Share

Bab 5 Malam Pertama

Jadi yang menggantikan gaunnya Om Pras? Apa benar semua yang dikatakannya, Khansa tertegun mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. Suara perutnya kembali berbunyi, dia bertambah kesal karena tak berhasil menebak jawabannya.

Kini Khansa sedang memakan makan malamnya, duduk di sofa yang bersebrangan dengan Om Pras. Selimut yang tadi digunakannya kini menjadi pembungkus tubuh yang ikut bersamanya. Khansa tak mau hanya mengenakan kaos saja di hadapan Om Pras.

Awalnya Om Pras menatapnya marah, namun saat mendengar perutnya kembali berbunyi, dimintanya untuk duduk dan makan. Khansa memilih sofa yang agak jauh untuk duduk. Sepintas dilihatnya bibir Om Pras tersenyum, namun saat mengetahui dia memperhatikannya, ditariknya kembali senyum di bibirnya dan kembali memasang wajah marahnya.

Khansa sudah tak mempedulikannya. Memilih duduk dan menikmati makanannya. Dia menghabiskan dua piring makanan, entah karena lapar atau karena memang makanannya sangat enak.

“Sepertinya tugas sebagai istri sudah bisa dilaksanakan malam ini,” ucap Om Pras sambil menyeringai ke arah Khansa.

“Uhuk…uhuk,” Khansa yang ingin menelan makanan terakhirnya sampai tersedak mendengar ucapan yang terlontar dari Om Pras.

Om Pras memberikannya segelas air putih dan duduk di sampingnya. Khansa mencoba menggeser duduk sambil meminum isi dari gelas yang diberikannya, namun Om Pras ikut menggeser hingga batas akhir sofa dan dia tak bisa menggeser duduknya lagi.

Khansa kesal sekali dengan kelakuannya. Diberanikan dirinya menatap mata Om Pras dengan marah dan kesal yang bercampur aduk. Walaupun dia sebenarnya takut akan resikonya nanti, tapi kini kemarahannya sudah sampai pada puncaknya.

Kedua mata mereka saling bertatap, tak ada yang memulai berkata-kata. Mengapa wajah di hadapannya kini jauh berbeda dari saat pertama kali melihatnya? Om Pras memiliki wajah yang jauh berbeda dari Om Raihan, adik papa. Mama bilang usia Om Pras sama dengannya.

Wajah Om Pras kini bersih, putih, dan garis wajahnya kuat. Sangat terawat, wajah Khansa saja mungkin kalah mulus dibandingkan wajahnya. Khansa mengedipkan mata memastikan jika penglihtannya tidak salah.

“Mau sampai kapan terkesima dengan wajah tampanku?” suara berat Om Pras menghentikan napasnya sejenak. Khansa memalingkan wajahnya dengan cepat, debaran jantungnya kembali datang.

“Tapi kalau terkesimanya dengan suami sendiri boleh kok, Hanny. Aku juga bangga punya istri secantik dan seimut kamu,” ucapnya sambil memutar kembali wajah Khansa dan menahannya agar tetap berada di hadapannya.

Khansa merasakan bibirnya menghangat dan beberapa saat kemudian dia tak bisa bernapas. Reflek tangannya mendorong dada Om Pras yang berada di depannya. Beruntung Om Pras langsung menarik wajahnya menjauh. Khansa menarik napas dengan tersengal.

Tangan Om Pras membersihkan sudut bibir Khansa dengan lembut. Khansa tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia mencoba mengingatnya kembali. Ini adalah ciuman pertamanya, dia tak tahu harus bagaimana. Tanpa disadarinya tangannya sudah menutup bibirnya sendiri. Entah, apakah dia menyukainya atau tidak.

“Jika itu ciuman pertamamu, maka aku sangat senang sekali mendapatkannya,” ucap Om Pras sambil menarik tangan Khansa untuk bangun dari sofa.

Selimut yang melilit pinggangnya melorot turun, kini dia hanya mengenakan kaos yang kebesaran. Khansa berusaha mengimbangi langkah kaki Om Pras yang cukup panjang, hingga dia seakan merasa seperti berlari kecil.

Didudukkannya Khansa di pinggir tempat tidur. Om Pras kembali ke sofa mengambil selimut yang tertinggal dan sebuah map coklat. Diletakkannya selimut dan duduk di sampingnya sambil membuka map coklat dan memberikan isinya pada Khansa.

“Pelajari lebih dahulu. Jika sudah setuju dengan isinya kita tanda tangani bersama. Jika ada yang ingin di perbaiki atau tambahkan bisa kita bicarakan nanti,” ucapnya sambil memberikan map coklat padanya

Om Pras beranjak menuju kamar mandi, mungkin akan membersihkan diri dan bersiap tidur. Khansa tidak bisa membaca dengan benar, pikirannya melayang ke mana-mana. Huft…

“Kalau sudah membacanya, bersiap tidur Hanny. Besok ada yang harus kita lakukan. Aku ada sedikit pekerjaan sebentar,” ucapnya sambil beranjak setelah mengambil laptopnya dari atas nakas.

Khansa hanya mengangguk, meletakkan berkas dan map coklat di atas nakas. Dia memilih untuk istirahat, beranjak ke kamar mandi untuk menyikat giginya dahulu. Saat keluar dari kamar mandi, selimut yang digunakannya tadi sudah tertata rapi di atas kasur.

Khansa mengambil posisi dekat jendela, masuk ke dalam selimut dan mencoba memejamkan mata. Entah karena kekenyangan saat makan tadi atau memang sudah lelah, matanya langsung terasa berat dan dia sudah terlelap.

***

“Aku panggilkan ya Sa, biar kamu bisa mengobrol berdua dengan Kak Dimas, bagaimana?” tanya Riska padanya.

Khansa tak berani mengiyakan. Saat ini dia sudah memiliki suami dan dia takut akan mengecewakannya nanti. Khansa menggelengkan kepalanya. Dirasakan kehangatan mengalir ke seluruh tubuhnya. Tubuhnya kini menegang saat Riska datang dengan Kak Dimas di sampingnya.

Khansa sudah melarangnya, tapi mengapa Riska tak mau mendengarkannya. Kak Dimas mendekatinya dengan senyuman yang lama kurindukan. Kak Dimas mencoba meraih tangannya. Khansa mencoba menghindarinya.

“Kak Dimas jangan, aku sudah bukan yang dulu kak,” ucapnya pelan.

Tangan Khansa dirasakan ditarik keras, dia tersentak kaget. Saat dibuka matanya, ternyata dia ada dalam pelukan Om Pras yang menahan marah. Jadi tadi dia bermimpi.

“Siapa Dimas?” tanyanya penuh amarah.

“Bukan siapa-siapa Om, hanya kakak kelas saja,” desisnya menahan tangis menahan rasa sakit dipergelangan tangannya.

Tangan Om Pras semakin mencengkram erat tangannya. Wajah Om Pras yang merah menahan marah menatapnya lekat, mencari kebenaran. Khansa meringis menahan rasa sakit.

“Sepertinya aku harus banyak mencari tahu mengenai orang-orang yang dekat denganmu, Hanny. Sayangnya sekarang kamu adalah milikku,” geramnya menahan amarah.

“Aku tidak akan membiarkan milikku diberikan untuk orang lain selain aku. Begitu juga kamu Hanny,” lanjutnya menekanku.

“Om, apa yang Om Pras lakukan!” teriaknya melihat mata Om Pras yang sudah memerah.

“Kamu istriku Hanny, sudah sepantasnya kamu melayaniku, bukan begitu?” seringainya.

Khansa menggelengkan kepalanya, mencoba mendorong dada Om Pras. Semakin Khansa berusaha semakin kuat tangannya dicengkram. Khansa mulai menanggis, rasa sakit yang dirasakan bukan lagi hanya di tangannya. Om Pras sudah menutup semua gerakkannya.

“Menangislah Hanny, kesalahanmu adalah memancing amarahku. Kamu harus membayarnya lunas. Malam ini akan menjadi malam pertama kita,” ledekan suara Om Pras terdengar diantara isak tangisnya.

Saat semuanya terjadi Khansa hanya bisa berteriak menahan semua rasa sakit. Seluruh tubuhnya terasa berat, namun yang dirasakan lebih sakit adalah hatinya melihat Om Pras melakukan semuanya dengan emosional.

Khansa terbangun karena cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Dirasakan sekujur tubuhnya sakit. Saat Khansa mengingat kembali kejadian semalam, dia langsung terisak. Dinaikkannya selimut yang menutupi tubuh polosnya hingga ke leher.

Om Pras yang sudah rapi berdiri di batas kamar, menatapnya lembut. Melangkah menghampirinya yang masih ketakutan. Diambilnya tangan Khansa mencoba melihat pergelangan tangannya, namun dia menepisnya.

“Semalam sudah aku obati, jika masih terasa sakit nanti aku obati lagi. Sekarang mandilah, sarapan sudah datang. Takut nanti dingin. Baju ganti sudah ada di lemari. Aku menunggu di sofa,” perintahnya tak mungkin di bantah.

Khansa mencoba bangun menuju kamar mandi. Tapi yang dirasakannya adalah seluruh badannya sakit, entah apa yang sudah di lakukan Om Pras semalam. Saat dia mencoba melangkah dirasakan sakit yang semakin menjadi, hingga dia menjerit tertahan.

Om Pras sudah ada di sampingnya, membopongnya ke kamar mandi dan mendudukkan di pinggiran bathtub. Khansa hanya bisa menangis pelan menahan semua rasa sakit di tubuhnya.

Om Pras mengisi bathtub dengan air hangat dan aroma terapi. Dimasukkan tangannya untuk merasakan kehangatan yang ada. Khansa hanya memperhatikannya, berbeda sekali dengan Om Pras semalam.

"Apa perlu aku mandikan?" tanyanya sambil menatap Khansa lembut.

Cepat Khansa menggelengkan kepalanya, memberikan tanda untuknya keluar dari sini. Dia ingin sendirian, menangis sepuasnya. Meratapi semua yang menimpanya saat ini. Dia juga tak mungkin kembali ke rumah yang ternyata bukan keluarganya.

Khansa melepaskan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Apa yang dilakukan Om Pras semalam? Beberapa bagian tubuhnya terasa sangat menyakitkan. Khansa berusaha masuk ke dalam bathtub, dirasakan air hangat dan aroma terapinya seakan memijat tubuhnya yang sakit.

Khansa kembali melayangkan pikirannya. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya nanti? Dia tak punya orang yang bisa diajak berbagi, kini dia sendiri. Apa yang harus dilakukannya? Mencari keluarganya? Dia sendiri tak mengetahui informasi sedikitpun mengenai mereka.

Apakah dia bisa memanfaatkan Om Pras untuk membantunya, tapi perlakuannya membuatnya takut, apalagi saat marah. Khansa menggelengkan kepalanya mengingat kembali kejadian semalam.

Suara ketukan di pintu membuatnya tersadar. Khansa mencoba menghapus jejak butiran bening di pipinya. Suara ketukan kembali terdengar diiringi suara kesal Om Pras.

“Jika hitungan ketiga tidak menjawab aku akan masuk dan memandikanmu sekalian,” ancamnya.

“Se…sebentar lagi om. Lima menit lagi,” jawabnya dengan parau.

Biarlah suaranya terdengar seperti ini, toh Om Pras yang membuatnya menangis. Khansa mencoba membersihkan seluruh tubuhnya. Menghilangkan jejak yang dibuat Om Pras semalam.

"Khansa! Cepat!" teriakan Om Pras kembali terdengar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status