Share

Bab 7 Hukuman Pertama

Khansa terdiam melihat Om Pras yang sudah berada di sampingnya. Dimas menatap Om Pras dan menarik tanggannya yang tadi terulur pada Khansa.

"Jika ada yang ingin di sampaikan, sampaikan pada saya. Saya suami Khansa, Prasetya. CEO Kampus Dwi Aksara," ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Dimas.

Khansa terpaku mendengar ucapan Om Pras. Di tatapnya wajah Om Pras untuk mencari jawaban. Tatap mata Om Pras hanya tertuju pada Dimas. Ditariknya napas panjang sebelum mencoba menatap Dimas yang telah menjabat tangan Om Pras.

Dimas membuang rasa takut pada Prasetya, walau dia adalah pemilik kampus tempat Dimas kuliah. Setelah melepaskan jabat tangannya, Dimas menatap Khansa, memastikan jika dia baik-baik saja.

Khansa mengangguk, mencoba mengatakan jika dirinya aman bersama Om Pras. Tangan Khansa ditarik Om Pras yang sudah melangkah cepat menuju mobil yang terparkir. Khansa harus kembali berlari kecil untuk menyeimbangi.

Sesampainya di samping mobil, Om Pras membalikkan badannya hingga wajah mereka saling berhadapan. Tubuh Khansa yang lebih pendek darinya, mengharuskan Om Pras mengangkat dagu Khansa pelan.

Tak lama bibir Om Pras sudah berada di bibirnya, mencium dengan kasar. Khansa memejamkan matanya karena menyadari di belakangnya Dimas pasti memperhatikan mereka. Tak lama ciuman kasar Om Pras berubah perlahan, hingga Khansa mulai menikmatinya dan membalasnya pelan.

Tak disadarinya kaki Khansa menjinjit mengimbangi tinggi badannya. Om Pras memundurkan wajahnya saat dirasakan Khansa mulai kesulitan bernapas. Khansa berusaha mengatur kembali napasnya dengan wajah yang memerah setelah bertatapan dengan Om Pras yang tersenyum puas.

"Cepat juga cara belajarmu Hanny, ini hukuman pertama. Jika melakukan kesalahan yang sama maka aku akan melakukannya di depan Dimas, Paham!" ucapnya tegas pada Khansa.

Khansa mengangguk pelan. Om Pras membukakan pintu mobil dan membiarkan Khansa masuk. Setelah menutup pintu kembali, dia langsung memutari mobil dan bergegas masuk ke dalam mobil di belakang kemudi. Dipasangnya sabuk pengaman dan segera menyalakan mesin mobil, melajukan mobil meninggalkan gedung yang ternyata milik Om Pras.

Dimas memperhatikan semua yang dilakukan Pras pada Khansa. Benaknya kini penuh dengan pertanyaan yang membuatnya kebingungan. Benarkan Khansa sudah menikah? Dengan pemilik Dwi Aksara, Prasetya Putra Narendra. Bukankah ujian sekolah baru pekan kemarin selesai?

"Hey, Bos. Sudah selesai urusannya?" tanya Gilang yang melihat Dimas terdiam.

"Wah... kesambet apa nih bos kita," ucap Handy yang melihat Dimas tak bergeming.

"Woi... Dimas!" teriak Gilang membuat Dimas tersentak kaget.

"Awww!"

Dimas melemparkan buku yang dipegangnya pada Gilang yang kemudian mengaduh. Gilang berteriak kaget karena lemparan Dimas tepat mengenai dahinya. Handy mengambil kembali buku yang dilempar dan mengembalikannya pada Dimas.

"Ada setan apa sih Bos? sampe bengong begitu?" tanya Handy.

"Prasetya Putra Narendra, dia pemilik kampus kita bukan?" tanyanya pada Handy.

"Iya, kalau tidak salah begitu, Bos."

Dimas mengangguk-angguk. Gilang dan Handy dapat diperintahnya untuk mencari informasi mengenai pernikahan Prasetya dan Khansa. Mengapa harus Khansa yang dinikahi Prasetya? Setahunya seharusnya yang menikah adalah Yasmine, Kakak Khansa.

***

"Kita akan ke kantor. sebelumnya kita ke butik dahulu. Aku sudah memesankan beberapa setel pakaian untuk bekerja. Mulai pekan depan mulailah belajar menjadi salah satu karyawanku. Sesuai surat perjanjian, jabatanmu adalah asisten pribadiku," ucap Om Pras tanpa menoleh sedikitpun.

"Aku belum pernah bekerja, apa yang akan aku lakukan?" tanya Khansa bingung.

"Menyiapkan semua kebutuhan pribadiku," jelasnya singkat.

"Tapi Om...,"

"Tidak ada bantahan Hanny, kamu sudah menandatanganinya. Saat aku menanyakan kembali berkasnya sudah ditandatangani, artinya semua isinya sudah disetujui, ingat?"

Huft... ini adalah kesalahannya. Khansa tidak membaca dengan detail apa yang harus dilakukannya. Sebatas apa asisten pribadi yang dimaksudnya? Mengapa harus aku, bukankah aku sudah menjadi istrinya?

"Om, asisten pribadi itu seperti apa?" tanya Khansa sambil mencoba melirik ke arah Om Pras.

"Memenuhi semua kebutuhan pribadiku tanpa kecuali dan tanpa bantahan," jawabnya tanpa bergeming.

Tanpa kecuali, apa maksudnya? Khansa tak mengerti, namun karena ini adalah pekerjaan di kantor jadi semua akan berhubungan dengan pekerjaan kantor pastinya. Khansa berharap apa yang akan dikerjakannya sesuai dengan kemampuannya.

Sudahlah... Selama ini dia juga belum bekerja, apalagi baru lulus SMA tidak mungkin diminta pekerjaan yang menyulitkan. Mobil sudah memasuki parkiran butik ternama. Bukankah ini tempatnya memesan gaun pengantin?

Om Pras sudah berjalan masuk setelah menutup pintu mobil. Aku mengikutinya dari belakang. Saat masuk mereka langsung disambut dan diantar ke ruang pribadi.

Di sana sudah ada beberapa baju kerja yang seukuran, namun berbeda warna. Om Pras memintaku mencoba satu setel, Khansa memilih yang berwarna coklat susu untuk dicobanya. Khansa melangkah ke bilik ganti yang disediakan.

Setelah mengganti pakaian dengan baju yang diambilnya, Khansa melihat dirinya di cermin. Pakaian yang dikenakan sangat pas di badannya, sepertinya memang dibuat untuknya.

"Keluarlah Hanny, aku ingin melihatnya," ujar Om Pras setelah menunggu beberapa lama.

Khansa melangkah keluar bilik, menghampiri Om Pras yang sudah menunggunya. Om Pras tersenyum puas. Mengangguk dan mengambil tangannya untuk berpindah menuju kursi. Di sana sudah ada sepatu yang sudah disiapkan juga.

Om Pras mengenakan sepatu pada kaki Khansa setelah mecopot sepatu yang dipakainya. Sekarang Khansa sudah siap. Khansa merasa semuanya berbeda, semua karena baju yang dikenakan serta sepatu pantofelnya.

"Mba Alina, semuanya bawakan ke rumah besar. Terima kasih untuk semua desain bajunya," ucap Om Pras kemudian meninggalkan butik melanjutkan perjalanan menuju kantor.

Lima belas menit perjalanan menuju kantornya, di pinggirkan mobil dan memberikan kuncinya pada sopir kantor. Om Pras menunggu hingga Khansa mensejajarkan langkahnya.

Biasanya aku akan ditinggalnya, tapi kali ini Om Pras menggandeng tangannya. Ditariknya tangan Khansa agar melingkari lengannya. Setelah memastikan aman, barulah Om Pras berjalan masuk ke dalam lobi kantor.

Beberapa karyawan yang melihatnya mengangguk memberikan tanda penghormatan. Khansa yang berjalan di sampingnya berusaha tersenyum walaupun sedikit dipaksakan.

Tadi mereka di Kampus Dwi Aksara dan kini mereka di kantor utama Narendra grup. Sepertinya Om Pras sedang menunjukkan tempatnya bekerja.

Mereka berdua sampai di depan ruangan bertuliskan Presiden Direktur. Nama Prasetya Putra Narendra tertera di sana. Khansa menatapnya ingin bertanya. Namun diurungkan niatnya saat dilihatnya Nadin keluar dari ruang kerja Om Pras.

"Pras! Mengapa membawanya ke kantor?" tanyanya saat melihat Khansa berjalan di samping Pras.

"Ruangannya sudah siap?" tanya Om Pras tajam tanpa menjawab pertanyaan Nadin.

"Bukannya aku yang akan menempati ruangan itu Pras? Mengapa jadi Khansa?"

Diingatnya saat Pras meminta banyak pendapat untuk ruangan pribadinya. Nadin yang sangat senang akhirnya tugasnya menjaga Bu Dewi, akan berganti menjadi asisten pribadi Presiden Direktur.

"Ruangan itu untuk Khansa, dia yang akan menjadi asisten pribadiku, kamu tetap menjaga mama sampai mama sembuh," ucap Pras tanpa mempedulikan perasaan Nadin padanya.

Nadin beberapa kali mengungkapkan perasaannya pada Pras, namun tak pernah digubrisnya. Niat Nadin merawat mamanya yang lumpuh hanya untuk menarik perhatian Pras.

Setelah menggagalkan pernikahan Pras dengan Yasmine, Pras malah menikah dengan Khansa. Adik kandung Yasmine. Kini jabatan asisten pribadi juga diberikan Pras pada Khansa.

"Awas saja Pras. Suatu hari nanti kamu akan menyesal dengan pilihan yang kamu ambil," janji Nadin dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status