama. Ada apa? bukannya tadi sud
"Bagaimana kabar bisnis Yudhatama, pa?" tanya Om Pras membuka percakapan."Sepertinya papa tidak bisa bertahan. Papa harus mengalah dengan pebisnis muda," keluhnya menjawab pertanyaan Om Pras. Om Pras mengangguk-angguk. Kemudian meminta maaf. " Maaf telah membuat dua kontrak di batalkan," senyum Om Pras terlihat saat melirik ke arah Khansa kemudian melanjutkan ucapannya."Khansa memintaku untuk membantu di Yudhatama karena dua proyek yang kemarin dibatalkan disebabkan olehnya. Jadi kami bermaksud mengembalikan nilai kontrak yang sama pada perusahaan papa," jelasnya.Papa menatap Khansa seakan memastikan apa yang dikatakan Om Pras adalah benar. Khansa hanya mengangguk setelah menatap Om Pras sesaat. Om Pras melanjutkan ucapannya, "Papa bisa menghubungi Rama untuk memilih dua kontrak yang senilai. Aku sudah menyiapkannya.""Wah, papa senang sekali mendengarnya. Papa jadi bersemangat kembali untuk melanjutkan bisnis ini," ucap papa sambil tersenyum penuh kemenangan. "Oh ya Pa. Kami akan
Khansa menunggu Om Pras menjawab pertanyaannya, dilangkahkan kakinya menuju sofa. Om Pras mengikuti Khansa sedangkan Rama melanjutkan kembali pekerjaannya. Mereka kini duduk di sofa, masih dengan keheningan yang mereka ciptakan. Khansa masih menunggu jawaban. "Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apakah akan mempengaruhi hubungn kita. Surat perjanjian sudah ditandatangani tidak ada yang memaksamu saat menandatanganinya bukan?" tegas Om Pras sambil menatap tajam. "Minimal aku tahu dengan siapa aku bertarung untuk mendapatkan Mas Pras. Jika memang dia bukan lawanku aku akan mundur perlahan. Apalagi jika aku tahu mas lebih memilihnya, aku akan mengalah untuk kebahagiaan Om Pras," ucapnya pelan sambil menunduk. Om Pras tersenyum melihat Khansa yang sudah menjadi istrinya tertunduk di sampingnya. Diangkat dagunya pelan agar dia bisa menatap wajahnya, diciumnya pelan bibir yang selalu membuatnya ingin menikmatinya lagi. Awalnya Khansa membalas ciumannya, tak lama ditariknya wajahnya dan m
Om Pras mengangkat tubuh mungil Khansa ke tempat tidur, dihubunginya Rama agar membawa dokter ke apartemennya. Tidak mungkin dia membawa Khansa ke rumah sakit. Dilonggarkannya pakaian yang dikenakan Khansa agar dapat bernapas lega. Sepertinya Khansa kelelahan. Di panggil nama Khansa beberapa kali agar membuka matanya. Namun Khansa seakan tak mendengar suaranya. Saat pintu dibuka dia tahu jika yang datang adalah Rama dan dokter. Bergegas dijemputnya mereka ke depan, memintanya agar lekas memeriksa Khansa. Setelah dokter memeriksa kondisi Khansa yang masih memejamkan matanya, dokter meminta agar Pras mengikutinya. Rama juga keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Dokter dan Pras sudah duduk di sana, belum ada yang memulai pembicaraan hingga Pras akhirnya menanyakan kondisi Khansa. "Dokter, bagaimana kondisinya. Mengapa dari siang tadi muntah-muntah? Jangan bilang dia hamil karena itu tidak mungkin," ucapnya menjelaskan. Dokter tersenyum mendengar pertanyaan. "Sepertinya tekanan yan